Sahabat Jadi Musuh karena Cinta: Drama Romantis Paling Intens

Posted on

Temukan kisah cinta penuh konflik dalam Sahabat Jadi Musuh karena Cinta: Drama Romantis Paling Intens, sebuah cerpen epik yang menggambarkan perjalanan emosional Isolde Rhea di kota metropolitan Vaeloria pada tahun 2024. Cerita ini mengungkap bagaimana cinta Isolde untuk sahabatnya, Kaelith Vorn, berubah menjadi permusuhan yang menghancurkan, di tengah misteri yang dibawa Calista Zane. Cocok untuk penggemar novel romantis modern yang mencari alur penuh emosi dan drama—jangan lewatkan petualangan hati yang mengguncang ini!

Sahabat Jadi Musuh karena Cinta

Bayang di Balik Gedung Tinggi

Di sebuah kota metropolitan bernama Vaeloria pada tahun 2024, di mana gedung-gedung pencakar langit berdiri megah dengan kaca reflektif yang memantulkan cahaya matahari, udara selalu dipenuhi aroma asap kendaraan dan parfum mahal dari pusat perbelanjaan mewah. Vaeloria dikenal dengan festival cahaya malam yang menyinari jalan-jalan dengan instalasi lampu LED setiap bulan Maret, serta sebuah universitas ternama yang terletak di tengah kota, dindingnya dilapisi panel surya modern. Di antara mahasiswa semester kedua yang sibuk itu, ada seorang gadis bernama Isolde Rhea, berusia sembilan belas tahun, dengan rambut merah tua yang sering diikat tinggi, dan mata hijau tua yang menyimpan dendam yang ia sembunyikan di balik sikap dinginnya. Ia pindah ke Vaeloria bersama ayahnya setelah ibunya meninggal karena kecelakaan, membawa tas besar yang penuh dengan foto polaroid dan buku catatan yang ia isi dengan puisi gelap. Namun, di balik hiruk-pikuk kota itu, ada persahabatan yang berubah menjadi permusuhan karena cinta, hingga ia bertemu dengan sahabatnya yang kini menjadi musuh, Kaelith Vorn.

Isolde tinggal di sebuah apartemen minimalis di lantai tiga puluh gedung tinggi, sebuah hunian futuristik dengan jendela panoramic yang menghadap ke lautan lampu kota. Ruangannya dipenuhi benda-benda yang mencerminkan jiwanya—sebuah dinding penuh foto polaroid yang menggantung dengan tali, tumpukan buku catatan yang ia tulis dengan pena hitam, dan sebuah jam digital yang selalu menunjukkan waktu dengan suara berdetak pelan. Suara sirene polisi dan deru helikopter di langit sering menjadi latar hidupnya, tapi suara itu kini terasa seperti pengingat akan ketegangan yang ia pendam, sejak ia mulai menyadari bahwa cintanya pada Kaelith telah memicu perpecahan di antara mereka. Isolde pindah ke Vaeloria pada awal musim gugur 2023, mencari stabilitas baru di tengah duka, tapi kota ini kini menjadi saksi dari konflik yang mengubah sahabat menjadi musuh.

Hari-hari Isolde di Universitas Vaeloria biasanya dimulai dengan sinar matahari yang menyelinap melalui jendela panoramic, diikuti oleh langkah kakinya yang berat menuju kelas bersama Kaelith. Mereka duduk di sudut perpustakaan, berbagi foto polaroid dan mendiskusikan proyek seni mereka, menatap kota yang berkilauan di kejauhan. Tapi seiring waktu, terutama menjelang akhir semester, ruang di sampingnya mulai terasa dingin dengan ketegangan yang tak terucapkan, meninggalkan jejak permusuhan yang membuat Isolde merasa seperti terperangkap dalam bayang-bayang. Ia menghabiskan waktu istirahat di rooftop universitas, menatap lampu LED yang berkedip, tangannya memegang kamera yang kini jarang disentuh. Di malam hari, ia duduk di ambang jendela, menatap instalasi cahaya festival yang menari di langit, hati dipenuhi amarah terhadap Kaelith yang kini menjauhinya.

