Daftar Isi
Temukan kehangatan dan kepekaan emosional dalam Sahabat Sejati Tak Terlupakan: Kisah Persahabatan Paling Menyentuh Hati, sebuah cerpen epik yang membawa Anda ke dalam perjalanan Lysara Veyne di kota kecil Eryndor pada tahun 2024. Cerita ini menggambarkan ikatan persahabatan abadi dengan Tavrin Solis, diwarnai rindu dan kehilangan, serta misteri yang terungkap bersama Corven Arel. Cocok untuk pecinta novel romantis modern yang ingin merasakan sentuhan emosi mendalam—jangan lewatkan kisah inspiratif ini!
Sahabat Sejati Tak Terlupakan
Cahaya di Ujung Jembatan
Di sebuah kota kecil bernama Eryndor pada tahun 2024, di mana sungai yang mengalir tenang memisahkan dua sisi perumahan modern yang dipenuhi rumah-rumah dengan atap hijau dan jendela besar, udara selalu dipenuhi aroma bunga liar dari taman kota dan suara burung yang berkicau di pagi hari. Eryndor terkenal dengan jembatan kaca canggihnya yang melintang di atas sungai, sebuah struktur futuristik yang menyala lembut di malam hari dengan lampu LED yang berubah warna sesuai musim, menarik pengunjung dari berbagai penjuru. Di antara keindahan itu, ada seorang gadis bernama Lysara Veyne, berusia sembilan belas tahun, dengan rambut hitam panjang yang sering ia kuncir rendah, dan mata cokelat tua yang menyimpan kenangan tentang sahabat sejatinya yang tak terlupakan, Tavrin Solis. Ia pindah ke Eryndor bersama keluarganya setelah kehilangan ibunya akibat kecelakaan, membawa tas ransel penuh buku catatan dan foto-foto lama yang ia simpan sebagai pengingat akan masa lalu yang indah namun menyakitkan.
Lysara tinggal di sebuah rumah kecil dengan dinding kayu dan taman kecil di samping, sebuah hunian yang dipenuhi benda-benda yang mencerminkan jiwanya—rak penuh buku catatan berisi puisi dan sketsa, meja kayu tua yang dipenuhi tinta tumpah, dan sebuah kotak musik antik yang memutar melodi lembut dari masa kecilnya. Suara air sungai yang mengalir dan langkah kaki orang-orang yang menyeberang jembatan kaca sering menjadi latar hidupnya, tapi suara itu kini terasa seperti pengingat akan kehilangan yang ia pendam, sejak ia menyadari bahwa persahabatan dengan Tavrin telah menjadi bagian dari dirinya yang tak bisa ia lupakan. Lysara pindah ke Eryndor pada awal musim semi 2024, mencari kedamaian baru di tengah duka, tapi kota ini kini menjadi saksi dari kenangan yang terus menghantuinya.
Hari-hari Lysara di SMA Eryndor biasanya dimulai dengan sinar matahari yang menyelinap melalui jendela besar, diikuti oleh langkah kakinya yang pelan menuju kelas bersama Tavrin. Mereka sering duduk di tepi jembatan kaca, menatap air sungai yang berkilauan, berbagi cerita tentang impian mereka, dan menulis puisi bersama di buku catatan. Tapi seiring waktu, terutama menjelang musim gugur, ruang di sampingnya mulai terasa kosong dengan kehilangan yang tak terucapkan, meninggalkan jejak kenangan yang membuat Lysara merasa seperti terjebak dalam bayang-bayang. Ia menghabiskan waktu istirahat di taman kota, menatap bunga liar yang bergoyang, tangannya memegang pena yang kini jarang disentuh. Di malam hari, ia duduk di ambang jendela, menatap jembatan kaca yang menyala, hati dipenuhi rindu terhadap Tavrin yang kini hanya ada dalam ingatannya.
