Janji di Bawah Cahaya Bulan Purnama: Romansa Paling Menyentuh dan Memikat

Posted on

Temukan kisah cinta yang penuh makna dalam Janji di Bawah Cahaya Bulan Purnama: Romansa Paling Menyentuh dan Memikat, sebuah cerpen epik yang mengisahkan perjalanan Zariel Tharwyn di desa nelayan Pantai Selatan Jawa pada tahun 2023. Dengan narasi mendalam tentang cinta terpendam bersama Korath Sylvar dan misteri yang terungkap bersama Tavrin Elwyn, cerita ini menghadirkan sentuhan romansa modern yang penuh emosi dan kesedihan. Cocok untuk pecinta kisah cinta dan petualangan laut—jangan lewatkan kisah ini yang akan membawa Anda pada perjalanan emosional tak terlupakan!

Janji di Bawah Cahaya Bulan Purnama

Bayang di Tepi Ombak

Di sebuah desa nelayan kecil di pesisir Pantai Selatan Jawa pada tahun 2023, malam terasa hangat, dipenuhi aroma garam laut dan angin yang membawa suara ombak yang bergemuruh pelan. Pantai berpasir hitam yang luas membentang di bawah cahaya bulan purnama yang membanjiri langit dengan kilauan perak, sementara rumah-rumah bambu dengan atap daun kelapa berdiri rapat di tepi desa. Di ujung dermaga kayu yang usang, seorang wanita bernama Zariel Tharwyn, berusia dua puluh lima tahun, berdiri sendirian, tangannya memegang kalung sederhana yang terbuat dari kerang laut dan sebuah buku catatan yang sudah lusuh. Rambut hitam panjangnya yang tergerai oleh angin laut terbang, dan matanya yang cokelat tua menyimpan cerita tentang kehilangan dan cinta yang terpendam, terutama terhadap seorang pelaut yang pernah menyertainya—Korath Sylvar.

Zariel tinggal di sebuah gubuk bambu di dekat pantai, dengan jendela kayu yang menghadap ke lautan luas, dindingnya dipenuhi sketsa ombak yang ia gambar bertahun-tahun lalu. Setiap malam, ia keluar menuju dermaga, berdiri di ujung kayu yang retak, mencoba melupakan kenangan yang terus menghantuinya. Suara ombak yang bergulung dan desir angin menjadi latar hidupnya, tapi suara itu kini terasa seperti pengingat akan janji terakhir yang ia dengar dari Korath, sebuah janji yang mengubah segalanya. Zariel memulai rutinitas ini pada awal musim hujan 2023, mencari jejak Korath yang hilang di laut, tapi pantai ini kini menjadi saksi dari hati yang penuh luka dan harapan yang memudar.

Hari-hari Zariel di dermaga biasanya dimulai dengan cahaya bulan yang menyelinap melalui awan tipis, diikuti oleh rutinitasnya menulis di buku catatan dan menatap cakrawala, mencoba menemukan siluet perahu Korath yang pernah ia lihat di sini, dengan rambut cokelat panjang dan tatapan penuh semangat. Mereka pertama kali bertemu di musim kemarau 2021, saat Korath, seorang pelaut berpengalaman, membantu Zariel menyelamatkan jaring nelayan yang tersangkut karang. Mereka menghabiskan malam-malam bersama, berjalan di tepi pantai, menulis janji di buku catatan, dan menikmati suara ombak. Tapi segalanya berubah di akhir tahun itu, ketika Korath menghilang setelah pelayaran terakhirnya, meninggalkan Zariel dengan kalung kerang dan janji yang tak pernah ditepati.