Persahabatan mereka dimulai di semester pertama, di rooftop universitas saat mereka secara tidak sengaja bertemu sambil mengambil foto untuk tugas fotografi. Kaelith, dengan rambut hitam panjang yang selalu tergerai dan tatapan tajam yang penuh karisma, langsung mengulurkan tangan untuk membantu Isolde mengambil foto yang terjatuh. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan, berbagi polaroid di rooftop, menulis puisi bersama di kafe, dan bermimpi menjadi fotografer terkenal. Kaelith selalu menjadi yang lebih ambisius, sementara Isolde menemukan kenyamanan dalam kehadiran temannya. Mereka tumbuh bersama, melewati ujian seni, hujan deras di Vaeloria, dan harapan untuk mengejar impian mereka. Tapi segalanya mulai berubah di pertengahan semester, ketika Kaelith mulai menunjukkan ketertarikan pada seseorang lain, meninggalkan Isolde dengan perasaan yang tak terucapkan.

Isolde sering mengingat hari-hari awal mereka, sebuah malam di bulan April ketika instalasi cahaya festival mulai menyala dan kota dipenuhi kilauan LED. Mereka duduk di rooftop, mendengarkan suara kota yang ramai, dan berbagi cerita tentang masa depan. Kaelith tampak sedikit berbeda hari itu, matanya penuh rahasia, tapi Isolde menganggap itu hanya fokus pada proyeknya. Bulan-bulan berlalu, dan menjelang akhir semester kedua, jarak antara mereka mulai terasa—Kaelith sering sibuk dengan kelompok barunya, sementara Isolde larut dalam dunia polaroid-nya yang penuh dendam. Malam itu, setelah pameran fotografi, Isolde menemukan sebuah foto polaroid dari Kaelith di kameranya: sebuah gambar rooftop dengan bayangan dua orang, dengan tulisan pendek, “Aku memilih jalanku sendiri.” Sejak saat itu, Isolde merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya, sebuah kekosongan yang diisi oleh kemarahan.

Suatu malam di bulan Mei, ketika lampu LED festival menyinari kota dan angin membawa udara hangat, Isolde duduk sendirian di rooftop, menatap kota yang berkilauan di bawah. Angin membawa aroma asap dari jalanan, dan tiba-tiba seorang gadis dengan jaket kulit hitam muncul di dekatnya. Rambutnya yang pirang pendek tergerai oleh angin, dan matanya yang abu-abu menatapnya dengan rasa ingin tahu yang aneh. Ia memperkenalkan diri sebagai Calista Zane, seorang mahasiswa pindahan yang baru datang ke Vaeloria dan tampak terpesona oleh instalasi cahaya. Wajahnya penuh tanda-tanda kecil dari apa yang ia sebut “perjalanan kota,” tapi ada ketegasan dalam caranya berdiri yang membuat Isolde tak bisa menolak mengundangnya duduk bersamanya.

Calista duduk di lantai beton, tangannya yang kuat memegang sebuah buku catatan kecil yang tampak baru. Matanya sesekali melirik polaroid Isolde, seolah mengenali sesuatu. “Kota ini penuh rahasia yang menyakitkan,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara angin. Isolde mengangguk, hati bergetar oleh kata-kata yang terasa terlalu dekat dengan perasaannya. Calista memutuskan untuk tinggal sebentar di Vaeloria, dengan alasan ingin mengenal kota, dan meski Isolde ragu, ia merasa ada ketegangan dalam kehadiran gadis itu, sebuah perubahan dari kesunyian yang selama ini menyelimutinya.

Hari-hari berikutnya membawa ritme baru ke kehidupan Isolde. Calista membantu mengatur polaroid di dinding, duduk bersamanya di kelas fotografi universitas, dan bahkan memperbaiki kamera tua dengan tangan terampilnya. Ia tak banyak bertanya tentang Kaelith, tapi gerakannya yang tegas, seperti saat ia mengambil foto atau menatap rooftop, seolah membawa sedikit kekuatan ke dalam amarahnya. Isolde mulai merasa tertantang oleh kehadiran Calista, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.

Namun, di balik ketegangan yang muncul, ada bayangan yang semakin gelap. Setiap kali angin bertiup kencang, Isolde merasa ada suara samar di rooftop—langkah kaki yang terdengar seperti Kaelith, atau desir angin yang mirip dengan tawa temannya. Ia sering terbangun di malam hari, berkeringat dingin, membayangkan Kaelith berdiri di sudut jendelanya, wajahnya penuh kebencian. Dan Calista, dengan instinknya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Isolde menatap polaroid-nya, cara ia menggambar dengan tangan gemetar, dan cara ia selalu terdiam ketika cahaya membawa kenangan.

