Daftar Isi
Temukan keajaiban emosional dalam Sahabatku Diambil Teman, sebuah cerpen epik yang mengungkap perjuangan hati di tengah persahabatan yang terancam di kota pesisir Sylvaren pada tahun 2024. Mengikuti perjalanan Azryelle Morvayne, seorang gadis pendiam yang menghadapi luka mendalam saat sahabatnya, Jorynth Alveris, terpikat oleh Tavrin, seorang fotografer baru yang karismatik. Dengan narasi yang kaya detail, nuansa drama Korea modern, dan alur yang penuh liku, cerpen ini membawa pembaca dalam petualangan emosional tentang kepercayaan, pengorbanan, dan pencarian kedamaian. Saksikan bagaimana ombak kehidupan menguji ikatan terdalam dan apakah Azryelle mampu menemukan cahaya di tengah badai.
Sahabatku Diambil Teman
Cahaya yang Memudar
Di sebuah kota pesisir bernama Sylvaren, yang terletak di ujung tebing curam dengan ombak yang bergemuruh di bawahnya, tahun 2024 berlalu dengan ritme yang penuh dinamika. Kota itu, dengan rumah-rumah bergaya modern yang berdampingan dengan bangunan tua berwarna pastel, tampak seperti kanvas yang hidup, dilukis oleh sinar matahari dan angin laut yang asin. Di sebuah apartemen kecil di tepi tebing, tinggallah seorang gadis bernama Azryelle Morvayne. Rambutnya yang berwarna pirang keperakan selalu diikat longgar dengan jepit bunga laut, warisan dari neneknya yang pernah menjadi nelayan, dan matanya yang biru tua menyimpan kedalaman emosi yang jarang ia tunjukkan, kecuali kepada satu orang: sahabatnya, Jorynth Alveris.
Azryelle dan Jorynth bertemu di sebuah festival laut saat mereka masih berusia tujuh tahun. Festival itu diadakan di dermaga tua, dipenuhi dengan lampu-lampu gantung berbentuk ikan dan aroma ikan bakar yang menggoda. Azryelle, yang saat itu terjatuh dari tangga kayu saat mencoba menangkap lampion terbang, menangis di sudut dermaga. Jorynth, dengan jaket biru laut dan sepatu yang penuh lumpur, menghampirinya dengan sebuah kerang kecil yang ia temukan di pantai. Ia memberikan kerang itu kepada Azryelle, lalu membantu membersihkan lututnya yang tergores dengan saputangan lusuhnya. Sejak saat itu, mereka menjadi tak terpisahkan, seperti dua gelombang yang selalu bertemu di pantai.
Jorynth adalah kebalikan dari Azryelle. Di mana Azryelle pendiam dan penuh perenungan, Jorynth adalah jiwa petualang yang selalu penuh energi dan ide. Ia sering mengajak Azryelle menjelajahi tebing-tebing di sekitar Sylvaren, mencari gua-gua tersembunyi atau mengumpulkan batu-batu cantik yang terbawa ombak. Apartemen kecil Azryelle menjadi tempat perlindungan mereka, sebuah ruang di mana mereka menyimpan kenangan, impian, dan janji-janji kecil yang hanya mereka pahami. Di sudut ruangan, ada sebuah toples kaca berisi kerang-kerang dan batu-batu yang mereka kumpulkan bersama, simbol dari persahabatan mereka yang kokoh.
Hari itu, di pertengahan Agustus 2024, Azryelle duduk di balkon apartemennya, menatap laut yang berkilau di bawah sinar matahari sore. Angin membawa aroma garam dan rumput laut, tetapi ada ketidaknyamanan yang menggantung di udara, seperti firasat yang tak bisa ia nama. Ia memegang sebuah gelang kulit sederhana, hadiah dari Jorynth pada ulang tahunnya yang ke-16, dengan liontin berbentuk kapal kecil yang selalu ia kenakan. Tapi hari ini, gelang itu terasa berat di pergelangan tangannya, seperti membawa beban yang tak terucapkan.
Jorynth belum menghubunginya sejak lima hari lalu, sesuatu yang sangat tidak biasa. Biasanya, ia akan datang ke apartemen Azryelle setiap sore, membawa cerita tentang petualangannya di pantai atau foto-foto yang ia ambil dengan kameranya yang sudah tua. Mereka akan duduk di balkon, minum teh jahe, dan berbagi segala hal—dari ketakutan akan masa depan hingga rahasia-rahasia kecil yang hanya mereka ketahui. Tapi lima hari tanpa kabar membuat Azryelle gelisah. Ia mencoba menghubunginya melalui telepon, tetapi panggilannya selalu berakhir dengan nada sibuk, dan pesan-pesan yang ia kirim hanya dibaca tanpa balasan.