Persahabatan mereka dimulai di kelas sastra pada semester pertama, di tepi jembatan kaca saat mereka secara tidak sengaja bertemu sambil menulis puisi untuk tugas sekolah. Tavrin, dengan rambut cokelat keriting yang selalu berantakan dan senyum hangat yang penuh semangat, langsung mengulurkan tangan untuk membantu Lysara mengambil buku catatan yang terjatuh. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan, berbagi puisi di jembatan, membaca buku bersama di taman, dan bermimpi menjadi penulis terkenal. Tavrin selalu menjadi yang lebih ceria, sementara Lysara menemukan kenyamanan dalam kehadiran temannya. Mereka tumbuh bersama, melewati ujian sastra, hujan musiman di Eryndor, dan harapan untuk mengejar impian mereka. Tapi segalanya mulai berubah di pertengahan tahun ajaran, ketika Tavrin mulai menunjukkan tanda-tanda lemah, sebuah rahasia yang ia sembunyikan hingga akhirnya terungkap.
Lysara sering mengingat hari-hari awal mereka, sebuah sore di bulan April ketika jembatan kaca mulai menyala dengan warna lembut dan kota dipenuhi aroma bunga liar. Mereka duduk di tepi jembatan, mendengarkan suara air yang mengalir, dan berbagi cerita tentang masa depan. Tavrin tampak sedikit pucat hari itu, tapi Lysara menganggap itu hanya kelelahan. Bulan-bulan berlalu, dan menjelang akhir tahun ajaran, jarak antara mereka mulai terasa—Tavrin sering absen dari sekolah, sementara Lysara larut dalam dunia puisinya yang penuh rindu. Malam itu, setelah pameran sastra, Lysara menemukan sebuah puisi dari Tavrin di buku catatannya: sebuah karya tentang jembatan dan air, dengan tulisan pendek, “Aku akan selalu di sini.” Sejak saat itu, Lysara merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya, sebuah kekosongan yang diisi oleh rasa kehilangan.
Suatu malam di bulan September, ketika jembatan kaca menyinari sungai dengan kilauan lembut dan angin membawa udara sejuk, Lysara duduk sendirian di tepi jembatan, menatap air yang berkilauan di bawah. Angin membawa aroma bunga dari taman, dan tiba-tiba seorang pemuda dengan jaket abu-abu muncul di dekatnya. Rambutnya yang pirang pendek tergerai oleh angin, dan matanya yang hijau tua menatapnya dengan rasa ingin tahu yang aneh. Ia memperkenalkan diri sebagai Corven Arel, seorang mahasiswa yang baru datang ke Eryndor dan tampak terpesona oleh jembatan kaca. Wajahnya penuh tanda-tanda kecil dari apa yang ia sebut “malam tanpa tidur,” tapi ada ketenangan dalam caranya berdiri yang membuat Lysara tak bisa menolak mengundangnya duduk bersamanya.
Corven duduk di kaca jembatan, tangannya yang halus memegang sebuah buku tipis yang tampak baru. Matanya sesekali melirik puisi Lysara, seolah mengenali sesuatu. “Kota ini penuh kenangan yang membekas,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara air. Lysara mengangguk, hati bergetar oleh kata-kata yang terasa terlalu dekat dengan perasaannya. Corven memutuskan untuk tinggal sebentar di Eryndor, dengan alasan ingin mengenal sungai, dan meski Lysara ragu, ia merasa ada kehangatan dalam kehadiran pemuda itu, sebuah perubahan dari kesepian yang selama ini menyelimutinya.
Hari-hari berikutnya membawa ritme baru ke kehidupan Lysara. Corven membantu mengatur buku di rak, duduk bersamanya di kelas sastra, dan bahkan memperbaiki kotak musik dengan tangan terampilnya. Ia tak banyak bertanya tentang Tavrin, tapi gerakannya yang lembut, seperti saat ia menulis puisi atau menatap jembatan, seolah membawa sedikit kekuatan ke dalam rindunya. Lysara mulai merasa terhubung oleh kehadiran Corven, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.
Namun, di balik kehangatan yang muncul, ada bayangan yang semakin gelap. Setiap kali air sungai membesar, Lysara merasa ada suara samar di jembatan—langkah kaki yang terdengar seperti Tavrin, atau desir angin yang mirip dengan tawa temannya. Ia sering terbangun di malam hari, berkeringat dingin, membayangkan Tavrin berdiri di sudut jendelanya, wajahnya penuh kelembutan. Dan Corven, dengan instinknya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Lysara menatap puisinya, cara ia menulis dengan tangan gemetar, dan cara ia selalu terdiam ketika jembatan menyala.
