Janji di Bawah Gerimis: Romansa Nostalgik Terbaik

Posted on

Masuki dunia emosi mendalam dan nostalgia menyentuh hati dalam Janji di Bawah Gerimis: Romansa Nostalgik Terbaik, sebuah cerpen epik yang mengisahkan perjalanan Zivara Lenthis di Taman Lirien, sebuah taman tua di Bogor pada tahun 2023. Dengan narasi detail tentang pertemuan kembali dengan sahabat masa kecilnya Kaelith Voryn setelah sepuluh tahun berpisah, serta kehadiran fotografer misterius Theryn Aldoris, cerita ini menghadirkan romansa tragis dan janji terlupakan yang menyisakan harapan. Cocok untuk penggemar cerita romansa dan drama emosional—jangan lewatkan kisah ini!

Janji di Bawah Gerimis

Hujan Pertama Agustus

Di sudut terpencil sebuah taman tua di Bogor pada tahun 2023, hamparan rumput hijau dan pohon-pohon besar berdiri sunyi, dipenuhi aroma tanah basah, dedaunan yang gugur, dan kilauan lembut hujan gerimis yang menyelinap melalui celah-celah daun. Taman itu, dikenal sebagai Taman Lirien, terletak di pinggir kota, dikelilingi oleh pagar besi berkarat dan jalur setapak berbatu yang ditutupi lumut, menjadi saksi bisu kenangan masa kecil yang lama terpendam. Di bawah pohon besar yang bercabang lebar, seorang wanita bernama Zivara Lenthis, berusia dua puluh tiga tahun, berdiri sendirian dengan payung tua di tangannya, matanya yang hijau keemasan menyimpan cerita tentang kehilangan dan harapan, terutama sejak sahabat masa kecilnya pindah kota sepuluh tahun lalu.

Zivara bekerja sebagai desainer grafis lepas, menjalani rutinitas harian yang membawanya ke Taman Lirien setiap hari Sabtu pagi. Setiap bulan Agustus, ia kembali ke taman, sebuah kebiasaan yang dimulai sejak Kaelith Voryn, sahabatnya, berpisah dengannya pada tahun 2013 dengan janji untuk bertemu lagi saat gerimis pertama. Pohon besar itu, dengan akar yang menonjol dan daun yang rimbun, menjadi simbol kenangan yang ia pegang erat, meski ingatan tentang janji itu semakin kabur seiring waktu. Zivara memulai pagi-pagi di taman dengan hati yang penuh tanya, membawa buku sketsa sebagai pelarian, tapi setiap langkah di jalur setapak terasa seperti menyelami duka yang tak pernah usai.

Hari-hari Zivara di Taman Lirien biasanya dimulai dengan suara burung yang berkicau di pagi hari, diikuti oleh tugasnya menggambar pemandangan taman di buku catatannya. Ia pertama kali duduk di bawah pohon besar pada sore yang gerimis di bulan Agustus 2013, ketika Kaelith berdiri di sampingnya, tertawa sambil memegang tangannya, berjanji akan kembali setelah pindah ke Surabaya. Sore itu, hujan turun perlahan, dan aroma tanah terasa lebih hidup dari biasanya. Setelah Kaelith pergi, Zivara terus kembali, membawa buku catatan yang berisi sketsa wajahnya, mencoba mempertahankan ingatan meski detailnya semakin memudar. Ia mulai menyimpan payung tua yang pernah mereka bagikan, sebuah ritual yang menjadi bagian dari dirinya.

Zivara sering mengingat hari-hari bersama Kaelith, sebuah sore di taman ketika mereka berbagi cerita tentang mimpi, berlari di bawah hujan sambil tertawa. Pindahnya Kaelith ke Surabaya mengubah segalanya, meninggalkan Zivara dengan catatan kecil yang berbunyi, “Kita akan bertemu lagi di gerimis Agustus, Zivara.” Sepuluh tahun berlalu tanpa kabar, dan pohon besar itu menjadi pelarian baginya, sebuah harapan yang mungkin membawanya pada kebenaran. Pada suatu malam, setelah ia duduk sendirian di taman, ia merasa ada hembusan angin lembut di wajahnya—seperti napas seseorang, membuat bulu kuduknya berdiri.