Azryelle akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah Jorynth, yang terletak di dekat pasar ikan di pusat kota. Ia mengenakan jaket biru tua yang sudah sedikit memudar dan syal rajut putih, hadiah dari ayahnya yang kini tinggal di kota lain. Jalanan Sylvaren pagi itu ramai dengan pedagang ikan yang berteriak menawarkan dagangan mereka, suara ombak yang bergemuruh, dan aroma udang segar yang menggoda. Ia melewati dermaga tua tempat mereka pertama kali bertemu, dan untuk sesaat, ia merasa seperti kembali ke masa kecil.
Saat tiba di rumah Jorynth, Azryelle melihat sesuatu yang membuat jantungnya bergetar. Di halaman depan, Jorynth sedang berjalan bersama seorang pemuda yang tak dikenalnya. Pemuda itu memiliki rambut hitam ikal dan mengenakan kemeja lengan panjang dengan rompi cokelat, dengan senyum yang tampak begitu mudah menarik perhatian. Mereka tampak akrab, terlalu akrab untuk seseorang yang baru dikenal. Jorynth, yang biasanya hanya menunjukkan sisi petualang itu kepada Azryelle, tampak tertawa lepas, matanya berbinar dengan cara yang asing baginya. Azryelle merasa seperti ada dinding tak terlihat yang tiba-tiba muncul di antara mereka.
Azryelle berdiri di kejauhan, tersembunyi di balik tumpukan jaring ikan, mencoba memahami apa yang dilihatnya. Ia memperhatikan bagaimana Jorynth menunjukkan pemuda itu sebuah foto yang ia ambil, dan bagaimana pemuda itu mengangguk antusias sambil tersenyum. Azryelle merasakan tusukan di dadanya, seperti pisau kecil yang perlahan menusuk. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa ini tidak berarti apa-apa, bahwa Jorynth hanya sedang bersosialisasi seperti biasa. Tapi ada sesuatu dalam cara pemuda itu memandang Jorynth, dan cara Jorynth membalas pandangannya, yang membuat Azryelle merasa seperti orang asing di dunianya sendiri.
Akhirnya, ia memberanikan diri untuk melangkah mendekat. “Jor!” panggilnya, suaranya hampir tenggelam dalam suara ombak. Jorynth menoleh, dan untuk sesaat, Azryelle melihat kilatan kejutan di matanya, diikuti oleh senyum yang sedikit kaku. “Az! Kamu di sini,” katanya, berjalan mendekat dengan langkah yang terburu-buru. Pemuda berambut ikal itu mengikuti di belakangnya, tangannya memegang foto dengan hati-hati.
“Ini Tavrin,” kata Jorynth, menunjuk ke arah pemuda itu. “Dia baru pindah ke Sylvaren minggu lalu. Tav, ini Azryelle, sahabatku.” Kata “sahabat” itu terdengar aneh di telinga Azryelle, seperti ada jarak yang tak pernah ada sebelumnya. Tavrin mengulurkan tangan, dan Azryelle menjabatnya dengan ragu. Tangannya hangat, dan senyumnya terlalu cerah, seperti karakter dalam drama Korea yang sering ia tonton di malam hari.
“Senang bertemu denganmu, Azryelle,” kata Tavrin, suaranya penuh percaya diri. “Jorynth banyak cerita tentangmu.” Azryelle hanya mengangguk, mencoba menyembunyikan rasa cemas yang mulai menggerogoti hatinya. Jorynth tampak canggung, matanya sesekali melirik ke Tavrin seolah mencari persetujuan. Azryelle tidak tahu apa yang membuatnya lebih sakit: kenyataan bahwa Jorynth tidak menghubunginya selama lima hari, atau fakta bahwa ia tampak begitu nyaman dengan orang baru ini.
Hari itu berlalu dengan suasana yang tegang. Mereka duduk di ruang tamu Jorynth, di sofa tua yang dipenuhi bantal-bantal laut. Tavrin menceritakan bahwa ia pindah ke Sylvaren untuk bekerja sebagai fotografer freelance, dan bahwa ia sedang mencari teman di kota pesisir ini. Ia berbicara dengan penuh semangat tentang perjalanannya, kamera-kameranya, dan petualangannya di tempat-tempat terpencil. Jorynth mendengarkan dengan antusias, sesekali menimpali dengan cerita-cerita yang biasanya ia bagi dengan Azryelle. Azryelle merasa seperti penutup buku yang terlupakan di rak, hanya menjadi bagian dari latar belakang.
Saat pulang ke apartemen sore itu, Azryelle merasa dunianya sedikit bergeser. Ia berjalan menyusuri tepi tebing, memperhatikan ombak yang menghantam batu-batu di bawah. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang Tavrin, senyumnya yang terlalu cerah, dan tawa Jorynth yang kini terasa asing. Ia mencoba mengingat kapan terakhir kali mereka berdua tertawa seperti itu, tapi kenangan itu terasa kabur, seperti foto yang mulai memudar.
