Daftar Isi
Jelajahi kisah cinta yang mengharukan dan penuh emosi dalam Satu Kursi Kosong di Kedai Kopi Lama: Romansa Paling Menyentuh, sebuah cerpen epik yang mengisahkan perjalanan Lysara Teyrin di Warung Aroma, sebuah kedai kopi tua di Bandung pada tahun 2023. Dengan narasi mendalam tentang menunggu kekasihnya Calen Zorath yang berjanji kembali dari luar negeri, serta pertemuannya dengan pelancong misterius Riven Thalor, cerita ini menghadirkan romansa tragis dan misteri kopi yang tak terlupakan. Cocok untuk penggemar cerita romansa dan drama emosional—jangan lewatkan kisah ini!
Satu Kursi Kosong di Kedai Kopi Lama
Aroma Kopi di Pagi Hari
Di sudut kecil sebuah gang sempit di Bandung pada tahun 2023, sebuah kedai kopi tua bernama Warung Aroma berdiri dengan anggun, dipenuhi aroma biji kopi panggang, kayu jati yang usang, dan kilauan lembut sinar matahari yang menyelinap melalui jendela kaca patri. Kedai itu, dengan meja-meja kayu tua dan kursi-kursi berlapis kain usang, menjadi saksi bisu kehidupan sehari-hari warga sekitar, dikelilingi oleh tanaman hijau yang merambat di dinding luar dan suara gemericik air dari sumber kecil di halaman. Di meja sudut yang selalu kosong, seorang gadis bernama Lysara Teyrin, berusia dua puluh lima tahun, duduk sendirian dengan secangkir kopi hitam di tangannya, matanya yang cokelat tua menyimpan cerita tentang harapan dan kerinduan, terutama sejak seseorang yang ia cintai pergi kuliah ke luar negeri lima tahun lalu.
Lysara bekerja sebagai ilustrator lepas, menjalani rutinitas harian yang membawanya ke Warung Aroma setiap pagi pukul tujuh. Setiap hari, ia duduk di meja sudut yang sama, sebuah kebiasaan yang dimulai sejak Calen Zorath, kekasihnya, berjanji akan kembali setelah menyelesaikan studinya di Eropa pada tahun 2018. Meja itu, dengan noda kopi kecil di permukaannya dan kursi kosong di sampingnya, menjadi simbol janji yang ia pegang erat, meski harapannya semakin memudar seiring waktu. Lysara memulai hari-harinya dengan hati yang penuh tanya, membawa secangkir kopi sebagai pengingat akan kenangan, tapi setiap tegukan terasa seperti menyelami duka yang tak pernah usai.
Hari-hari Lysara di Warung Aroma biasanya dimulai dengan aroma kopi yang menyelinap ke udara, diikuti oleh tugasnya menggambar sketsa di buku catatan kecil. Ia pertama kali memilih meja sudut pada pagi yang cerah di bulan Maret 2018, ketika Calen duduk di sampingnya, tertawa sambil memegang tangannya, berjanji akan kembali setelah tiga tahun. Pagi itu, sinar matahari menerobos jendela, dan aroma kopi terasa lebih hangat dari biasanya. Setelah Calen pergi, Lysara terus kembali, membawa buku catatan yang berisi sketsa wajahnya, mencoba mempertahankan ingatan meski detailnya semakin kabur. Ia mulai menyimpan secangkir kopi yang tak pernah habis di meja, sebuah ritual yang menjadi bagian dari dirinya.
Lysara sering mengingat hari-hari bersama Calen, sebuah pagi di kedai ketika mereka berbagi cerita tentang mimpi, tertawa sambil menikmati kopi hangat. Kepergian Calen ke luar negeri mengubah segalanya, meninggalkan Lysara dengan surat terakhir yang berbunyi, “Aku akan kembali, Lysara, tunggu di meja kita.” Lima tahun berlalu tanpa kabar, dan meja kosong itu menjadi pelarian baginya, sebuah harapan yang mungkin membawanya pada kebenaran. Pada suatu malam, setelah ia duduk sendirian, ia merasa ada hembusan angin lembut di wajahnya—seperti napas seseorang, membuat bulu kuduknya berdiri.