Pada suatu malam yang sejuk, ketika jembatan kaca menyala dengan warna lembut dan angin membawa aroma bunga, Lysara mendengar ketukan pelan di pintu rumahnya. Ia membukanya, berpikir itu hanya angin, tapi yang berdiri di luar adalah seorang pemuda dengan jaket basah dan rambut pirang kusut. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak kayu kecil yang tampak tua, permukaannya penuh goresan. Pemuda itu meletakkan kotak itu di ambang pintu dan berbicara dengan suara pelan, “Ini milik Tavrin. Aku menemukannya di tepi sungai.” Sebelum Lysara bisa bertanya lebih lanjut, pemuda itu berbalik dan menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan Lysara dengan detak jantung yang kencang dan rasa rindu yang tak bisa dijelaskan.
Lysara berdiri di pintu, memegang kotak itu yang terasa dingin di tangannya. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah sungai yang cerah di luar, dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia merasa rindu—bukan hanya karena Tavrin pergi, tapi karena kenyataan bahwa kenangan itu mungkin akan menghancurkannya sepenuhnya.
Bayang di Balik Sungai
Cahaya LED dari jembatan kaca menyelinap perlahan di Eryndor, membalut sungai dan tepi perumahan dengan kilauan hijau dan biru yang mencerminkan musim gugur. Lysara Veyne duduk di lantai rumahnya, kotak kayu kecil yang diberikan pemuda misterius itu terbuka di depannya, isi di dalamnya tersebar di karpet anyaman. Udara di luar terasa dingin, bercampur dengan aroma bunga liar yang menempel di setiap sudut. Di kejauhan, suara air sungai yang mengalir terdengar samar, membawa ritme yang terasa seperti rindu dari masa lalu. Lampu di ambang jendela berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding, seolah menggambarkan kenangan yang terus menghantuinya.
Kotak itu berisi benda-benda yang membuat jantung Lysara berdegup kencang—sebuah puisi lipat yang ditulis rapi, beberapa catatan yang ditulis tangan oleh Tavrin, dan sebuah buku catatan kecil yang penuh sketsa jembatan. Kertas-kertas itu terasa rapuh karena usia, dan aroma tinta yang memudar memenuhi udara, membawa kembali ingatan tentang Tavrin yang sering menulis di tepi sungai. Lysara menatap isi kotak itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh buku catatan kecil yang tampak seperti menyimpan rahasia terakhir temannya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka duduk bersama di jembatan, ketika tawa Tavrin masih terdengar jelas di telinganya.
Malam itu, ketika jembatan kaca memenuhi sungai dengan kilauan berputar dan air mereda menjadi alunan lembut, Corven Arel kembali dari perjalanan singkatnya ke tepi sungai. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi pena tua dan sebuah kotak kardus kecil yang ia temukan di antara batu-batu sungai. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya yang hijau tua bersinar dengan rasa ingin tahu yang aneh. “Aku menemukan sesuatu yang mungkin membantumu,” katanya, meletakkan kotak itu di meja kayu di samping kotak milik Tavrin. Kotak itu terbuat dari kardus dengan stiker sungai, dan di dalamnya terdapat sebuah surat yang ditulis dengan tangan rapi, bersama dengan sketsa yang sudah menguning di tepinya.
Lysara merasa napasnya terhenti sejenak. Surat itu ditulis oleh Tavrin, tinta hitamnya masih samar terbaca meski kertasnya basah. Ia mengambil surat itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan kata-kata yang membuat dunianya bergetar. “Lysara, aku tahu kau rindu padaku,” tulisnya. Surat itu menceritakan tentang pilihannya, tentang bagaimana Tavrin merasa terbagi antara persahabatan dan penyakitnya yang disembunyikan, dan tentang keputusannya untuk menjauh demi menjaga Lysara dari rasa sakit. Sketsa menunjukkan Tavrin berdiri di jembatan, rambut cokelatnya berkibar oleh angin, dengan tatapan lembut yang penuh harapan.