Malam itu, Azryelle duduk di kamarnya, dikelilingi oleh tumpukan foto dan lilin-lilin kecil yang menyala lembut. Ia membuka toples kaca berisi kerang-kerang dan batu-batu, mengambil sebuah kerang yang diberikan Jorynth saat mereka pertama kali bertemu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menulis di jurnalnya: “Jorynth punya teman baru. Aku tidak tahu mengapa ini terasa seperti pencurian. Mungkinkah sahabatku sedang diambil dariku?” Ia menutup jurnal itu, menatap keluar jendela ke laut malam yang gelap. Sylvaren, dengan semua keindahannya, tiba-tiba terasa begitu sepi.
Hari-hari berikutnya, Azryelle mencoba menjalani rutinitasnya seperti biasa. Ia bekerja sebagai asisten di sebuah galeri seni di pusat kota, tempat yang dipenuhi aroma cat dan kanvas. Pemilik galeri, seorang wanita tua bernama Mistress Lirien, sering menggodanya tentang sifatnya yang pendiam, mengatakan bahwa ia seperti pelukis yang menyimpan lukisan di hatinya. Azryelle tersenyum setiap kali mendengar itu, tapi hatinya tidak benar-benar ada di sana. Pikirannya terus kembali ke Jorynth dan Tavrin.
Jorynth mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Tavrin. Mereka terlihat bersama di tepi tebing, di pasar ikan, bahkan di festival laut yang diadakan di dermaga. Azryelle melihat mereka dari kejauhan, merasa seperti pengamat dalam cerita yang bukan miliknya. Ia mencoba berbicara dengan Jorynth, mengajaknya untuk kembali ke rutinitas mereka, tapi Jorynth selalu punya alasan: ia sedang sibuk dengan Tavrin, ia harus mengambil foto untuk proyek baru, atau ia hanya ingin mencoba sesuatu yang berbeda.
Azryelle mulai merasakan retakan dalam persahabatan mereka, seperti tali yang perlahan putus. Ia ingat semua momen yang mereka lalui bersama: malam-malam ketika mereka duduk di tepi tebing, menatap bintang dan berbicara tentang impian mereka; hari-hari ketika mereka berenang di laut, tertawa di antara ombak; dan saat-saat ketika Jorynth memeluknya erat saat ia menangis setelah kehilangan neneknya. Kenangan-kenangan itu terasa begitu hidup, namun kini seperti mimpi yang mulai memudar.
Suatu sore, saat hujan deras membasahi Sylvaren, Azryelle duduk di galeri seni sendirian. Ia memegang sebuah kuas tua, mencoba melukis, tetapi pikirannya terus melayang. Di luar jendela, ia melihat Jorynth dan Tavrin berlari di bawah payung, tertawa meski hujan membasahi pakaian mereka. Azryelle merasa seperti ada yang hilang darinya, sesuatu yang tidak bisa ia genggam lagi.
Malam itu, Azryelle kembali ke toples kaca, mengambil foto-foto lama mereka berdua. Ia menatap wajah Jorynth yang tersenyum lebar, dan air matanya mulai jatuh, membasahi kertas. Di luar, hujan terus turun, menyanyikan lagu duka yang hanya ia dengar. Ia merasa seperti kehilangan sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya ia pahami, dan untuk pertama kalinya, ia bertanya-tanya apakah Jorynth benar-benar masih miliknya.
Ombak yang Menjauh
September 2024 tiba di Sylvaren dengan angin laut yang semakin kencang dan langit yang mulai berawan, menandakan datangnya musim hujan. Ombak di tepi tebing tampak lebih ganas, menghantam batu-batu dengan suara yang menggema, mencerminkan suasana hati Azryelle Morvayne yang semakin gelisah. Persahabatannya dengan Jorynth Alveris, yang dulu seperti pelabuhan yang tenang, kini terasa seperti kapal yang terombang-ambing di lautan ganas. Setiap hari, ia berusaha mencari cara untuk menjaga ikatan mereka, tetapi setiap usaha terasa seperti mencoba menahan air dengan tangan kosong.
Azryelle mulai memperhatikan detail-detail kecil yang memperdalam luka di hatinya. Jorynth tidak lagi mengunjungi apartemennya di sore hari, tidak lagi membawa cerita petualangan atau foto-foto, dan tidak lagi membagi impian-impian kecil yang dulu selalu ia ceritakan. Sebaliknya, ia sering terlihat bersama Tavrin, yang sepertinya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Tavrin, dengan karismanya yang tak bisa disangkal, tampak seperti ombak yang perlahan menyapu apa yang pernah menjadi milik Azryelle. Mereka pergi ke tebing bersama, menghabiskan waktu di gua-gua tersembunyi, dan bahkan mulai merencanakan perjalanan fotografi ke pulau-pulau terpencil.
Azryelle mencoba untuk tidak cemburu, mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanyalah fase sementara, bahwa Jorynth hanya sedang menikmati kehadiran teman baru. Tapi setiap kali ia melihat mereka bersama, hatinya terasa seperti diremas. Ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri. Apakah ia terlalu bergantung pada Jorynth? Apakah ia telah melakukan sesuatu yang membuat Jorynth menjauh? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya seperti angin ribut, tak pernah menemukan jawaban.