Suatu pagi di bulan Agustus, ketika hujan ringan memenuhi Warung Aroma dengan suasana tenang dan aroma kopi tercium kuat, Lysara duduk di meja sudut, menatap secangkir kopi di tangannya. Angin membawa daun kering ke udara, dan tiba-tiba seorang pria dengan jas abu-abu muncul dari pintu, membawa tas kulit yang tampak tua. Rambut hitamnya yang pendek tergerai oleh angin, dan matanya yang biru pucat menatapnya dengan rasa ingin tahu yang mendalam. Ia memperkenalkan diri sebagai Riven Thalor, seorang pelancong misterius yang tampak terhubung dengan kedai itu. Wajahnya penuh tanda-tanda dari apa yang ia sebut “perjalanan panjang,” tapi ada ketenangan dalam caranya berjalan yang membuat Lysara tak bisa menolak mengamatinya.
Riven duduk di meja sebelah, tangannya yang halus memegang tas dengan penuh perhatian. Matanya sesekali melirik meja kosong, seolah mengenali sesuatu di balik noda kopinya. “Meja itu menyimpan lebih dari sekadar kenangan,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan. Lysara mengangguk, hati bergetar oleh kata-kata yang terasa terlalu dekat dengan pengalamannya. Riven memutuskan untuk tinggal sementara di kedai, dengan alasan ingin menikmati kopi lokal, dan meski Lysara ragu, ia merasa ada kepercayaan dalam kehadiran pria itu, sebuah perubahan dari kesendirian yang selama ini ia pendam.
Hari-hari berikutnya membawa ritme baru ke kehidupan Lysara. Riven sering terlihat membaca di sudut kedai, berjalan bersamanya di halaman, dan bahkan membantu menyiram tanaman. Ia tak banyak bertanya tentang masa lalunya, tapi gerakannya yang anggun, seperti saat ia menuang kopi atau menatap jendela, seolah membawa harapan ke dalam perasaannya. Lysara mulai merasa tertarik oleh kehadiran Riven, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.
Namun, di balik ketenangan yang muncul, ada bayangan yang semakin gelap. Setiap kali hujan turun, Lysara merasa ada suara samar di udara—panggilan yang terdengar seperti bisikan, atau angin yang mirip dengan tawa seseorang. Ia sering terbangun di malam hari di kedai, berkeringat dingin, membayangkan Calen berdiri di meja sudut, wajahnya penuh kelembutan. Dan Riven, dengan instinknya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Lysara menatap meja kosong, cara ia menggambar dengan tangan gemetar, dan cara ia selalu terdiam ketika hujan mulai.
Pada suatu pagi yang sepi, ketika hujan gerimis memenuhi Warung Aroma dan aroma kopi tercium kuat, Lysara mendengar derit kursi di balik meja sudut. Ia menoleh, berpikir itu hanya angin, tapi yang terlihat adalah sebuah amplop tua yang terselip di antara bantal kursi. Permukaannya penuh lipatan, dan aroma kertas tua tercium samar. Lysara mengambil amplop itu, merasa panas di tangannya. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah jendela di luar, dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia merasa sedih—bukan hanya karena menunggu Calen, tapi karena kenyataan bahwa meja kosong itu mungkin membawanya pada rahasia yang menyakitkan.
Bayang di Balik Kopi
Langit Warung Aroma pada sore hari pada pertengahan musim hujan 2023 tampak dipenuhi cahaya matahari yang menyelinap melalui jendela kaca patri, membalut amplop tua dan meja sudut dengan kilauan lembut yang mencerminkan tetesan air yang masih menempel di daun tanaman. Lysara Teyrin duduk di dalam kedai, amplop yang ditemukan di balik kursi terbuka di depannya, isi di dalamnya tersebar di atas meja kayu. Udara di dalam terasa hangat, bercampur dengan aroma kopi dan tanah basah yang mengisi setiap sudut kedai. Di kejauhan, suara hujan terdengar samar, membawa ritme yang terasa seperti ketegangan dari masa lalu. Bayangan di balik jendela berkedip lemah, menciptakan ilusi yang menari di permukaan meja, seolah menggambarkan emosi yang terus menghantuinya.
Amplop itu berisi surat-surat tulis tangan yang membuat jantung Lysara berdegup kencang—karya Calen, beberapa sketsa kedai yang ia kenali, dan sebuah foto kecil yang ditandai dengan tanggal lama. Kertas itu terasa rapuh karena kelembapan, dan aroma tinta yang memudar memenuhi udara, membawa kembali ingatan tentang pagi-pagi bersama Calen di meja sudut. Lysara menatap isi amplop itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh foto yang tampak seperti menyimpan rahasia terakhir kekasihnya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka berbagi mimpi, ketika tawa Calen masih terasa hangat di hatinya.
