Cinta Bertepuk Sebelah Tangan: Kisah Sahabat Remaja Paling Menyentuh

Posted on

Temukan kisah cinta sepi yang mengharukan dalam Cinta Bertepuk Sebelah Tangan: Kisah Sahabat Remaja Paling Menyentuh 2024, sebuah cerpen epik yang menggambarkan perjalanan emosional Zephyrine Oh di lembah Sylvara pada tahun 2024. Cerita ini mengungkap cinta Zephyrine untuk sahabatnya, Eryndor Jung, yang tak pernah terbalas, di tengah misteri yang dibawa Thalia Kwon. Cocok untuk penggemar drama Korea yang mencari alur penuh emosi dan kesedihan—jangan lewatkan petualangan hati yang memikat ini!

Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

Bayang di Lembah Embun

Di sebuah lembah terpencil bernama Sylvara pada tahun 2024, di mana hamparan rumput hijau bergoyang pelan di bawah langit senja yang memerah dan sungai kecil memantulkan kilauan embun, udara selalu membawa aroma tanah basah dan bunga liar yang tumbuh di sela-sela tebing. Sylvara dikenal dengan festival embun malam yang menghidupkan lembah dengan cahaya lampu minyak setiap bulan Februari, serta sekolah menengah pertama yang berdiri di tepi hutan, dindingnya ditutupi lumut akibat hujan yang sering turun. Di antara siswa kelas sembilan yang sibuk itu, ada seorang gadis bernama Zephyrine Oh, berusia empat belas tahun, dengan rambut panjang berwarna cokelat tua yang sering diikat longgar, dan mata hazel yang menyimpan perasaan yang ia sembunyikan di balik senyum tipisnya. Ia pindah ke Sylvara bersama ibunya setelah ayahnya meninggal karena penyakit kronis, membawa tas tua yang penuh dengan sketsa dan buku puisi yang ia tulis untuk menenangkan jiwanya. Namun, di balik keindahan lembah itu, ada cinta bertepuk sebelah tangan yang perlahan menggerogoti hatinya, hingga ia bertemu dengan sahabatnya yang tak pernah membalas perasaannya, Eryndor Jung.

Zephyrine tinggal di sebuah gubuk kayu di pinggir hutan, sebuah hunian sederhana dengan atap jerami yang selalu terdengar gemerisik saat hujan turun. Ruangannya dipenuhi benda-benda yang mengingatkannya pada kehidupan sebelumnya—sebuah sketsa ayahnya yang ia gambar ulang berkali-kali, tumpukan buku puisi yang ia isi dengan kata-kata hampa, dan sebuah kotak kecil berisi bunga kering yang jarang dibukanya. Suara jangkrik yang berkicau di malam hari sering menjadi teman sunyinya, tapi suara itu kini terasa seperti pengingat akan kesepiannya, sejak ia mulai menyadari bahwa cintanya pada Eryndor tak akan pernah terbalas. Zephyrine pindah ke Sylvara pada awal musim dingin 2023, mencari tempat baru untuk menyembuhkan luka, tapi lembah ini kini menjadi saksi dari cinta sepi yang ia pendam.

Hari-hari Zephyrine di SMP Sylvara biasanya dimulai dengan suara embun yang menetes dari atap, diikuti oleh langkah kakinya yang pelan menuju kelas bersama Eryndor. Mereka duduk di sudut ruangan, berbagi sketsa dan menatap lembah yang terselimuti kabut pagi. Tapi seiring waktu, terutama menjelang akhir tahun ajaran, ruang di sampingnya mulai terasa berat dengan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan, meninggalkan jejak luka yang membuat Zephyrine merasa seperti tenggelam dalam sunyi. Ia menghabiskan waktu istirahat di tepi hutan, menatap sungai yang mengalir pelan, tangannya memegang pensil yang kini jarang digunakan. Di malam hari, ia duduk di ambang pintu gubuk, menatap lampu minyak festival yang berkelap-kelip di kejauhan, hati dipenuhi kerinduan pada hari-hari ketika persahabatan mereka masih murni, sebelum cintanya mulai tumbuh.