Suatu hari, Azryelle memutuskan untuk mengunjungi tebing tempat mereka sering duduk bersama. Ia berharap kenangan masa kecil mereka bisa membantunya menemukan kembali koneksi yang hilang. Tebing itu, dengan rumput liar yang bergoyang dan pemandangan laut yang luas, masih terasa seperti surga kecil mereka. Ia duduk di batu datar yang biasa mereka gunakan, menatap ombak yang menghantam tebing, mencoba mengingat tawa Jorynth yang dulu selalu mengisi udara.
Saat ia tenggelam dalam pikirannya, ia mendengar suara langkah kaki di rumput basah. Ia menoleh, berharap melihat Jorynth, tetapi yang muncul adalah Tavrin. Ia mengenakan rompi cokelat dan membawa sebuah kamera tua di lehernya. “Boleh ikut?” tanyanya, suaranya penuh perhatian. Azryelle mengangguk, meski hatinya berdebar kencang. Ia tidak yakin apa yang Tavrin inginkan, atau mengapa ia ada di sini.
Tavrin duduk di sampingnya, meletakkan kameranya di pangkuannya. “Jorynth bilang kamu suka tempat ini,” katanya, suaranya lembut namun tegas. Azryelle mengangguk, merasa sedikit tersentuh namun juga curiga. Mereka duduk dalam diam untuk beberapa saat, hanya mendengarkan suara ombak dan angin laut. Akhirnya, Tavrin berbicara lagi, menceritakan tentang kehidupannya sebelum pindah ke Sylvaren. Ia bercerita tentang kota-kota besar yang pernah ia tinggali, tentang keluarganya yang terpisah, dan tentang betapa sulitnya baginya untuk menemukan tempat yang terasa seperti rumah.
Azryelle mendengarkan, tetapi pikirannya terpecah. Ia ingin membenci Tavrin, ingin menyalahkannya atas jarak yang tercipta antara dirinya dan Jorynth. Tapi ada sesuatu dalam nada suara Tavrin, dalam cara ia menceritakan kesepiannya, yang membuat Azryelle merasa sedikit bersimpati. Ia mulai memahami mengapa Jorynth tertarik padanya—Tavrin punya cara untuk membuat orang merasa diperhatikan, didengar, seperti mereka adalah satu-satunya orang di dunia ini.
Namun, simpati itu tidak cukup untuk menghapus rasa sakit di hati Azryelle. Setelah Tavrin pergi, ia tetap duduk di tebing, memegang gelang kulitnya dengan erat. Ia merasa seperti sedang kehilangan Jorynth sedikit demi sedikit, seperti ombak yang perlahan menarik pasir dari pantai. Ia ingin berteriak, ingin menangis, tetapi yang keluar hanyalah desahan pelan. Ia tahu ia harus berbuat sesuatu, tetapi ia tidak tahu apa.
Hari-hari berikutnya, Azryelle mencoba mencari keseimbangan. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu di galeri seni, membantu Mistress Lirien mengatur pameran baru yang akan datang. Galeri itu menjadi tempat pelariannya, tempat di mana ia bisa melupakan dunia luar untuk sementara. Mistress Lirien, dengan kepekaannya yang tajam, memperhatikan perubahan dalam diri Azryelle. Suatu sore, saat mereka sedang menyortir kanvas-kanvas tua, Mistress Lirien berkata, “Kamu terlihat seperti membawa badai di dalam dirimu, Azryelle. Apa yang mengganggumu?” Azryelle hanya tersenyum kecil, menggelengkan kepala, tetapi matanya berkaca-kaca.
Malam itu, Azryelle kembali ke toples kaca. Ia mengambil foto-foto lama yang ditulis Jorynth, membacanya satu per satu, dan air matanya mulai jatuh. Ia menulis di jurnalnya tentang tebing, tentang kamera Tavrin, tentang rasa takut yang semakin besar di hatinya. Ia menulis tentang Jorynth, tentang bagaimana ia merindukan sahabatnya, tentang bagaimana ia merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya sendiri. Ia menulis sampai jari-jarinya kram, sampai kata-kata tidak lagi cukup untuk menampung emosinya.
Sementara itu, Jorynth tampak semakin tenggelam dalam dunia barunya bersama Tavrin. Mereka mulai merencanakan sebuah proyek fotografi besar, sesuatu tentang pemandangan alam Sylvaren yang akan dipamerkan di galeri. Jorynth, yang selalu punya bakat dalam fotografi, tampak bersemangat, matanya berbinar setiap kali ia berbicara tentang ide-ide mereka. Azryelle mendengar tentang proyek ini dari desas-desus di pasar, bukan dari Jorynth langsung, dan itu membuat hatinya semakin terluka.
