Daftar Isi
Jelajahi kisah cinta penuh konflik dalam Sahabat Jadi Musuh karena Cowok: Kisah Cinta dan Persaingan Paling Dramatis, sebuah cerpen epik yang menggambarkan perjalanan emosional Zephyrine Lorne di kota pesisir Thalory pada tahun 2023. Cerita ini mengungkap bagaimana iri Zephyrine terhadap sahabatnya, Elyndra Voss, berubah menjadi permusuhan karena cinta pada seorang cowok, dengan misteri yang dibawa Tharion Kael. Cocok untuk penggemar novel romantis modern yang mencari alur penuh emosi dan ketegangan—jangan lewatkan drama hati yang memukau ini!
Sahabat Jadi Musuh karena Cowok
Bayang di Tengah Festival
Di sebuah kota pesisir modern bernama Thalory pada tahun 2023, di mana pantai berpasir putih berpadu dengan gedung-gedung bertingkat yang dilapisi kaca cerdas yang menyesuaikan warna dengan cuaca, udara selalu dipenuhi aroma garam laut dan minuman tropis dari kafe-kafe tepi pantai. Thalory terkenal dengan festival musim panasnya yang meriah, di mana lampion kertas mengambang di atas air dan musik live menggema di sepanjang jalan beraspal, menarik ribuan wisatawan setiap Juli. Di antara keramaian itu, ada seorang gadis bernama Zephyrine Lorne, berusia delapan belas tahun, dengan rambut pirang ikal yang sering dibiarkan tergerai, dan mata abu-abu yang menyimpan ketidakpastian yang ia sembunyikan di balik senyum tipisnya. Ia pindah ke Thalory bersama ibunya setelah ayahnya meninggal karena penyakit langka, membawa koper tua yang penuh dengan lukisan kecil dan jurnal yang ia isi dengan sketsa pantai. Namun, di balik gemerlap kota itu, ada persahabatan yang berubah menjadi permusuhan karena seorang cowok, hingga ia bertemu dengan sahabatnya yang kini menjadi musuh, Elyndra Voss.
Zephyrine tinggal di sebuah rumah panggung kecil di tepi pantai, sebuah hunian sederhana dengan jendela besar yang menghadap ke lautan biru yang bergoyang pelan. Ruangannya dipenuhi benda-benda yang mencerminkan jiwanya—sebuah dinding penuh lukisan kecil yang tergantung dengan tali rami, tumpukan jurnal yang ia isi dengan pena warna-warni, dan sebuah radio tua yang memutar lagu-lagu akustik dari dekade sebelumnya. Suara ombak yang menyapu pantai dan teriakan pedagang di pasar ikan sering menjadi latar hidupnya, tapi suara itu kini terasa seperti pengingat akan ketegangan yang ia pendam, sejak ia mulai menyadari bahwa cinta Elyndra pada seorang cowok telah memicu perpecahan di antara mereka. Zephyrine pindah ke Thalory pada awal musim semi 2023, mencari kedamaian baru di tengah duka, tapi kota ini kini menjadi saksi dari konflik yang mengubah sahabat menjadi musuh.
Hari-hari Zephyrine di SMA Thalory biasanya dimulai dengan sinar matahari yang menyelinap melalui jendela besar, diikuti oleh langkah kakinya yang ringan menuju kelas bersama Elyndra. Mereka duduk di sudut taman sekolah, berbagi lukisan kecil dan mendiskusikan proyek seni mereka, menatap laut yang berkilauan di kejauhan. Tapi seiring waktu, terutama menjelang festival musim panas, ruang di sampingnya mulai terasa dingin dengan ketidaknyamanan yang tak terucapkan, meninggalkan jejak permusuhan yang membuat Zephyrine merasa seperti terperangkap dalam bayang-bayang. Ia menghabiskan waktu istirahat di dermaga tua, menatap lampion kertas yang mengambang, tangannya memegang kuas yang kini jarang disentuh. Di malam hari, ia duduk di ambang jendela, menatap laut yang mencerminkan cahaya bulan, hati dipenuhi iri terhadap Elyndra yang kini dekat dengan cowok itu.