Zariel sering mengingat hari-hari awal mereka, sebuah malam di bulan Agustus ketika bulan purnama terang dan aroma garam laut tercium kuat. Mereka duduk di dermaga, menulis janji di buku catatan, dan Korath menawarkan senyum yang membuat hati Zariel bergetar. Bulan-bulan berlalu, dan menjelang akhir musim hujan, jarak emosional antara mereka mulai terasa—Korath semakin terpikat oleh lautan, sementara Zariel larut dalam perasaannya yang semakin dalam. Suatu malam, setelah mereka berbagi ikan bakar di pantai, Zariel menemukan kalung kerang di gubuknya dengan catatan dari Korath: “Aku akan kembali di bawah bulan purnama untuk menepati janji kita.” Sejak saat itu, Zariel merasa seperti kehilangan kendali atas hatinya, sebuah kekosongan yang diisi oleh rasa sedih karena menanti seseorang yang tak pernah muncul.

Suatu malam di bulan Mei, ketika ombak membawa udara sejuk dan aroma garam terasa kuat, Zariel berdiri di dermaga, menatap cakrawala yang berkilau. Angin membawa busa laut ke kayu, dan tiba-tiba seorang pria dengan jubah biru tua muncul dari balik gubuk. Rambut hitamnya yang pendek tergerai oleh angin, dan matanya yang hijau menatapnya dengan rasa ingin tahu yang aneh. Ia memperkenalkan diri sebagai Tavrin Elwyn, seorang pengrajin perahu yang baru datang ke desa dan tampak tertarik pada kalung Zariel. Wajahnya penuh tanda-tanda dari apa yang ia sebut “pelayaran panjang,” tapi ada kekuatan dalam caranya berdiri yang membuat Zariel tak bisa menolak mengamatinya dari kejauhan.

Tavrin duduk di samping Zariel, tangannya yang terampil memegang tali tambang dengan penuh perhatian. Matanya sesekali melirik buku catatan Zariel, seolah mengenali sesuatu di balik tulisan-tulisannya. “Laut ini menyimpan banyak cerita,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh ombak. Zariel mengangguk, hati bergetar oleh kata-kata yang terasa terlalu dekat dengan kenangannya. Tavrin memutuskan untuk tinggal di gubuk sebelah, dengan alasan ingin memperbaiki perahu, dan meski Zariel ragu, ia merasa ada kepercayaan dalam kehadiran pria itu, sebuah perubahan dari kesendirian yang selama ini ia pendam.

Hari-hari berikutnya membawa ritme baru ke kehidupan Zariel. Tavrin sering terlihat bekerja di dermaga, duduk bersamanya di ujung kayu, dan bahkan memuji sketsa yang ia gambar dengan tangan gemetar. Ia tak banyak bertanya tentang masa lalunya, tapi gerakannya yang tegas, seperti saat ia mengikat tali atau menatap cakrawala, seolah membawa harapan ke dalam perasaannya. Zariel mulai merasa tertarik oleh kehadiran Tavrin, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.

Namun, di balik ketenangan yang muncul, ada bayangan yang semakin gelap. Setiap kali bulan purnama muncul, Zariel merasa ada tatapan samar di balik ombak—siluet yang terlihat seperti Korath, atau desir angin yang mirip dengan tawa kekasihnya. Ia sering terbangun di malam hari di dalam gubuk, berkeringat dingin, membayangkan Korath berdiri di dermaga, wajahnya penuh kelembutan. Dan Tavrin, dengan instinknya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Zariel menatap kalung, cara ia menggambar dengan tangan gemetar, dan cara ia selalu terdiam ketika bulan terang.

Pada suatu malam yang hangat, ketika ombak membawa udara sejuk dan aroma garam, Zariel mendengar derit perahu di dermaga. Ia menoleh, berpikir itu hanya angin, tapi yang berdiri di sana adalah seorang nelayan dengan mantel hijau dan tas kain. Di tangannya, ia memegang sebuah gulungan kertas yang tampak tua, permukaannya penuh lipatan. Nelayan meletakkan gulungan itu di samping Zariel dan berbicara dengan suara pelan, “Ini untuk Zariel, dari seseorang di laut.” Sebelum Zariel bisa bertanya lebih lanjut, nelayan itu berbalik dan menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan Zariel dengan detak jantung yang kencang dan rasa takut yang tak bisa dijelaskan.

