Daftar Isi
Temukan kisah cinta yang menyentuh hati dalam Cinta Tersembunyi Sahabat SMP: Drama Remaja, sebuah cerpen epik yang menggambarkan perjalanan emosional Elysra Jin di Haesong pada tahun 2024. Cerita ini mengungkap cinta bertepuk sebelah tangan Elysra untuk sahabatnya, Kaenho Park, di tengah misteri yang dibawa Viora Han. Cocok untuk penggemar drama Korea yang mencari alur sedih dan mendalam—jangan lewatkan petualangan hati yang memikat ini!
Cinta Tersembunyi Sahabat SMP
Hujan di Atas Atap Sekolah
Di sebuah kota kecil bernama Haesong pada tahun 2024, di mana bukit-bukit hijau bergoyang lembut di bawah langit abu-abu dan jalan-jalan beraspal dipenuhi toko-toko kecil dengan lampu neon yang berkelap-kelip, udara selalu membawa aroma kopi hangat dan dedaunan musim gugur yang jatuh. Haesong dikenal dengan festival cahaya musim dingin yang menyinari gang-gang sempit setiap akhir Desember, serta sekolah menengah pertama yang berdiri di atas bukit, dindingnya dilapisi batu tua yang dipenuhi lumut akibat hujan yang tak pernah berhenti. Di antara siswa kelas delapan yang ramai itu, ada seorang gadis bernama Elysra Jin, berusia tiga belas tahun, dengan rambut pendek berwarna cokelat terang yang selalu tersapu angin, dan mata hazel yang menyimpan rahasia yang ia sembunyikan di balik tawa kecilnya. Ia pindah ke Haesong bersama ibunya setelah keluarganya menghadapi kebangkrutan, membawa tas kecil yang penuh dengan sketsa dan cat air yang ia gunakan untuk melukis perasaannya. Namun, di balik keceriaan kota itu, ada luka yang perlahan membesar dalam dirinya, hingga ia bertemu dengan sahabatnya yang menjadi cinta bertepuk sebelah tangan, Kaenho Park.
Elysra tinggal di sebuah apartemen tua di pinggir bukit, sebuah hunian sederhana dengan jendela besar yang menghadap ke kota yang berkabut. Ruangannya dipenuhi benda-benda yang mengingatkannya pada kehidupan sebelumnya—sebuah palet cat tua peninggalan ayahnya, tumpukan buku seni yang ia baca berulang-ulang, dan sebuah buku harian dengan kulit lusuh yang mulai terisi dengan lukisan-lukisan penuh emosi. Suara hujan yang turun di atap sering menjadi teman malamnya, tapi suara itu kini terasa hampa, seolah kehilangan makna sejak ia mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Kaenho tak akan pernah terbalas. Elysra pindah ke Haesong pada awal musim gugur 2023, mencari awal baru setelah kehilangan stabilitas keluarganya, tapi kota ini kini menjadi saksi dari cinta yang ia pendam dalam diam.
Hari-hari Elysra di SMP Haesong biasanya dimulai dengan suara burung gereja yang berkicau di pepohonan di luar jendela, diikuti oleh langkah kakinya yang ringan menuju kelas bersama Kaenho. Mereka duduk di sudut kelas, berbagi buku seni dan menatap hujan yang membasahi kaca jendela. Tapi seiring waktu, terutama menjelang akhir tahun ajaran, ruang di sampingnya mulai terasa kosong, meninggalkan jejak sunyi yang membuat Elysra merasa seperti kehilangan arah. Ia menghabiskan waktu istirahat di atap sekolah, menatap kota yang terlihat samar di balik kabut, tangannya memainkan palet cat yang kini tak lagi digunakan. Di malam hari, ia duduk di jendela apartemen, menatap lampu-lampu festival yang berkelap-kelip di kejauhan, hati dipenuhi kerinduan pada hari-hari ketika persahabatan mereka masih murni, sebelum cintanya mulai tumbuh.