Persahabatan mereka dimulai di kelas seni pada semester pertama, di dermaga tua saat mereka secara tidak sengaja bertemu sambil melukis pemandangan laut untuk tugas sekolah. Elyndra, dengan rambut cokelat panjang yang selalu diikat rapi dan senyum hangat yang penuh kelembutan, langsung mengulurkan tangan untuk membantu Zephyrine mengambil kuas yang terjatuh. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan, berbagi lukisan di dermaga, menulis jurnal bersama di kafe, dan bermimpi menjadi seniman terkenal. Elyndra selalu menjadi yang lebih terbuka, sementara Zephyrine menemukan kenyamanan dalam kehadiran temannya. Mereka tumbuh bersama, melewati ujian seni, badai musiman di Thalory, dan harapan untuk mengejar impian mereka. Tapi segalanya mulai berubah di pertengahan tahun ajaran, ketika Elyndra mulai menunjukkan ketertarikan pada seorang cowok baru, meninggalkan Zephyrine dengan perasaan yang tak terucapkan.
Zephyrine sering mengingat hari-hari awal mereka, sebuah sore di bulan Mei ketika lampion kertas mulai mengambang di atas air dan kota dipenuhi musik akustik. Mereka duduk di dermaga, mendengarkan suara ombak yang lembut, dan berbagi cerita tentang masa depan. Elyndra tampak sedikit berbeda hari itu, matanya penuh rahasia, tapi Zephyrine menganggap itu hanya antusiasme untuk festival. Bulan-bulan berlalu, dan menjelang akhir tahun ajaran, jarak antara mereka mulai terasa—Elyndra sering sibuk dengan cowok barunya, sementara Zephyrine larut dalam dunia lukisannya yang penuh iri. Malam itu, setelah pameran seni, Zephyrine menemukan sebuah sketsa dari Elyndra di jurnalnya: sebuah gambar dermaga dengan bayangan dua orang, dengan tulisan pendek, “Aku menemukan seseorang.” Sejak saat itu, Zephyrine merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya, sebuah kekosongan yang diisi oleh rasa cemburu.
Suatu malam di bulan Juli, ketika lampion kertas menyinari laut dan angin membawa udara hangat, Zephyrine duduk sendirian di dermaga, menatap pantai yang berkilauan di bawah. Angin membawa aroma garam dari laut, dan tiba-tiba seorang pemuda dengan jaket denim biru muncul di dekatnya. Rambutnya yang hitam pendek tergerai oleh angin, dan matanya yang cokelat tua menatapnya dengan rasa ingin tahu yang aneh. Ia memperkenalkan diri sebagai Tharion Kael, seorang pelancong yang baru datang ke Thalory dan tampak terpesona oleh festival musim panas. Wajahnya penuh tanda-tanda kecil dari apa yang ia sebut “perjalanan darat,” tapi ada ketegasan dalam caranya berdiri yang membuat Zephyrine tak bisa menolak mengundangnya duduk bersamanya.
Tharion duduk di kayu dermaga, tangannya yang kasar memegang sebuah buku catatan kecil yang tampak baru. Matanya sesekali melirik lukisan Zephyrine, seolah mengenali sesuatu. “Kota ini penuh cerita yang memilukan,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara ombak. Zephyrine mengangguk, hati bergetar oleh kata-kata yang terasa terlalu dekat dengan perasaannya. Tharion memutuskan untuk tinggal sebentar di Thalory, dengan alasan ingin mengenal pantai, dan meski Zephyrine ragu, ia merasa ada ketegangan dalam kehadiran pemuda itu, sebuah perubahan dari kesepian yang selama ini menyelimutinya.
Hari-hari berikutnya membawa ritme baru ke kehidupan Zephyrine. Tharion membantu mengatur lukisan di dinding, duduk bersamanya di kelas seni, dan bahkan memperbaiki radio tua dengan tangan terampilnya. Ia tak banyak bertanya tentang Elyndra, tapi gerakannya yang tegas, seperti saat ia mengambil foto atau menatap dermaga, seolah membawa sedikit kekuatan ke dalam irinya. Zephyrine mulai merasa tertarik oleh kehadiran Tharion, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.
Namun, di balik ketegangan yang muncul, ada bayangan yang semakin gelap. Setiap kali ombak membesar, Zephyrine merasa ada suara samar di dermaga—langkah kaki yang terdengar seperti Elyndra, atau desir angin yang mirip dengan tawa temannya. Ia sering terbangun di malam hari, berkeringat dingin, membayangkan Elyndra berdiri di sudut jendelanya, wajahnya penuh kebencian. Dan Tharion, dengan instinknya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Zephyrine menatap lukisannya, cara ia menggambar dengan tangan gemetar, dan cara ia selalu terdiam ketika lampion membawa kenangan.