Lysara merasa dadanya sesak. Ia ingat Tavrin, yang selalu ceria di jembatan, dan hari-hari ketika ia menantikan kehadiran temannya dengan harapan yang perlahan sirna. Surat itu mengungkap bahwa Tavrin tahu tentang rindunya, tapi ia memilih untuk pergi, tak ingin menyakitinya dengan kebenaran tentang penyakitnya. Lysara menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah awal dari kenangan yang tak bisa dilupakannya.
Corven memperhatikan reaksi Lysara, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di sudut ambang jendela, membolak-balik pena tua dengan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Lysara untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Corven, meski diam, terasa seperti tekanan lembut yang mendorong Lysara untuk menghadapi kenyataan. Ia menatap buku catatan kecil Tavrin di tangannya, lalu ke sketsa di kotak. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan rindu yang tak terucapkan. Lysara mulai merasa bahwa kehadiran Corven bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap surat Tavrin, yang membuat Lysara curiga bahwa pemuda ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu malam, ketika mereka duduk di jembatan sambil menikmati udara malam di tengah lampu LED, Corven tiba-tiba berkata, “Rindu itu seperti air, mengalir tapi tak pernah hilang, Lysara.” Lysara menatapnya tajam, merasa seperti ditantang. Ia ingin marah, ingin mengusir Corven dari jembatan, tapi ada sesuatu dalam nada suara Corven yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kadang kita harus membiarkan air itu mengering,” jawabnya dingin, lalu bangkit dan berjalan kembali ke rumah, meninggalkan Corven sendirian di jembatan.
Malam itu, Lysara akhirnya memberanikan diri untuk membuka buku catatan kecil Tavrin. Di dalamnya, ia menemukan puisi-puisi yang ditulis dengan tangan gemetar, penuh dengan gambar jembatan dan sungai. Satu halaman terakhir berisi catatan pendek yang ditulis dengan tinta yang sudah luntur: “Di balik cahaya ini aku pergi, meninggalkan bayang untukmu. Ingat aku, sahabat.” Lysara merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan Eryndor dan semua kenangan yang tersimpan di kota ini, tapi ia tahu ia tak bisa. Kota itu, rindunya yang memicu kenangan, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.
Pagi berikutnya, Corven menemukan Lysara duduk di ambang jendela, dikelilingi oleh surat, buku catatan kecil, dan sketsa dari kotak itu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan segelas teh hangat. Tapi di matanya, Lysara melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Corven tahu lebih banyak tentang Tavrin daripada yang ia katakan. “Kau pernah rindu pada seseorang yang kau cintai?” tanya Lysara tiba-tiba, suaranya serak karena menangis semalaman. Corven menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa menyiksanya itu.”
Hari itu, untuk pertama kalinya, Lysara mulai berbicara tentang masa lalunya—tentang Tavrin, tentang rindunya yang memicu kenangan, dan tentang kehilangan yang membuatnya tinggal di Eryndor. Corven mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang membuat Lysara merasa bahwa pemuda ini bukan hanya mahasiswa biasa. Ada hubungan antara Corven dan kenangan Tavrin yang ia temukan di kotak dan buku catatan kecil, dan Lysara tahu bahwa kebenaran itu akan segera terungkap, entah ia siap atau tidak.
Eryndor, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti panggung bagi sebuah cerita yang belum selesai. Setiap kilauan jembatan yang ia lihat, setiap bayangan Tavrin yang ia bayangkan di tepi sungai, membawanya lebih dekat ke sebuah kebenaran yang mungkin akan menghancurkannya. Dan di tengah semua itu, ada Corven, pemuda yang datang sebagai orang asing, tapi kini menjadi bagian dari cerita yang tak pernah Lysara bayangkan akan ia jalani lagi.