Malam itu, ketika hujan gerimis memenuhi Warung Aroma dengan alunan lembut, Riven Thalor kembali dari menjelajahi halaman belakang. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi gulungan kertas dan sebuah buku kecil yang ia temukan di dekat sumber air. Wajahnya tampak pucat di bawah cahaya lampu kedai, tapi matanya yang biru pucat bersinar dengan rasa ingin tahu yang dalam. “Aku menemukan sesuatu di halaman,” katanya pelan, meletakkan gulungan itu di meja di samping amplop milik Calen. Gulungan kertas itu terasa dingin saat disentuh, dan di dalamnya terdapat sebuah jurnal yang ditulis dengan tangan rapi, bersama dengan sketsa kopi yang sudah menguning di tepinya.
Lysara merasa napasnya terhenti sejenak. Jurnal itu ditulis oleh Calen, tinta hitamnya masih samar terbaca meski kertasnya kusut. Ia mengambil jurnal itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan catatan yang membuat dunianya bergetar. “Lysara, kau adalah aroma yang kutunggu,” tulisnya. Jurnal itu menceritakan tentang kehidupan Calen sebagai mahasiswa di luar negeri, tentang janjinya untuk kembali, dan tentang harapannya bertemu Lysara lagi. Foto kecil menunjukkan Calen berdiri di meja sudut, rambut cokelatnya berkilau di bawah matahari, dengan tatapan penuh semangat.
Lysara merasa dadanya sesak. Ia ingat Calen, yang selalu penuh semangat di kedai, dan malam-malam ketika ia menatap meja kosong dengan perasaan campur aduk. Jurnal itu mengungkap bahwa Calen terhambat oleh keadaan di luar negeri, dan ia meninggalkan petunjuk untuk Lysara. Lysara menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah awal dari sebuah petualangan yang tak bisa dilupakannya.
Riven memperhatikan reaksi Lysara, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di sudut meja, membolak-balik jurnal dengan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Lysara untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Riven, meski diam, terasa seperti dorongan lembut yang memaksa Lysara untuk menggali lebih dalam. Ia menatap sketsa kecil di tangannya, lalu ke foto di amplop. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Lysara mulai merasa bahwa kehadiran Riven bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap jurnal Calen, yang membuat Lysara curiga bahwa pria ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu sore, ketika mereka duduk di halaman sambil mendengarkan aliran air, Riven tiba-tiba berkata, “Ada lebih dari sekadar kopi ini, Lysara.” Lysara menatapnya tajam, merasa seperti ditantang. Ia ingin marah, ingin mengusir Riven dari kedai, tapi ada sesuatu dalam nada suara Riven yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kadang lebih baik tak mencari tahu,” jawabnya dingin, lalu berbalik dan berjalan kembali ke dalam, meninggalkan Riven sendirian dengan pikirannya.
Malam itu, Lysara akhirnya memberanikan diri untuk mempelajari sketsa tambahan. Di belakangnya, ia menemukan petunjuk menuju ruang belakang kedai, ditandai dengan simbol-simbol aneh dan catatan yang ditulis dengan tinta yang sudah luntur: “Di kedai ini aku menunggu, meninggalkan aroma untukmu. Maafkan aku.” Lysara merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan kedai dan semua kenangan yang tersimpan di meja itu, tapi ia tahu ia tak bisa. Kedai itu, meja kosong yang memicu harapan, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.
Pagi berikutnya, Riven menemukan Lysara duduk di meja sudut, dikelilingi oleh jurnal, sketsa tambahan, dan foto dari amplop. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan secangkir kopi hangat. Tapi di matanya, Lysara melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Riven tahu lebih banyak tentang Calen daripada yang ia katakan. “Kau pernah melihat seseorang di kedai ini?” tanya Lysara dalam hati, suaranya serak karena memikirkan malam sebelumnya. Riven menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa beratnya itu.”
Hari itu, Lysara mulai mengikuti petunjuk menuju ruang belakang, berjalan bersama Riven melalui lorong sempit dan berdebu. Setiap langkah terasa seperti menggali luka lama, setiap suara hujan seperti pengingat akan Calen. Mereka menemukan sebuah ruang kecil di balik rak buku, di dalamnya terdapat jejak-jejak kopi di lantai dan sebuah kotak kayu yang terbuat dari kayu tua. Di dalam kotak, Lysara menemukan surat lain dari Calen, bersama dengan sebuah foto kecil yang berkilau lembut.
