Daftar Isi
Temukan kisah cinta tragis yang menyayat hati dalam Sahabat yang Jadi Cinta: Kisah Sedih Remaja, sebuah cerpen epik yang menggambarkan perjalanan emosional Lysindra Choi di lembah Yulrang pada tahun 2024. Cerita ini mengungkap cinta Lysindra untuk sahabatnya, Jorin Kim, yang berujung duka di tengah misteri yang dibawa Nerissa Jang. Cocok untuk penggemar drama Korea yang mencari alur emosional dan mendalam—jangan lewatkan petualangan hati yang memukau ini!
Sahabat yang Jadi Cinta
Hening di Lembah Senja
Di sebuah lembah terpencil bernama Yulrang pada tahun 2024, di mana perbukitan hijau bergoyang lembut di bawah langit jingga senja dan sungai kecil mengalir pelan di antara bebatuan, udara selalu membawa aroma rumput liar dan bunga liar yang bermekaran di musim semi. Yulrang dikenal dengan festival lentera musim semi yang menghidupkan lembah dengan cahaya hangat setiap bulan April, serta sekolah menengah pertama yang berdiri di tepi tebing, dindingnya ditumbuhi tanaman merambat akibat hujan yang sering turun. Di antara siswa kelas tujuh yang ramai itu, ada seorang gadis bernama Lysindra Choi, berusia dua belas tahun, dengan rambut panjang berwarna hitam keabu-abuan yang sering dibiarkan tergerai, dan mata abu-abu yang menyimpan kesedihan yang ia sembunyikan di balik senyum kecilnya. Ia pindah ke Yulrang bersama kakaknya setelah rumah mereka di kota hancur akibat banjir, membawa tas kecil yang penuh dengan buku catatan dan pena yang ia gunakan untuk menulis perasaannya. Namun, di balik keindahan lembah itu, ada luka yang perlahan membesar dalam dirinya, hingga ia bertemu dengan sahabatnya yang menjadi cinta dengan akhir yang menyedihkan, Jorin Kim.
Lysindra tinggal di sebuah rumah kayu di tepi sungai, sebuah hunian sederhana dengan pintu kayu yang selalu terbuka menghadap ke lembah yang luas. Ruangannya dipenuhi benda-benda yang mengingatkannya pada kehidupan sebelumnya—sebuah buku catatan tua peninggalan ibunya, tumpukan kertas yang ia isi dengan puisi, dan sebuah kotak musik kecil yang jarang dimainkannya. Suara air sungai yang mengalir pelan sering menjadi teman malamnya, tapi suara itu kini terasa hampa, seolah kehilangan makna sejak ia mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Jorin mulai berubah menjadi cinta yang tak akan pernah bahagia. Lysindra pindah ke Yulrang pada awal musim semi 2023, mencari tempat baru setelah kehilangan rumahnya, tapi lembah ini kini menjadi saksi dari cinta yang berujung duka.
Hari-hari Lysindra di SMP Yulrang biasanya dimulai dengan suara burung gereja yang berkicau di pepohonan di luar jendela, diikuti oleh langkah kakinya yang ringan menuju kelas bersama Jorin. Mereka duduk di sudut kelas, berbagi buku catatan dan menatap lembah yang berkilau di bawah sinar matahari sore. Tapi seiring waktu, terutama menjelang akhir tahun ajaran, ruang di sampingnya mulai terasa berat dengan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan, meninggalkan jejak kesedihan yang membuat Lysindra merasa seperti tenggelam dalam sunyi. Ia menghabiskan waktu istirahat di tepi tebing, menatap sungai yang mengalir di bawah, tangannya memainkan pena yang kini jarang digunakan. Di malam hari, ia duduk di ambang pintu rumah, menatap lentera musim semi yang berkelap-kelip di kejauhan, hati dipenuhi kerinduan pada hari-hari ketika persahabatan mereka masih murni, sebelum cintanya mulai tumbuh.