Pada suatu malam yang hangat, ketika instalasi cahaya festival menyinari kota dengan kilauan terang, Isolde mendengar ketukan keras di pintu apartemennya. Ia membukanya, berpikir itu hanya angin, tapi yang berdiri di luar adalah seorang gadis dengan jaket basah dan rambut pirang kusut. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak logam kecil yang tampak tua, permukaannya penuh goresan. Gadis itu meletakkan kotak itu di ambang pintu dan berbicara dengan suara pelan, “Ini milik Kaelith. Aku menemukannya di rooftop tua di universitas.” Sebelum Isolde bisa bertanya lebih lanjut, gadis itu berbalik dan menghilang ke dalam cahaya, meninggalkan Isolde dengan detak jantung yang kencang dan rasa dendam yang tak bisa dijelaskan.

Isolde berdiri di pintu, memegang kotak itu yang terasa dingin di tangannya. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah kota yang cerah di luar, dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia merasa marah—bukan hanya karena cintanya yang memicu permusuhan, tapi karena kenyataan bahwa kenangan itu mungkin akan menghancurkannya sepenuhnya.

Cahaya yang Memecah

Cahaya LED menyelinap perlahan di Vaeloria, membalut gedung-gedung tinggi dan jalanan dengan kilauan warna-warni yang mencerminkan instalasi cahaya festival. Isolde Rhea duduk di lantai apartemennya, kotak logam kecil yang diberikan gadis misterius itu terbuka di depannya, isi di dalamnya tersebar di karpet hitam. Udara di luar terasa hangat, bercampur dengan aroma asap dan parfum yang menempel di setiap sudut. Di kejauhan, suara sirene polisi terdengar samar, membawa ritme yang terasa seperti ketegangan dari masa lalu. Lampu LED di ambang jendela berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding, seolah menggambarkan dendam yang terus menghantuinya.

Kotak itu berisi benda-benda yang membuat jantung Isolde berdegup kencang—sebuah foto polaroid yang dilipat rapi, beberapa puisi yang ditulis tangan oleh Kaelith, dan sebuah buku catatan kecil yang penuh gambar rooftop. Kertas-kertas itu terasa dingin dan sedikit lengket karena lembap, dan aroma tinta yang memudar memenuhi udara, membawa kembali ingatan tentang Kaelith yang sering mengambil foto di rooftop. Isolde menatap isi kotak itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh buku catatan kecil yang tampak seperti menyimpan rahasia terakhir temannya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka duduk bersama di rooftop, ketika tawa Kaelith masih terdengar jelas di telinganya.

Malam itu, ketika instalasi cahaya festival memenuhi langit dengan kilauan berputar dan angin mereda menjadi hembusan lembut, Calista Zane kembali dari perjalanan singkatnya ke rooftop tua di universitas. Ia membawa sebuah tas kulit yang berisi kamera tua dan sebuah kotak plastik kecil yang ia temukan di antara panel surya. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya yang abu-abu bersinar dengan rasa ingin tahu yang aneh. “Aku menemukan sesuatu yang mungkin membantumu,” katanya, meletakkan kotak itu di meja kaca di samping kotak milik Kaelith. Kotak itu terbuat dari plastik transparan dengan stiker foto, dan di dalamnya terdapat sebuah surat yang ditulis dengan tangan rapi, bersama dengan foto polaroid yang sudah menguning di tepinya.

Isolde merasa napasnya terhenti sejenak. Surat itu ditulis oleh Kaelith, tinta hitamnya masih samar terbaca meski kertasnya basah. Ia mengambil surat itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan kata-kata yang membuat dunianya bergetar. “Isolde, aku tahu kau membenciku,” tulisnya. Surat itu menceritakan tentang pilihannya, tentang bagaimana Kaelith merasa terbagi antara ambisi dan perasaannya, dan tentang keputusannya untuk menjauh demi melindungi mimpinya. Foto polaroid menunjukkan Kaelith berdiri di rooftop, rambut panjangnya berkibar oleh angin, dengan tatapan dingin yang penuh rahasia.

Isolde merasa dadanya sesak. Ia ingat Kaelith, yang selalu ambisius di rooftop, dan hari-hari ketika ia menunggu kehadiran temannya dengan harapan yang perlahan sirna. Surat itu mengungkap bahwa Kaelith tahu tentang cintanya, tapi ia memilih untuk pergi, tak ingin menyakitinya dengan kebenaran tentang pilihannya. Isolde menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah awal dari permusuhan yang tak terhindarkan.