Suatu pagi di bulan Agustus, ketika gerimis pertama memenuhi Taman Lirien dengan suasana tenang dan aroma tanah tercium kuat, Zivara berdiri di bawah pohon besar, menatap jalur setapak yang licin. Angin membawa daun kering ke udara, dan tiba-tiba seorang pria dengan jaket hijau tua muncul dari balik semak, membawa tas kain yang tampak tua. Rambut cokelatnya yang agak panjang tergerai oleh angin, dan matanya yang abu-abu menatapnya dengan rasa penasaran yang mendalam. Ia memperkenalkan diri sebagai Theryn Aldoris, seorang fotografer misterius yang tampak terhubung dengan taman itu. Wajahnya penuh garis-garis kelelahan, tapi ada ketenangan dalam caranya berdiri yang membuat Zivara tak bisa menolak mengamatinya.

Theryn duduk di dekat Zivara, tangannya yang kasar memegang tas dengan penuh perhatian. Matanya sesekali melirik pohon besar, seolah mengenali sesuatu di balik akarnya. “Pohon ini menyimpan lebih dari sekadar bayangan,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan. Zivara mengangguk, hati bergetar oleh kata-kata yang terasa terlalu dekat dengan pengalamannya. Theryn memutuskan untuk tinggal sementara di taman, dengan alasan ingin memotret pemandangan, dan meski Zivara ragu, ia merasa ada kepercayaan dalam kehadiran pria itu, sebuah perubahan dari kesendirian yang selama ini ia pendam.

Hari-hari berikutnya membawa ritme baru ke kehidupan Zivara. Theryn sering terlihat mengambil foto di sudut taman, berjalan bersamanya di jalur setapak, dan bahkan membantu membersihkan daun kering. Ia tak banyak bertanya tentang masa lalunya, tapi gerakannya yang lembut, seperti saat ia menyesuaikan lensa kamera atau menatap pohon, seolah membawa harapan ke dalam perasaannya. Zivara mulai merasa tertarik oleh kehadiran Theryn, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.

Namun, di balik ketenangan yang muncul, ada bayangan yang semakin gelap. Setiap kali gerimis turun, Zivara merasa ada suara samar di udara—panggilan yang terdengar seperti tawa, atau angin yang mirip dengan napas seseorang. Ia sering terbangun di malam hari di taman, berkeringat dingin, membayangkan Kaelith berdiri di bawah pohon, wajahnya penuh kelembutan. Dan Theryn, dengan instinknya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Zivara menatap pohon besar, cara ia menggambar dengan tangan gemetar, dan cara ia selalu terdiam ketika hujan mulai.

Pada suatu sore yang sepi, ketika gerimis memenuhi Taman Lirien dan aroma tanah tercium kuat, Zivara mendengar derit cabang di balik pohon besar. Ia menoleh, berpikir itu hanya angin, tapi yang terlihat adalah sebuah kotak kayu kecil yang terselip di antara akar. Permukaannya penuh goresan, dan aroma kayu lembap tercium samar. Zivara mengambil kotak itu, merasa panas di tangannya. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah langit yang kelabu, dan untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, ia merasa sedih—bukan hanya karena kehilangan Kaelith, tapi karena kenyataan bahwa janji itu mungkin membawanya pada rahasia yang menyakitkan.

Bayang di Balik Gerimis

Langit Taman Lirien pada malam hari pada pertengahan bulan Agustus 2023 tampak dipenuhi cahaya bulan yang menyelinap melalui celah-celah daun, membalut kotak kayu dan pohon besar dengan kilauan lembut yang mencerminkan tetesan air hujan yang masih menempel. Zivara Lenthis duduk di bawah pohon, kotak kayu yang ditemukan di antara akar terbuka di depannya, isi di dalamnya tersebar di atas rumput basah. Udara di sekitar terasa dingin, bercampur dengan aroma tanah dan daun yang mengisi setiap sudut taman. Di kejauhan, suara hujan gerimis terdengar samar, membawa ritme yang terasa seperti ketegangan dari masa lalu. Bayangan di balik pohon berkedip lemah, menciptakan ilusi yang menari di permukaan tanah, seolah menggambarkan emosi yang terus menghantuinya.

Kotak itu berisi surat-surat tulis tangan yang membuat jantung Zivara berdegup kencang—karya Kaelith, beberapa sketsa taman yang ia kenali, dan sebuah gelang kecil yang ditandai dengan inisial mereka. Kertas itu terasa rapuh karena kelembapan, dan aroma tinta yang memudar memenuhi udara, membawa kembali ingatan tentang sore-sore bersama Kaelith di bawah pohon. Zivara menatap isi kotak itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh gelang yang tampak seperti menyimpan rahasia terakhir sahabatnya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka berbagi mimpi, ketika tawa Kaelith masih terasa hangat di hatinya.