Pada suatu malam yang hangat, ketika lampion kertas mengambang di atas laut dengan kilauan terang, Zephyrine mendengar ketukan keras di pintu rumah panggungnya. Ia membukanya, berpikir itu hanya angin, tapi yang berdiri di luar adalah seorang pemuda dengan jaket basah dan rambut hitam kusut. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak kayu kecil yang tampak tua, permukaannya penuh goresan. Pemuda itu meletakkan kotak itu di ambang pintu dan berbicara dengan suara pelan, “Ini milik Elyndra. Aku menemukannya di dermaga tua di pantai.” Sebelum Zephyrine bisa bertanya lebih lanjut, pemuda itu berbalik dan menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan Zephyrine dengan detak jantung yang kencang dan rasa iri yang tak bisa dijelaskan.
Zephyrine berdiri di pintu, memegang kotak itu yang terasa dingin di tangannya. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah laut yang cerah di luar, dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia merasa cemburu—bukan hanya karena Elyndra mencintai cowok itu, tapi karena kenyataan bahwa kenangan itu mungkin akan menghancurkannya sepenuhnya.
Gelombang di Balik Cahaya
Cahaya lampion kertas menyelinap perlahan di Thalory, membalut pantai dan dermaga dengan kilauan emas dan merah yang mencerminkan festival musim panas. Zephyrine Lorne duduk di lantai rumah panggungnya, kotak kayu kecil yang diberikan pemuda misterius itu terbuka di depannya, isi di dalamnya tersebar di karpet anyaman. Udara di luar terasa lembap, bercampur dengan aroma garam dan minuman tropis yang menempel di setiap sudut. Di kejauhan, suara ombak yang menyapu pantai terdengar samar, membawa ritme yang terasa seperti ketegangan dari masa lalu. Lampion di ambang jendela berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding, seolah menggambarkan iri yang terus menghantuinya.
Kotak itu berisi benda-benda yang membuat jantung Zephyrine berdegup kencang—sebuah sketsa lipat yang dilukis rapi, beberapa catatan yang ditulis tangan oleh Elyndra, dan sebuah jurnal kecil yang penuh gambar dermaga. Kertas-kertas itu terasa lengket karena lembap, dan aroma cat air yang memudar memenuhi udara, membawa kembali ingatan tentang Elyndra yang sering melukis di dermaga. Zephyrine menatap isi kotak itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh jurnal kecil yang tampak seperti menyimpan rahasia terakhir temannya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka duduk bersama di dermaga, ketika tawa Elyndra masih terdengar jelas di telinganya.
Malam itu, ketika lampion kertas memenuhi laut dengan kilauan berputar dan ombak mereda menjadi alunan lembut, Tharion Kael kembali dari perjalanan singkatnya ke dermaga tua di pantai. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi kuas tua dan sebuah kotak kardus kecil yang ia temukan di antara kayu-kayu rusak. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya yang cokelat tua bersinar dengan rasa ingin tahu yang aneh. “Aku menemukan sesuatu yang mungkin membantumu,” katanya, meletakkan kotak itu di meja kayu di samping kotak milik Elyndra. Kotak itu terbuat dari kardus dengan stiker laut, dan di dalamnya terdapat sebuah surat yang ditulis dengan tangan rapi, bersama dengan sketsa yang sudah menguning di tepinya.
Zephyrine merasa napasnya terhenti sejenak. Surat itu ditulis oleh Elyndra, tinta birunya masih samar terbaca meski kertasnya basah. Ia mengambil surat itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan kata-kata yang membuat dunianya bergetar. “Zephyrine, aku tahu kau iri padaku,” tulisnya. Surat itu menceritakan tentang pilihannya, tentang bagaimana Elyndra merasa terbagi antara persahabatan dan perasaannya pada cowok itu, dan tentang keputusannya untuk menjauh demi menjaga hubungannya. Sketsa menunjukkan Elyndra berdiri di dermaga, rambut cokelatnya berkibar oleh angin, dengan tatapan lembut yang penuh rahasia.
Zephyrine merasa dadanya sesak. Ia ingat Elyndra, yang selalu terbuka di dermaga, dan hari-hari ketika ia menantikan kehadiran temannya dengan harapan yang perlahan sirna. Surat itu mengungkap bahwa Elyndra tahu tentang irinya, tapi ia memilih untuk pergi, tak ingin menyakitinya dengan kebenaran tentang cintanya. Zephyrine menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah awal dari permusuhan yang tak terhindarkan.