Calista memperhatikan reaksi Isolde, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di sudut ambang jendela, membolak-balik kamera tua dengan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Isolde untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Calista, meski diam, terasa seperti tekanan tegas yang mendorong Isolde untuk menghadapi kenyataan. Ia menatap buku catatan kecil Kaelith di tangannya, lalu ke puisi di kotak. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Isolde mulai merasa bahwa kehadiran Calista bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap surat Kaelith, yang membuat Isolde curiga bahwa gadis ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu malam, ketika mereka duduk di rooftop sambil menikmati udara malam di tengah cahaya LED, Calista tiba-tiba berkata, “Dendam itu seperti cahaya, menyilaukan tapi membakar, Isolde.” Isolde menatapnya tajam, merasa seperti ditantang. Ia ingin marah, ingin mengusir Calista dari rooftop, tapi ada sesuatu dalam nada suara Calista yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kadang kita harus membiarkan api itu padam,” jawabnya dingin, lalu bangkit dan berjalan kembali ke apartemen, meninggalkan Calista sendirian di rooftop.

Malam itu, Isolde akhirnya memberanikan diri untuk membuka buku catatan kecil Kaelith. Di dalamnya, ia menemukan foto-foto yang diambil dengan tangan gemetar, penuh dengan gambar rooftop dan kota. Satu halaman terakhir berisi puisi pendek yang ditulis dengan tinta yang sudah luntur: “Di balik cahaya ini aku pergi, meninggalkan bayang untukmu. Maafkan aku, musuh.” Isolde merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan Vaeloria dan semua kenangan yang tersimpan di kota ini, tapi ia tahu ia tak bisa. Kota itu, cintanya yang memicu permusuhan, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.

Pagi berikutnya, Calista menemukan Isolde duduk di ambang jendela, dikelilingi oleh surat, buku catatan kecil, dan puisi dari kotak itu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan segelas air. Tapi di matanya, Isolde melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Calista tahu lebih banyak tentang Kaelith daripada yang ia katakan. “Kau pernah membenci seseorang yang pernah kau cintai?” tanya Isolde tiba-tiba, suaranya serak karena menangis semalaman. Calista menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa pedihnya itu.”

Hari itu, untuk pertama kalinya, Isolde mulai berbicara tentang masa lalunya—tentang Kaelith, tentang cintanya yang memicu permusuhan, dan tentang dendam yang membuatnya tinggal di Vaeloria. Calista mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang membuat Isolde merasa bahwa gadis ini bukan hanya mahasiswa pindahan. Ada hubungan antara Calista dan kenangan Kaelith yang ia temukan di kotak dan buku catatan kecil, dan Isolde tahu bahwa kebenaran itu akan segera terungkap, entah ia siap atau tidak.

Vaeloria, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti panggung bagi sebuah cerita yang belum selesai. Setiap kilauan LED yang ia lihat, setiap bayangan Kaelith yang ia bayangkan di rooftop, membawanya lebih dekat ke sebuah kebenaran yang mungkin akan menghancurkannya. Dan di tengah semua itu, ada Calista, gadis yang datang sebagai orang asing, tapi kini menjadi bagian dari cerita yang tak pernah Isolde bayangkan akan ia jalani lagi.

Retakan di Tengah Cahaya

Langit Vaeloria pada malam hari di pertengahan musim semi 2024 tampak dipenuhi instalasi cahaya LED yang berputar di atas gedung-gedung tinggi, menciptakan lapisan kilauan yang menyatu dengan gemerlap kota metropolitan yang tak pernah hening. Kaca reflektif pada bangunan-bangunan modern memantulkan warna-warni neon, sementara aroma asap kendaraan dan parfum mahal masih terasa di udara yang lembap. Isolde Rhea duduk di ambang jendela apartemennya, tangannya memegang buku catatan kecil Kaelith yang usang, sementara kotak logam yang ditemukan di rooftop tua terbuka di sampingnya. Setiap halaman buku itu terasa seperti mengorek luka yang dalam, membawa kembali kenangan tentang waktu bersama sahabatnya, tentang cinta yang memicu permusuhan, dan tentang kegelapan yang kini mengisi ruang hampa di hatinya. Di sudut kotak, sebuah lensa kamera tua yang pernah mereka gunakan tergeletak, seolah menyimpan dendam yang tak pernah ia lepaskan.