Malam itu, ketika gerimis memenuhi Taman Lirien dengan alunan lembut, Theryn Aldoris kembali dari menjelajahi jalur setapak. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi gulungan kertas dan sebuah buku kecil yang ia temukan di dekat pagar besi. Wajahnya tampak pucat di bawah cahaya bulan, tapi matanya yang abu-abu bersinar dengan rasa ingin tahu yang dalam. “Aku menemukan sesuatu di jalur,” katanya pelan, meletakkan gulungan itu di rumput di samping kotak milik Kaelith. Gulungan kertas itu terasa dingin saat disentuh, dan di dalamnya terdapat sebuah jurnal yang ditulis dengan tangan rapi, bersama dengan sketsa pohon yang sudah menguning di tepinya.

Zivara merasa napasnya terhenti sejenak. Jurnal itu ditulis oleh Kaelith, tinta hitamnya masih samar terbaca meski kertasnya kusut. Ia mengambil jurnal itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan catatan yang membuat dunianya bergetar. “Zivara, kau adalah hujan yang kutunggu,” tulisnya. Jurnal itu menceritakan tentang kehidupan Kaelith di Surabaya, tentang rintangan yang ia hadapi, dan tentang harapannya untuk kembali ke taman. Gelang kecil menunjukkan janji mereka, ditandai dengan inisial yang sama seperti di sketsa.

Zivara merasa dadanya sesak. Ia ingat Kaelith, yang selalu penuh semangat di taman, dan malam-malam ketika ia menatap pohon besar dengan perasaan campur aduk. Jurnal itu mengungkap bahwa Kaelith terhambat oleh keadaan keluarga, dan ia meninggalkan petunjuk untuk Zivara. Zivara menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah awal dari sebuah petualangan yang tak bisa dilupakannya.

Theryn memperhatikan reaksi Zivara, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di dekatnya, membolak-balik sketsa dengan gerakan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Zivara untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Theryn, meski diam, terasa seperti dorongan lembut yang memaksa Zivara untuk menggali lebih dalam. Ia menatap sketsa kecil di tangannya, lalu ke gelang di kotak. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Zivara mulai merasa bahwa kehadiran Theryn bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap jurnal Kaelith, yang membuat Zivara curiga bahwa pria ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu sore, ketika mereka duduk di jalur setapak, Theryn tiba-tiba berkata, “Ada lebih dari sekadar hujan ini, Zivara.” Zivara menatapnya tajam, merasa seperti ditantang. Ia ingin marah, ingin mengusir Theryn dari taman, tapi ada sesuatu dalam nada suara Theryn yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kadang lebih baik tak mencari tahu,” jawabnya dingin, lalu berbalik dan berjalan kembali ke pohon besar, meninggalkan Theryn sendirian dengan pikirannya.

Malam itu, Zivara akhirnya memberanikan diri untuk mempelajari sketsa tambahan. Di belakangnya, ia menemukan petunjuk menuju sudut taman, ditandai dengan simbol-simbol aneh dan catatan yang ditulis dengan tinta yang sudah luntur: “Di bawah pohon ini aku menunggu, meninggalkan hujan untukmu. Maafkan aku.” Zivara merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan taman dan semua kenangan yang tersimpan di pohon itu, tapi ia tahu ia tak bisa. Taman itu, pohon besar yang memicu harapan, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.

Pagi berikutnya, Theryn menemukan Zivara duduk di bawah pohon, dikelilingi oleh jurnal, sketsa tambahan, dan gelang dari kotak kayu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan payung tua. Tapi di matanya, Zivara melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Theryn tahu lebih banyak tentang Kaelith daripada yang ia katakan. “Kau pernah melihat seseorang di taman ini?” tanya Zivara dalam hati, suaranya serak karena memikirkan malam sebelumnya. Theryn menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa beratnya itu.”

Hari itu, Zivara mulai mengikuti petunjuk menuju sudut taman, berjalan bersama Theryn melalui jalur setapak yang licin dan berdebu. Setiap langkah terasa seperti menggali luka lama, setiap suara hujan seperti pengingat akan Kaelith. Mereka menemukan sebuah sudut kecil di balik semak, di dalamnya terdapat jejak-jejak tanah digali dan sebuah kotak besar yang terbuat dari kayu tua. Di dalam kotak, Zivara menemukan surat lain dari Kaelith, bersama dengan sebuah gelang kecil yang berkilau lembut.