Persahabatan mereka dimulai di kelas sembilan, di tepi hutan saat mereka secara tidak sengaja bertemu sambil mengumpulkan kayu kering untuk proyek seni. Eryndor, dengan rambut pirang pendek yang selalu rapi dan tatapan dingin yang misterius, langsung mengulurkan tangan untuk membantu Zephyrine membawa beban kayu yang berat. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan, berbagi sketsa di tepi sungai, menulis puisi bersama di bawah pohon-pohon tua, dan bermimpi menjadi seniman terkenal. Eryndor selalu menjadi yang lebih tertutup, sementara Zephyrine menemukan kehangatan dalam kehadiran temannya. Mereka tumbuh bersama, melewati ujian seni, hujan deras di Sylvara, dan harapan untuk mengejar impian mereka. Tapi segalanya mulai berubah di pertengahan tahun ajaran, ketika Eryndor mulai menjauh tanpa alasan, meninggalkan Zephyrine dengan perasaan yang tak terucapkan.

Zephyrine sering mengingat hari-hari awal mereka, sebuah malam di bulan Maret ketika lampu minyak festival mulai dinyalakan dan embun menyelimuti lembah dengan kilauan lembut. Mereka duduk di tepi sungai, mendengarkan suara air yang mengalir, dan berbagi cerita tentang masa depan. Eryndor tampak sedikit berbeda hari itu, matanya penuh jarak, tapi Zephyrine menganggap itu hanya kelelahan. Tahun-tahun berlalu, dan menjelang akhir kelas sembilan, jarak antara mereka semakin lebar—Eryndor sering menghabiskan waktu sendirian, sementara Zephyrine larut dalam dunia sketsa-nya yang penuh kerinduan. Malam itu, setelah ujian seni, Zephyrine menemukan sebuah sketsa dari Eryndor di buku puisi-nya: sebuah gambar lembah dengan bayangan samar, dengan catatan pendek, “Aku tak bisa memberi apa yang kau harapkan.” Sejak saat itu, Zephyrine merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya, sebuah kekosongan yang tak bisa diisi oleh siapa pun.

Suatu malam di bulan April, ketika embun membasahi lembah dan angin membawa udara dingin, Zephyrine duduk sendirian di tepi hutan, menatap sungai yang berkilauan di bawah cahaya bulan. Angin membawa aroma bunga liar dari kebun di kejauhan, dan tiba-tiba seorang gadis dengan mantel abu-abu tua muncul di dekatnya. Rambutnya yang hitam panjang tergerai oleh angin, dan matanya yang perak menatapnya dengan rasa ingin tahu yang aneh. Ia memperkenalkan diri sebagai Thalia Kwon, seorang siswa pindahan yang baru datang ke Sylvara dan tampak terpesona oleh hutan yang lebat. Wajahnya penuh tanda-tanda kecil dari apa yang ia sebut “perjalanan malam,” tapi ada kelembutan dalam caranya berdiri yang membuat Zephyrine tak bisa menolak mengundangnya duduk bersamanya.

Thalia duduk di rumput basah, tangannya yang lentik memegang sebuah buku sketsa tua yang tampak usang. Matanya sesekali melirik buku Zephyrine, seolah mengenali sesuatu. “Tempat ini penuh kisah yang tak terucap,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara angin. Zephyrine mengangguk, hati bergetar oleh kata-kata yang terasa terlalu dekat dengan perasaannya. Thalia memutuskan untuk tinggal sebentar di Sylvara, dengan alasan ingin mengenal lembah, dan meski Zephyrine ragu, ia merasa ada kelegaan dalam kehadiran gadis itu, sebuah perubahan dari kesepian yang selama ini menyelimutinya.

Hari-hari berikutnya membawa ritme baru ke kehidupan Zephyrine. Thalia membantu menggambar di buku sketsa-nya, duduk bersamanya di kelas seni SMP, dan bahkan memperbaiki pensil tua dengan tangan terampilnya. Ia tak banyak bertanya tentang Eryndor, tapi gerakannya yang pelan, seperti saat ia mengumpulkan bunga atau menatap sungai, seolah membawa sedikit cahaya ke dalam kegelapan hatinya. Zephyrine mulai merasa nyaman dengan kehadiran Thalia, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.

Namun, di balik ketenangan yang muncul, ada bayangan yang semakin pekat. Setiap kali angin bertiup kencang, Zephyrine merasa ada suara samar di hutan—langkah kaki yang terdengar seperti Eryndor, atau desir angin yang mirip dengan desahan temannya. Ia sering terbangun di malam hari, berkeringat dingin, membayangkan Eryndor berdiri di sudut pintunya, wajahnya pucat dan matanya kosong. Dan Thalia, dengan instinknya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Zephyrine menatap buku sketsa-nya, cara ia menggambar dengan tangan gemetar, dan cara ia selalu terdiam ketika embun membawa kenangan.