Suatu hari, saat Azryelle sedang berjalan di tepi tebing, ia melihat Jorynth dan Tavrin sedang mengambil foto di bawah langit senja. Mereka tampak damai, seperti dua bagian dari sebuah harmoni yang sempurna. Azryelle berhenti, tersembunyi di balik batu besar, dan memperhatikan mereka. Ia merasa seperti sedang menyaksikan sebuah lukisan yang indah namun tidak termasuk dirinya di dalamnya. Ombak terus menghantam tebing di bawahnya, dan untuk sesaat, Azryelle merasa seperti ingin tenggelam di dalamnya.
Malam itu, ia bermimpi lagi. Kali ini, ia melihat dirinya berdiri di tepi tebing, mencari Jorynth, tetapi setiap kali ia hampir menyentuhnya, ia menghilang. Tavrin muncul di setiap sudut, memandangnya dengan senyum yang penuh rahasia. Azryelle terbangun dengan air mata di pipinya, dan untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-tanya apakah persahabatan mereka masih bisa diselamatkan.
Gelombang yang Memecah
Oktober 2024 tiba di Sylvaren dengan angin laut yang semakin liar dan hujan yang mulai turun tanpa henti, menciptakan lapisan abu-abu di atas kota pesisir itu. Langit tampak tertutup awan-awan gelap yang berat, mencerminkan suasana hati Azryelle Morvayne yang semakin kelam. Persahabatannya dengan Jorynth Alveris, yang dulu seperti mercusuar di tengah badai, kini terasa seperti kapal yang terdampar, menyisakan puing-puing yang sulit dikumpulkan kembali. Setiap hari, ia berusaha mencari cara untuk memahami jarak yang semakin lebar antara mereka, tetapi setiap langkah terasa seperti berjalan di atas pasir yang runtuh, penuh dengan ketidakpastian.
Azryelle mulai menjalani hari-harinya dengan rutinitas yang terasa hampa. Pagi-pagi, ia berjalan ke galeri seni, menyapa Mistress Lirien dengan senyum yang dipaksakan, dan tenggelam dalam tumpukan kanvas dan cat yang berbau khas. Galeri itu, dengan dinding-dinding putihnya yang bersih dan jendela-jendela besar yang menghadap ke laut, menjadi tempat pelariannya. Di sana, ia bisa melupakan dunia luar untuk sementara, terhanyut dalam warna-warna dan bentuk-bentuk yang terasa lebih mudah dipahami daripada hidupnya sendiri. Namun, setiap kali ia melangkah keluar, kenyataan kembali menyerbu, membawa bayang-bayang Jorynth dan Tavrin yang tak bisa ia hindari.
Jorynth kini sepenuhnya terbawa dalam dunia barunya bersama Tavrin. Mereka tidak hanya merencanakan proyek fotografi, tetapi juga mulai menghabiskan waktu di sebuah studio kecil di tepi tebing, tempat yang dulu sering dikunjungi Azryelle dan Jorynth untuk menikmati matahari terbenam. Studio itu, sebuah bangunan sederhana dengan dinding kaca dan lantai kayu yang retak, menjadi saksi bisu perubahan dalam hidup Jorynth. Azryelle mendengar tentang studio ini dari gosip di pasar ikan, bukan dari Jorynth langsung, dan setiap cerita yang ia dengar terasa seperti pisau kecil yang menusuk hatinya lebih dalam.
Azryelle mulai memperhatikan perubahan kecil dalam diri Jorynth. Jaket biru laut yang dulu selalu ia kenakan kini digantikan oleh syal wol yang diberikan Tavrin, dan cara ia berbicara pun berbeda—lebih tenang, lebih penuh perhatian, seolah ia sedang mencoba menyesuaikan diri dengan kepribadian Tavrin yang karismatik. Azryelle merasa seperti kehilangan Jorynth yang dulu, sahabatnya yang penuh petualangan dan keajaiban, yang selalu tahu cara membuatnya merasa hidup bahkan di hari-hari terburuk.
Suatu sore, saat Azryelle sedang menyusuri jalan setapak di tepi tebing, ia melihat Jorynth dan Tavrin sedang mengambil foto di dekat mercusuar tua. Mereka tampak fokus, seperti dua bagian dari sebuah simfoni yang sempurna. Azryelle berdiri di kejauhan, tersembunyi di balik batu besar, memperhatikan mereka dengan hati yang terasa diremas. Cahaya hujan sore membingkai mereka seperti lukisan, dan untuk sesaat, Azryelle merasa seperti sedang menyaksikan dunia yang tidak lagi miliknya. Ia ingin berjalan mendekat, ingin berbicara dengan Jorynth, tapi kakinya terasa seperti terpaku di tanah. Ia hanya bisa menatap, merasakan angin laut yang menusuk kulitnya.