Surat itu berbunyi: “Zivara, aku terhambat oleh waktu ini. Aku meninggalkan hujan untukmu, tapi hati ini penuh penyesalan. Maafkan aku.” Zivara merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia menatap Theryn, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita harus tahu apa yang ada di sini,” katanya pelan, dan di matanya, Zivara melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Taman itu, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti pintu menuju sebuah rahasia yang mungkin akan menghancurkannya.

Hujan di Balik Kenangan

Langit Taman Lirien pada malam hari pada akhir bulan Agustus 2023 tampak dipenuhi cahaya bulan yang menyelinap melalui celah-celah daun, membalut sudut taman dan kotak kayu besar dengan kilauan lembut yang mencerminkan tetesan air gerimis yang masih menempel di rumput. Zivara Lenthis duduk di dalam sudut tersembunyi di balik semak, surat dari Kaelith yang usang terbuka di pangkuannya, sementara kotak kayu yang ditemukan di jalur setapak tergeletak di samping tumpukan daun kering. Udara di sekitar terasa dingin, bercampur dengan aroma tanah dan kayu basah yang mengisi setiap sudut taman. Di kejauhan, suara hujan gerimis terdengar samar, membawa ritme yang terasa seperti ketegangan dari masa lalu yang tak pernah ia lepaskan. Bayangan di balik semak berkedip lemah, menciptakan ilusi yang menari di permukaan tanah, seolah menggambarkan emosi yang terus menggerogoti hatinya.

Surat itu berisi tulisan tangan yang membuat jantung Zivara berdegup kencang—cerita tentang perjalanan Kaelith, sketsa taman yang ia kenali, dan sebuah petunjuk tentang gelang kecil yang berkilau di tangannya. Kertas itu terasa rapuh karena kelembapan, dan aroma tinta yang memudar membawa kembali ingatan tentang sore-sore bersama Kaelith di bawah pohon besar. Zivara menatap isi surat itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh gelang yang tampak seperti menyimpan rahasia terdalam sahabatnya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka berbagi mimpi, ketika tawa Kaelith masih terasa seperti harapan di hatinya.

Malam itu, ketika gerimis memenuhi Taman Lirien dengan alunan lembut, Theryn Aldoris kembali dari menjelajahi tepi taman. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi gulungan kertas dan sebuah buku kecil yang ia temukan di dekat pagar besi. Wajahnya tampak pucat di bawah cahaya bulan, tapi matanya yang abu-abu bersinar dengan rasa ingin tahu yang dalam. “Aku menemukan sesuatu di tepi,” katanya pelan, meletakkan gulungan itu di rumput di samping kotak milik Kaelith. Gulungan kertas itu terasa dingin saat disentuh, dan di dalamnya terdapat sebuah jurnal yang ditulis dengan tangan gemetar, bersama dengan sketsa pohon yang sudah menguning di tepinya.

Zivara merasa napasnya terhenti sejenak. Jurnal itu ditulis oleh Kaelith, tinta hitamnya hampir tak terbaca karena air yang merembes, tapi kata-katanya masih jelas. Ia mengambil jurnal itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan catatan yang membuat dunianya bergetar. “Zivara, kau adalah hujan yang kutunggu,” tulisnya. Jurnal itu menceritakan tentang kehidupan Kaelith di Surabaya, tentang rintangan keluarga yang ia hadapi, dan tentang harapannya untuk kembali ke taman. Gelang kecil menunjukkan janji mereka, ditandai dengan inisial yang sama seperti di sketsa.

Zivara merasa dadanya sesak. Ia ingat Kaelith, yang selalu penuh semangat di taman, dan malam-malam ketika ia menatap pohon besar dengan perasaan campur aduk. Jurnal itu mengungkap bahwa Kaelith terhambat oleh kematian ayahnya, yang membuatnya tak bisa kembali, dan ia meninggalkan petunjuk untuk Zivara. Zivara menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah awal dari sebuah petualangan yang tak bisa ia hindari.