Pada suatu malam yang dingin, ketika lampu minyak festival di lembah tampak redup di balik kabut, Zephyrine mendengar ketukan lembut di pintu gubuknya. Ia membukanya, berpikir itu hanya angin, tapi yang berdiri di luar adalah seorang gadis dengan mantel basah dan rambut hitam kusut. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak kayu kecil yang tampak tua, permukaannya penuh goresan. Gadis itu meletakkan kotak itu di ambang pintu dan berbicara dengan suara pelan, “Ini milik Eryndor. Aku menemukannya di hutan tua di atas lembah.” Sebelum Zephyrine bisa bertanya lebih lanjut, gadis itu berbalik dan menghilang ke dalam kabut, meninggalkan Zephyrine dengan detak jantung yang kencang dan rasa takut yang tak bisa dijelaskan.

Zephyrine berdiri di pintu, memegang kotak itu yang terasa dingin di tangannya. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah lembah yang gelap di luar, dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia merasa takut—bukan hanya karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan, tapi karena kenyataan bahwa kenangan itu mungkin akan menghancurkannya sepenuhnya.

Desir di Lembah Malam

Kabut menyelimuti Sylvara, membalut hutan dan lembah dengan lapisan embun yang membentuk cermin di jalur setapak yang mencerminkan lampu minyak festival. Zephyrine Oh duduk di lantai pintunya, kotak kayu kecil yang diberikan gadis misterius itu terbuka di depannya, isi di dalamnya tersebar di tikar anyaman. Udara di luar terasa dingin, bercampur dengan aroma bunga liar dan tanah basah yang menempel di setiap sudut. Di kejauhan, suara sungai mengalir pelan, membawa desau yang terdengar seperti bisikan dari masa lalu. Lampu minyak di pintu berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding, seolah menggambarkan kenangan yang terus menghantuinya.

Kotak itu berisi benda-benda yang membuat jantung Zephyrine berdegup kencang—sebuah sketsa yang dilipat rapi, beberapa puisi yang ditulis tangan oleh Eryndor, dan sebuah buku sketsa kecil yang penuh gambar lembah. Kertas-kertas itu terasa dingin dan sedikit lengket karena kelembapan, dan aroma arang yang memudar memenuhi udara, membawa kembali ingatan tentang Eryndor yang sering menggambar di tepi sungai. Zephyrine menatap isi kotak itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh buku sketsa kecil yang tampak seperti menyimpan rahasia terakhir temannya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka duduk bersama di hutan, ketika tawa Eryndor masih terdengar jelas di telinganya.

Malam itu, ketika bulan purnama tersembunyi di balik kabut tebal dan embun mereda menjadi tetesan kecil, Thalia Kwon kembali dari perjalanan singkatnya ke hutan tua di atas lembah. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi pensil tua dan sebuah kotak logam kecil yang ia temukan di antara akar pohon. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya yang perak bersinar dengan rasa ingin tahu yang aneh. “Aku menemukan sesuatu yang mungkin membantumu,” katanya, meletakkan kotak itu di meja kayu di samping kotak milik Eryndor. Kotak itu terbuat dari logam berkarat dengan ukiran bunga, dan di dalamnya terdapat sebuah surat yang ditulis dengan tangan rapi, bersama dengan foto polaroid yang sudah menguning di tepinya.

Zephyrine merasa napasnya terhenti sejenak. Surat itu ditulis oleh Eryndor, tinta hitamnya masih samar terbaca meski kertasnya basah. Ia mengambil surat itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan kata-kata yang membuat dunianya bergetar. “Zephyrine, maafkan aku karena tak bisa membalas,” tulisnya. Surat itu menceritakan tentang perasaannya yang terpendam pada seseorang lain, tentang bagaimana Eryndor merasa terjebak dalam konflik batin, dan tentang keputusannya untuk menjauh demi menjaga persahabatan mereka. Foto polaroid menunjukkan Eryndor berdiri di tepi sungai, rambut pirangnya berkibar oleh angin, dengan tatapan kosong yang penuh rahasia.

Zephyrine merasa dadanya sesak. Ia ingat Eryndor, yang selalu tertutup di hutan, dan hari-hari ketika ia menunggu kehadiran temannya dengan harapan yang perlahan memudar. Surat itu mengungkap bahwa Eryndor tahu tentang cinta Zephyrine, tapi ia memilih untuk diam, tak ingin menyakitinya dengan kebenaran tentang hati yang tak bisa ia berikan. Zephyrine menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah awal dari kesedihan yang tak terhindarkan.