Tharion memperhatikan reaksi Zephyrine, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di sudut ambang jendela, membolak-balik kuas tua dengan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Zephyrine untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Tharion, meski diam, terasa seperti tekanan tegas yang mendorong Zephyrine untuk menghadapi kenyataan. Ia menatap jurnal kecil Elyndra di tangannya, lalu ke sketsa di kotak. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Zephyrine mulai merasa bahwa kehadiran Tharion bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap surat Elyndra, yang membuat Zephyrine curiga bahwa pemuda ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu malam, ketika mereka duduk di dermaga sambil menikmati udara malam di tengah lampion kertas, Tharion tiba-tiba berkata, “Iri itu seperti ombak, menghancurkan tapi tak pernah pergi, Zephyrine.” Zephyrine menatapnya tajam, merasa seperti ditantang. Ia ingin marah, ingin mengusir Tharion dari dermaga, tapi ada sesuatu dalam nada suara Tharion yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kadang kita harus membiarkan ombak itu reda,” jawabnya dingin, lalu bangkit dan berjalan kembali ke rumah panggung, meninggalkan Tharion sendirian di dermaga.
Malam itu, Zephyrine akhirnya memberanikan diri untuk membuka jurnal kecil Elyndra. Di dalamnya, ia menemukan sketsa-sket yang dilukis dengan tangan gemetar, penuh dengan gambar dermaga dan laut. Satu halaman terakhir berisi catatan pendek yang ditulis dengan tinta yang sudah luntur: “Di balik lampion ini aku pergi, meninggalkan bayang untukmu. Maafkan aku, musuh.” Zephyrine merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan Thalory dan semua kenangan yang tersimpan di kota ini, tapi ia tahu ia tak bisa. Kota itu, irinya yang memicu permusuhan, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.
Pagi berikutnya, Tharion menemukan Zephyrine duduk di ambang jendela, dikelilingi oleh surat, jurnal kecil, dan sketsa dari kotak itu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan segelas air. Tapi di matanya, Zephyrine melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Tharion tahu lebih banyak tentang Elyndra daripada yang ia katakan. “Kau pernah iri pada seseorang yang kau cintai?” tanya Zephyrine tiba-tiba, suaranya serak karena menangis semalaman. Tharion menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa menyiksanya itu.”
Hari itu, untuk pertama kalinya, Zephyrine mulai berbicara tentang masa lalunya—tentang Elyndra, tentang irinya yang memicu permusuhan, dan tentang cemburu yang membuatnya tinggal di Thalory. Tharion mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang membuat Zephyrine merasa bahwa pemuda ini bukan hanya pelancong biasa. Ada hubungan antara Tharion dan kenangan Elyndra yang ia temukan di kotak dan jurnal kecil, dan Zephyrine tahu bahwa kebenaran itu akan segera terungkap, entah ia siap atau tidak.
Thalory, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti panggung bagi sebuah cerita yang belum selesai. Setiap kilauan lampion yang ia lihat, setiap bayangan Elyndra yang ia bayangkan di dermaga, membawanya lebih dekat ke sebuah kebenaran yang mungkin akan menghancurkannya. Dan di tengah semua itu, ada Tharion, pemuda yang datang sebagai orang asing, tapi kini menjadi bagian dari cerita yang tak pernah Zephyrine bayangkan akan ia jalani lagi.
Ombak yang Memisahkan
Langit Thalory pada malam hari di pertengahan musim panas 2023 tampak dipenuhi lampion kertas yang mengambang di atas laut, menciptakan lapisan kilauan emas dan merah yang menyatu dengan gemerlap kota pesisir yang tak pernah sunyi. Kaca cerdas pada bangunan-bangunan modern memantulkan cahaya lampion, sementara aroma garam laut dan minuman tropis masih terasa di udara yang hangat. Zephyrine Lorne duduk di ambang jendela rumah panggungnya, tangannya memegang jurnal kecil Elyndra yang usang, sementara kotak kayu yang ditemukan di dermaga tua terbuka di sampingnya. Setiap halaman jurnal itu terasa seperti mengorek luka yang dalam, membawa kembali kenangan tentang waktu bersama sahabatnya, tentang iri yang memicu permusuhan, dan tentang kegelapan yang kini mengisi ruang hampa di hatinya. Di sudut kotak, sebuah kuas tua yang pernah mereka gunakan tergeletak, seolah menyimpan cemburu yang tak pernah ia lepaskan.