Persahabatan mereka dimulai di kelas tujuh, di tepi tebing saat mereka secara tidak sengaja bertemu sambil mengumpulkan bunga liar untuk proyek seni. Jorin, dengan rambut cokelat panjang yang sedikit berantakan dan tawa lembut yang menenangkan, langsung mengulurkan tangan untuk membantu Lysindra memetik bunga yang sulit dijangkau. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan, berbagi puisi di tepi tebing, menulis cerita bersama di bawah pohon-pohon besar, dan bermimpi menjadi penulis terkenal. Jorin selalu menjadi yang lebih ceria, sementara Lysindra menemukan keberanian dalam kehadiran temannya. Mereka tumbuh bersama, melewati ujian seni, hujan deras di Yulrang, dan harapan untuk mengejar impian mereka. Tapi segalanya mulai berubah di pertengahan tahun ajaran, ketika Jorin mulai menunjukkan tanda-tanda penyakit misterius, meninggalkan Lysindra dengan perasaan yang tak terucapkan.
Lysindra sering mengingat hari-hari awal mereka, sebuah sore di bulan Mei ketika bunga liar bermekaran dan lentera mulai dinyalakan di jalan-jalan Yulrang. Mereka duduk di tepi tebing, mendengarkan suara sungai yang mengalir, dan berbagi cerita tentang masa depan. Jorin tampak sedikit berbeda hari itu, wajahnya pucat, tapi Lysindra menganggap itu hanya kelelahan. Tahun-tahun berlalu, dan menjelang akhir kelas tujuh, jarak antara mereka mulai terasa—Jorin sering absen dari sekolah, sementara Lysindra larut dalam dunia tulisannya yang penuh duka. Malam itu, setelah ujian seni, Lysindra menemukan sebuah puisi dari Jorin di buku catatannya: sebuah sajak tentang akhir dan kepergian, dengan catatan pendek, “Maafkan aku.” Sejak saat itu, Lysindra merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya, sebuah lubang yang tak bisa diisi oleh siapa pun.
Suatu sore di bulan Juni, ketika hujan musim semi membasahi lembah dan angin membawa udara hangat, Lysindra duduk sendirian di tepi tebing, menatap sungai yang mengalir deras di bawah. Angin membawa aroma bunga liar dari kebun di kejauhan, dan tiba-tiba seorang gadis dengan mantel hijau tua muncul di dekatnya. Rambutnya yang cokelat pendek tergerai oleh angin, dan matanya yang keemasan menatapnya dengan rasa ingin tahu yang aneh. Ia memperkenalkan diri sebagai Nerissa Jang, seorang siswa pindahan yang baru datang ke Yulrang dan tampak terpesona oleh tebing yang curam. Wajahnya penuh tanda-tanda kecil dari apa yang ia sebut “perjalanan musim,” tapi ada kehangatan dalam caranya berdiri yang membuat Lysindra tak bisa menolak mengundangnya duduk bersamanya.
Nerissa duduk di rumput basah, tangannya yang halus memegang sebuah buku catatan tua yang tampak usang. Matanya sesekali melirik buku Lysindra, seolah mengenali sesuatu. “Tempat ini penuh cerita,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan. Lysindra mengangguk, hati bergetar oleh kata-kata yang terasa terlalu dekat dengan perasaannya. Nerissa memutuskan untuk tinggal sebentar di Yulrang, dengan alasan ingin mengenal lembah, dan meski Lysindra ragu, ia merasa ada kelegaan dalam kehadiran gadis itu, sebuah perubahan dari kesedihan yang selama ini menyelimutinya.
Hari-hari berikutnya membawa ritme baru ke kehidupan Lysindra. Nerissa membantu menulis di buku catatannya, duduk bersamanya di kelas seni SMP, dan bahkan memperbaiki pena tua dengan tangan terampilnya. Ia tak banyak bertanya tentang Jorin, tapi gerakannya yang pelan, seperti saat ia mengumpulkan bunga atau menatap tebing, seolah membawa sedikit cahaya ke dalam kegelapan hatinya. Lysindra mulai merasa nyaman dengan kehadiran Nerissa, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.
Namun, di balik ketenangan yang muncul, ada bayangan yang semakin pekat. Setiap kali angin bertiup kencang, Lysindra merasa ada suara samar di tebing—langkah kaki yang terdengar seperti Jorin, atau desir angin yang mirip dengan tawa temannya. Ia sering terbangun di malam hari, berkeringat dingin, membayangkan Jorin berdiri di sudut pintunya, wajahnya pucat dan matanya kosong. Dan Nerissa, dengan instinknya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Lysindra menatap buku catatannya, cara ia memutar pena dengan tangan gemetar, dan cara ia selalu terdiam ketika hujan membawa kenangan.