Theryn memperhatikan reaksi Zivara, tapi ia tetap diam, membolak-balik sketsa dengan gerakan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Zivara untuk menghadapi pikirannya. Namun, kehadiran Theryn, meski tenang, terasa seperti dorongan lembut yang memaksa Zivara untuk menggali lebih dalam. Ia menatap halaman terakhir jurnal itu, lalu ke gelang kecil di gulungan kertas. Ada hubungan antara keduanya, ia yakin itu, tapi ia belum siap untuk mengungkapnya.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Zivara mulai merasa bahwa kehadiran Theryn memiliki peran lebih dari sekadar fotografer. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap jurnal Kaelith, yang membuat Zivara curiga bahwa pria ini tahu tentang rahasia taman. Pada suatu malam, ketika mereka duduk di jalur setapak, Theryn tiba-tiba berkata, “Ada lebih dari sekadar hujan ini, Zivara.” Zivara menatapnya tajam, merasa seperti dihadapkan pada kebenaran. Ia ingin menolak, ingin meninggalkan Theryn di taman, tapi ada kekuatan dalam matanya yang membuatnya terdiam. “Kadang kebenaran itu menyakitkan,” jawabnya pelan, lalu berbalik dan berjalan kembali ke pohon besar, meninggalkan Theryn sendirian dengan pikirannya.

Malam itu, Zivara memberanikan diri untuk mempelajari sketsa tambahan. Di belakangnya, ia menemukan petunjuk menuju sudut tersembunyi, ditandai dengan simbol-simbol aneh dan catatan yang ditulis dengan tinta yang sudah luntur: “Di bawah pohon ini aku menunggu, meninggalkan hujan untukmu. Maafkan aku.” Zivara merasa dadanya tercekat, seolah ada bayangan tak terlihat yang menariknya ke dalam misteri itu. Ia ingin lari, ingin meninggalkan taman dan semua kenangan yang tersimpan di pohon itu, tapi ia tahu ia tak bisa. Taman itu, pohon besar yang memicu harapan, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.

Pagi berikutnya, Theryn menemukan Zivara duduk di bawah pohon, dikelilingi oleh jurnal, sketsa tambahan, dan gelang dari kotak kayu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan payung tua. Tapi di matanya, Zivara melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Theryn tahu lebih banyak tentang Kaelith daripada yang ia katakan. “Kau pernah melihat seseorang di taman ini?” tanya Zivara dalam hati, suaranya serak karena memikirkan malam sebelumnya. Theryn menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa sulitnya itu.”

Hari itu, Zivara mulai mengikuti petunjuk menuju sudut tersembunyi, berjalan bersama Theryn melalui jalur setapak yang licin dan berdebu. Setiap langkah terasa seperti menggali luka lama, setiap suara hujan seperti pengingat akan Kaelith. Mereka menemukan sebuah sudut kecil yang diterangi oleh cahaya redup dari bulan, di dalamnya terdapat jejak-jejak tanah digali dan sebuah meja batu antik yang terbuat dari batu tua. Di atas meja, Zivara menemukan surat lain dari Kaelith, bersama dengan sebuah gelang kecil yang berkilau lembut.

Surat itu berbunyi: “Zivara, aku terhambat oleh waktu ini. Aku meninggalkan hujan untukmu, tapi hati ini penuh penyesalan. Maafkan aku.” Zivara merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia menatap Theryn, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita harus memutuskan apa yang harus dilakukan,” katanya pelan, dan di matanya, Zivara melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Taman itu, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti pintu menuju sebuah keputusan yang mungkin akan menghancurkannya.

Pagi berikutnya, Zivara dan Theryn kembali ke sudut kecil, membawa jurnal, sketsa tambahan, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di dalam sudut, mereka menemukan dinding yang ditulis dengan tangan gemetar, penuh dengan simbol hujan dan kalimat yang tak bisa dibaca sepenuhnya. Zivara merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa ini adalah pusat dari misteri yang ditinggalkan Kaelith, dan ia harus menghadapinya, apa pun risikonya.

Damai di Bawah Hujan

Langit Taman Lirien pada malam hari pada akhir bulan Agustus 2023 tampak dipenuhi cahaya bulan yang menyelinap melalui celah-celah daun, membalut sudut kecil dan meja batu antik dengan kilauan lembut yang mencerminkan tetesan air yang kini hilang. Zivara dan Theryn berdiri di depan dinding sudut, memegang jurnal Kaelith dan gelang kecil. Cahaya bulan dari luar menyelinap melalui celah-celah semak, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding, seolah jiwa-jiwa dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara hujan gerimis yang berdesir melalui taman terdengar samar, membawa ketenangan yang tak terucap. Zivara merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di taman, apa pun yang telah membangkitkan persahabatan selama sepuluh tahun.