Cahaya yang Memudar
Langit Eryndor pada malam hari di pertengahan musim gugur 2024 tampak dipenuhi kilauan lembut dari jembatan kaca yang melintang di atas sungai, menciptakan lapisan cahaya hijau dan biru yang menyatu dengan gemerlap kota kecil yang selalu tenang. Kaca canggih pada jembatan memantulkan cahaya lampu LED, sementara aroma bunga liar dan udara dingin masih terasa di udara yang mulai menggigil. Lysara Veyne duduk di ambang jendela rumahnya, tangannya memegang buku catatan kecil Tavrin yang usang, sementara kotak kayu yang ditemukan di tepi sungai terbuka di sampingnya. Setiap halaman buku itu terasa seperti mengorek luka yang dalam, membawa kembali kenangan tentang waktu bersama sahabat sejatinya, tentang rindu yang memicu kenangan, dan tentang kegelapan yang kini mengisi ruang hampa di hatinya. Di sudut kotak, sebuah pena tua yang pernah mereka gunakan tergeletak, seolah menyimpan kehilangan yang tak pernah ia lepaskan.
Corven Arel, pemuda yang kini menjadi bagian dari kehidupan Lysara, sedang mengamati pantulan cahaya jembatan di permukaan air dari kejauhan dengan gerakan penuh konsentrasi. Tangan-tangannya yang halus bergerak dengan ketenangan, tapi pikiran Lysara tak sepenuhnya ada di sana. Ia terus memikirkan kata-kata Corven malam sebelumnya, ketika ia mengaku memiliki koneksi dengan Tavrin melalui cerita-cerita sungai yang ia dengar dari keluarganya. Ada sesuatu dalam nada suaranya, dalam cara ia menatap buku catatan Tavrin, yang membuat Lysara yakin bahwa Corven menyimpan rahasia yang lebih dalam—rahasia yang mungkin bisa menjelaskan kenangan yang lahir dari rindunya.
Hari itu, Lysara memutuskan untuk menghadapi Corven. Ia menunggu hingga pemuda itu selesai mengamati sungai, lalu mengajaknya duduk di karpet anyaman yang menghadap ke jembatan. Cahaya LED di luar menciptakan suasana tegang, seolah menyembunyikan bayang-bayang dari masa lalu. Lysara meletakkan buku catatan di atas meja kayu, di samping kotak kayu yang masih mengeluarkan aroma sungai tua. “Corven,” katanya, suaranya dingin namun gemetar, “aku perlu tahu apa yang kau sembunyikan. Dan apa hubunganmu dengan Tavrin.”
Corven menatapnya lama, matanya yang hijau tua seolah menimbang-nimbang sesuatu. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan sebuah buku tipis dari jaket abu-abunya, kulitnya sudah usang dan penuh noda tinta. “Aku bukan hanya mahasiswa, Lysara,” katanya pelan. “Aku bagian dari keluarga yang menjaga cerita Eryndor, dan aku datang ke sini karena jejak Tavrin yang tersisa di tepi sungai. Aku tahu tentang kalian berdua.”
Lysara merasa jantungnya berdegup kencang. Ia ingin marah, ingin mengusir Corven karena telah menyusup ke hidupnya dengan motif tersembunyi, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa tertekan—tertekan karena akhirnya ada seseorang yang mungkin bisa membantu memahami rindunya. Corven membuka buku tipis itu, menunjukkan puisi-puisi tentang Eryndor, termasuk nama-nama yang ia kenali—Tavrin sebagai penulis ceria yang bercita-cita menjadi penyair, dan Lysara yang sering terlihat bersamanya di jembatan. Menurut cerita yang ia kumpulkan, setiap rindu yang memicu kenangan di Eryndor ditakdirkan untuk diuji oleh kebenaran yang menyentuh, dan perasaan Lysara yang tumbuh adalah bagian dari ikatan yang tak bisa dielakkan.
Lysara mendengarkan dengan napas tertahan, setiap kata Corven seperti mengoyak luka lama yang ia coba sembunyikan. Ia teringat Tavrin, yang selalu ceria di jembatan, dan hari-hari ketika ia menantikan kehadiran sahabatnya dengan harapan yang perlahan sirna. Dalam buku catatan, ia membaca tentang perasaannya yang berkembang seiring waktu, tentang bayangan Tavrin yang ia anggap sebagai tanda rindu, dan tentang pena tua yang ia temukan di kotak. Lysara tak pernah tahu detail tentang penyakitnya, tapi suratnya menyebutkan bahwa Tavrin tahu tentang rindunya, namun memilih menjauh demi menjaga Lysara dari rasa sakit.