Persahabatan mereka dimulai di kelas delapan, di atap sekolah saat mereka secara tidak sengaja bertemu sambil menggambar lanskap kota setelah hujan. Kaenho, dengan rambut hitam pendek yang rapi dan senyum lembut yang menenangkan, langsung mengulurkan tangan untuk membantu Elysra mengambil kuas yang jatuh dari tangannya. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan, berbagi sketsa di atap sekolah, melukis pemandangan Haesong bersama, dan bermimpi menjadi seniman terkenal. Kaenho selalu menjadi yang lebih tenang, sementara Elysra menemukan keberanian dalam kehadiran temannya. Mereka tumbuh bersama, melewati ujian seni, hujan deras di Haesong, dan harapan untuk mengejar impian mereka. Tapi segalanya mulai berubah di pertengahan tahun ajaran, ketika Kaenho mulai menunjukkan tanda-tanda ketertarikan pada gadis lain, meninggalkan Elysra dengan perasaan yang tak terucapkan.
Elysra sering mengingat hari-hari awal mereka, sebuah sore di bulan Oktober ketika hujan turun lembut dan lampu festival mulai dinyalakan di jalan-jalan Haesong. Mereka duduk di atap sekolah, mendengarkan suara tetesan air, dan berbagi cerita tentang masa depan. Kaenho tampak sedikit berbeda hari itu, matanya penuh bayangan, tapi Elysra menganggap itu hanya kelelahan. Tahun-tahun berlalu, dan menjelang akhir kelas delapan, jarak antara mereka mulai terasa—Kaenho sibuk dengan klub seni dan perhatiannya beralih pada Seolmi Lee, gadis populer di kelas, sementara Elysra larut dalam dunia lukisannya yang penuh kesedihan. Malam itu, setelah ujian seni, Elysra menemukan sketsa kecil dari Kaenho di buku harian-nya: sebuah gambar dirinya dengan Seolmi, dengan catatan pendek, “Aku suka seseorang.” Sejak saat itu, Elysra merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya, sebuah lubang yang tak bisa diisi oleh siapa pun.
Suatu sore di bulan November, ketika hujan musim gugur bercampur angin dingin, Elysra duduk sendirian di atap sekolah, menatap kota yang terlihat samar di balik kabut. Angin membawa aroma kopi dari kafe di bawah, dan tiba-tiba seorang gadis dengan jaket kuning tua muncul di dekatnya. Rambutnya yang pirang lurus tergerai oleh angin, dan matanya yang biru menatapnya dengan rasa ingin tahu yang aneh. Ia memperkenalkan diri sebagai Viora Han, seorang siswa pindahan yang baru datang ke Haesong dan tampak kebingungan dengan lingkungan bukit. Wajahnya penuh tanda-tanda kecil dari apa yang ia sebut “petualangan kota,” tapi ada kehangatan dalam caranya berdiri yang membuat Elysra tak bisa menolak mengundangnya duduk bersamanya.
Viora duduk di lantai basah atap, tangannya yang halus memegang sebuah buku sketsa tua yang tampak usang. Matanya sesekali melirik buku harian di tangan Elysra, seolah mengenali sesuatu. “Tempat ini penuh cerita,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara angin. Elysra mengangguk, hati bergetar oleh kata-kata yang terasa terlalu dekat dengan perasaannya. Viora memutuskan untuk tinggal sebentar di Haesong, dengan alasan ingin mengenal bukit, dan meski Elysra ragu, ia merasa ada kelegaan dalam kehadiran gadis itu, sebuah perubahan dari kesedihan yang selama ini menyelimutinya.
Hari-hari berikutnya membawa ritme baru ke kehidupan Elysra. Viora membantu melukis di buku harian-nya, duduk bersamanya di kelas seni SMP, dan bahkan memperbaiki palet cat tua dengan tangan terampilnya. Ia tak banyak bertanya tentang Kaenho, tapi gerakannya yang pelan, seperti saat ia menggambar awan atau menatap kota, seolah membawa sedikit cahaya ke dalam kegelapan hatinya. Elysra mulai merasa nyaman dengan kehadiran Viora, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.
Namun, di balik ketenangan yang muncul, ada bayangan yang semakin pekat. Setiap kali angin bertiup kencang, Elysra merasa ada suara samar di atap—langkah kaki yang terdengar seperti Kaenho, atau desir angin yang mirip dengan tawa temannya. Ia sering terbangun di malam hari, berkeringat dingin, membayangkan Kaenho berdiri di sudut jendelanya, wajahnya pucat dan matanya kosong. Dan Viora, dengan instinknya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Elysra menatap buku harian-nya, cara ia memutar palet cat dengan tangan gemetar, dan cara ia selalu terdiam ketika hujan membawa kenangan.