Zariel berdiri di dermaga, memegang gulungan itu yang terasa dingin di tangannya. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah cakrawala yang berkilau di luar, dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia merasa sedih—bukan hanya karena cintanya yang tak terbalas, tapi karena kenyataan bahwa harapannya mungkin akan hancur sepenuhnya.

Gelombang di Bawah Cahaya

Langit Pantai Selatan di malam hari pada pertengahan musim hujan 2023 tampak dipenuhi cahaya bulan purnama yang memantul di atas ombak, membalut dermaga kayu dan gubuk bambu dengan kilauan perak yang mencerminkan tetesan air hujan yang masih menempel. Zariel Tharwyn duduk di dalam gubuk, gulungan kertas yang diberikan nelayan misterius itu terbuka di depannya, isi di dalamnya tersebar di atas tikar bambu. Udara di luar terasa lembap, bercampur dengan aroma garam laut yang menempel di setiap sudut desa. Di kejauhan, suara ombak yang bergulung terdengar samar, membawa ritme yang terasa seperti ketegangan dari masa lalu. Bayangan di balik jendela kayu berkedip lemah, menciptakan ilusi yang menari di dinding, seolah menggambarkan emosi yang terus menghantuinya.

Gulungan itu berisi surat tulis tangan yang membuat jantung Zariel berdegup kencang—pesan dari Korath, beberapa sketsa ombak yang ia kenali, dan sebuah peta kecil yang ditandai dengan simbol aneh. Kertas itu terasa rapuh karena basah, dan aroma tinta yang memudar memenuhi udara, membawa kembali ingatan tentang Korath yang sering menggambar di dermaga. Zariel menatap isi gulungan itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh peta kecil yang tampak seperti menyimpan rahasia terakhir kekasihnya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke malam-malam ketika mereka mendirikan tenda di pantai, ketika senyum Korath masih terasa hangat di hatinya.

Malam itu, ketika hujan memenuhi desa dengan kilauan basah dan angin mereda menjadi alunan lembut, Tavrin Elwyn kembali dari perjalanan ke laut. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi tali tambang dan sebuah kotak kayu kecil yang ia temukan di tepi karang. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya yang hijau bersinar dengan rasa ingin tahu yang aneh. “Aku menemukan sesuatu di laut,” katanya pelan, meletakkan kotak itu di tikar di samping gulungan milik Korath. Kotak kayu itu terasa dingin saat disentuh, dan di dalamnya terdapat sebuah surat yang ditulis dengan tangan rapi, bersama dengan foto polaroid yang sudah menguning di tepinya.

Zariel merasa napasnya terhenti sejenak. Surat itu ditulis oleh Korath, tinta hitamnya masih samar terbaca meski kertasnya kusut. Ia mengambil surat itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan kata-kata yang membuat dunianya bergetar. “Zariel, aku tahu kau menantiku,” tulisnya. Surat itu menceritakan tentang pilihannya, tentang bagaimana Korath merasa terpanggil oleh lautan, dan tentang keputusannya untuk menghilang demi menjaga janjinya. Foto menunjukkan Korath berdiri di dek perahu, rambut cokelatnya berkibar oleh angin, dengan tatapan serius yang penuh misteri.

Zariel merasa dadanya sesak. Ia ingat Korath, yang selalu penuh semangat di dermaga, dan malam-malam ketika ia menantikan kehadiran kekasihnya dengan harapan yang perlahan sirna. Surat itu mengungkap bahwa Korath tahu tentang perasaannya, tapi ia memilih untuk pergi, tak ingin menyakitinya dengan kebenaran tentang apa yang ia temukan di laut. Zariel menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah awal dari sebuah petualangan yang tak bisa dilupakannya.