Pada suatu malam yang hangat, ketika lentera musim semi di lembah tampak redup di balik kabut, Lysindra mendengar ketukan lembut di pintu rumahnya. Ia membukanya, berpikir itu hanya angin, tapi yang berdiri di luar adalah seorang gadis dengan mantel basah dan rambut cokelat kusut. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak kayu kecil yang tampak tua, permukaannya penuh goresan. Gadis itu meletakkan kotak itu di ambang pintu dan berbicara dengan suara pelan, “Ini milik Jorin. Aku menemukannya di tebing tua di atas lembah.” Sebelum Lysindra bisa bertanya lebih lanjut, gadis itu berbalik dan menghilang ke dalam kabut, meninggalkan Lysindra dengan detak jantung yang kencang dan rasa takut yang tak bisa dijelaskan.
Lysindra berdiri di pintu, memegang kotak itu yang terasa dingin di tangannya. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah lembah yang gelap di luar, dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia merasa takut—bukan hanya karena cintanya yang berubah menjadi duka, tapi karena kenyataan bahwa kenangan itu mungkin akan menghancurkannya sepenuhnya.
Cahaya di Balik Hujan Lembah
Hujan turun pelan di Yulrang, membasahi tebing dan membentuk cermin di jalan setapak yang mencerminkan lentera musim semi yang berkelap-kelip di lembah. Lysindra Choi duduk di lantai pintunya, kotak kayu kecil yang diberikan gadis misterius itu terbuka di depannya, isi di dalamnya tersebar di tikar bambu. Udara di luar terasa lembap, bercampur dengan aroma bunga liar dan tanah basah yang menempel di setiap sudut. Di kejauhan, suara sungai mengalir deras, membawa desau yang terdengar seperti bisikan dari masa lalu. Lampu minyak di pintu berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding, seolah menggambarkan kenangan yang terus menghantuinya.
Kotak itu berisi benda-benda yang membuat jantung Lysindra berdegup kencang—sebuah puisi yang dilipat rapi, beberapa catatan tulisan tangan oleh Jorin, dan sebuah buku catatan kecil yang penuh sketsa lembah. Kertas-kertas itu terasa dingin dan sedikit lengket karena kelembapan, dan aroma tinta yang memudar memenuhi udara, membawa kembali ingatan tentang Jorin yang sering menulis di tepi tebing. Lysindra menatap isi kotak itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh buku kecil yang tampak seperti menyimpan rahasia terakhir temannya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka duduk bersama di tebing, ketika tawa Jorin masih terdengar jelas di telinganya.
Pagi itu, ketika matahari tersembunyi di balik awan tebal dan hujan mereda menjadi gerimis, Nerissa Jang kembali dari perjalanan singkatnya ke tebing tua di atas lembah. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi pena tua dan sebuah kotak logam kecil yang ia temukan di antara bebatuan. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya yang keemasan bersinar dengan rasa ingin tahu yang aneh. “Aku menemukan sesuatu yang mungkin membantumu,” katanya, meletakkan kotak itu di meja kayu di samping kotak milik Jorin. Kotak itu terbuat dari logam berkarat dengan ukiran bunga, dan di dalamnya terdapat sebuah surat yang ditulis dengan tangan rapi, bersama dengan foto polaroid yang sudah menguning di tepinya.
Lysindra merasa napasnya terhenti sejenak. Surat itu ditulis oleh Jorin, tinta hitamnya masih samar terbaca meski kertasnya basah. Ia mengambil surat itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan kata-kata yang membuat dunianya bergetar. “Lysindra, maafkan aku karena tak bisa bertahan,” tulisnya. Surat itu menceritakan tentang penyakit misterius yang menggerogoti tubuhnya, tentang bagaimana Jorin merasa terjebak dalam tubuh yang lemah, dan tentang perasaannya yang berkembang pada keinginan untuk membebaskan Lysindra dari kesedihannya. Foto polaroid menunjukkan Jorin berdiri di tebing, rambut cokelatnya berkibar oleh angin, dengan senyum tipis yang penuh ketakutan.
Lysindra merasa dadanya sesak. Ia ingat Jorin, yang selalu ceria di tebing, dan hari-hari ketika ia menunggu kehadiran temannya dengan harapan yang perlahan memudar. Surat itu mengungkap bahwa Jorin tahu tentang perasaan Lysindra, tapi ia memilih untuk diam, tak ingin menyakitinya lebih dalam dengan kebenaran tentang kesehatannya. Lysindra menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah awal dari duka yang tak terhindarkan.