Thalia memperhatikan reaksi Zephyrine, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di sudut pintu, membolak-balik pensil tua dengan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Zephyrine untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Thalia, meski diam, terasa seperti tekanan lembut yang mendorong Zephyrine untuk menghadapi kenyataan. Ia menatap buku sketsa kecil Eryndor di tangannya, lalu ke puisi di kotak. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Zephyrine mulai merasa bahwa kehadiran Thalia bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap surat Eryndor, yang membuat Zephyrine curiga bahwa gadis ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu malam, ketika mereka duduk di tepi hutan sambil menikmati teh panas di tengah embun yang reda, Thalia tiba-tiba berkata, “Cinta yang tak terbalas adalah beban yang tak pernah hilang, Zephyrine.” Zephyrine menatapnya tajam, merasa seperti ditelanjangi. Ia ingin marah, ingin mengusir Thalia dari hutan, tapi ada sesuatu dalam nada suara Thalia yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kadang kita harus menerima keheningan,” jawabnya dingin, lalu bangkit dan berjalan kembali ke gubuk, meninggalkan Thalia sendirian di tepi hutan.

Malam itu, Zephyrine akhirnya memberanikan diri untuk membuka buku sketsa kecil Eryndor. Di dalamnya, ia menemukan sketsa-sketsa yang ditulis dengan tangan gemetar, penuh dengan gambar lembah dan hutan. Satu halaman terakhir berisi puisi pendek yang ditulis dengan arang yang sudah luntur: “Di lembah ini aku pergi, meninggalkan bayang untukmu. Maafkan aku, sahabat.” Zephyrine merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan Sylvara dan semua kenangan yang tersimpan di lembah ini, tapi ia tahu ia tak bisa. Lembah itu, cintanya yang bertepuk sebelah tangan, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.

Pagi berikutnya, Thalia menemukan Zephyrine duduk di ambang pintu, dikelilingi oleh surat, buku sketsa kecil, dan puisi dari kotak itu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan segelas teh. Tapi di matanya, Zephyrine melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Thalia tahu lebih banyak tentang Eryndor daripada yang ia katakan. “Kau pernah mencintai seseorang yang tak melihatmu?” tanya Zephyrine tiba-tiba, suaranya serak karena menangis semalaman. Thalia menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa hancurnya itu.”

Hari itu, untuk pertama kalinya, Zephyrine mulai berbicara tentang masa lalunya—tentang Eryndor, tentang cintanya yang bertepuk sebelah tangan, dan tentang luka yang membuatnya tinggal di Sylvara. Thalia mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang membuat Zephyrine merasa bahwa gadis ini bukan hanya siswa pindahan. Ada hubungan antara Thalia dan kenangan Eryndor yang ia temukan di kotak dan buku sketsa kecil, dan Zephyrine tahu bahwa kebenaran itu akan segera terungkap, entah ia siap atau tidak.

Sylvara, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti panggung bagi sebuah cerita yang belum selesai. Setiap tetes embun yang ia lihat, setiap bayangan Eryndor yang ia bayangkan di hutan, membawanya lebih dekat ke sebuah kebenaran yang mungkin akan menghancurkannya. Dan di tengah semua itu, ada Thalia, gadis yang datang sebagai orang asing, tapi kini menjadi bagian dari cerita yang tak pernah Zephyrine bayangkan akan ia jalani lagi.

Jejak di Lembah Senja

Langit Sylvara pada sore hari di pertengahan musim semi 2024 tampak diselimuti awan kelabu yang menggantung rendah di atas lembah, menciptakan lapisan bayang yang menyatu dengan hamparan rumput liar yang bergoyang pelan di bawah angin sepoi-sepoi. Sungai kecil di kejauhan memantulkan kilauan samar lampu minyak festival, sementara tetesan embun malam masih menempel di daun-daun yang menjuntai di tepi hutan. Zephyrine Oh duduk di ambang pintu gubuknya, tangannya memegang buku sketsa kecil Eryndor yang usang, sementara kotak kayu yang ditemukan di hutan tua terbuka di sampingnya. Setiap halaman buku itu terasa seperti membuka luka lama, membawa kembali kenangan tentang waktu bersama sahabatnya, tentang harapan yang pernah ia genggam erat, dan tentang kesunyian yang kini mengisi ruang kosong di hatinya. Di sudut kotak, sebuah pensil tua yang pernah mereka temukan bersama tergeletak, seolah menyimpan emosi yang tak pernah ia ungkapkan.