Pada suatu malam yang dingin, ketika lampu festival di kota tampak redup di balik kabut, Elysra mendengar ketukan lembut di pintu jendelanya. Ia membukanya, berpikir itu hanya angin, tapi yang berdiri di luar adalah seorang gadis dengan jaket basah dan rambut pirang kusut. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak logam kecil yang tampak tua, permukaannya penuh goresan. Gadis itu meletakkan kotak itu di ambang jendela dan berbicara dengan suara pelan, “Ini milik Kaenho. Aku menemukannya di kafe tua di bawah bukit.” Sebelum Elysra bisa bertanya lebih lanjut, gadis itu berbalik dan menghilang ke dalam kabut, meninggalkan Elysra dengan detak jantung yang kencang dan rasa takut yang tak bisa dijelaskan.
Elysra berdiri di jendela, memegang kotak itu yang terasa dingin di tangannya. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah kota yang gelap di luar, dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia merasa takut—bukan hanya karena cinta yang tak terbalas, tapi karena kenyataan bahwa kenangan itu mungkin akan menghancurkannya sepenuhnya.
Cahaya di Balik Kabut Kota
Hujan turun pelan di Haesong, membasahi bukit dan membentuk cermin di jalanan yang mencerminkan lampu neon yang berkelap-kelip di kota. Elysra Jin duduk di lantai jendelanya, kotak logam kecil yang diberikan gadis misterius itu terbuka di depannya, isi di dalamnya tersebar di karpet usang. Udara di luar terasa lembap, bercampur dengan aroma kopi dan asap kendaraan yang menempel di setiap sudut. Di kejauhan, suara klakson mengalir lembut, membawa desau yang terdengar seperti bisikan dari masa lalu. Lampu meja di jendela berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding, seolah menggambarkan kenangan yang terus menghantuinya.
Kotak itu berisi benda-benda yang membuat jantung Elysra berdegup kencang—sebuah sketsa kota yang dilipat rapi, beberapa lukisan cat air yang ditulis tangan oleh Kaenho, dan sebuah buku kecil yang penuh gambar awan. Kertas-kertas itu terasa dingin dan sedikit lengket karena kelembapan, dan aroma cat yang memudar memenuhi udara, membawa kembali ingatan tentang Kaenho yang sering melukis di atap sekolah. Elysra menatap isi kotak itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh buku kecil yang tampak seperti menyimpan rahasia terakhir temannya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka duduk bersama di atap, ketika tawa Kaenho masih terdengar jelas di telinganya.
Pagi itu, ketika matahari tersembunyi di balik awan tebal dan hujan mereda menjadi gerimis, Viora Han kembali dari perjalanan singkatnya ke kafe di bawah bukit. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi alat lukis tua dan sebuah kotak kertas kecil yang ia temukan di antara meja-meja tua. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya yang biru bersinar dengan rasa ingin tahu yang aneh. “Aku menemukan sesuatu yang mungkin membantumu,” katanya, meletakkan kotak itu di meja jendela di samping kotak milik Kaenho. Kotak itu terbuat dari kertas tebal dengan ukiran awan, dan di dalamnya terdapat sebuah surat yang ditulis dengan tangan rapi, bersama dengan foto polaroid yang sudah menguning di tepinya.
Elysra merasa napasnya terhenti sejenak. Surat itu ditulis oleh Kaenho, tinta hitamnya masih samar terbaca meski kertasnya basah. Ia mengambil surat itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan kata-kata yang membuat dunianya bergetar. “Elysra, maafkan aku karena tak bisa jujur,” tulisnya. Surat itu menceritakan tentang tekanan keluarga di rumahnya, tentang bagaimana Kaenho merasa terjebak dalam ekspektasi untuk sukses, dan tentang perasaannya yang berkembang pada Seolmi, gadis yang ia pilih demi menjaga citra keluarganya. Foto polaroid menunjukkan Kaenho berdiri di kafe, rambut hitamnya berkibar oleh angin, dengan senyum tipis yang penuh kebingungan.
Elysra merasa dadanya sesak. Ia ingat Kaenho, yang selalu tenang di atap, dan hari-hari ketika ia menunggu perhatian dari temannya dengan harapan yang perlahan memudar. Surat itu mengungkap bahwa Kaenho tahu tentang perasaan Elysra, tapi ia memilih untuk diam, tak ingin menyakitinya lebih dalam dengan kebenaran. Elysra menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah akhir dari harapan yang tersisa.