Malam itu, setelah pertemuan mereka, Lysara dan Corven duduk di ambang jendela, ditemani suara air sungai yang bergema pelan dari jembatan. Lysara memutuskan untuk menceritakan kisahnya kepada Corven—kisah yang selama ini ia pendam dalam-dalam. Ia menceritakan tentang masa SMA-nya di Eryndor, tentang Tavrin yang selalu ada di sisinya, tentang hari-hari penuh harapan sebelum ia menyadari bahwa rindu memicu kenangan. Ia menceritakan tentang malam terakhir mereka di jembatan, tentang rasa kehilangan yang mengisi hidupnya sejak saat itu.
Corven mendengarkan tanpa menyela, tapi matanya penuh dengan empati yang tersembunyi. Ketika Lysara selesai bercerita, ia mengeluarkan sebuah puisi dari buku tipisnya. Puisi itu ditulis oleh Tavrin, tentang jembatan dan sungai, dengan catatan pendek di tepinya: “Lysara, aku tinggalkan ini untukmu.” Lysara merasa dunia di sekitarnya berputar. Puisi itu dilukis di jembatan, dengan latar belakang air yang berkilauan.
Corven menjelaskan bahwa ia menemukan puisi itu di antara barang-barang tua yang ia terima dari keluarganya. Puisi itu disertai dengan sebuah catatan yang ditulis oleh Tavrin, yang berbunyi: “Lysara, aku pergi demi kau. Aku harap kau ingatku.” Lysara tak bisa menahan air matanya. Ia merasa campuran antara kelegaan, kesedihan, dan rindu yang begitu kuat hingga dadanya terasa sesak. Ia ingin bertanya pada Corven bagaimana ia bisa menemukan semua ini, tapi kata-kata tak mau keluar dari mulutnya.
Hari-hari berikutnya di Eryndor dipenuhi dengan pencarian jawaban. Lysara dan Corven mulai menjelajahi tepi sungai, mencari petunjuk yang mungkin ditinggalkan oleh Tavrin atau kenangan-kenangan yang tersembunyi. Mereka menemukan sebuah sudut tersembunyi di balik tumpukan batu, di mana ukiran kecil berbentuk pena tampak terpahat di bebatuan. Lysara merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa tempat ini adalah pusat dari kenangan yang lahir dari rindunya.
Malam itu, ketika mereka kembali ke rumah, Lysara menemukan sebuah catatan lain di dalam buku catatan, yang selama ini ia lewatkan. Catatan itu berbunyi: “Rindu yang memecah adalah air yang tak pernah kering. Seseorang harus menyerahkan jiwa untuk memeluknya, dan harga itu adalah hati.” Lysara merasa jantungnya berhenti. Ia menatap Corven, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita harus menghadapi ini,” katanya pelan, dan di matanya, Lysara melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Jembatan, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti jebakan yang menutup di sekitarnya.
Pagi berikutnya, Lysara dan Corven kembali ke tepi sungai, membawa buku catatan dan pena tua. Di sungai itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah puisi yang harus ditulis di depan sudut tersembunyi, dengan pena sebagai pengikat. Tapi puisi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia rindu. Lysara tahu apa yang harus ia korbankan: rindu yang ia miliki untuk Tavrin, emosi yang selama ini ia genggam erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Namun, sebelum mereka bisa menulis puisi, mereka mendengar suara langkah di atas bebatuan. Seseorang mendekat, dan suara itu terasa familiar namun menakutkan. Lysara merasa jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke Corven, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita tidak sendirian,” katanya pelan, dan di matanya, Lysara melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Tepi sungai, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti jebakan yang menutup di sekitarnya.
Akhir di Ujung Cahaya
Lampu LED dari jembatan kaca tebal menyelimuti Eryndor, membalut sungai dan tepi perumahan dengan kilauan hijau dan biru yang mencerminkan musim gugur. Lysara dan Corven berdiri di depan sudut tersembunyi di tepi sungai, memegang buku catatan dan pena tua. Cahaya sungai dari air yang jauh berkedip-kedip melalui permukaan, menciptakan bayang-bayang yang menari di bebatuan, seolah jiwa-jiwa dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara langkah yang mereka dengar semakin mendekat, diiringi oleh desau air yang kini terdengar tajam, penuh dengan ketegangan yang tak terucap. Lysara merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di tepi sungai, apa pun yang telah membangkitkan rindunya selama dua tahun.