Thalia Kwon, gadis yang kini menjadi bagian dari kehidupan Zephyrine, sedang mengamati pantulan lampu minyak di permukaan sungai dari kejauhan dengan gerakan hati-hati. Tangan-tangannya yang lentik bergerak dengan konsentrasi, tapi pikiran Zephyrine tak sepenuhnya ada di sana. Ia terus memikirkan kata-kata Thalia malam sebelumnya, ketika ia mengaku memiliki koneksi dengan Eryndor melalui cerita-cerita hutan tua yang ia dengar dari penduduk lembah. Ada sesuatu dalam nada suaranya, dalam cara ia menatap buku sketsa Eryndor, yang membuat Zephyrine yakin bahwa Thalia menyimpan rahasia yang lebih dalam—rahasia yang mungkin bisa menjelaskan cinta bertepuk sebelah tangan yang menggerogoti hatinya.

Hari itu, Zephyrine memutuskan untuk menghadapi Thalia. Ia menunggu hingga gadis itu selesai mengamati sungai, lalu mengajaknya duduk di rumput basah yang menghadap ke lembah. Cahaya senja di luar menciptakan suasana melankolis, seolah menyembunyikan bayang-bayang dari masa lalu. Zephyrine meletakkan buku sketsa di atas rumput yang mulai kering, di samping kotak kayu yang masih mengeluarkan aroma kayu lembap. “Thalia,” katanya, suaranya tegas namun gemetar, “aku perlu tahu apa yang kau sembunyikan. Dan apa hubunganmu dengan Eryndor.”

Thalia menatapnya lama, matanya yang perak seolah menimbang-nimbang sesuatu. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan sebuah buku sketsa kecil dari mantelnya, kulitnya sudah usang dan penuh noda embun. “Aku bukan hanya siswa pindahan, Zephyrine,” katanya pelan. “Aku bagian dari keluarga yang menjaga cerita Sylvara, dan aku datang ke sini karena jejak Eryndor yang tersisa di hutan tua. Aku tahu tentang kalian berdua.”

Zephyrine merasa jantungnya berdegup kencang. Ia ingin marah, ingin mengusir Thalia karena telah menyusup ke hidupnya dengan motif tersembunyi, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa lega—lega karena akhirnya ada seseorang yang mungkin bisa membantu memahami perasaannya. Thalia membuka buku sketsa itu, menunjukkan sketsa-sketsa tentang Sylvara, termasuk nama-nama yang ia kenali—Eryndor sebagai pemuda yang bercita-cita menjadi seniman, dan Zephyrine yang sering terlihat bersamanya di hutan. Menurut cerita yang ia kumpulkan, setiap cinta bertepuk sebelah tangan di Sylvara ditakdirkan untuk diuji oleh kebenaran yang tersembunyi, dan perasaan Zephyrine yang tumbuh adalah bagian dari kutukan yang tak bisa dihindari.

Zephyrine mendengarkan dengan napas tertahan, setiap kata Thalia seperti membuka luka lama yang ia coba kubur. Ia teringat Eryndor, yang selalu tertutup di hutan, dan hari-hari ketika ia menunggu kehadiran sahabatnya dengan harapan yang perlahan memudar. Dalam buku sketsa, ia membaca tentang perasaannya yang berkembang seiring waktu, tentang bayangan Eryndor yang ia anggap sebagai tanda cinta, dan tentang pensil tua yang ia temukan di kotak. Zephyrine tak pernah tahu detail tentang seseorang lain yang Eryndor cintai, tapi suratnya menyebutkan bahwa ia tahu tentang perasaan Zephyrine, namun memilih menjauh demi menjaga hati sahabatnya dari luka yang lebih dalam.

Malam itu, setelah pertemuan mereka, Zephyrine dan Thalia duduk di ambang pintu gubuk, ditemani suara angin yang bergulung pelan melalui lembah. Zephyrine memutuskan untuk menceritakan kisahnya kepada Thalia—kisah yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Ia menceritakan tentang masa SMP-nya di Sylvara, tentang Eryndor yang selalu ada di sisinya, tentang hari-hari penuh harapan sebelum ia menyadari bahwa cintanya tak akan pernah terbalas. Ia menceritakan tentang malam terakhir mereka di hutan, tentang rasa sakit yang mengisi hidupnya sejak saat itu.