Nerissa memperhatikan reaksi Lysindra, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di sudut pintu, membolak-balik pena tua dengan hati-hati, seolah memberikan ruang bagi Lysindra untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Nerissa, meski diam, terasa seperti tekanan lembut yang mendorong Lysindra untuk menghadapi kenyataan. Ia menatap buku kecil Jorin di tangannya, lalu ke puisi di kotak. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Lysindra mulai merasa bahwa kehadiran Nerissa bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap surat Jorin, yang membuat Lysindra curiga bahwa gadis ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu sore, ketika mereka duduk di tepi tebing sambil menikmati teh panas di tengah hujan yang reda, Nerissa tiba-tiba berkata, “Cinta itu bisa menjadi kutukan, Lysindra.” Lysindra menatapnya tajam, merasa seperti ditelanjangi. Ia ingin marah, ingin mengusir Nerissa dari tebing, tapi ada sesuatu dalam nada suara Nerissa yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kadang kita harus menerima akhir,” jawabnya dingin, lalu bangkit dan berjalan kembali ke rumah, meninggalkan Nerissa sendirian di tepi tebing.
Malam itu, Lysindra akhirnya memberanikan diri untuk membuka buku kecil Jorin. Di dalamnya, ia menemukan sketsa-sketsa yang ditulis dengan tangan gemetar, penuh dengan gambar lembah dan bunga liar. Satu halaman terakhir berisi puisi pendek yang ditulis dengan tinta yang sudah luntur: “Di tebing ini aku pergi, meninggalkan kata untukmu. Maafkan aku, sahabat.” Lysindra merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan Yulrang dan semua kenangan yang tersimpan di lembah ini, tapi ia tahu ia tak bisa. Lembah itu, cintanya yang berubah menjadi duka, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.
Pagi berikutnya, Nerissa menemukan Lysindra duduk di ambang pintu, dikelilingi oleh surat, buku kecil, dan puisi dari kotak itu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan segelas teh. Tapi di matanya, Lysindra melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Nerissa tahu lebih banyak tentang Jorin daripada yang ia katakan. “Kau pernah kehilangan seseorang yang kau cintai?” tanya Lysindra tiba-tiba, suaranya serak karena menangis semalaman. Nerissa menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa hancurnya itu.”
Hari itu, untuk pertama kalinya, Lysindra mulai berbicara tentang masa lalunya—tentang Jorin, tentang cintanya yang berubah menjadi duka, dan tentang luka yang membuatnya tinggal di Yulrang. Nerissa mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang membuat Lysindra merasa bahwa gadis ini bukan hanya siswa pindahan. Ada hubungan antara Nerissa dan kenangan Jorin yang ia temukan di kotak dan buku kecil, dan Lysindra tahu bahwa kebenaran itu akan segera terungkap, entah ia siap atau tidak.
Yulrang, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti panggung bagi sebuah cerita yang belum selesai. Setiap tetes hujan yang ia dengar, setiap bayangan Jorin yang ia lihat di tebing, membawanya lebih dekat ke sebuah kebenaran yang mungkin akan menghancurkannya. Dan di tengah semua itu, ada Nerissa, gadis yang datang sebagai orang asing, tapi kini menjadi bagian dari cerita yang tak pernah Lysindra bayangkan akan ia jalani lagi.
Bayang di Balik Tebing Senja
Langit Yulrang pada sore hari di pertengahan musim semi 2024 tampak diselimuti awan oranye yang menggantung rendah di atas lembah, menciptakan lapisan cahaya lembut yang menyatu dengan hamparan bunga liar yang bermekaran di perbukitan. Angin hangat bertiup dari arah sungai, membawa aroma tanah basah dan bunga yang baru mekar, sementara tetesan hujan ringan membasahi daun-daun yang menjuntai di tepi tebing. Lysindra Choi duduk di sudut tebing, tangannya memegang buku catatan Jorin yang usang, sementara sebuah kotak kayu yang ditemukan di tebing tua terbuka di sampingnya. Setiap halaman buku itu terasa seperti membuka luka lama, membawa kembali kenangan tentang waktu bersama sahabatnya, tentang harapan yang pernah ia genggam erat, dan tentang kesunyian yang kini mengisi ruang kosong di hatinya. Di sudut kotak, sebuah pena tua yang pernah mereka temukan bersama tergeletak, seolah menyimpan emosi yang tak pernah ia ungkapkan.