Tharion Kael, pemuda yang kini menjadi bagian dari kehidupan Zephyrine, sedang mengamati pantulan lampion di permukaan air dari kejauhan dengan gerakan penuh konsentrasi. Tangan-tangannya yang kasar bergerak dengan ketegasan, tapi pikiran Zephyrine tak sepenuhnya ada di sana. Ia terus memikirkan kata-kata Tharion malam sebelumnya, ketika ia mengaku memiliki koneksi dengan Elyndra melalui cerita-cerita dermaga tua yang ia dengar dari penduduk lokal. Ada sesuatu dalam nada suaranya, dalam cara ia menatap jurnal Elyndra, yang membuat Zephyrine yakin bahwa Tharion menyimpan rahasia yang lebih gelap—rahasia yang mungkin bisa menjelaskan permusuhan yang lahir dari irinya.
Hari itu, Zephyrine memutuskan untuk menghadapi Tharion. Ia menunggu hingga pemuda itu selesai mengamati laut, lalu mengajaknya duduk di karpet anyaman yang menghadap ke pantai. Cahaya lampion di luar menciptakan suasana tegang, seolah menyembunyikan bayang-bayang dari masa lalu. Zephyrine meletakkan jurnal di atas meja kayu, di samping kotak kayu yang masih mengeluarkan aroma garam tua. “Tharion,” katanya, suaranya dingin namun gemetar, “aku perlu tahu apa yang kau sembunyikan. Dan apa hubunganmu dengan Elyndra.”
Tharion menatapnya lama, matanya yang cokelat tua seolah menimbang-nimbang sesuatu. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari jaket denimnya, kulitnya sudah usang dan penuh noda tinta. “Aku bukan hanya pelancong, Zephyrine,” katanya pelan. “Aku bagian dari keluarga yang menjaga cerita Thalory, dan aku datang ke sini karena jejak Elyndra yang tersisa di dermaga tua. Aku tahu tentang kalian berdua.”
Zephyrine merasa jantungnya berdegup kencang. Ia ingin marah, ingin mengusir Tharion karena telah menyusup ke hidupnya dengan motif tersembunyi, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa tertekan—tertekan karena akhirnya ada seseorang yang mungkin bisa membantu memahami irinya. Tharion membuka buku catatan itu, menunjukkan sketsa-sket tentang Thalory, termasuk nama-nama yang ia kenali—Elyndra sebagai seniman terbuka yang bercita-cita menjadi pelukis, dan Zephyrine yang sering terlihat bersamanya di dermaga. Menurut cerita yang ia kumpulkan, setiap iri yang memicu permusuhan di Thalory ditakdirkan untuk diuji oleh kebenaran yang menyakitkan, dan perasaan Zephyrine yang tumbuh adalah bagian dari kutukan yang tak bisa dielakkan.
Zephyrine mendengarkan dengan napas tertahan, setiap kata Tharion seperti mengoyak luka lama yang ia coba sembunyikan. Ia teringat Elyndra, yang selalu terbuka di dermaga, dan hari-hari ketika ia menantikan kehadiran sahabatnya dengan harapan yang perlahan sirna. Dalam jurnal, ia membaca tentang perasaannya yang berkembang seiring waktu, tentang bayangan Elyndra yang ia anggap sebagai tanda iri, dan tentang kuas tua yang ia temukan di kotak. Zephyrine tak pernah tahu detail tentang pilihannya, tapi suratnya menyebutkan bahwa Elyndra tahu tentang irinya, namun memilih menjauh demi menjaga cintanya pada cowok itu, meninggalkan Zephyrine dalam kegelapan.
Malam itu, setelah pertemuan mereka, Zephyrine dan Tharion duduk di ambang jendela, ditemani suara ombak yang bergema pelan dari pantai. Zephyrine memutuskan untuk menceritakan kisahnya kepada Tharion—kisah yang selama ini ia pendam dalam-dalam. Ia menceritakan tentang masa SMA-nya di Thalory, tentang Elyndra yang selalu ada di sisinya, tentang hari-hari penuh harapan sebelum ia menyadari bahwa irinya memicu permusuhan. Ia menceritakan tentang malam terakhir mereka di dermaga, tentang rasa cemburu yang mengisi hidupnya sejak saat itu.