Thalia mendengarkan tanpa menyela, tapi matanya penuh dengan empati yang tulus. Ketika Zephyrine selesai bercerita, ia mengeluarkan sebuah foto dari buku sketsa-nya. Foto itu menunjukkan seorang pemuda dengan rambut pirang pendek, berdiri di tepi sungai dengan tatapan kosong, memegang pensil tua. “Ini dia,” kata Thalia pelan. “Eryndor.” Zephyrine merasa dunia di sekitarnya berputar. Foto itu diambil di hutan, dengan latar belakang lembah yang berkilauan.

Thalia menjelaskan bahwa ia menemukan foto itu di antara barang-barang tua yang ia terima dari keluarganya. Foto itu disertai dengan sebuah catatan yang ditulis oleh Eryndor, yang berbunyi: “Zephyrine, maafkan aku karena tak bisa membalas. Aku tinggalkan ini untukmu.” Zephyrine tak bisa menahan air matanya. Ia merasa campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kerinduan yang begitu kuat hingga dadanya terasa sesak. Ia ingin bertanya pada Thalia bagaimana ia bisa menemukan semua ini, tapi kata-kata tak mau keluar dari mulutnya.

Hari-hari berikutnya di Sylvara dipenuhi dengan pencarian jawaban. Zephyrine dan Thalia mulai menjelajahi hutan tua, mencari petunjuk yang mungkin ditinggalkan oleh Eryndor atau kenangan-kenangan yang tersembunyi. Mereka menemukan sebuah celah tersembunyi di balik pohon besar, di mana ukiran kecil berbentuk bunga tampak terpahat di kulit kayu. Zephyrine merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa tempat ini adalah pusat dari cinta bertepuk sebelah tangan yang mengikatnya.

Malam itu, ketika mereka kembali ke gubuk, Zephyrine menemukan sebuah catatan lain di dalam buku sketsa, yang selama ini ia lewatkan. Catatan itu berbunyi: “Cinta yang tak terbalas adalah bayang yang tak pernah sirna. Seseorang harus menyerahkan jiwa untuk memutusnya, dan harga itu adalah hati.” Zephyrine merasa jantungnya berhenti. Ia menatap Thalia, yang sedang membaca catatan-catatan sendiri di sudut ambang pintu, dan tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang membuatnya takut. Thalia bukan hanya bagian dari keluarga penjaga cerita. Ia memiliki hubungan dengan Eryndor, dengan cinta ini, dan mungkin dengan dirinya.

Angin kembali bertiup malam itu, dan suara sungai di lembah terdengar lebih keras. Zephyrine duduk di ambang pintu, dikelilingi oleh buku sketsa, foto, dan pensil dari kotak itu. Ia merasa seperti sedang menyusun sebuah teka-teki raksasa, tapi setiap potongan yang ia temukan hanya membuat gambar itu semakin gelap. Thalia, yang duduk di sampingnya, akhirnya berkata, “Aku tahu kau terluka, Zephyrine. Tapi kita harus menghadapi ini bersama. Aku bukan hanya di sini untuk mengingat. Aku di sini karena aku berjanji pada seseorang untuk menemukan kedamaian.”

Kata-kata itu seperti angin yang menyapu hati Zephyrine. Ia ingin bertanya siapa “seseorang” itu, tapi ia sudah tahu jawabannya. Eryndor. Nama itu seperti mantra yang terus bergema di kepalanya, membawa kembali kenangan tentang hari-hari ketika mereka menggambar di hutan, mendengarkan suara sungai. Tapi kenangan itu juga membawa rasa sakit yang tak tertahankan, rasa sakit yang membuatnya tinggal di Sylvara, berharap bisa melupakan segalanya.

Pagi berikutnya, Zephyrine dan Thalia kembali ke hutan tua di atas lembah, membawa buku sketsa dan pensil tua. Di hutan itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah puisi yang harus diucapkan di depan celah tersembunyi, dengan pensil sebagai pengikat. Tapi puisi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Zephyrine tahu apa yang harus ia korbankan: cinta yang ia miliki untuk Eryndor, emosi yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Namun, sebelum mereka bisa membaca lebih lanjut, mereka mendengar suara langkah di atas rumput basah. Seseorang mendekat, dan suara itu terasa familiar namun menakutkan. Zephyrine merasa jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke Thalia, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita tidak sendirian,” katanya pelan, dan di matanya, Zephyrine melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Hutan, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti jebakan yang menutup di sekitarnya.