Nerissa Jang, gadis yang kini menjadi bagian dari kehidupan Lysindra, sedang mengamati pantulan lentera musim semi di permukaan sungai dari kejauhan dengan gerakan pelan. Tangan-tangannya yang halus bergerak dengan konsentrasi, tapi pikiran Lysindra tak sepenuhnya ada di sana. Ia terus memikirkan kata-kata Nerissa malam sebelumnya, ketika ia mengaku memiliki koneksi dengan Jorin melalui cerita-cerita tebing tua yang ia dengar dari penduduk lembah. Ada sesuatu dalam nada suaranya, dalam cara ia menatap buku catatan Jorin, yang membuat Lysindra yakin bahwa Nerissa menyimpan rahasia yang lebih dalam—rahasia yang mungkin bisa menjelaskan cinta yang berubah menjadi duka yang menggerogoti hatinya.
Hari itu, Lysindra memutuskan untuk menghadapi Nerissa. Ia menunggu hingga gadis itu selesai mengamati sungai, lalu mengajaknya duduk di rumput basah yang menghadap ke lembah. Cahaya senja di luar menciptakan suasana melankolis, seolah menyembunyikan bayang-bayang dari masa lalu. Lysindra meletakkan buku catatan di atas rumput yang mulai kering, di samping kotak kayu yang masih mengeluarkan aroma kayu lembap. “Nerissa,” katanya, suaranya tegas namun gemetar, “aku perlu tahu apa yang kau sembunyikan. Dan apa hubunganmu dengan Jorin.”
Nerissa menatapnya lama, matanya yang keemasan seolah menimbang-nimbang sesuatu. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari mantelnya, kulitnya sudah usang dan penuh noda hujan. “Aku bukan hanya siswa pindahan, Lysindra,” katanya pelan. “Aku bagian dari keluarga yang menjaga cerita Yulrang, dan aku datang ke sini karena jejak Jorin yang tersisa di tebing tua. Aku tahu tentang kalian berdua.”
Lysindra merasa jantungnya berdegup kencang. Ia ingin marah, ingin mengusir Nerissa karena telah menyusup ke hidupnya dengan motif tersembunyi, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa lega—lega karena akhirnya ada seseorang yang mungkin bisa membantu memahami perasaannya. Nerissa membuka buku catatan itu, menunjukkan sketsa-sketsa tentang Yulrang, termasuk nama-nama yang ia kenali—Jorin sebagai pemuda yang bercita-cita menjadi penulis, dan Lysindra yang sering terlihat bersamanya di tebing. Menurut cerita yang ia kumpulkan, setiap cinta yang lahir dari persahabatan di Yulrang ditakdirkan untuk berakhir dengan pengorbanan, dan perasaan Lysindra yang tumbuh adalah bagian dari kutukan yang tak bisa dihindari.
Lysindra mendengarkan dengan napas tertahan, setiap kata Nerissa seperti membuka luka lama yang ia coba kubur. Ia teringat Jorin, yang selalu ceria di tebing, dan hari-hari ketika ia menunggu kehadiran sahabatnya dengan harapan yang perlahan memudar. Dalam buku catatan, ia membaca tentang perasaannya yang berkembang seiring waktu, tentang bayangan Jorin yang ia anggap sebagai tanda cinta, dan tentang pena tua yang ia temukan di kotak. Lysindra tak pernah tahu detail tentang penyakit Jorin, tapi suratnya menyebutkan bahwa ia tahu tentang perasaan Lysindra, namun memilih menjauh demi menjaga hati sahabatnya dari luka yang lebih dalam.
Malam itu, setelah pertemuan mereka, Lysindra dan Nerissa duduk di ambang pintu rumah, ditemani suara hujan yang bergulung pelan melalui lembah. Lysindra memutuskan untuk menceritakan kisahnya kepada Nerissa—kisah yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Ia menceritakan tentang masa SMP-nya di Yulrang, tentang Jorin yang selalu ada di sisinya, tentang hari-hari penuh harapan sebelum ia menyadari bahwa cintanya tak akan pernah terucap. Ia menceritakan tentang sore terakhir mereka di tebing, tentang rasa sakit yang mengisi hidupnya sejak saat itu.