Tavrin memperhatikan reaksi Zariel, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di sudut gubuk, membolak-balik peta dengan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Zariel untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Tavrin, meski diam, terasa seperti tekanan lembut yang mendorong Zariel untuk menghadapi kenyataan. Ia menatap peta kecil Korath di tangannya, lalu ke foto di kotak kayu. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Zariel mulai merasa bahwa kehadiran Tavrin bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap surat Korath, yang membuat Zariel curiga bahwa pria ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu malam, ketika mereka duduk di dermaga sambil mendengarkan ombak, Tavrin tiba-tiba berkata, “Ada lebih dari sekadar laut ini, Zariel.” Zariel menatapnya tajam, merasa seperti ditantang. Ia ingin marah, ingin mengusir Tavrin dari dermaga, tapi ada sesuatu dalam nada suara Tavrin yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kadang lebih baik tak mencari tahu,” jawabnya dingin, lalu berbalik dan berbaring di gubuk, meninggalkan Tavrin sendirian dengan pikirannya.

Malam itu, Zariel akhirnya memberanikan diri untuk mempelajari peta kecil Korath. Di dalamnya, ia menemukan simbol-simbol aneh yang mengarah ke sebuah gua di tepi karang, bersama dengan catatan yang ditulis dengan tinta yang sudah luntur: “Di balik ombak ini aku pergi, meninggalkan janji untukmu. Maafkan ketidakpastianku, Zariel.” Zariel merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan pantai dan semua petualangan yang tersimpan di lautan ini, tapi ia tahu ia tak bisa. Pantai itu, cintanya yang memicu harapan, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.

Pagi berikutnya, Tavrin menemukan Zariel duduk di dermaga, dikelilingi oleh surat, peta kecil, dan foto dari kotak kayu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan sebotol air tawar. Tapi di matanya, Zariel melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Tavrin tahu lebih banyak tentang Korath daripada yang ia katakan. “Kau pernah kehilangan seseorang di lautan?” tanya Zariel tiba-tiba, suaranya serak karena memikirkan malam sebelumnya. Tavrin menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa beratnya itu.”

Hari itu, Zariel mulai mengikuti peta menuju gua yang ditandai, berjalan bersama Tavrin melalui tepi karang yang penuh dengan bebatuan licin dan rumput laut. Setiap langkah terasa seperti menggali luka lama, setiap suara ombak seperti pengingat akan Korath. Mereka menemukan sebuah celah sempit di dinding karang, di dalamnya terdapat jejak-jejak kaki yang sudah lama hilang dan sebuah kotak kayu yang tersembunyi di balik lumut. Di dalam kotak itu, Zariel menemukan surat lain dari Korath, bersama dengan sebuah batu kecil yang bersinar redup.

Surat itu berbunyi: “Zariel, aku menemukan sesuatu di sini—sesuatu yang tak boleh aku bawa ke darat. Aku pergi untuk melindungimu, tapi hati ini tetap di laut. Maafkan aku.” Zariel merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia menatap Tavrin, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita harus tahu apa yang ada di sini,” katanya pelan, dan di matanya, Zariel melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Pantai kecil itu, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti pintu menuju sebuah rahasia yang mungkin akan menghancurkannya.

Rahasia di Balik Karang

Langit Pantai Selatan di malam hari pada akhir musim hujan 2023 tampak dipenuhi cahaya bulan purnama yang memantul di atas ombak, membalut dermaga kayu dan gubuk bambu dengan kilauan perak yang mencerminkan tetesan air hujan yang masih menempel. Zariel Tharwyn duduk di dalam celah karang yang sempit, surat dari Korath yang usang terbuka di pangkuannya, sementara kotak kayu yang ditemukan di dalam gua tergeletak di sampingnya. Udara di luar terasa lembap, bercampur dengan aroma garam laut dan rumput laut yang basah. Di kejauhan, suara ombak yang bergulung terdengar samar, membawa ritme yang terasa seperti ketegangan dari masa lalu yang tak pernah ia lepaskan. Bayangan di balik dinding karang berkedip lemah, seolah menari dengan emosi yang terus menggerogoti hatinya.