Calista Zane, gadis yang kini menjadi bagian dari kehidupan Isolde, sedang mengamati pantulan cahaya LED di permukaan kaca jendela dari kejauhan dengan gerakan penuh konsentrasi. Tangan-tangannya yang kuat bergerak dengan ketegasan, tapi pikiran Isolde tak sepenuhnya ada di sana. Ia terus memikirkan kata-kata Calista malam sebelumnya, ketika ia mengaku memiliki koneksi dengan Kaelith melalui cerita-cerita rooftop tua yang ia dengar dari mahasiswa lain. Ada sesuatu dalam nada suaranya, dalam cara ia menatap buku catatan Kaelith, yang membuat Isolde yakin bahwa Calista menyimpan rahasia yang lebih gelap—rahasia yang mungkin bisa menjelaskan permusuhan yang lahir dari cintanya.

Hari itu, Isolde memutuskan untuk menghadapi Calista. Ia menunggu hingga gadis itu selesai mengamati jendela, lalu mengajaknya duduk di sofa hitam yang menghadap ke kota. Cahaya LED di luar menciptakan suasana tegang, seolah menyembunyikan bayang-bayang dari masa lalu. Isolde meletakkan buku catatan di atas meja kaca, di samping kotak logam yang masih mengeluarkan aroma logam tua. “Calista,” katanya, suaranya dingin namun gemetar, “aku perlu tahu apa yang kau sembunyikan. Dan apa hubunganmu dengan Kaelith.”

Calista menatapnya lama, matanya yang abu-abu seolah menimbang-nimbang sesuatu. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari jaket kulitnya, kulitnya sudah usang dan penuh noda tinta. “Aku bukan hanya mahasiswa pindahan, Isolde,” katanya pelan. “Aku bagian dari keluarga yang menjaga cerita Vaeloria, dan aku datang ke sini karena jejak Kaelith yang tersisa di rooftop tua. Aku tahu tentang kalian berdua.”

Isolde merasa jantungnya berdegup kencang. Ia ingin marah, ingin mengusir Calista karena telah menyusup ke hidupnya dengan motif tersembunyi, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa tertekan—tertekan karena akhirnya ada seseorang yang mungkin bisa membantu memahami dendamnya. Calista membuka buku catatan itu, menunjukkan foto-foto tentang Vaeloria, termasuk nama-nama yang ia kenali—Kaelith sebagai mahasiswa ambisius yang bercita-cita menjadi fotografer, dan Isolde yang sering terlihat bersamanya di rooftop. Menurut cerita yang ia kumpulkan, setiap cinta yang memicu permusuhan di Vaeloria ditakdirkan untuk diuji oleh kebenaran yang pahit, dan perasaan Isolde yang tumbuh adalah bagian dari kutukan yang tak bisa dielakkan.

Isolde mendengarkan dengan napas tertahan, setiap kata Calista seperti mengoyak luka lama yang ia coba sembunyikan. Ia teringat Kaelith, yang selalu ambisius di rooftop, dan hari-hari ketika ia menantikan kehadiran sahabatnya dengan harapan yang perlahan sirna. Dalam buku catatan, ia membaca tentang perasaannya yang berkembang seiring waktu, tentang bayangan Kaelith yang ia anggap sebagai tanda cinta, dan tentang lensa kamera tua yang ia temukan di kotak. Isolde tak pernah tahu detail tentang pilihannya, tapi suratnya menyebutkan bahwa Kaelith tahu tentang cintanya, namun memilih menjauh demi mengejar ambisinya, meninggalkan Isolde dalam kegelapan.

Malam itu, setelah pertemuan mereka, Isolde dan Calista duduk di ambang jendela, ditemani suara sirene yang bergema pelan dari kota. Isolde memutuskan untuk menceritakan kisahnya kepada Calista—kisah yang selama ini ia pendam dalam-dalam. Ia menceritakan tentang masa universitasnya di Vaeloria, tentang Kaelith yang selalu ada di sisinya, tentang hari-hari penuh harapan sebelum ia menyadari bahwa cintanya memicu permusuhan. Ia menceritakan tentang malam terakhir mereka di rooftop, tentang rasa dendam yang mengisi hidupnya sejak saat itu.