Surat itu berbunyi: “Lysara, aku terhambat oleh waktu ini. Aku meninggalkan aroma untukmu, tapi hati ini penuh penyesalan. Maafkan aku.” Lysara merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia menatap Riven, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita harus tahu apa yang ada di sini,” katanya pelan, dan di matanya, Lysara melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Kedai itu, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti pintu menuju sebuah rahasia yang mungkin akan menghancurkannya.
Aroma di Balik Kenangan
Langit Warung Aroma pada malam hari pada akhir musim hujan 2023 tampak dipenuhi cahaya lampu kedai yang menyelinap melalui jendela kaca patri, membalut ruang kecil dan kotak kayu dengan kilauan lembut yang mencerminkan tetesan air yang masih menempel di daun tanaman di luar. Lysara Teyrin duduk di dalam ruang belakang, surat dari Calen yang usang terbuka di pangkuannya, sementara kotak kayu yang ditemukan di balik rak buku tergeletak di samping tumpukan kertas tua. Udara di dalam terasa hangat, bercampur dengan aroma kopi dan kayu basah yang mengisi setiap sudut kedai. Di kejauhan, suara hujan terdengar samar, membawa ritme yang terasa seperti ketegangan dari masa lalu yang tak pernah ia lepaskan. Bayangan di balik rak buku berkedip lemah, menciptakan ilusi yang menari di permukaan lantai, seolah menggambarkan emosi yang terus menggerogoti hatinya.
Surat itu berisi tulisan tangan yang membuat jantung Lysara berdegup kencang—cerita tentang perjalanan Calen, sketsa kedai yang ia kenali, dan sebuah petunjuk tentang foto kecil yang berkilau di tangannya. Kertas itu terasa rapuh karena kelembapan, dan aroma tinta yang memudar membawa kembali ingatan tentang pagi-pagi bersama Calen di meja sudut. Lysara menatap isi surat itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh foto yang tampak seperti menyimpan rahasia terdalam kekasihnya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka berbagi mimpi, ketika tawa Calen masih terasa seperti harapan di hatinya.
Malam itu, ketika hujan gerimis memenuhi Warung Aroma dengan alunan lembut, Riven Thalor kembali dari menjelajahi lorong sempit. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi gulungan kertas dan sebuah buku kecil yang ia temukan di dekat pintu belakang. Wajahnya tampak pucat di bawah cahaya lampu, tapi matanya yang biru pucat bersinar dengan rasa ingin tahu yang dalam. “Aku menemukan sesuatu di luar,” katanya pelan, meletakkan gulungan itu di lantai di samping kotak milik Calen. Gulungan kertas itu terasa dingin saat disentuh, dan di dalamnya terdapat sebuah jurnal yang ditulis dengan tangan gemetar, bersama dengan sketsa kopi yang sudah menguning di tepinya.
Lysara merasa napasnya terhenti sejenak. Jurnal itu ditulis oleh Calen, tinta hitamnya hampir tak terbaca karena air yang merembes, tapi kata-katanya masih jelas. Ia mengambil jurnal itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan catatan yang membuat dunianya bergetar. “Lysara, kau adalah aroma yang kutunggu,” tulisnya. Jurnal itu menceritakan tentang kehidupan Calen sebagai mahasiswa di luar negeri, tentang rintangan yang ia hadapi, dan tentang harapannya untuk kembali ke Lysara. Foto kecil menunjukkan Calen berdiri di meja sudut, rambut cokelatnya berkilau di bawah matahari, dengan tatapan penuh cinta.
Lysara merasa dadanya sesak. Ia ingat Calen, yang selalu penuh semangat di kedai, dan malam-malam ketika ia menatap meja kosong dengan perasaan campur aduk. Jurnal itu mengungkap bahwa Calen terhambat oleh keadaan di luar negeri, termasuk kecelakaan yang membuatnya tak bisa kembali, dan ia meninggalkan petunjuk untuk Lysara. Lysara menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah awal dari sebuah petualangan yang tak bisa ia hindari.