Tharion mendengarkan tanpa menyela, tapi matanya penuh dengan empati yang tersembunyi. Ketika Zephyrine selesai bercerita, ia mengeluarkan sebuah sketsa dari buku catatannya. Sketsa itu menunjukkan seorang gadis dengan rambut cokelat panjang, berdiri di dermaga dengan tatapan lembut, memegang kuas. “Ini dia,” kata Tharion pelan. “Elyndra.” Zephyrine merasa dunia di sekitarnya berputar. Sketsa itu dilukis di dermaga, dengan latar belakang laut yang berkilauan.
Tharion menjelaskan bahwa ia menemukan sketsa itu di antara barang-barang tua yang ia terima dari keluarganya. Sketsa itu disertai dengan sebuah catatan yang ditulis oleh Elyndra, yang berbunyi: “Zephyrine, aku pilih dia. Aku tinggalkan ini untukmu.” Zephyrine tak bisa menahan air matanya. Ia merasa campuran antara kemarahan, kesedihan, dan cemburu yang begitu kuat hingga dadanya terasa sesak. Ia ingin bertanya pada Tharion bagaimana ia bisa menemukan semua ini, tapi kata-kata tak mau keluar dari mulutnya.
Hari-hari berikutnya di Thalory dipenuhi dengan pencarian jawaban. Zephyrine dan Tharion mulai menjelajahi dermaga tua, mencari petunjuk yang mungkin ditinggalkan oleh Elyndra atau kenangan-kenangan yang tersembunyi. Mereka menemukan sebuah sudut tersembunyi di balik tumpukan kayu, di mana ukiran kecil berbentuk kuas tampak terpahat di papan. Zephyrine merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa tempat ini adalah pusat dari permusuhan yang lahir dari irinya.
Malam itu, ketika mereka kembali ke rumah panggung, Zephyrine menemukan sebuah catatan lain di dalam jurnal, yang selama ini ia lewatkan. Catatan itu berbunyi: “Iri yang memecah adalah ombak yang tak pernah reda. Seseorang harus menyerahkan jiwa untuk memutusnya, dan harga itu adalah hati.” Zephyrine merasa jantungnya berhenti. Ia menatap Tharion, yang sedang membaca catatan-catatan sendiri di sudut ambang jendela, dan tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang membuatnya takut. Tharion bukan hanya bagian dari keluarga penjaga cerita. Ia memiliki hubungan dengan Elyndra, dengan permusuhan ini, dan mungkin dengan dirinya.
Lampion kertas kembali mengambang malam itu, dan suara ombak di pantai terdengar lebih keras. Zephyrine duduk di ambang jendela, dikelilingi oleh jurnal, sketsa, dan kuas dari kotak itu. Ia merasa seperti sedang menyusun sebuah teka-teki raksasa, tapi setiap potongan yang ia temukan hanya membuat gambar itu semakin gelap. Tharion, yang duduk di sampingnya, akhirnya berkata, “Aku tahu kau iri, Zephyrine. Tapi kita harus menghadapi ini bersama. Aku bukan hanya di sini untuk mengingat. Aku di sini karena aku berjanji pada seseorang untuk menemukan keadilan.”
Kata-kata itu seperti cahaya yang menyelinap ke dalam kegelapan hati Zephyrine. Ia ingin bertanya siapa “seseorang” itu, tapi ia sudah tahu jawabannya. Elyndra. Nama itu seperti dentuman yang terus bergema di kepalanya, membawa kembali kenangan tentang hari-hari ketika mereka melukis di dermaga, menatap lampion laut. Tapi kenangan itu juga membawa cemburu yang tak tertahankan, cemburu yang membuatnya tinggal di Thalory, berharap bisa melupakannya.
Pagi berikutnya, Zephyrine dan Tharion kembali ke dermaga tua di tengah pantai, membawa jurnal dan kuas tua. Di dermaga itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam jurnal itu—sebuah sketsa yang harus dilukis di depan sudut tersembunyi, dengan kuas sebagai pengikat. Tapi sketsa itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia iri. Zephyrine tahu apa yang harus ia korbankan: iri yang ia miliki untuk Elyndra, emosi yang selama ini ia genggam erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Namun, sebelum mereka bisa melukis sketsa, mereka mendengar suara langkah di atas kayu. Seseorang mendekat, dan suara itu terasa familiar namun menakutkan. Zephyrine merasa jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke Tharion, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita tidak sendirian,” katanya pelan, dan di matanya, Zephyrine melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Dermaga, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti jebakan yang menutup di sekitarnya.