Calista mendengarkan tanpa menyela, tapi matanya penuh dengan empati yang tersembunyi. Ketika Isolde selesai bercerita, ia mengeluarkan sebuah foto dari buku catatannya. Foto itu menunjukkan seorang pemuda dengan rambut hitam panjang, berdiri di rooftop dengan tatapan dingin, memegang lensa kamera. “Ini dia,” kata Calista pelan. “Kaelith.” Isolde merasa dunia di sekitarnya berputar. Foto itu diambil di rooftop, dengan latar belakang kota yang berkilauan.

Calista menjelaskan bahwa ia menemukan foto itu di antara barang-barang tua yang ia terima dari keluarganya. Foto itu disertai dengan sebuah catatan yang ditulis oleh Kaelith, yang berbunyi: “Isolde, aku pilih jalan ini. Aku tinggalkan ini untukmu.” Isolde tak bisa menahan air matanya. Ia merasa campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kebencian yang begitu kuat hingga dadanya terasa sesak. Ia ingin bertanya pada Calista bagaimana ia bisa menemukan semua ini, tapi kata-kata tak mau keluar dari mulutnya.

Hari-hari berikutnya di Vaeloria dipenuhi dengan pencarian jawaban. Isolde dan Calista mulai menjelajahi rooftop tua, mencari petunjuk yang mungkin ditinggalkan oleh Kaelith atau kenangan-kenangan yang tersembunyi. Mereka menemukan sebuah sudut tersembunyi di balik panel surya, di mana ukiran kecil berbentuk lensa tampak terpahat di beton. Isolde merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa tempat ini adalah pusat dari permusuhan yang lahir dari cintanya.

Malam itu, ketika mereka kembali ke apartemen, Isolde menemukan sebuah catatan lain di dalam buku catatan, yang selama ini ia lewatkan. Catatan itu berbunyi: “Cinta yang memecah adalah bayang yang tak pernah sirna. Seseorang harus menyerahkan jiwa untuk memutusnya, dan harga itu adalah hati.” Isolde merasa jantungnya berhenti. Ia menatap Calista, yang sedang membaca catatan-catatan sendiri di sudut ambang jendela, dan tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang membuatnya takut. Calista bukan hanya bagian dari keluarga penjaga cerita. Ia memiliki hubungan dengan Kaelith, dengan permusuhan ini, dan mungkin dengan dirinya.

Cahaya LED kembali menyala malam itu, dan suara sirene di kota terdengar lebih keras. Isolde duduk di ambang jendela, dikelilingi oleh buku catatan, foto, dan lensa dari kotak itu. Ia merasa seperti sedang menyusun sebuah teka-teki raksasa, tapi setiap potongan yang ia temukan hanya membuat gambar itu semakin gelap. Calista, yang duduk di sampingnya, akhirnya berkata, “Aku tahu kau membenci, Isolde. Tapi kita harus menghadapi ini bersama. Aku bukan hanya di sini untuk mengingat. Aku di sini karena aku berjanji pada seseorang untuk menemukan keadilan.”

Kata-kata itu seperti cahaya yang menyelinap ke dalam kegelapan hati Isolde. Ia ingin bertanya siapa “seseorang” itu, tapi ia sudah tahu jawabannya. Kaelith. Nama itu seperti dentuman yang terus bergema di kepalanya, membawa kembali kenangan tentang hari-hari ketika mereka mengambil foto di rooftop, menatap cahaya kota. Tapi kenangan itu juga membawa dendam yang tak tertahankan, dendam yang membuatnya tinggal di Vaeloria, berharap bisa melupakannya.

Pagi berikutnya, Isolde dan Calista kembali ke rooftop tua di tengah kota, membawa buku catatan dan lensa kamera tua. Di rooftop itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah foto yang harus diambil di depan sudut tersembunyi, dengan lensa sebagai pengikat. Tapi foto itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia benci. Isolde tahu apa yang harus ia korbankan: dendam yang ia miliki untuk Kaelith, emosi yang selama ini ia genggam erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Namun, sebelum mereka bisa mengambil foto, mereka mendengar suara langkah di atas beton. Seseorang mendekat, dan suara itu terasa familiar namun menakutkan. Isolde merasa jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke Calista, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita tidak sendirian,” katanya pelan, dan di matanya, Isolde melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Rooftop, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti jebakan yang menutup di sekitarnya.