Akhir di Bawah Cahaya Embun

Embun tebal menyelimuti Sylvara, membalut hutan dan lembah dengan tetesan air yang membentuk genangan di jalur setapak. Zephyrine dan Thalia berdiri di depan celah tersembunyi di hutan tua, memegang buku sketsa dan pensil tua. Cahaya lampu minyak festival dari lembah yang jauh berkedip-kedip melalui embun, menciptakan bayang-bayang yang menari di kulit kayu, seolah jiwa-jiwa dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara langkah yang mereka dengar semakin mendekat, diiringi oleh desau sungai yang kini terdengar jelas, penuh dengan kesedihan yang tak terucap. Zephyrine merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di hutan, apa pun yang telah memburu hatinya selama dua tahun.

Ketika mereka menoleh, mereka melihat sosok yang berdiri di antara pohon-pohon tua. Itu adalah pemuda dengan rambut pirang pendek yang basah oleh embun, wajahnya pucat namun familiar—Eryndor. Matanya yang kosong memandang Zephyrine, dan senyum tipis muncul di bibirnya, penuh dengan duka yang tak bisa diucapkan. “Kau sudah menemukannya, bukan?” kata sosok itu, suaranya lembut namun penuh otoritas. “Buku itu, pensil itu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Zephyrine.”

Zephyrine ingin bertanya siapa sosok itu, tapi sebelum ia bisa membuka mulut, Thalia melangkah maju. “Eryndor,” katanya, suaranya tegas namun penuh emosi. “Kau tak seharusnya ada di sini.” Zephyrine merasa dunia di sekitarnya berputar. Eryndor, sahabat yang ia cintai, yang konon menjauh karena cinta lain, kini berdiri di depannya, hidup namun berbeda. Tapi ada sesuatu yang salah dengan sosok ini. Auranya terasa hampa, seolah ia adalah bagian dari hutan itu sendiri, bagian dari cinta bertepuk sebelah tangan yang mengikat Zephyrine.

Eryndor tersenyum tipis, namun senyumnya tak mencapai matanya. “Aku di sini untuk memastikan bayang ini berhenti menghantui, Thalia. Dan kau tahu apa yang diperlukan untuk itu.” Zephyrine menatap Thalia, mencari jawaban di wajahnya, tapi gadis itu hanya menunduk, tangannya mengepal erat. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Zephyrine, suaranya gemetar. “Apa yang harus kulakukan?”

Eryndor menjelaskan bahwa cinta bertepuk sebelah tangan hanya bisa diputus dengan pengorbanan—seseorang harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga baginya, sesuatu yang ia cintai lebih dari hidupnya sendiri. Bagi Eryndor, itu adalah mimpinya untuk menjadi seniman, yang ia lepaskan demi menjaga Zephyrine dari kesedihan yang lebih dalam. Dan kini, giliran Zephyrine untuk memilih. Pensil tua yang ia pegang adalah kunci untuk menyelesaikan ritual, tapi harga yang harus dibayar adalah sesuatu yang akan menghancurkan hatinya.

Zephyrine merasa dadanya sesak. Ia teringat Eryndor, teringat hari-hari ketika mereka menggambar di hutan, teringat tatapannya di foto polaroid. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa pengorbanan itu berhubungan dengan cinta yang ia miliki—cinta yang pernah ia rasakan untuk Eryndor, yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Malam itu, di tengah embun yang tak kunjung reda, Zephyrine dan Thalia kembali ke ambang pintu gubuk. Mereka duduk di lantai, dikelilingi oleh buku sketsa, foto, dan puisi dari kotak itu. Thalia akhirnya menceritakan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Ia adalah sepupu jauh Eryndor, bagian dari keluarga penjaga cerita Sylvara, yang datang untuk memenuhi janji Eryndor—janji untuk memutus ikatan cinta yang telah menghancurkan hati Zephyrine. Eryndor, menurut Thalia, tahu tentang cinta Zephyrine sebelum ia menjauh, tapi ia memilih pergi, dan kematian mimpinya untuk Zephyrine adalah upaya terakhir untuk menyelamatkannya.

Zephyrine merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia tak pernah tahu bahwa ia memiliki hubungan dengan keluarga Eryndor, tak pernah tahu bahwa Eryndor telah mengorbankan mimpinya untuknya. Thalia memegang tangannya, matanya penuh dengan kesedihan yang sama yang ia rasakan. “Aku datang ke sini untuk menemukan jawaban, Zephyrine,” katanya. “Tapi aku juga datang untuk melindungimu. Aku tahu harga yang harus dibayar, dan aku siap membayarnya.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menikam hati Zephyrine. Ia tahu bahwa Thalia bersedia mengorbankan dirinya untuk memutus ikatan, tapi ia tak bisa membiarkan itu terjadi. Ia telah kehilangan terlalu banyak—harapan, cinta, dan kini, mungkin, kedamaian. Ia memutuskan bahwa ia sendiri yang akan menyelesaikan ritual itu, apa pun harganya.