Ketika mereka menoleh, mereka melihat sosok yang berdiri di antara tumpukan bebatuan. Itu adalah pemuda dengan rambut cokelat keriting yang basah oleh kabut sungai, wajahnya ceria namun familiar—Tavrin. Matanya yang hangat memandang Lysara, dan senyum tipis muncul di bibirnya, penuh dengan penyesalan yang tak bisa diucapkan. “Kau sudah menemukannya, bukan?” kata sosok itu, suaranya lembut namun penuh otoritas. “Buku catatan itu, pena itu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Lysara.”
Lysara ingin bertanya siapa sosok itu, tapi sebelum ia bisa membuka mulut, Corven melangkah maju. “Tavrin,” katanya, suaranya tegas namun penuh emosi. “Kau tak seharusnya ada di sini.” Lysara merasa dunia di sekitarnya berputar. Tavrin, sahabat yang ia rindu, yang konon pergi karena penyakitnya, kini berdiri di depannya, hidup namun berbeda. Tapi ada sesuatu yang salah dengan sosok ini. Auranya terasa hangat, seolah ia adalah bagian dari sungai itu sendiri, bagian dari kenangan yang lahir dari rindunya.
Tavrin tersenyum tipis, namun senyumnya tak mencapai matanya. “Aku di sini untuk memeluk bayang ini, Corven. Dan kau tahu apa yang diperlukan untuk itu.” Lysara menatap Corven, mencari jawaban di wajahnya, tapi pemuda itu hanya menunduk, tangannya mengepal erat. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Lysara, suaranya gemetar. “Apa yang harus kulakukan?”
Tavrin menjelaskan bahwa kenangan yang lahir dari rindu hanya bisa dipeluk dengan pengakuan—seseorang harus menyerahkan sesuatu yang paling ia rindukan, sesuatu yang ia inginkan namun kini memicu kehilangan. Bagi Tavrin, itu adalah harapannya untuk sembuh, yang ia lepaskan demi menghadapi kebenaran dalam hatinya. Dan kini, giliran Lysara untuk memilih. Pena tua yang ia pegang adalah kunci untuk menyelesaikan ritual, tapi harga yang harus dibayar adalah sesuatu yang akan menghancurkan hatinya.
Lysara merasa dadanya sesak. Ia teringat Tavrin, teringat hari-hari ketika mereka menulis di jembatan, teringat tatapannya di puisi. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa pengakuan itu berhubungan dengan rindu yang ia miliki—rindu yang pernah ia rasakan untuk Tavrin, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Malam itu, di tengah lampu LED yang tak kunjung padam, Lysara dan Corven kembali ke ambang jendela rumah. Mereka duduk di karpet, dikelilingi oleh buku catatan, puisi, dan pena dari kotak itu. Corven akhirnya menceritakan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Ia adalah sepupu Tavrin, bagian dari keluarga penjaga cerita Eryndor, yang datang untuk memenuhi janji Tavrin—janji untuk memeluk ikatan kenangan yang telah menghancurkan hati Lysara. Tavrin, menurut Corven, tahu tentang rindu Lysara sebelum ia pergi, tapi ia menjauh untuk menjaga harapannya, dan keputusannya untuk kembali adalah upaya terakhir untuk mencari pengakuan.
Lysara merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia tak pernah tahu bahwa ia memiliki hubungan dengan keluarga Tavrin, tak pernah tahu bahwa Tavrin telah mencoba menyelamatkannya dari kehilangan. Corven memegang tangannya, matanya penuh dengan kesedihan yang sama yang ia rasakan. “Aku datang ke sini untuk menemukan jawaban, Lysara,” katanya. “Tapi aku juga datang untuk melindungimu. Aku tahu harga yang harus dibayar, dan aku siap membantumu.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Lysara. Ia tahu bahwa Corven bersedia mengorbankan dirinya untuk memeluk ikatan, tapi ia tak bisa membiarkan itu terjadi. Ia telah kehilangan terlalu banyak—harapan, persahabatan, dan kini, mungkin, kedamaian. Ia memutuskan bahwa ia sendiri yang akan menyelesaikan ritual itu, apa pun harganya.