Malam itu, Azryelle kembali ke toples kaca di sudut kamarnya. Ia mengambil foto-foto lama mereka berdua, membukanya satu per satu, dan air matanya mulai jatuh, membasahi kertas. Ia menulis di jurnalnya tentang mercusuar, tentang Jorynth yang kini terasa seperti orang asing, tentang Tavrin yang seperti gelombang yang datang tanpa peringatan. Ia menulis tentang rasa takut yang kini menghuni setiap sudut hatinya, tentang bagaimana ia mulai mempertanyakan apakah persahabatan mereka pernah benar-benar berarti bagi Jorynth. Kata-katanya mengalir seperti air mata, penuh dengan kerinduan dan kepedihan yang tak bisa ia ucapkan.
Hari-hari berikutnya, Azryelle mencoba mencari cara untuk mendekati Jorynth kembali. Ia mengiriminya pesan, mengajaknya untuk duduk bersama di tebing seperti dulu, tetapi Jorynth selalu punya alasan untuk menolak. “Aku sibuk dengan proyek fotografi,” katanya suatu kali, suaranya terdengar jauh meski mereka hanya berbicara melalui telepon. “Mungkin minggu depan, Az.” Tapi minggu depan datang dan pergi, dan Jorynth tidak pernah muncul.
Azryelle mulai merasa seperti bayangan, hadir namun tidak benar-benar dilihat. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan bekerja lebih lama di galeri seni, membantu Mistress Lirien mengatur pameran foto mingguan yang mulai menarik perhatian penduduk kota. Pameran itu diadakan di ruang utama galeri, di bawah lampu-lampu gantung yang memancarkan cahaya hangat. Azryelle sering duduk di sudut, memperhatikan foto-foto laut dan tebing, dan setiap gambar terasa seperti cerminan hatinya sendiri.
Suatu malam, setelah pameran selesai, Mistress Lirien menghampirinya. “Kamu tidak bisa terus bersembunyi di balik kanvas ini, Azryelle,” katanya, suaranya lembut namun tegas. “Jika ada sesuatu yang mengganggumu, hadapi. Jangan biarkan itu memakanmu dari dalam.” Azryelle hanya tersenyum kecil, tetapi kata-kata itu terus bergema di kepalanya. Ia tahu Mistress Lirien benar, tetapi ia tidak tahu bagaimana caranya menghadapi Jorynth tanpa merasa seperti sedang memohon.
Beberapa hari kemudian, Azryelle memutuskan untuk mengunjungi studio kecil di tepi tebing tempat Jorynth dan Tavrin bekerja. Ia tidak yakin apa yang mendorongnya untuk pergi—mungkin rasa putus asa, mungkin keberanian yang tiba-tiba muncul. Studio itu terletak di ujung tebing, dikelilingi oleh rumput liar dan suara ombak yang bergemuruh. Saat ia tiba, ia melihat pintu studio terbuka, dan suara tawa Jorynth terdengar dari dalam. Azryelle menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungan yang berdetak kencang, lalu melangkah masuk.
Di dalam, ia disambut oleh aroma film fotografi dan kayu basah. Dinding-dinding studio dipenuhi foto-foto setengah jadi, beberapa di antaranya menggambarkan pemandangan Sylvaren: tebing, laut, dan mercusuar tua. Jorynth dan Tavrin sedang berdiri di depan sebuah meja besar, kamera di tangan mereka, wajah mereka penuh konsentrasi. Mereka tidak langsung menyadari kehadiran Azryelle, dan untuk sesaat, ia merasa seperti pengintip dalam dunia mereka.
“Jor,” panggil Azryelle pelan, suaranya hampir tenggelam dalam suara ombak di luar. Jorynth menoleh, dan untuk sesaat, Azryelle melihat kilatan kejutan di matanya, diikuti oleh sesuatu yang tampak seperti rasa bersalah. “Az! Kamu… kenapa di sini?” tanyanya, meletakkan kameranya dan berjalan mendekat. Tavrin tetap di tempatnya, memandang Azryelle dengan senyum kecil yang sulit dibaca.
“Aku cuma ingin lihat apa yang kalian kerjakan,” kata Azryelle, mencoba membuat suaranya terdengar ringan meski hatinya terasa berat. Ia melangkah mendekati meja, memperhatikan detail-detail foto yang sedang mereka edit: sebuah pemandangan tebing di malam hujan, dengan laut yang berkilau di bawah cahaya bulan. “Bagus sekali,” tambahnya, dan ia benar-benar tulus. Tapi di dalam hatinya, ia merasa seperti sedang melihat bagian dari Jorynth yang tidak lagi ia kenal.
Mereka mengobrol sebentar, tetapi percakapan itu terasa kaku, seperti dua orang yang berusaha mengingat tarian yang sudah lama mereka lupakan. Tavrin ikut bergabung, menceritakan ide-ide mereka untuk proyek itu, dan Azryelle mendengarkan dengan sopan, meski pikirannya terus melayang. Ia ingin bertanya pada Jorynth mengapa ia menjauh, mengapa ia tidak lagi membutuhkan Azryelle seperti dulu, tetapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya.