Surat itu berisi tulisan tangan yang membuat jantung Zariel berdegup kencang—cerita tentang penemuan Korath, sketsa gua yang ia kenali, dan sebuah petunjuk tentang batu kecil yang bersinar redup di tangannya. Kertas itu terasa rapuh karena basah, dan aroma tinta yang memudar membawa kembali ingatan tentang hari-hari bersama Korath di tepi pantai. Zariel menatap isi surat itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh batu kecil yang tampak seperti menyimpan rahasia terdalam kekasihnya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke malam-malam ketika mereka mendirikan tenda di pantai, ketika tatapan Korath masih terasa seperti harapan di hatinya.

Malam itu, ketika hujan mulai reda dan ombak memenuhi pantai dengan kilauan basah, Tavrin Elwyn kembali dari eksplorasi lebih dalam ke dalam gua. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi tali tambang dan sebuah gulungan kain tua yang ia temukan di balik bebatuan dalam. Wajahnya tampak letih, tapi matanya yang hijau bersinar dengan rasa ingin tahu yang dalam. “Aku menemukan sesuatu di dalam gua,” katanya pelan, meletakkan gulungan itu di tikar di samping kotak milik Korath. Gulungan kain itu terasa berat saat disentuh, dan di dalamnya terdapat sebuah jurnal yang ditulis dengan tangan gemetar, bersama dengan peta yang sudah menguning di tepinya.

Zariel merasa napasnya terhenti sejenak. Jurnal itu ditulis oleh Korath, tinta hitamnya hampir tak terbaca karena air yang merembes, tapi kata-katanya masih jelas. Ia mengambil jurnal itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan catatan yang membuat dunianya bergetar. “Zariel, aku menemukan cahaya ini di gua,” tulisnya. Jurnal itu menceritakan tentang penemuan Korath, tentang bagaimana ia menemukan batu yang bersinar dan rahasia di balik karang, dan tentang keputusannya untuk menghilang demi menjaga janjinya. Peta menunjukkan jalur menuju ruangan tersembunyi di dalam gua, ditandai dengan simbol yang sama seperti di batu kecil.

Zariel merasa dadanya sesak. Ia ingat Korath, yang selalu penuh semangat di dermaga, dan malam-malam ketika ia menantikan kehadiran kekasihnya dengan harapan yang perlahan memudar. Jurnal itu mengungkap bahwa Korath pergi karena ia menemukan sesuatu yang berbahaya—cahaya yang dapat mengubah segalanya—dan ia memilih menjauh untuk menjaga Zariel tetap aman. Zariel menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah awal dari sebuah petualangan yang tak bisa ia hindari.

Tavrin memperhatikan reaksi Zariel, tapi ia tetap diam, membolak-balik peta dengan gerakan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Zariel untuk menghadapi pikirannya. Namun, kehadiran Tavrin, meski tenang, terasa seperti dorongan lembut yang memaksa Zariel untuk menggali lebih dalam. Ia menatap halaman terakhir jurnal itu, lalu ke peta di gulungan kain. Ada hubungan antara keduanya, ia yakin itu, tapi ia belum siap untuk mengungkapnya.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Zariel mulai merasa bahwa Tavrin memiliki peran lebih dari sekadar pengrajin. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap jurnal Korath, yang membuat Zariel curiga bahwa pria ini tahu tentang rahasia di gua. Pada suatu malam, ketika mereka duduk di dermaga sambil mendengarkan ombak, Tavrin tiba-tiba berkata, “Ada lebih dari sekadar cahaya ini, Zariel.” Zariel menatapnya tajam, merasa seperti dihadapkan pada kebenaran. Ia ingin menolak, ingin meninggalkan Tavrin di dermaga, tapi ada kekuatan dalam matanya yang membuatnya terdiam. “Kadang kebenaran itu berbahaya,” jawabnya pelan, lalu berbalik dan berbaring, meninggalkan Tavrin sendirian dengan pikirannya.