Viora memperhatikan reaksi Elysra, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di sudut jendela, membolak-balik alat lukisnya dengan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Elysra untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Viora, meski diam, terasa seperti tekanan lembut yang mendorong Elysra untuk menghadapi kenyataan. Ia menatap buku kecil Kaenho di tangannya, lalu ke sketsa kota di kotak. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Elysra mulai merasa bahwa kehadiran Viora bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap surat Kaenho, yang membuat Elysra curiga bahwa gadis ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu sore, ketika mereka duduk di atap sekolah sambil menikmati teh panas di tengah hujan yang reda, Viora tiba-tiba berkata, “Cinta itu bisa menjadi beban, Elysra.” Elysra menatapnya tajam, merasa seperti ditelanjangi. Ia ingin marah, ingin mengusir Viora dari atap, tapi ada sesuatu dalam nada suara Viora yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kadang kita harus melepaskan,” jawabnya dingin, lalu bangkit dan berjalan kembali ke apartemen, meninggalkan Viora sendirian di atap.
Malam itu, Elysra akhirnya memberanikan diri untuk membuka buku kecil Kaenho. Di dalamnya, ia menemukan lukisan-lukisan yang ditulis dengan tangan gemetar, penuh dengan gambar awan dan sketsa kota. Satu halaman terakhir berisi puisi pendek yang ditulis dengan cat yang sudah luntur: “Di kota ini aku tersesat, meninggalkan jejak untukmu. Maafkan aku, sahabat.” Elysra merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan Haesong dan semua kenangan yang tersimpan di kota ini, tapi ia tahu ia tak bisa. Kota itu, cintanya yang tak terbalas, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.
Pagi berikutnya, Viora menemukan Elysra duduk di jendela, dikelilingi oleh surat, buku kecil, dan sketsa kota dari kotak itu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan segelas teh. Tapi di matanya, Elysra melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Viora tahu lebih banyak tentang Kaenho daripada yang ia katakan. “Kau pernah mencintai seseorang yang tak bisa kau miliki?” tanya Elysra tiba-tiba, suaranya serak karena menangis semalaman. Viora menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa sakitnya itu.”
Hari itu, untuk pertama kalinya, Elysra mulai berbicara tentang masa lalunya—tentang Kaenho, tentang cinta yang ia pendam, dan tentang luka yang membuatnya tinggal di Haesong. Viora mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang membuat Elysra merasa bahwa gadis ini bukan hanya siswa pindahan. Ada hubungan antara Viora dan kenangan Kaenho yang ia temukan di kotak dan buku kecil, dan Elysra tahu bahwa kebenaran itu akan segera terungkap, entah ia siap atau tidak.
Haesong, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti panggung bagi sebuah cerita yang belum selesai. Setiap tetes hujan yang ia dengar, setiap bayangan Kaenho yang ia lihat di atap, membawanya lebih dekat ke sebuah kebenaran yang mungkin akan menghancurkannya. Dan di tengah semua itu, ada Viora, gadis yang datang sebagai orang asing, tapi kini menjadi bagian dari cerita yang tak pernah Elysra bayangkan akan ia jalani lagi.
Bayang di Atas Bukit Musim Dingin
Langit Haesong pada pagi hari di awal musim dingin 2024 tampak diselimuti awan tebal yang menggantung di atas bukit-bukit, menciptakan lapisan abu-abu yang menyatu dengan puncak-puncak yang diselimuti salju tipis. Angin dingin bertiup dari arah kota, membawa aroma kopi hangat dan asap kayu bakar dari rumah-rumah di bawah, sementara tetesan embun membeku di ranting-ranting yang menjuntai rendah. Elysra Jin duduk di sudut atap sekolah, tangannya memegang buku kecil Kaenho yang usang, sementara sebuah kotak logam yang ditemukan di kafe tua terbuka di sampingnya. Setiap halaman buku itu terasa seperti membuka luka lama, membawa kembali kenangan tentang waktu bersama temannya, tentang harapan yang pernah ia genggam erat, dan tentang keheningan yang kini mengisi ruang kosong di hatinya. Di sudut kotak, sebuah kuas tua yang pernah mereka temukan bersama tergeletak, seolah menyimpan emosi yang tak pernah ia ungkapkan.