Saat ia pulang malam itu, hujan Sylvaren semakin deras, membasahi jalanan kota. Ia kembali ke toples kaca, menulis tentang studio, tentang foto, tentang Jorynth yang kini terasa seperti orang asing. Ia menulis tentang rasa sakit yang semakin dalam, tentang bagaimana ia mulai kehilangan harapan bahwa segalanya akan kembali seperti dulu.
Malam itu, Azryelle bermimpi tentang laut Sylvaren. Dalam mimpinya, ia berdiri di tepi tebing, memanggil Jorynth, tetapi suaranya tenggelam dalam gemuruh ombak. Tavrin muncul di sisi lain tebing, memandangnya dengan senyum yang penuh rahasia, dan Jorynth berdiri di sampingnya, menjauh darinya. Azryelle terbangun dengan air mata di pipinya, dan untuk pertama kalinya, ia mulai menerima bahwa mungkin, persahabatan mereka tidak akan pernah sama lagi.
Pantai yang Menyambut
November 2024 tiba di Sylvaren dengan hujan yang perlahan reda dan langit yang mulai terbuka, menunjukkan semburat biru di antara awan-awan. Laut tampak lebih tenang, ombaknya bergoyang lembut, mencerminkan suasana hati Azryelle Morvayne yang penuh konflik. Persahabatannya dengan Jorynth Alveris, yang dulu merupakan pilar terkuat dalam hidupnya, kini terasa seperti reruntuhan yang hanya menyisakan kenangan. Setiap hari, ia berusaha mencari cara untuk menerima perubahan itu, tetapi setiap langkah terasa seperti berjalan di atas pasir yang basah, penuh dengan ketidakpastian.
Azryelle telah berhenti berusaha menghubungi Jorynth setiap hari. Pesan-pesannya kini jarang mendapat balasan, dan panggilannya hampir selalu berakhir di pesan suara. Ia mulai menerima kenyataan bahwa Jorynth telah menemukan dunia baru bersama Tavrin, dunia yang tidak lagi melibatkannya. Namun, penerimaan itu tidak datang dengan damai; ia datang dengan rasa sakit yang dalam, seperti luka yang terus berdarah meski tidak terlihat.
Hari-hari Azryelle kini diisi dengan rutinitas yang mekanis. Ia bekerja di galeri seni, membantu Mistress Lirien dengan pameran baru, dan menghabiskan malam-malamnya dengan toples kaca, mengenang setiap kenangan yang pernah ia bagi dengan Jorynth. Toples itu telah menjadi sahabatnya, tempat ia bisa jujur tentang rasa takut, kerinduan, dan kehilangan yang kini mendefinisikan hidupnya. Tapi bahkan toples itu tidak bisa menghapus rasa sepi yang terus menggerogoti hatinya.
Suatu sore di awal November, Azryelle memutuskan untuk mengunjungi dermaga tua tempat mereka pertama kali bertemu. Ia tidak tahu mengapa ia terus kembali ke tempat itu, mungkin karena itu adalah satu-satunya tempat yang masih menyimpan kenangan murni tentang Jorynth yang dulu. Dermaga itu kini basah oleh hujan, dengan lampu-lampu gantung yang berkedip-kedip, menciptakan pemandangan yang sunyi namun indah. Ia duduk di tangga kayu, menggenggam gelang kulitnya dengan erat, menatap laut yang berkilau di bawah sinar senja.
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki di kayu basah. Ia menoleh, dan hatinya berhenti sejenak saat melihat Jorynth berdiri di sana, sendirian. Ia mengenakan jaket biru laut yang dulu selalu ia pakai, dan untuk sesaat, Azryelle merasa seperti melihat Jorynth yang dulu, sahabatnya yang selalu ada untuknya. “Az,” katanya pelan, suaranya penuh keraguan. “Boleh aku duduk?”
Azryelle mengangguk, tidak yakin apa yang harus ia katakan. Jorynth duduk di sampingnya, dan untuk beberapa saat, mereka hanya diam, mendengarkan suara ombak dan derit dermaga. Akhirnya, Jorynth berbicara, suaranya rendah dan penuh emosi. “Aku tahu aku sudah jadi temen yang buruk belakangan ini,” katanya. “Aku nggak tahu kenapa semuanya jadi begini, Az. Aku cuma… aku cuma pengen nyoba sesuatu yang baru, tapi aku nggak mau kehilangan kamu.”
Kata-kata itu seharusnya membawa kelegaan, tetapi bagi Azryelle, mereka terasa seperti terlambat. Ia menatap Jorynth, mencoba mencari sahabatnya yang dulu dalam matanya, tetapi yang ia lihat hanyalah bayang-bayang dari seseorang yang kini berbeda. “Kenapa kamu nggak bilang apa-apa, Jor?” tanyanya, suaranya gemetar. “Kamu tahu aku selalu ada buat kamu, tapi kamu malah pergi sama Tavrin dan ninggalin aku kayak aku nggak penting.”