Riven memperhatikan reaksi Lysara, tapi ia tetap diam, membolak-balik sketsa dengan gerakan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Lysara untuk menghadapi pikirannya. Namun, kehadiran Riven, meski tenang, terasa seperti dorongan lembut yang memaksa Lysara untuk menggali lebih dalam. Ia menatap halaman terakhir jurnal itu, lalu ke foto kecil di gulungan kertas. Ada hubungan antara keduanya, ia yakin itu, tapi ia belum siap untuk mengungkapnya.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Lysara mulai merasa bahwa kehadiran Riven memiliki peran lebih dari sekadar pelancong. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap jurnal Calen, yang membuat Lysara curiga bahwa pria ini tahu tentang rahasia kedai. Pada suatu malam, ketika mereka duduk di halaman sambil mendengarkan aliran air, Riven tiba-tiba berkata, “Ada lebih dari sekadar aroma ini, Lysara.” Lysara menatapnya tajam, merasa seperti dihadapkan pada kebenaran. Ia ingin menolak, ingin meninggalkan Riven di kedai, tapi ada kekuatan dalam matanya yang membuatnya terdiam. “Kadang kebenaran itu menyakitkan,” jawabnya pelan, lalu berbalik dan berjalan kembali ke dalam, meninggalkan Riven sendirian dengan pikirannya.
Malam itu, Lysara memberanikan diri untuk mempelajari sketsa tambahan. Di belakangnya, ia menemukan petunjuk menuju ruang belakang, ditandai dengan simbol-simbol aneh dan catatan yang ditulis dengan tinta yang sudah luntur: “Di kedai ini aku menunggu, meninggalkan aroma untukmu. Maafkan aku.” Lysara merasa dadanya tercekat, seolah ada bayangan tak terlihat yang menariknya ke dalam misteri itu. Ia ingin lari, ingin meninggalkan kedai dan semua kenangan yang tersimpan di meja itu, tapi ia tahu ia tak bisa. Kedai itu, meja kosong yang memicu harapan, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.
Pagi berikutnya, Riven menemukan Lysara duduk di meja sudut, dikelilingi oleh jurnal, sketsa tambahan, dan foto dari kotak kayu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan secangkir kopi hangat. Tapi di matanya, Lysara melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Riven tahu lebih banyak tentang Calen daripada yang ia katakan. “Kau pernah melihat seseorang di kedai ini?” tanya Lysara dalam hati, suaranya serak karena memikirkan malam sebelumnya. Riven menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa sulitnya itu.”
Hari itu, Lysara mulai mengikuti petunjuk menuju ruang belakang, berjalan bersama Riven melalui lorong sempit dan berdebu. Setiap langkah terasa seperti menggali luka lama, setiap suara hujan seperti pengingat akan Calen. Mereka menemukan sebuah ruang kecil yang diterangi oleh cahaya redup dari lampu tua, di dalamnya terdapat jejak-jejak kopi di lantai dan sebuah meja antik yang terbuat dari kayu tua. Di atas meja, Lysara menemukan surat lain dari Calen, bersama dengan sebuah foto kecil yang berkilau lembut.
Surat itu berbunyi: “Lysara, aku terhambat oleh waktu ini. Aku meninggalkan aroma untukmu, tapi hati ini penuh penyesalan. Maafkan aku.” Lysara merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia menatap Riven, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita harus memutuskan apa yang harus dilakukan,” katanya pelan, dan di matanya, Lysara melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Kedai itu, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti pintu menuju sebuah keputusan yang mungkin akan menghancurkannya.
Pagi berikutnya, Lysara dan Riven kembali ke ruang kecil, membawa jurnal, sketsa tambahan, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di dalam ruang, mereka menemukan dinding yang ditulis dengan tangan gemetar, penuh dengan simbol kopi dan kalimat yang tak bisa dibaca sepenuhnya. Lysara merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa ini adalah pusat dari misteri yang ditinggalkan Calen, dan ia harus menghadapinya, apa pun risikonya.
Pelepasan di Aroma Terakhir
Langit Warung Aroma pada malam hari pada akhir musim hujan 2023 tampak dipenuhi cahaya lampu kedai yang menyelinap melalui jendela kaca patri, membalut ruang kecil dan meja antik dengan kilauan lembut yang mencerminkan tetesan air yang kini hilang. Lysara dan Riven berdiri di depan dinding ruangan, memegang jurnal Calen dan foto kecil. Cahaya lampu dari luar menyelinap melalui celah-celah jendela, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding, seolah jiwa-jiwa dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara hujan yang berdesir melalui kedai terdengar samar, membawa ketenangan yang tak terucap. Lysara merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di kedai, apa pun yang telah membangkitkan cinta selama lima tahun.