Viora Han, gadis yang kini menjadi bagian dari kehidupan Elysra, sedang mengamati pemandangan kota dari kejauhan dengan gerakan pelan. Tangan-tangannya yang halus bergerak dengan konsentrasi, tapi pikiran Elysra tak sepenuhnya ada di sana. Ia terus memikirkan kata-kata Viora malam sebelumnya, ketika ia mengaku memiliki koneksi dengan Kaenho melalui cerita-cerita kafe yang ia dengar dari penduduk tua. Ada sesuatu dalam nada suaranya, dalam cara ia menatap buku kecil Kaenho, yang membuat Elysra yakin bahwa Viora menyimpan rahasia yang lebih dalam—rahasia yang mungkin bisa menjelaskan cinta yang tak terbalas yang menggerogoti hatinya.
Hari itu, Elysra memutuskan untuk menghadapi Viora. Ia menunggu hingga gadis itu selesai mengamati kota, lalu mengajaknya duduk di sudut atap yang menghadap ke bukit. Kabut tipis di luar menciptakan suasana misterius, seolah menyembunyikan bayang-bayang dari masa lalu. Elysra meletakkan buku kecil di atas lantai basah, di samping kotak logam yang masih mengeluarkan aroma logam berkarat. “Viora,” katanya, suaranya tegas namun gemetar, “aku perlu tahu apa yang kau sembunyikan. Dan apa hubunganmu dengan Kaenho.”
Viora menatapnya lama, matanya yang biru seolah menimbang-nimbang sesuatu. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan sebuah buku sketsa kecil dari jaketnya, kulitnya sudah usang dan penuh noda air hujan. “Aku bukan hanya siswa pindahan, Elysra,” katanya pelan. “Aku bagian dari keluarga yang menjaga cerita Haesong, dan aku datang ke sini karena jejak Kaenho yang tersisa di kafe tua. Aku tahu tentang kalian berdua.”
Elysra merasa jantungnya berdegup kencang. Ia ingin marah, ingin mengusir Viora karena telah menyusup ke hidupnya dengan motif tersembunyi, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa lega—lega karena akhirnya ada seseorang yang mungkin bisa membantu memahami perasaannya. Viora membuka buku sketsa itu, menunjukkan lukisan-lukisan tentang Haesong, termasuk nama-nama yang ia kenali—Kaenho sebagai pemuda yang bercita-cita menjadi seniman, dan Elysra yang sering terlihat bersamanya di atap. Menurut cerita yang ia kumpulkan, setiap cinta di Haesong ditakdirkan untuk diuji oleh waktu dan hati, dan perasaan Elysra yang tak terbalas adalah bagian dari takdir yang tak bisa dihindari.
Elysra mendengarkan dengan napas tertahan, setiap kata Viora seperti membuka luka lama yang ia coba kubur. Ia teringat Kaenho, yang selalu tenang di atap, dan hari-hari ketika ia menunggu perhatian dari temannya dengan harapan yang perlahan memudar. Dalam buku kecil, ia membaca tentang perasaannya yang tumbuh seiring waktu, tentang bayangan Kaenho yang ia anggap sebagai tanda cinta, dan tentang kuas tua yang ia temukan di kotak. Elysra tak pernah tahu detail tentang keputusan Kaenho, tapi suratnya menyebutkan bahwa ia tahu tentang perasaan Elysra, namun memilih menjauh demi menjaga hati temannya dari luka yang lebih dalam.
Malam itu, setelah pertemuan mereka, Elysra dan Viora duduk di jendela apartemen, ditemani suara hujan yang bergulung pelan melalui kabut. Elysra memutuskan untuk menceritakan kisahnya kepada Viora—kisah yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Ia menceritakan tentang masa SMP-nya di Haesong, tentang Kaenho yang selalu ada di sisinya, tentang hari-hari penuh harapan sebelum ia menyadari bahwa cintanya tak akan pernah terbalas. Ia menceritakan tentang sore terakhir mereka di atap, tentang rasa sakit yang mengisi hidupnya sejak saat itu.