Akhir di Bawah Cahaya Retak

Cahaya LED tebal menyelimuti Vaeloria, membalut gedung-gedung tinggi dan rooftop dengan kilauan warna-warni yang mencerminkan instalasi cahaya festival. Isolde dan Calista berdiri di depan sudut tersembunyi di rooftop tua, memegang buku catatan dan lensa kamera tua. Cahaya kota dari gedung-gedung yang jauh berkedip-kedip melalui kaca, menciptakan bayang-bayang yang menari di beton, seolah jiwa-jiwa dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara langkah yang mereka dengar semakin mendekat, diiringi oleh desau angin yang kini terdengar tajam, penuh dengan ketegangan yang tak terucap. Isolde merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di rooftop, apa pun yang telah membangkitkan dendamnya selama dua tahun.

Ketika mereka menoleh, mereka melihat sosok yang berdiri di antara panel surya. Itu adalah pemuda dengan rambut hitam panjang yang basah oleh kabut malam, wajahnya dingin namun familiar—Kaelith. Matanya yang tajam memandang Isolde, dan senyum tipis muncul di bibirnya, penuh dengan penyesalan yang tak bisa diucapkan. “Kau sudah menemukannya, bukan?” kata sosok itu, suaranya dingin namun penuh otoritas. “Buku itu, lensa itu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Isolde.”

Isolde ingin bertanya siapa sosok itu, tapi sebelum ia bisa membuka mulut, Calista melangkah maju. “Kaelith,” katanya, suaranya tegas namun penuh emosi. “Kau tak seharusnya ada di sini.” Isolde merasa dunia di sekitarnya berputar. Kaelith, sahabat yang ia cintai, yang konon menjauh karena ambisi, kini berdiri di depannya, hidup namun berbeda. Tapi ada sesuatu yang salah dengan sosok ini. Auranya terasa dingin, seolah ia adalah bagian dari rooftop itu sendiri, bagian dari permusuhan yang lahir dari cintanya.

Kaelith tersenyum tipis, namun senyumnya tak mencapai matanya. “Aku di sini untuk memutus bayang ini, Calista. Dan kau tahu apa yang diperlukan untuk itu.” Isolde menatap Calista, mencari jawaban di wajahnya, tapi gadis itu hanya menunduk, tangannya mengepal erat. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Isolde, suaranya gemetar. “Apa yang harus kulakukan?”

Kaelith menjelaskan bahwa permusuhan yang lahir dari cinta hanya bisa diputus dengan pengampunan—seseorang harus menyerahkan sesuatu yang paling ia benci, sesuatu yang ia cintai namun kini memicu dendam. Bagi Kaelith, itu adalah ambisinya, yang ia lepaskan demi menghadapi kebenaran dalam hatinya. Dan kini, giliran Isolde untuk memilih. Lensa kamera tua yang ia pegang adalah kunci untuk menyelesaikan ritual, tapi harga yang harus dibayar adalah sesuatu yang akan menghancurkan hatinya.

Isolde merasa dadanya sesak. Ia teringat Kaelith, teringat hari-hari ketika mereka mengambil foto di rooftop, teringat tatapannya di foto polaroid. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa pengampunan itu berhubungan dengan dendam yang ia miliki—dendam yang pernah ia rasakan untuk Kaelith, yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Malam itu, di tengah cahaya LED yang tak kunjung padam, Isolde dan Calista kembali ke ambang jendela apartemen. Mereka duduk di karpet, dikelilingi oleh buku catatan, foto, dan puisi dari kotak itu. Calista akhirnya menceritakan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Ia adalah sepupu jauh Kaelith, bagian dari keluarga penjaga cerita Vaeloria, yang datang untuk memenuhi janji Kaelith—janji untuk memutus ikatan permusuhan yang telah menghancurkan hati Isolde. Kaelith, menurut Calista, tahu tentang cinta Isolde sebelum ia menjauh, tapi ia pergi untuk mengejar ambisinya, dan keputusannya untuk kembali adalah upaya terakhir untuk mencari pengampunan.

Isolde merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia tak pernah tahu bahwa ia memiliki hubungan dengan keluarga Kaelith, tak pernah tahu bahwa Kaelith telah mencoba menyelamatkannya dari dendam. Calista memegang tangannya, matanya penuh dengan kesedihan yang sama yang ia rasakan. “Aku datang ke sini untuk menemukan jawaban, Isolde,” katanya. “Tapi aku juga datang untuk melindungimu. Aku tahu harga yang harus dibayar, dan aku siap membantumu.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Isolde. Ia tahu bahwa Calista bersedia mengorbankan dirinya untuk memutus ikatan, tapi ia tak bisa membiarkan itu terjadi. Ia telah kehilangan terlalu banyak—harapan, cinta, dan kini, mungkin, kedamaian. Ia memutuskan bahwa ia sendiri yang akan menyelesaikan ritual itu, apa pun harganya.