Ketika mereka menatap dinding sudut, mereka melihat simbol-simbol yang mulai bersinar terang, diiringi oleh suara derit batu yang semakin keras dari dalam meja. Zivara merasa jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke Theryn, yang wajahnya tiba-tiba tenang. “Ini adalah jawabannya,” katanya pelan, menunjuk ke arah gelang kecil. Zivara mengangguk, meski ia tak sepenuhnya memahami. Mereka mulai menempatkan gelang kecil di atas meja, dan cahaya itu menyebar, menciptakan lingkaran terang di sekitar sudut.

Theryn menjelaskan bahwa ia datang ke taman bukan hanya sebagai fotografer, tapi untuk mencari jejak Kaelith, yang konon hilang karena kematian ayahnya pada 2022. Ia menemukan petunjuk tentang hujan melalui foto kuno, dan ketika ia bertemu Zivara, ia tahu bahwa wanita itu adalah kunci untuk mengungkap rahasia itu. Zivara merasa dunia di sekitarnya berputar. Kaelith, sahabat yang ia rindukan, yang konon hilang karena alasan tak jelas, kini terhubung dengan janji yang tak pernah terpenuhi.

Malam itu, Zivara dan Theryn kembali ke pohon besar, membawa jurnal dan tekad untuk mengakhiri misteri. Cahaya bulan memandu mereka, dan dengan bantuan gelang kecil, mereka mencapai meja batu yang diterangi oleh cahaya dari sudut kecil, di mana bayangan Kaelith muncul untuk sesaat—senyumnya yang hangat, tatapannya yang penuh persahabatan. Kemudian bayangan itu hilang, dan taman kembali tenang, seolah misteri itu telah selesai.

Tapi ada harga yang harus dibayar. Zivara merasa persahabatannya memudar, digantikan oleh kelegaan yang hangat. Ia masih ingat bahwa ia pernah bersahabat dengan Kaelith, tapi wajahnya, suaranya, semua detail itu hilang, seolah tenggelam bersama hujan. Ia jatuh berlutut di jalur setapak, menangis tanpa suara, sementara Theryn memegang tangannya. “Kau melakukannya, Zivara,” katanya pelan. “Ia bebas sekarang.” Tapi Zivara tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu mahal. Ia telah kehilangan sahabat yang menjadi alasan hidupnya, dan di dalam hatinya, ia merasa penuh dengan kekosongan.

Hari-hari berikutnya di taman terasa seperti mimpi yang perlahan memudar. Gerimis tetap menyelimuti daun-daun, tapi langkah Kaelith tak lagi terdengar. Zivara duduk di bawah pohon besar, menatap cakrawala yang kini kosong, tanpa bayangan yang menyertainya. Pada suatu malam, ketika bulan terlihat jelas, Zivara berjalan menuju sudut kecil, membawa surat terakhir Kaelith. Ia berdiri di meja batu, menatap pantulan cahaya, dan merasa bahwa hidupnya telah dimulai kembali bersama sahabat yang hilang. Dengan langkah perlahan, ia meletakkan surat di atas meja dan berjalan menjauh, membiarkan taman menyelimuti dirinya sepenuhnya. Taman itu kembali tenggelam dalam keheningan, menyimpan bayang emosi dalam kelegaan yang abadi.

Taman itu berdiri diam di sudut Bogor, daunnya berkilau redup, dan sudut tersembunyi tetap menjadi saksi bisu dari akhir damai Zivara Lenthis, di mana gerimis berakhir dalam pelepasan yang tak pernah sirna.

Janji di Bawah Gerimis: Romansa Nostalgik Terbaik menyajikan perjalanan persahabatan dan pengorbanan yang terjalin di balik gerimis Agustus, diuji oleh waktu dan akhirnya menemukan damai yang mengharukan. Dengan alur penuh emosi dan pesan mendalam tentang ikatan abadi, cerpen ini mengajak Anda untuk merenungkan kekuatan janji yang tak pernah sirna. Segera baca kisah Zivara dan rasakan keajaiban serta kesedihan yang tak terlupakan!

Terima kasih telah menyelami ulasan Janji di Bawah Gerimis: Romansa Nostalgik Terbaik. Semoga cerita ini membawa Anda pada petualangan emosional yang berkesan dan inspirasi yang mendalam. Kami menantikan kehadiran Anda kembali untuk kisah literatur berikutnya—jangan lupa bagikan pengalaman Anda dengan kami!

Leave a Reply