Viora mendengarkan tanpa menyela, tapi matanya penuh dengan empati yang tulus. Ketika Elysra selesai bercerita, ia mengeluarkan sebuah foto dari buku sketsanya. Foto itu menunjukkan seorang pemuda dengan rambut hitam pendek, berdiri di kafe dengan senyum lembut, memegang seikat kertas lukis. “Ini dia,” kata Viora pelan. “Kaenho.” Elysra merasa dunia di sekitarnya berputar. Foto itu diambil di kafe, dengan latar belakang meja-meja tua yang penuh kenangan.
Viora menjelaskan bahwa ia menemukan foto itu di antara barang-barang tua yang ia terima dari keluarganya. Foto itu disertai dengan sebuah catatan yang ditulis oleh Kaenho, yang berbunyi: “Elysra, maafkan aku karena tak bisa membalasmu. Aku tinggalkan ini untukmu.” Elysra tak bisa menahan air matanya. Ia merasa campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kerinduan yang begitu kuat hingga dadanya terasa sesak. Ia ingin bertanya pada Viora bagaimana ia bisa menemukan semua ini, tapi kata-kata tak mau keluar dari mulutnya.
Hari-hari berikutnya di Haesong dipenuhi dengan pencarian jawaban. Elysra dan Viora mulai menjelajahi kafe tua, mencari petunjuk yang mungkin ditinggalkan oleh Kaenho atau kenangan-kenangan yang tersembunyi. Mereka menemukan sebuah sudut tersembunyi di belakang rak buku, di mana ukiran kecil berbentuk awan tampak terpahat di kayu. Elysra merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa tempat ini adalah pusat dari cinta yang tak terbalas yang mengikatnya.
Malam itu, ketika mereka kembali ke apartemen, Elysra menemukan sebuah catatan lain di dalam buku kecil, yang selama ini ia lewatkan. Catatan itu berbunyi: “Cinta ini bukan hanya tentang harapan, tapi tentang pengorbanan. Seseorang harus melepaskan jiwa untuk memutusnya, dan harga itu adalah hati.” Elysra merasa jantungnya berhenti. Ia menatap Viora, yang sedang membaca catatan-catatan sendiri di sudut jendela, dan tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang membuatnya takut. Viora bukan hanya bagian dari keluarga penjaga cerita. Ia memiliki hubungan dengan Kaenho, dengan cinta ini, dan mungkin dengan dirinya.
Kabut kembali turun malam itu, dan suara hujan di bukit terdengar lebih keras. Elysra duduk di jendela, dikelilingi oleh buku kecil, foto, dan kuas dari kotak itu. Ia merasa seperti sedang menyusun sebuah teka-teki raksasa, tapi setiap potongan yang ia temukan hanya membuat gambar itu semakin gelap. Viora, yang duduk di sampingnya, akhirnya berkata, “Aku tahu kau terluka, Elysra. Tapi kita harus menghadapi ini bersama. Aku bukan hanya di sini untuk mengingat. Aku di sini karena aku berjanji pada seseorang untuk menemukan kedamaian.”
Kata-kata itu seperti angin yang menyapu hati Elysra. Ia ingin bertanya siapa “seseorang” itu, tapi ia sudah tahu jawabannya. Kaenho. Nama itu seperti mantra yang terus bergema di kepalanya, membawa kembali kenangan tentang hari-hari ketika mereka melukis di atap, mendengarkan suara hujan. Tapi kenangan itu juga membawa rasa sakit yang tak tertahankan, rasa sakit yang membuatnya tinggal di Haesong, berharap bisa melupakan segalanya.
Pagi berikutnya, Elysra dan Viora kembali ke kafe tua di bawah bukit, membawa buku kecil dan kuas tua. Di kafe itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah puisi yang harus diucapkan di depan sudut tersembunyi, dengan kuas sebagai pengikat. Tapi puisi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Elysra tahu apa yang harus ia korbankan: cinta yang ia miliki untuk Kaenho, emosi yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Namun, sebelum mereka bisa membaca lebih lanjut, mereka mendengar suara langkah di atas lantai kayu. Seseorang mendekat, dan suara itu terasa familiar namun menakutkan. Elysra merasa jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke Viora, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita tidak sendirian,” katanya pelan, dan di matanya, Elysra melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Kafe, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti jebakan yang menutup di sekitarnya.