Ketika mereka menatap dinding ruangan, mereka melihat simbol-simbol yang mulai bersinar terang, diiringi oleh suara derit kayu yang semakin keras dari dalam meja. Lysara merasa jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke Riven, yang wajahnya tiba-tiba tenang. “Ini adalah jawabannya,” katanya pelan, menunjuk ke arah foto kecil. Lysara mengangguk, meski ia tak sepenuhnya memahami. Mereka mulai menempatkan foto kecil di atas meja, dan cahaya itu menyebar, menciptakan lingkaran terang di sekitar ruangan.
Riven menjelaskan bahwa ia datang ke kedai bukan hanya sebagai pelancong, tapi untuk mencari jejak Calen, yang konon hilang karena kecelakaan di luar negeri pada 2022. Ia menemukan petunjuk tentang aroma kopi melalui surat kuno, dan ketika ia bertemu Lysara, ia tahu bahwa wanita itu adalah kunci untuk mengungkap rahasia itu. Lysara merasa dunia di sekitarnya berputar. Calen, kekasih yang ia rindukan, yang konon hilang karena alasan tak jelas, kini terhubung dengan janji yang tak pernah terpenuhi.
Malam itu, Lysara dan Riven kembali ke meja sudut, membawa jurnal dan tekad untuk mengakhiri misteri. Cahaya lampu memandu mereka, dan dengan bantuan foto kecil, mereka mencapai meja besar yang diterangi oleh cahaya dari ruang kecil, di mana bayangan Calen muncul untuk sesaat—senyumnya yang hangat, tatapannya yang penuh cinta. Kemudian bayangan itu hilang, dan kedai kembali tenang, seolah misteri itu telah selesai.
Tapi ada harga yang harus dibayar. Lysara merasa cintanya memudar, digantikan oleh kelegaan yang hangat. Ia masih ingat bahwa ia pernah mencintai Calen, tapi wajahnya, suaranya, semua detail itu hilang, seolah tenggelam bersama cahaya. Ia jatuh berlutut di meja sudut, menangis tanpa suara, sementara Riven memegang tangannya. “Kau melakukannya, Lysara,” katanya pelan. “Ia bebas sekarang.” Tapi Lysara tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu mahal. Ia telah kehilangan kekasih yang menjadi alasan hidupnya, dan di dalam hatinya, ia merasa penuh dengan kekosongan.
Hari-hari berikutnya di kedai terasa seperti mimpi yang perlahan memudar. Hujan tetap menyelimuti jendela-jendela, tapi langkah Calen tak lagi terdengar. Lysara duduk di meja sudut, menatap cakrawala yang kini kosong, tanpa bayangan yang menyertainya. Pada suatu malam, ketika lampu terlihat jelas, Lysara berjalan menuju ruang kecil, membawa surat terakhir Calen. Ia berdiri di meja, menatap pantulan cahaya, dan merasa bahwa hidupnya telah dimulai kembali bersama kekasih yang hilang. Dengan langkah perlahan, ia meletakkan surat di atas meja dan berjalan menjauh, membiarkan kedai menyelimuti dirinya sepenuhnya. Kedai itu kembali tenggelam dalam keheningan, menyimpan bayang emosi dalam kelegaan yang abadi.
Kedai itu berdiri diam di sudut Bandung, jendelanya berkilau redup, dan ruang tersembunyi tetap menjadi saksi bisu dari akhir damai Lysara Teyrin, di mana aroma kopi berakhir dalam pelepasan yang tak pernah sirna.
Satu Kursi Kosong di Kedai Kopi Lama: Romansa Paling Menyentuh menyajikan perjalanan cinta dan pengorbanan yang terjalin di balik aroma kopi, diuji oleh penantian panjang dan akhirnya menemukan damai yang menyentuh jiwa. Dengan alur penuh emosi dan pesan mendalam tentang harapan, cerpen ini mengajak Anda untuk merenungkan kekuatan cinta yang abadi. Segera baca kisah Lysara dan rasakan keajaiban serta kesedihan yang mendalam!
Terima kasih telah menyelami ulasan Satu Kursi Kosong di Kedai Kopi Lama: Romansa Paling Menyentuh. Semoga cerita ini membawa Anda pada petualangan emosional yang berkesan dan inspirasi yang tak terlupakan. Kami menantikan kehadiran Anda kembali untuk kisah literatur berikutnya—jangan lupa bagikan pengalaman Anda dengan kami!