Malam itu, Zariel memberanikan diri untuk mempelajari peta yang ada di gulungan kain. Di dalamnya, ia menemukan jalur menuju ruangan tersembunyi, ditandai dengan simbol-simbol aneh dan catatan yang ditulis dengan tinta yang sudah luntur: “Di balik cahaya ini aku pergi, meninggakan hati untukmu. Maafkan aku.” Zariel merasa dadanya tercekat, seolah ada bayangan tak terlihat yang menariknya ke dalam misteri itu. Ia ingin lari, ingin meninggalkan Pantai Selatan dan semua petualangan yang tersimpan di karang ini, tapi ia tahu ia tak bisa. Pantai itu, cintanya yang memicu harapan, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.

Pagi berikutnya, Tavrin menemukan Zariel duduk di dermaga, dikelilingi oleh jurnal, peta, dan batu kecil dari kotak kayu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan sepotong ikan bakar. Tapi di matanya, Zariel melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Tavrin tahu lebih banyak tentang Korath daripada yang ia katakan. “Kau pernah menemukan sesuatu yang mengubah hidupmu?” tanya Zariel tiba-tanya, suaranya serak karena memikirkan malam sebelumnya. Tavrin menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa beratnya itu.”

Hari itu, Zariel mulai mengikuti peta menuju ruangan tersembunyi, berjalan bersama Tavrin melalui celah karang yang penuh dengan bebatuan licin dan genangan air. Setiap langkah terasa seperti menggali luka lama, setiap suara ombak seperti pengingat akan Korath. Mereka menemukan sebuah ruangan kecil yang diterangi oleh cahaya redup dari dinding, di dalamnya terdapat jejak-jejak kaki yang sudah lama hilang dan sebuah altar sederhana yang terbuat dari karang. Di atas altar, Zariel menemukan surat lain dari Korath, bersama dengan sebuah kristal besar yang bersinar lembut.

Surat itu berbunyi: “Zariel, aku menemukan cahaya ini—cahaya yang bisa menghidupkan atau menghancurkan. Aku pergi untuk melindungimu, tapi hati ini tetap di karang. Maafkan aku.” Zariel merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia menatap Tavrin, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita harus memutuskan apa yang harus dilakukan,” katanya pelan, dan di matanya, Zariel melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Pantai Selatan, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti pintu menuju sebuah keputusan yang mungkin akan menghancurkannya.

Pagi berikutnya, Zariel dan Tavrin kembali ke ruangan tersembunyi, membawa jurnal, kristal, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di dalam ruangan, mereka menemukan dinding yang ditulis dengan tangan gemetar, penuh dengan simbol-simbol aneh dan kalimat yang tak bisa dibaca sepenuhnya. Zariel merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa ini adalah pusat dari misteri yang ditinggalkan Korath, dan ia harus menghadapinya, apa pun risikonya.

Purnama di Bawah Janji

Langit Pantai Selatan di malam hari pada akhir musim hujan 2023 tampak dipenuhi cahaya bulan purnama yang memantul di atas ombak, membalut dermaga kayu dan gubuk bambu dengan kilauan perak yang mencerminkan tetesan air hujan yang mulai kering. Zariel dan Tavrin berdiri di depan ruangan tersembunyi, memegang jurnal Korath dan kristal besar. Cahaya bulan dari luar menyelinap melalui celah-celah karang, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding ruangan, seolah jiwa-jiwa dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara ombak yang bergulung melalui pantai terdengar samar, membawa ketenangan yang tak terucap. Zariel merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di Pantai Selatan, apa pun yang telah membangkitkan cintanya selama dua tahun.

Ketika mereka menatap dinding ruangan, mereka melihat simbol-simbol yang mulai bersinar terang, diiringi oleh suara gemuruh dari dalam karang. Zariel merasa jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke Tavrin, yang wajahnya tiba-tiba tenang. “Ini adalah jawabannya,” katanya pelan, menunjuk ke arah kristal. Zariel mengangguk, meski ia tak sepenuhnya memahami. Mereka mulai menempatkan kristal di atas altar, dan cahaya itu menyebar, menciptakan lingkaran terang di sekitar ruangan.