Akhir di Bawah Cahaya Festival
Kabut tebal menyelimuti Haesong, membasahi bukit dan kota dengan tetesan air yang membentuk genangan di jalanan beraspal. Elysra dan Viora berdiri di depan sudut tersembunyi di kafe tua, memegang buku kecil dan kuas tua. Cahaya lampu festival dari kota yang jauh berkedip-kedip melalui kabut, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding kayu, seolah jiwa-jiwa dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara langkah yang mereka dengar semakin mendekat, diiringi oleh desau angin yang kini terdengar jelas, penuh dengan kesedihan yang tak terucap. Elysra merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di kafe, apa pun yang telah memburu hatinya selama dua tahun.
Ketika mereka menoleh, mereka melihat sosok yang berdiri di antara rak-rak buku. Itu adalah pemuda dengan rambut hitam pendek yang basah oleh kabut, wajahnya pucat namun familiar—Kaenho. Matanya yang kosong memandang Elysra, dan senyum tipis muncul di bibirnya, penuh dengan duka yang tak bisa diucapkan. “Kau sudah menemukannya, bukan?” kata sosok itu, suaranya lembut namun penuh otoritas. “Buku itu, kuas itu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Elysra.”
Elysra ingin bertanya siapa sosok itu, tapi sebelum ia bisa membuka mulut, Viora melangkah maju. “Kaenho,” katanya, suaranya tegas namun penuh emosi. “Kau tak seharusnya ada di sini.” Elysra merasa dunia di sekitarnya berputar. Kaenho, sahabat yang ia cintai, yang konon menjauh dari Haesong, kini berdiri di depannya, hidup namun berbeda. Tapi ada sesuatu yang salah dengan sosok ini. Auranya terasa hampa, seolah ia adalah bagian dari kafe itu sendiri, bagian dari cinta yang tak terbalas yang mengikat Elysra.
Kaenho tersenyum tipis, namun senyumnya tak mencapai matanya. “Aku di sini untuk memastikan bayang ini berhenti menghantui, Viora. Dan kau tahu apa yang diperlukan untuk itu.” Elysra menatap Viora, mencari jawaban di wajahnya, tapi gadis itu hanya menunduk, tangannya mengepal erat. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Elysra, suaranya gemetar. “Apa yang harus kulakukan?”
Kaenho menjelaskan bahwa cinta yang tak terbalas hanya bisa diputus dengan pengorbanan—seseorang harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga baginya, sesuatu yang ia cintai lebih dari hidupnya sendiri. Bagi Kaenho, itu adalah mimpinya untuk menjadi seniman, yang ia lepaskan demi menjaga Elysra dari luka yang lebih dalam. Dan kini, giliran Elysra untuk memilih. Kuas tua yang ia pegang adalah kunci untuk menyelesaikan ritual, tapi harga yang harus dibayar adalah sesuatu yang akan menghancurkan hatinya.
Elysra merasa dadanya sesak. Ia teringat Kaenho, teringat hari-hari ketika mereka melukis di atap, teringat senyumnya di foto polaroid. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa pengorbanan itu berhubungan dengan cinta yang ia miliki—cinta yang pernah ia rasakan untuk Kaenho, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Malam itu, di tengah kabut yang tak kunjung reda, Elysra dan Viora kembali ke jendela apartemen. Mereka duduk di lantai, dikelilingi oleh buku kecil, foto, dan puisi dari kotak itu. Viora akhirnya menceritakan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Ia adalah sepupu jauh Kaenho, bagian dari keluarga penjaga cerita Haesong, yang datang untuk memenuhi janji Kaenho—janji untuk memutus ikatan cinta yang telah menghancurkan hati Elysra. Kaenho, menurut Viora, tahu tentang cinta Elysra sebelum ia menjauh, tapi ia memilih pergi, dan kematian mimpinya untuk Elysra adalah upaya terakhir untuk menyelamatkannya.
Elysra merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia tak pernah tahu bahwa ia memiliki hubungan dengan keluarga Kaenho, tak pernah tahu bahwa Kaenho telah mengorbankan mimpinya untuknya. Viora memegang tangannya, matanya penuh dengan kesedihan yang sama yang ia rasakan. “Aku datang ke sini untuk menemukan jawaban, Elysra,” katanya. “Tapi aku juga datang untuk melindungimu. Aku tahu harga yang harus dibayar, dan aku siap membayarnya.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menikam hati Elysra. Ia tahu bahwa Viora bersedia mengorbankan dirinya untuk memutus ikatan, tapi ia tak bisa membiarkan itu terjadi. Ia telah kehilangan terlalu banyak—harapan, cinta, dan kini, mungkin, kedamaian. Ia memutuskan bahwa ia sendiri yang akan menyelesaikan ritual itu, apa pun harganya.