Akhir di Tengah Lautan
Lampion kertas tebal menyelimuti Thalory, membalut pantai dan dermaga dengan kilauan emas dan merah yang mencerminkan festival musim panas. Zephyrine dan Tharion berdiri di depan sudut tersembunyi di dermaga tua, memegang jurnal dan kuas tua. Cahaya laut dari pantai yang jauh berkedip-kedip melalui air, menciptakan bayang-bayang yang menari di kayu, seolah jiwa-jiwa dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara langkah yang mereka dengar semakin mendekat, diiringi oleh desau ombak yang kini terdengar tajam, penuh dengan ketegangan yang tak terucap. Zephyrine merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di dermaga, apa pun yang telah membangkitkan irinya selama dua tahun.
Ketika mereka menoleh, mereka melihat sosok yang berdiri di antara tumpukan kayu. Itu adalah gadis dengan rambut cokelat panjang yang basah oleh kabut laut, wajahnya lembut namun familiar—Elyndra. Matanya yang hangat memandang Zephyrine, dan senyum tipis muncul di bibirnya, penuh dengan penyesalan yang tak bisa diucapkan. “Kau sudah menemukannya, bukan?” kata sosok itu, suaranya lembut namun penuh otoritas. “Jurnal itu, kuas itu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Zephyrine.”
Zephyrine ingin bertanya siapa sosok itu, tapi sebelum ia bisa membuka mulut, Tharion melangkah maju. “Elyndra,” katanya, suaranya tegas namun penuh emosi. “Kau tak seharusnya ada di sini.” Zephyrine merasa dunia di sekitarnya berputar. Elyndra, sahabat yang ia iri, yang konon menjauh karena cowok itu, kini berdiri di depannya, hidup namun berbeda. Tapi ada sesuatu yang salah dengan sosok ini. Auranya terasa hangat, seolah ia adalah bagian dari dermaga itu sendiri, bagian dari permusuhan yang lahir dari irinya.
Elyndra tersenyum tipis, namun senyumnya tak mencapai matanya. “Aku di sini untuk memutus bayang ini, Tharion. Dan kau tahu apa yang diperlukan untuk itu.” Zephyrine menatap Tharion, mencari jawaban di wajahnya, tapi pemuda itu hanya menunduk, tangannya mengepal erat. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Zephyrine, suaranya gemetar. “Apa yang harus kulakukan?”
Elyndra menjelaskan bahwa permusuhan yang lahir dari iri hanya bisa diputus dengan pengampunan—seseorang harus menyerahkan sesuatu yang paling ia cemburi, sesuatu yang ia inginkan namun kini memicu permusuhan. Bagi Elyndra, itu adalah cintanya pada cowok itu, yang ia lepaskan demi menghadapi kebenaran dalam hatinya. Dan kini, giliran Zephyrine untuk memilih. Kuas tua yang ia pegang adalah kunci untuk menyelesaikan ritual, tapi harga yang harus dibayar adalah sesuatu yang akan menghancurkan hatinya.
Zephyrine merasa dadanya sesak. Ia teringat Elyndra, teringat hari-hari ketika mereka melukis di dermaga, teringat tatapannya di sketsa. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa pengampunan itu berhubungan dengan iri yang ia miliki—iri yang pernah ia rasakan untuk Elyndra, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Malam itu, di tengah lampion kertas yang tak kunjung padam, Zephyrine dan Tharion kembali ke ambang jendela rumah panggung. Mereka duduk di karpet, dikelilingi oleh jurnal, sketsa, dan kuas dari kotak itu. Tharion akhirnya menceritakan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Ia adalah sepupu jauh Elyndra, bagian dari keluarga penjaga cerita Thalory, yang datang untuk memenuhi janji Elyndra—janji untuk memutus ikatan permusuhan yang telah menghancurkan hati Zephyrine. Elyndra, menurut Tharion, tahu tentang iri Zephyrine sebelum ia menjauh, tapi ia pergi untuk menjaga cintanya, dan keputusannya untuk kembali adalah upaya terakhir untuk mencari pengampunan.
Zephyrine merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia tak pernah tahu bahwa ia memiliki hubungan dengan keluarga Elyndra, tak pernah tahu bahwa Elyndra telah mencoba menyelamatkannya dari cemburu. Tharion memegang tangannya, matanya penuh dengan kesedihan yang sama yang ia rasakan. “Aku datang ke sini untuk menemukan jawaban, Zephyrine,” katanya. “Tapi aku juga datang untuk melindungimu. Aku tahu harga yang harus dibayar, dan aku siap membantumu.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Zephyrine. Ia tahu bahwa Tharion bersedia mengorbankan dirinya untuk memutus ikatan, tapi ia tak bisa membiarkan itu terjadi. Ia telah kehilangan terlalu banyak—harapan, persahabatan, dan kini, mungkin, kedamaian. Ia memutuskan bahwa ia sendiri yang akan menyelesaikan ritual itu, apa pun harganya.