Pagi berikutnya, ketika matahari menyelinap di antara lampu LED, Lysara dan Corven kembali ke tepi sungai. Mereka membawa buku catatan, pena tua, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di sungai itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah puisi yang harus ditulis di depan sudut tersembunhi, dengan pena sebagai pengikat. Tapi puisi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia rindu. Lysara tahu apa yang harus ia korbankan: rindu yang ia miliki untuk Tavrin, emosi yang selama ini ia pendam, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Dengan tangan gemetar, Lysara berdiri di depan sudut tersembunhi, memegang pena itu. Ia menulis puisi yang ditulis dalam buku catatan, setiap goresan terasa seperti mengoyak jiwanya. Ia teringat wajah Tavrin, tatapannya di puisi, suara langkahnya. Ketika puisi terakhir itu selesai, pena di tangannya bersinar terang, dan lampu LED di sekitarnya berhenti sejenak, menciptakan keheningan yang menyelimuti sungai. Cahaya itu meredup, dan Lysara merasa sesuatu telah berubah. Pena itu kini tenggelam ke dalam bebatuan di dekat sudut, dan lampu kembali menyala, seolah ikatan itu telah dipeluk.
Tapi ada harga yang harus dibayar. Lysara merasa rindunya memudar, digantikan oleh kelegaan yang hangat. Ia masih ingat bahwa ia pernah rindu pada Tavrin, tapi wajahnya, suaranya, semua detail itu hilang, seolah tak pernah ada. Ia jatuh berlutut di depan sudut, menangis tanpa suara, sementara lampu membasahi wajahnya. Corven memegang tangannya, matanya penuh dengan air mata. “Kau melakukannya, Lysara,” katanya pelan. “Ikatan itu sudah dipeluk.” Tapi Lysara tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu mahal. Ia telah kehilangan rindu yang menjadi alasan hidupnya, dan di dalam hatinya, ia merasa penuh.
Hari-hari berikutnya di Eryndor terasa seperti mimpi indah yang perlahan memudar. Lampu LED tetap menyala, tapi langkah Tavrin tak lagi terdengar. Lysara duduk di ambang jendela rumahnya, menatap buku catatan yang kini kosong, tanpa puisi yang menyertainya. Pada suatu malam, ketika lampu turun lagi, Lysara berjalan menuju tepi sungai, membawa buku catatan yang telah kosong. Ia berdiri di depan sudut tersembunhi, menatap bebatuan yang mencerminkan wajahnya yang tenang, dan merasa bahwa hidupnya telah dimulai kembali bersama rindu yang hilang. Dengan langkah perlahan, ia meletakkan buku catatan di sudut dan berjalan menjauh, membiarkan lampu menyelimuti dirinya sepenuhnya. Tepi sungai itu kembali tenggelam dalam keheningan, menyimpan bayang kenangan dalam kelegaan yang abadi.
Eryndor berdiri diam di belakangnya, lampu jembatan musim gugur berkedip redup, dan sudut tersembunhi di tepi sungai tetap menjadi saksi bisu dari akhir damai Lysara Veyne, di mana sahabat sejati tak terlupakan berakhir dalam kelegaan yang tak pernah sirna.
Sahabat Sejati Tak Terlupakan: Kisah Persahabatan Paling Menyentuh Hati menghadirkan kisah persahabatan yang abadi, diuji oleh rindu dan kehilangan, namun berakhir dengan kelegaan yang menyentuh hati. Dengan alur penuh emosi dan pesan mendalam, cerpen ini mengajak Anda untuk menghargai ikatan sejati dalam hidup. Segera baca kisah Lysara dan rasakan kehangatan yang tak terlupakan!
Terima kasih telah menyelami ulasan Sahabat Sejati Tak Terlupakan: Kisah Persahabatan Paling Menyentuh Hati. Semoga cerita ini membawa inspirasi dan kehangatan ke dalam hati Anda. Kami menantikan Anda kembali untuk petualangan literatur berikutnya—jangan ragu berbagi kesan Anda dengan kami!