Nerissa mendengarkan tanpa menyela, tapi matanya penuh dengan empati yang tulus. Ketika Lysindra selesai bercerita, ia mengeluarkan sebuah foto dari buku catatannya. Foto itu menunjukkan seorang pemuda dengan rambut cokelat panjang, berdiri di tebing dengan senyum lembut, memegang pena tua. “Ini dia,” kata Nerissa pelan. “Jorin.” Lysindra merasa dunia di sekitarnya berputar. Foto itu diambil di tebing, dengan latar belakang bunga liar yang bermekaran.
Nerissa menjelaskan bahwa ia menemukan foto itu di antara barang-barang tua yang ia terima dari keluarganya. Foto itu disertai dengan sebuah catatan yang ditulis oleh Jorin, yang berbunyi: “Lysindra, maafkan aku karena tak bisa bertahan. Aku tinggalkan ini untukmu.” Lysindra tak bisa menahan air matanya. Ia merasa campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kerinduan yang begitu kuat hingga dadanya terasa sesak. Ia ingin bertanya pada Nerissa bagaimana ia bisa menemukan semua ini, tapi kata-kata tak mau keluar dari mulutnya.
Hari-hari berikutnya di Yulrang dipenuhi dengan pencarian jawaban. Lysindra dan Nerissa mulai menjelajahi tebing tua, mencari petunjuk yang mungkin ditinggalkan oleh Jorin atau kenangan-kenangan yang tersembunyi. Mereka menemukan sebuah celah tersembunyi di balik bebatuan, di mana ukiran kecil berbentuk bunga tampak terpahat di dinding. Lysindra merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa tempat ini adalah pusat dari cinta yang berubah menjadi duka.
Malam itu, ketika mereka kembali ke rumah, Lysindra menemukan sebuah catatan lain di dalam buku catatan, yang selama ini ia lewatkan. Catatan itu berbunyi: “Cinta ini bukan hanya tentang harapan, tapi tentang pelepasan. Seseorang harus menyerahkan jiwa untuk memutusnya, dan harga itu adalah hati.” Lysindra merasa jantungnya berhenti. Ia menatap Nerissa, yang sedang membaca catatan-catatan sendiri di sudut ambang pintu, dan tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang membuatnya takut. Nerissa bukan hanya bagian dari keluarga penjaga cerita. Ia memiliki hubungan dengan Jorin, dengan cinta ini, dan mungkin dengan dirinya.
Hujan kembali turun malam itu, dan suara sungai di lembah terdengar lebih keras. Lysindra duduk di ambang pintu, dikelilingi oleh buku catatan, foto, dan pena dari kotak itu. Ia merasa seperti sedang menyusun sebuah teka-teki raksasa, tapi setiap potongan yang ia temukan hanya membuat gambar itu semakin gelap. Nerissa, yang duduk di sampingnya, akhirnya berkata, “Aku tahu kau terluka, Lysindra. Tapi kita harus menghadapi ini bersama. Aku bukan hanya di sini untuk mengingat. Aku di sini karena aku berjanji pada seseorang untuk menemukan kedamaian.”
Kata-kata itu seperti angin yang menyapu hati Lysindra. Ia ingin bertanya siapa “seseorang” itu, tapi ia sudah tahu jawabannya. Jorin. Nama itu seperti mantra yang terus bergema di kepalanya, membawa kembali kenangan tentang hari-hari ketika mereka menulis di tebing, mendengarkan suara hujan. Tapi kenangan itu juga membawa rasa sakit yang tak tertahankan, rasa sakit yang membuatnya tinggal di Yulrang, berharap bisa melupakan segalanya.
Pagi berikutnya, Lysindra dan Nerissa kembali ke tebing tua di atas lembah, membawa buku catatan dan pena tua. Di tebing itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah puisi yang harus diucapkan di depan celah tersembunyi, dengan pena sebagai pengikat. Tapi puisi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Lysindra tahu apa yang harus ia korbankan: cinta yang ia miliki untuk Jorin, emosi yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Namun, sebelum mereka bisa membaca lebih lanjut, mereka mendengar suara langkah di atas rumput basah. Seseorang mendekat, dan suara itu terasa familiar namun menakutkan. Lysindra merasa jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke Nerissa, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita tidak sendirian,” katanya pelan, dan di matanya, Lysindra melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Tebing, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti jebakan yang menutup di sekitarnya.