Pagi berikutnya, ketika matahari menyelinap di antara cahaya LED, Isolde dan Calista kembali ke rooftop tua di tengah kota. Mereka membawa buku catatan, lensa kamera tua, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di rooftop itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah foto yang harus diambil di depan sudut tersembunhi, dengan lensa sebagai pengikat. Tapi foto itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia benci. Isolde tahu apa yang harus ia korbankan: dendam yang ia miliki untuk Kaelith, emosi yang selama ini ia pendam, yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Dengan tangan gemetar, Isolde berdiri di depan sudut tersembunhi, memegang lensa itu. Ia mengambil foto yang ditulis dalam buku catatan, setiap klik terasa seperti mengoyak jiwanya. Ia teringat wajah Kaelith, tatapannya di foto polaroid, suara langkahnya. Ketika foto terakhir itu diambil, lensa di tangannya bersinar terang, dan cahaya LED di sekitarnya berhenti sejenak, menciptakan keheningan yang menyelimuti rooftop. Cahaya itu meredup, dan Isolde merasa sesuatu telah berubah. Lensa itu kini tenggelam ke dalam beton di dekat sudut, dan cahaya kembali menyala, seolah ikatan itu telah terputus.

Tapi ada harga yang harus dibayar. Isolde merasa dendamnya memudar, digantikan oleh kelegaan yang dingin. Ia masih ingat bahwa ia pernah membenci Kaelith, tapi wajahnya, suaranya, semua detail itu hilang, seolah tak pernah ada. Ia jatuh berlutut di depan sudut, menangis tanpa suara, sementara cahaya membasahi wajahnya. Calista memegang tangannya, matanya penuh dengan air mata. “Kau melakukannya, Isolde,” katanya pelan. “Ikatan itu sudah berakhir.” Tapi Isolde tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu mahal. Ia telah kehilangan dendam yang menjadi alasan hidupnya, dan di dalam hatinya, ia merasa kosong.

Hari-hari berikutnya di Vaeloria terasa seperti mimpi buruk yang perlahan memudar. Cahaya LED tetap menyala, tapi langkah Kaelith tak lagi terdengar. Isolde duduk di ambang jendela apartemennya, menatap buku catatan yang kini kosong, tanpa foto yang menyertainya. Pada suatu malam, ketika cahaya turun lagi, Isolde berjalan menuju rooftop tua, membawa buku catatan yang telah kosong. Ia berdiri di depan sudut tersembunhi, menatap beton yang mencerminkan wajahnya yang pucat, dan merasa bahwa hidupnya telah berakhir bersama dendam yang hilang. Dengan langkah perlahan, ia meletakkan buku catatan di sudut dan berjalan menjauh, membiarkan cahaya menyelimuti dirinya sepenuhnya. Rooftop itu kembali tenggelam dalam keheningan, menyimpan bayang permusuhan dalam kenangan yang abadi.

Vaeloria berdiri diam di belakangnya, instalasi cahaya festival berkedip redup, dan sudut tersembunhi di rooftop tetap menjadi saksi bisu dari akhir tragis Isolde Rhea, di mana sahabat jadi musuh karena cinta dan pengampunan berakhir dalam duka yang tak pernah sirna.

Sahabat Jadi Musuh karena Cinta: Drama Romantis Paling Intens menghadirkan kisah cinta yang lahir dari persahabatan namun berujung pada permusuhan tragis, meninggalkan bekas mendalam dalam hati. Dengan alur penuh konflik dan akhir yang menyayat, cerpen ini mengajak Anda merenung tentang harga dari cinta dan pengampunan. Segera temukan kisah Isolde dan rasakan emosi yang tak terlupakan ini!

Terima kasih telah menyelami ulasan Sahabat Jadi Musuh karena Cinta: Drama Romantis Paling Intens. Semoga cerita ini membawa Anda pada refleksi mendalam tentang cinta dan konflik. Kami menantikan kehadiran Anda kembali untuk petualangan literatur berikutnya—silakan bagikan kesan Anda dengan kami!

Leave a Reply