Pagi berikutnya, ketika matahari akhirnya muncul di antara kabut, Elysra dan Viora kembali ke kafe tua di bawah bukit. Mereka membawa buku kecil, kuas tua, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di kafe itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah puisi yang harus diucapkan di depan sudut tersembunyi, dengan kuas sebagai pengikat. Tapi puisi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Elysra tahu apa yang harus ia korbankan: cinta yang ia miliki untuk Kaenho, emosi yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Dengan tangan gemetar, Elysra berdiri di depan sudut tersembunyi, memegang kuas itu. Ia mengucapkan puisi yang ditulis dalam buku kecil, setiap kata terasa seperti mengoyak jiwanya. Ia teringat wajah Kaenho, senyumnya di foto polaroid, suara tawanya. Ketika kata terakhir puisi itu diucapkan, kuas di tangannya bersinar terang, dan kabut di sekitarnya berhenti sejenak, menciptakan keheningan yang menyelimuti kafe. Cahaya itu meredup, dan Elysra merasa sesuatu telah berubah. Kuas itu kini tenggelam ke dalam lantai kayu di dekat sudut, dan kabut kembali turun, seolah ikatan itu telah terputus.
Tapi ada harga yang harus dibayar. Elysra merasa kenangan tentang Kaenho mulai memudar, seperti cat yang terhapus perlahan dari buku kecil. Ia masih ingat bahwa ia pernah mencintai seseorang, tapi wajahnya, suaranya, semua detail itu hilang, seolah tak pernah ada. Ia jatuh berlutut di depan sudut, menangis tanpa suara, sementara hujan membasahi tubuhnya. Viora memegang tangannya, matanya penuh dengan air mata. “Kau melakukannya, Elysra,” katanya pelan. “Ikatan itu sudah berakhir.” Tapi Elysra tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu mahal. Ia telah kehilangan cinta yang menjadi alasan hidupnya, dan di dalam hatinya, ia merasa kosong.
Hari-hari berikutnya di Haesong terasa seperti mimpi buruk yang tak berakhir. Kabut tetap turun, tapi tawa Kaenho tak lagi terdengar. Elysra duduk di jendela apartemennya, menatap buku kecil yang kini kosong, tanpa lukisan yang menyertainya. Pada suatu malam, ketika kabut turun lagi, Elysra berjalan menuju kafe tua, membawa buku kecil yang telah kosong. Ia berdiri di depan sudut tersembunyi, menatap lantai yang mencerminkan wajahnya yang pucat, dan merasa bahwa hidupnya telah berakhir bersama cinta yang hilang. Dengan langkah perlahan, ia meletakkan buku kecil di sudut dan berjalan menjauh, membiarkan kabut menyelimuti dirinya sepenuhnya. Kafe itu kembali tenggelam dalam keheningan, menyimpan bayang cinta dalam kenangan yang abadi.
Haesong berdiri diam di belakangnya, lampu festival di kota berkedip redup, dan sudut tersembunyi di kafe tetap menjadi saksi bisu dari akhir tragis Elysra Jin, di mana cinta bertepuk sebelah tangan dan pengorbanan berakhir dalam duka yang tak pernah sirna.
Cinta Tersembunyi Sahabat SMP: Drama Remaja menyajikan kisah cinta remaja yang penuh pengorbanan dan duka, meninggalkan kesan mendalam yang tak terlupakan. Dengan alur yang emosional dan akhir yang tragis, cerpen ini mengajak Anda merenung tentang kekuatan perasaan yang tak terbalas dan harga yang harus dibayar untuk melepaskannya. Segera temukan kisah Elysra dan rasakan sentuhan emosi yang abadi dalam narasi ini!
Terima kasih telah menyelami ulasan Cinta Tersembunyi Sahabat SMP: Drama Remaja. Semoga cerita ini membawa Anda pada perenungan mendalam tentang cinta dan pengorbanan. Kami menantikan kehadiran Anda kembali untuk petualangan literatur berikutnya—silakan bagikan kesan Anda dengan kami!