Jorynth menunduk, tangannya mencengkeram lutut dengan erat. “Aku nggak bermaksud begitu,” katanya. “Tavrin… dia bikin aku ngerasa kayak aku bisa jadi seseorang yang lebih besar dari diri aku yang dulu. Tapi aku salah, Az. Aku lupa bahwa kamu selalu jadi bagian dari aku yang terbaik.”
Percakapan itu berlangsung lama, di bawah langit yang semakin gelap. Jorynth menceritakan tentang tekanan yang ia rasakan untuk terus berkembang, untuk menjadi seseorang yang tidak hanya dikenal sebagai “Jorynth dari Sylvaren”. Tavrin, dengan karismanya dan semangat petualangannya, membuatnya merasa seperti ia bisa mencapai sesuatu yang lebih. Tapi di tengah semua itu, ia menyadari bahwa ia telah mengabaikan Azryelle, orang yang selalu ada untuknya.
Azryelle mendengarkan, hatinya terbelah antara kemarahan dan kasih sayang. Ia ingin memaafkan Jorynth, ingin kembali ke masa ketika segalanya sederhana, tetapi ia tahu bahwa luka yang telah tercipta tidak akan sembuh begitu saja. “Aku nggak tahu apakah kita bisa balik lagi kayak dulu, Jor,” katanya akhirnya, suaranya penuh kepedihan. “Tapi aku kangen sama kamu. Aku kangen sama kita.”
Malam itu, mereka berjalan pulang bersama, seperti dulu, tetapi ada keheningan yang berbeda di antara mereka. Azryelle merasa seperti sedang memegang sesuatu yang rapuh, sesuatu yang bisa hancur jika ia tidak berhati-hati. Ia ingin percaya bahwa mereka bisa memperbaiki semuanya, tetapi bagian dari dirinya tahu bahwa beberapa retakan tidak bisa diperbaiki.
Hari-hari berikutnya, Azryelle dan Jorynth mulai mencoba membangun kembali persahabatan mereka. Mereka kembali ke tebing, duduk di batu datar, dan berbicara tentang hal-hal kecil, seperti dulu. Tapi Tavrin masih ada di sana, seperti bayang-bayang yang tidak pernah benar-benar hilang. Jorynth masih menghabiskan waktu dengannya, meski tidak sebanyak sebelumnya, dan Azryelle belajar untuk menerima bahwa Tavrin kini adalah bagian dari hidup Jorynth, meski itu menyakitkan.
Di akhir musim hujan, proyek fotografi yang dibuat Jorynth dan Tavrin akhirnya dipamerkan di galeri seni. Azryelle hadir di acara itu, berdiri di antara kerumunan penduduk Sylvaren yang memuji karya seni itu. Foto-foto itu indah, penuh dengan warna-warna lembut yang menggambarkan keindahan kota, tetapi Azryelle tidak bisa menahan perasaan bahwa itu adalah simbol dari sesuatu yang telah mengubah hidupnya selamanya.
Malam itu, Azryelle kembali ke toples kaca untuk terakhir kalinya dalam cerita ini. Ia mengambil kerang-kerang lama, membukanya satu per satu, dan menulis di jurnalnya tentang dermaga, tentang percakapan dengan Jorynth, tentang pameran yang indah namun menyakitkan. Ia menulis tentang bagaimana ia belajar untuk melepaskan, bukan karena ia ingin, tetapi karena ia harus. “Mungkin ini adalah bagian dari tumbuh dewasa,” tulisnya, “belajar bahwa cinta itu bukan tentang memiliki, tapi tentang membiarkan orang yang kita sayangi menemukan kebahagiaan mereka, meski itu berarti mereka tidak lagi bersama kita.”
Di bawah langit Sylvaren yang dipenuhi bintang, Azryelle menutup toples itu, menatap keluar jendela ke laut yang tenang, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai, bahwa luka-luka itu masih ada, tetapi ia juga tahu bahwa ia cukup kuat untuk melangkah maju, dengan atau tanpa Jorynth di sisinya.
Sahabatku Diambil Teman adalah lebih dari sekadar cerita tentang kehilangan; ini adalah perjalanan mendalam menuju penerimaan dan kekuatan batin. Dengan detail yang memikat dan emosi yang kuat, cerpen ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna persahabatan sejati dan ketahanan dalam menghadapi perubahan. Jangan lewatkan kesempatan untuk tenggelam dalam narasi ini yang akan meninggalkan jejak abadi di hati Anda.
Terima kasih telah menyelami dunia emosional Sahabatku Diambil Teman bersama kami! Semoga cerita ini menginspirasi Anda untuk menghargai ikatan persahabatan yang berharga dalam hidup Anda. Bagikan artikel ini kepada teman-teman Anda, dan tetap pantau untuk cerita-cerita menarik lainnya yang akan membawa Anda ke petualangan baru. Sampai jumpa di cerita berikutnya!