Pagi berikutnya, ketika matahari menyelinap di antara lampion kertas, Zephyrine dan Tharion kembali ke dermaga tua di tengah pantai. Mereka membawa jurnal, kuas tua, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di dermaga itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam jurnal itu—sebuah sketsa yang harus dilukis di depan sudut tersembunhi, dengan kuas sebagai pengikat. Tapi sketsa itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia iri. Zephyrine tahu apa yang harus ia korbankan: iri yang ia miliki untuk Elyndra, emosi yang selama ini ia pendam, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Dengan tangan gemetar, Zephyrine berdiri di depan sudut tersembunhi, memegang kuas itu. Ia melukis sketsa yang ditulis dalam jurnal, setiap goresan terasa seperti mengoyak jiwanya. Ia teringat wajah Elyndra, tatapannya di sketsa, suara langkahnya. Ketika sketsa terakhir itu selesai, kuas di tangannya bersinar terang, dan lampion kertas di sekitarnya berhenti sejenak, menciptakan keheningan yang menyelimuti dermaga. Cahaya itu meredup, dan Zephyrine merasa sesuatu telah berubah. Kuas itu kini tenggelam ke dalam kayu di dekat sudut, dan lampion kembali mengambang, seolah ikatan itu telah terputus.
Tapi ada harga yang harus dibayar. Zephyrine merasa irinya memudar, digantikan oleh kelegaan yang dingin. Ia masih ingat bahwa ia pernah cemburu pada Elyndra, tapi wajahnya, suaranya, semua detail itu hilang, seolah tak pernah ada. Ia jatuh berlutut di depan sudut, menangis tanpa suara, sementara lampion membasahi wajahnya. Tharion memegang tangannya, matanya penuh dengan air mata. “Kau melakukannya, Zephyrine,” katanya pelan. “Ikatan itu sudah berakhir.” Tapi Zephyrine tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu mahal. Ia telah kehilangan iri yang menjadi alasan hidupnya, dan di dalam hatinya, ia merasa kosong.
Hari-hari berikutnya di Thalory terasa seperti mimpi buruk yang perlahan memudar. Lampion kertas tetap mengambang, tapi langkah Elyndra tak lagi terdengar. Zephyrine duduk di ambang jendela rumah panggungnya, menatap jurnal yang kini kosong, tanpa sketsa yang menyertainya. Pada suatu malam, ketika lampion turun lagi, Zephyrine berjalan menuju dermaga tua, membawa jurnal yang telah kosong. Ia berdiri di depan sudut tersembunhi, menatap kayu yang mencerminkan wajahnya yang pucat, dan merasa bahwa hidupnya telah berakhir bersama iri yang hilang. Dengan langkah perlahan, ia meletakkan jurnal di sudut dan berjalan menjauh, membiarkan lampion menyelimuti dirinya sepenuhnya. Dermaga itu kembali tenggelam dalam keheningan, menyimpan bayang permusuhan dalam kenangan yang abadi.
Thalory berdiri diam di belakangnya, lampion festival musim panas berkedip redup, dan sudut tersembunhi di dermaga tetap menjadi saksi bisu dari akhir tragis Zephyrine Lorne, di mana sahabat jadi musuh karena cowok dan pengampunan berakhir dalam duka yang tak pernah sirna.
Sahabat Jadi Musuh karena Cowok: Kisah Cinta dan Persaingan Paling Dramatis menyajikan kisah persahabatan yang hancur oleh iri dan cinta, berujung pada pengampunan tragis yang meninggalkan jejak mendalam. Dengan alur penuh emosi dan akhir yang menyentuh, cerpen ini mengajak Anda merenung tentang harga persaingan dalam cinta. Segera temukan kisah Zephyrine dan rasakan ketegangan yang tak terlupakan!
Terima kasih telah menyelami ulasan Sahabat Jadi Musuh karena Cowok: Kisah Cinta dan Persaingan Paling Dramatis. Semoga cerita ini membawa Anda pada perenungan mendalam tentang persahabatan dan cinta. Kami menantikan kehadiran Anda kembali untuk petualangan literatur berikutnya—silakan bagikan kesan Anda dengan kami!