Akhir di Bawah Cahaya Lembah
Hujan tebal menyelimuti Yulrang, membasahi tebing dan lembah dengan tetesan air yang membentuk genangan di jalan setapak. Lysindra dan Nerissa berdiri di depan celah tersembunyi di tebing tua, memegang buku catatan dan pena tua. Cahaya lentera musim semi dari lembah yang jauh berkedip-kedip melalui hujan, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding batu, seolah jiwa-jiwa dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara langkah yang mereka dengar semakin mendekat, diiringi oleh desau sungai yang kini terdengar jelas, penuh dengan kesedihan yang tak terucap. Lysindra merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di tebing, apa pun yang telah memburu hatinya selama dua tahun.
Ketika mereka menoleh, mereka melihat sosok yang berdiri di antara bebatuan. Itu adalah pemuda dengan rambut cokelat panjang yang basah oleh hujan, wajahnya pucat namun familiar—Jorin. Matanya yang kosong memandang Lysindra, dan senyum tipis muncul di bibirnya, penuh dengan duka yang tak bisa diucapkan. “Kau sudah menemukannya, bukan?” kata sosok itu, suaranya lembut namun penuh otoritas. “Buku itu, pena itu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Lysindra.”
Lysindra ingin bertanya siapa sosok itu, tapi sebelum ia bisa membuka mulut, Nerissa melangkah maju. “Jorin,” katanya, suaranya tegas namun penuh emosi. “Kau tak seharusnya ada di sini.” Lysindra merasa dunia di sekitarnya berputar. Jorin, sahabat yang ia cintai, yang konon meninggal karena penyakitnya, kini berdiri di depannya, hidup namun berbeda. Tapi ada sesuatu yang salah dengan sosok ini. Auranya terasa hampa, seolah ia adalah bagian dari tebing itu sendiri, bagian dari cinta yang berubah menjadi duka yang mengikat Lysindra.
Jorin tersenyum tipis, namun senyumnya tak mencapai matanya. “Aku di sini untuk memastikan bayang ini berhenti menghantui, Nerissa. Dan kau tahu apa yang diperlukan untuk itu.” Lysindra menatap Nerissa, mencari jawaban di wajahnya, tapi gadis itu hanya menunduk, tangannya mengepal erat. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Lysindra, suaranya gemetar. “Apa yang harus kulakukan?”
Jorin menjelaskan bahwa cinta yang lahir dari persahabatan hanya bisa diputus dengan pengorbanan—seseorang harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga baginya, sesuatu yang ia cintai lebih dari hidupnya sendiri. Bagi Jorin, itu adalah mimpinya untuk menjadi penulis, yang ia lepaskan demi menjaga Lysindra dari kesedihan yang lebih dalam. Dan kini, giliran Lysindra untuk memilih. Pena tua yang ia pegang adalah kunci untuk menyelesaikan ritual, tapi harga yang harus dibayar adalah sesuatu yang akan menghancurkan hatinya.
Lysindra merasa dadanya sesak. Ia teringat Jorin, teringat hari-hari ketika mereka menulis di tebing, teringat senyumnya di foto polaroid. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa pengorbanan itu berhubungan dengan cinta yang ia miliki—cinta yang pernah ia rasakan untuk Jorin, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Malam itu, di tengah hujan yang tak kunjung reda, Lysindra dan Nerissa kembali ke ambang pintu rumah. Mereka duduk di lantai, dikelilingi oleh buku catatan, foto, dan puisi dari kotak itu. Nerissa akhirnya menceritakan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Ia adalah sepupu jauh Jorin, bagian dari keluarga penjaga cerita Yulrang, yang datang untuk memenuhi janji Jorin—janji untuk memutus ikatan cinta yang telah menghancurkan hati Lysindra. Jorin, menurut Nerissa, tahu tentang cinta Lysindra sebelum ia meninggal, tapi ia memilih pergi, dan kematian mimpinya untuk Lysindra adalah upaya terakhir untuk menyelamatkannya.
Lysindra merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia tak pernah tahu bahwa ia memiliki hubungan dengan keluarga Jorin, tak pernah tahu bahwa Jorin telah mengorbankan mimpinya untuknya. Nerissa memegang tangannya, matanya penuh dengan kesedihan yang sama yang ia rasakan. “Aku datang ke sini untuk menemukan jawaban, Lysindra,” katanya. “Tapi aku juga datang untuk melindungimu. Aku tahu harga yang harus dibayar, dan aku siap membayarnya.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menikam hati Lysindra. Ia tahu bahwa Nerissa bersedia mengorbankan dirinya untuk memutus ikatan, tapi ia tak bisa membiarkan itu terjadi. Ia telah kehilangan terlalu banyak—harapan, cinta, dan kini, mungkin, kedamaian. Ia memutuskan bahwa ia sendiri yang akan menyelesaikan ritual itu, apa pun harganya.