Tavrin menjelaskan bahwa ia datang ke Pantai Selatan bukan hanya sebagai pengrajin, tapi untuk mencari jejak Korath, yang konon menghilang karena penemuannya di karang. Ia menemukan petunjuk tentang gua ini, dan ketika ia bertemu Zariel, ia tahu bahwa wanita itu adalah kunci untuk mengungkap rahasia itu. Zariel merasa dunia di sekitarnya berputar. Korath, kekasih yang ia cintai, yang konon pergi karena alasan tak jelas, kini terhubung dengan cahaya yang lebih besar.

Malam itu, Zariel dan Tavrin kembali ke dermaga, membawa jurnal dan tekad untuk mengakhiri misteri. Cahaya bulan memandu mereka, dan dengan bantuan tali yang mereka temukan di ruangan, mereka mencapai ujung karang tertinggi. Di sana, mereka menemukan sebuah altar besar yang diterangi oleh cahaya dari kristal, di mana bayangan Korath muncul untuk sesaat—senyumnya yang hangat, tatapannya yang penuh cinta. Kemudian bayangan itu hilang, dan pantai kembali tenang, seolah misteri itu telah selesai.

Tapi ada harga yang harus dibayar. Zariel merasa cintanya memudar, digantikan oleh kelegaan yang hangat. Ia masih ingat bahwa ia pernah mencintai Korath, tapi wajahnya, suaranya, semua detail itu hilang, seolah tenggelam bersama cahaya. Ia jatuh berlutut di dermaga, menangis tanpa suara, sementara Tavrin memegang tangannya. “Kau melakukannya, Zariel,” katanya pelan. “Ia bebas sekarang.” Tapi Zariel tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu mahal. Ia telah kehilangan cinta yang menjadi alasan hidupnya, dan di dalam hatinya, ia merasa penuh dengan kekosongan.

Hari-hari berikutnya di Pantai Selatan terasa seperti mimpi yang perlahan memudar. Ombak tetap menyelimuti karang, tapi langkah Korath tak lagi terdengar. Zariel duduk di dermaga, menatap buku catatan yang kini kosong, tanpa sketsa yang menyertainya. Pada suatu malam, ketika bulan purnama terlihat jelas, Zariel berjalan menuju karang, membawa surat terakhir Korath. Ia berdiri di altar, menatap pantulan cahaya, dan merasa bahwa hidupnya telah dimulai kembali bersama cinta yang hilang. Dengan langkah perlahan, ia meletakkan surat di atas altar dan berjalan menjauh, membiarkan pantai menyelimuti dirinya sepenuhnya. Pantai Selatan itu kembali tenggelam dalam keheningan, menyimpan bayang emosi dalam kelegaan yang abadi.

Desa nelayan itu berdiri diam di kejauhan, ombak musim hujan berkilau redup, dan dermaga kayu di pantai tetap menjadi saksi bisu dari akhir damai Zariel Tharwyn, di mana janji di bawah cahaya bulan purnama berakhir dalam pelepasan yang tak pernah sirna.

Janji di Bawah Cahaya Bulan Purnama: Romansa Paling Menyentuh dan Memikat menyajikan kisah cinta dan pengorbanan yang terjalin di tepi pantai misterius, diuji oleh janji yang tak terpenuhi dan akhirnya menemukan pelepasan yang mendalam. Dengan alur penuh emosi dan pesan inspiratif tentang cinta dan keberanian, cerpen ini mengajak Anda untuk merenungkan makna hubungan sejati. Segera baca kisah Zariel dan rasakan kehangatan serta kelegaan yang tak terlupakan!

Terima kasih telah menyelami ulasan Janji di Bawah Cahaya Bulan Purnama: Romansa Paling Menyentuh dan Memikat. Semoga cerita ini membawa Anda pada petualangan emosional yang berkesan dan inspirasi yang mendalam. Kami menantikan kehadiran Anda kembali untuk kisah literatur berikutnya—jangan lupa bagikan pengalaman Anda dengan kami!

Leave a Reply