Pagi berikutnya, ketika matahari akhirnya muncul di antara embun, Zephyrine dan Thalia kembali ke hutan tua di atas lembah. Mereka membawa buku sketsa, pensil tua, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di hutan itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah puisi yang harus diucapkan di depan celah tersembunhi, dengan pensil sebagai pengikat. Tapi puisi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Zephyrine tahu apa yang harus ia korbankan: cinta yang ia miliki untuk Eryndor, emosi yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.

Dengan tangan gemetar, Zephyrine berdiri di depan celah tersembunhi, memegang pensil itu. Ia mengucapkan puisi yang ditulis dalam buku sketsa, setiap kata terasa seperti mengoyak jiwanya. Ia teringat wajah Eryndor, tatapannya di foto polaroid, suara desahannya. Ketika kata terakhir puisi itu diucapkan, pensil di tangannya bersinar terang, dan embun di sekitarnya berhenti sejenak, menciptakan keheningan yang menyelimuti hutan. Cahaya itu meredup, dan Zephyrine merasa sesuatu telah berubah. Pensil itu kini tenggelam ke dalam tanah di dekat celah, dan embun kembali turun, seolah ikatan itu telah terputus.

Tapi ada harga yang harus dibayar. Zephyrine merasa kenangan tentang Eryndor mulai memudar, seperti arang yang terhapus perlahan dari buku sketsa. Ia masih ingat bahwa ia pernah mencintai seseorang, tapi wajahnya, suaranya, semua detail itu hilang, seolah tak pernah ada. Ia jatuh berlutut di depan celah, menangis tanpa suara, sementara embun membasahi tubuhnya. Thalia memegang tangannya, matanya penuh dengan air mata. “Kau melakukannya, Zephyrine,” katanya pelan. “Ikatan itu sudah berakhir.” Tapi Zephyrine tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu mahal. Ia telah kehilangan cinta yang menjadi alasan hidupnya, dan di dalam hatinya, ia merasa kosong.

Hari-hari berikutnya di Sylvara terasa seperti mimpi buruk yang tak berakhir. Embun tetap turun, tapi desahan Eryndor tak lagi terdengar. Zephyrine duduk di ambang pintu gubuknya, menatap buku sketsa yang kini kosong, tanpa gambar yang menyertainya. Pada suatu malam, ketika embun turun lagi, Zephyrine berjalan menuju hutan tua, membawa buku sketsa yang telah kosong. Ia berdiri di depan celah tersembunhi, menatap tanah yang mencerminkan wajahnya yang pucat, dan merasa bahwa hidupnya telah berakhir bersama cinta yang hilang. Dengan langkah perlahan, ia meletakkan buku sketsa di celah dan berjalan menjauh, membiarkan embun menyelimuti dirinya sepenuhnya. Hutan itu kembali tenggelam dalam keheningan, menyimpan bayang cinta dalam kenangan yang abadi.

Sylvara berdiri diam di belakangnya, lampu minyak festival di lembah berkedip redup, dan celah tersembunhi di hutan tetap menjadi saksi bisu dari akhir tragis Zephyrine Oh, di mana cinta bertepuk sebelah tangan dan pengorbanan berakhir dalam duka yang tak pernah sirna.

Cinta Bertepuk Sebelah Tangan: Kisah Sahabat Remaja Paling Menyentuh menghadirkan kisah cinta yang lahir dari persahabatan namun berujung pada pengorbanan yang menghancurkan hati. Dengan alur penuh emosi dan akhir yang tragis, cerpen ini mengajak Anda merenung tentang cinta yang tak terbalas dan kekuatan untuk melepaskannya. Segera temukan kisah Zephyrine dan rasakan sentuhan duka yang abadi dalam narasi ini!

Terima kasih telah menyelami ulasan Cinta Bertepuk Sebelah Tangan: Kisah Sahabat Remaja Paling Menyentuh. Semoga cerita ini membawa Anda pada perenungan mendalam tentang cinta dan pengorbanan. Kami menantikan kehadiran Anda kembali untuk petualangan literatur berikutnya—silakan bagikan kesan Anda dengan kami!

Leave a Reply