Pagi berikutnya, ketika matahari akhirnya muncul di antara hujan, Lysindra dan Nerissa kembali ke tebing tua di atas lembah. Mereka membawa buku catatan, pena tua, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di tebing itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah puisi yang harus diucapkan di depan celah tersembunyi, dengan pena sebagai pengikat. Tapi puisi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Lysindra tahu apa yang harus ia korbankan: cinta yang ia miliki untuk Jorin, emosi yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Dengan tangan gemetar, Lysindra berdiri di depan celah tersembunhi, memegang pena itu. Ia mengucapkan puisi yang ditulis dalam buku catatan, setiap kata terasa seperti mengoyak jiwanya. Ia teringat wajah Jorin, senyumnya di foto polaroid, suara tawanya. Ketika kata terakhir puisi itu diucapkan, pena di tangannya bersinar terang, dan hujan di sekitarnya berhenti sejenak, menciptakan keheningan yang menyelimuti tebing. Cahaya itu meredup, dan Lysindra merasa sesuatu telah berubah. Pena itu kini tenggelam ke dalam tanah di dekat celah, dan hujan kembali turun, seolah ikatan itu telah terputus.
Tapi ada harga yang harus dibayar. Lysindra merasa kenangan tentang Jorin mulai memudar, seperti tinta yang terhapus perlahan dari buku catatan. Ia masih ingat bahwa ia pernah mencintai seseorang, tapi wajahnya, suaranya, semua detail itu hilang, seolah tak pernah ada. Ia jatuh berlutut di depan celah, menangis tanpa suara, sementara hujan membasahi tubuhnya. Nerissa memegang tangannya, matanya penuh dengan air mata. “Kau melakukannya, Lysindra,” katanya pelan. “Ikatan itu sudah berakhir.” Tapi Lysindra tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu mahal. Ia telah kehilangan cinta yang menjadi alasan hidupnya, dan di dalam hatinya, ia merasa kosong.
Hari-hari berikutnya di Yulrang terasa seperti mimpi buruk yang tak berakhir. Hujan tetap turun, tapi tawa Jorin tak lagi terdengar. Lysindra duduk di ambang pintu rumahnya, menatap buku catatan yang kini kosong, tanpa sketsa yang menyertainya. Pada suatu malam, ketika hujan turun lagi, Lysindra berjalan menuju tebing tua, membawa buku catatan yang telah kosong. Ia berdiri di depan celah tersembunyi, menatap tanah yang mencerminkan wajahnya yang pucat, dan merasa bahwa hidupnya telah berakhir bersama cinta yang hilang. Dengan langkah perlahan, ia meletakkan buku catatan di celah dan berjalan menjauh, membiarkan hujan menyelimuti dirinya sepenuhnya. Tebing itu kembali tenggelam dalam keheningan, menyimpan bayang cinta dalam kenangan yang abadi.
Yulrang berdiri diam di belakangnya, lentera musim semi di lembah berkedip redup, dan celah tersembunyi di tebing tetap menjadi saksi bisu dari akhir tragis Lysindra Choi, di mana cinta yang lahir dari persahabatan dan pengorbanan berakhir dalam duka yang tak pernah sirna.
Sahabat yang Jadi Cinta: Kisah Sedih Remaja menyajikan kisah cinta yang lahir dari persahabatan dan berakhir dalam pengorbanan yang menghancurkan, meninggalkan kesan mendalam yang tak terlupakan. Dengan alur yang penuh emosi dan akhir yang tragis, cerpen ini mengajak Anda merenung tentang kekuatan cinta dan harga yang harus dibayar untuk melepaskannya. Segera temukan kisah Lysindra dan rasakan sentuhan duka yang abadi dalam narasi ini!
Terima kasih telah menyelami ulasan Sahabat yang Jadi Cinta: Kisah Sedih Remaja. Semoga cerita ini membawa Anda pada perenungan mendalam tentang cinta dan pengorbanan. Kami menantikan kehadiran Anda kembali untuk petualangan literatur berikutnya—silakan bagikan kesan Anda dengan kami!


