Daftar Isi
Temukan emosi mendalam dan drama keluarga yang mengharukan dalam Air Mata Keluarga yang Terpisah: Kisah Sedih yang Menyentuh Jiwa, sebuah cerpen memukau yang mengisahkan perjalanan Lirien Dae di Yeonsan pada tahun 2024. Cerita ini mengungkap pengorbanan dan duka Lirien atas hilangnya suami dan anak-anaknya, di bawah bimbingan misterius Tavion Lee. Ideal untuk pecinta drama Korea yang mencari kisah keluarga emosional dan menyentuh—jangan lewatkan petualangan hati yang mendalam ini!
Air Mata Keluarga yang Terpisah
Bayang di Rumah Kosong
Di pusat kota Yeonsan pada tahun 2024, di mana gedung-gedung tinggi berdiri gagah di balik kabut pagi dan suara kendaraan membentuk simfoni urban yang tak pernah usai, sebuah kesunyian mendalam tersembunyi di balik dinding-dinding modern. Kota ini dikenal dengan jalan-jalan yang dipenuhi kafe bergaya dan taman-taman kecil yang dipenuhi bunga musiman, namun di tengah hiruk-pikuknya, ada rumah tua yang berdiri terisolasi di pinggiran, dikelilingi oleh pepohonan yang mulai layu. Di dalam rumah itu tinggal seorang wanita paruh baya bernama Lirien Dae, berusia empat puluh dua tahun, rambut hitamnya yang kini bercampur uban diikat rapi, wajahnya penuh garis-garis kelelahan yang menceritakan kisah duka. Matanya yang cokelat tua, dulu penuh kehangatan, kini tampak kosong, mencerminkan kehilangan yang ia rasakan sejak keluarganya mulai tercerai-berai.
Lirien tinggal sendirian di rumah dua lantai yang dulu ramai oleh tawa anak-anak dan aroma masakan ibunya. Ruangan-ruangan itu kini dipenuhi debu, perabotan tua masih berdiri dengan kesepian—meja makan kayu yang retak di sudut, sofa lusuh yang pernah menjadi tempat tidur sementara bagi anak-anaknya, dan foto keluarga yang tersusun rapi di rak dinding. Setiap sudut rumah membawa kenangan tentang masa lalu yang indah namun rapuh—waktu ketika suaminya, Jorhan Tae, masih hidup, dan anak-anaknya, Veyra dan Kaelin, masih kecil, berlarian di halaman belakang yang kini ditumbuhi rumput liar. Lirien pindah ke Yeonsan setelah kehilangan Jorhan tiga tahun lalu akibat penyakit yang tak bisa disembuhkan, berharap kota ini bisa menjadi tempat baru untuk menyembuhkan luka, tapi malah menjadi saksi kehancuran keluarganya.
Hari-hari Lirien berjalan dalam rutinitas yang sunyi namun penuh beban emosi. Pagi dimulai dengan suara burung yang jarang terdengar di kota, diikuti aroma teh hijau yang ia seduh dari daun kering yang dibelinya di pasar lokal. Ia menghabiskan waktu membersihkan rumah, tangannya bergerak perlahan menyentuh benda-benda yang mengingatkannya pada keluarga—cangkir keramik yang pernah dipakai Jorhan, boneka kecil Veyra yang terselip di lemari, dan buku catatan Kaelin yang penuh coretan. Di malam hari, ia duduk di kursi goyang tua di dekat jendela, menatap lampu kota yang berkelap-kelip, hati dipenuhi kerinduan pada keluarga yang kini hanya ada dalam kenangan.
Kehidupan keluarga Dae dimulai dengan harapan besar. Lirien dan Jorhan menikah muda, membangun rumah tangga sederhana di desa sebelum pindah ke Yeonsan demi masa depan anak-anak mereka. Veyra, anak sulung berusia dua puluh delapan tahun, memiliki rambut panjang seperti ibunya dan semangat yang tak pernah padam, sementara Kaelin, adiknya yang berusia dua puluh lima tahun, lebih pendiam dengan bakat musik yang menonjol. Mereka tumbuh bersama, melewati hari-hari sulit setelah Jorhan sakit, tapi kebersamaan itu runtuh ketika Jorhan meninggal. Veyra memilih pergi ke Seoul untuk mengejar karier sebagai desainer, meninggalkan Lirien dengan janji untuk kembali, sementara Kaelin larut dalam dunia musiknya, menghilang tanpa kabar setelah pertengkaran hebat dengan ibunya.
Lirien sering duduk di meja makan, menatap kursi kosong yang dulu diduduki Jorhan, tangannya memegang foto pernikahan mereka yang mulai menguning. Ia ingat hari-hari ketika keluarga mereka lengkap, ketika Veyra membantu memasak di dapur dan Kaelin memainkan gitar tua di ruang tamu. Tapi kini, rumah itu terasa seperti makam yang hidup, setiap sudut menyimpan kenangan yang menyayat hati. Suara angin yang berdesir melalui celah jendela sering kali terdengar seperti bisikan Jorhan, membuat Lirien terbangun di malam hari dengan air mata yang tak bisa ia tahan.
Suatu sore di musim semi, ketika bunga-bunga liar mulai muncul di halaman, Lirien duduk di teras rumah, menikmati udara segar yang jarang ia rasakan. Angin membawa aroma tanah basah, dan tiba-tiba seorang pria tua dengan mantel lusuh muncul di gerbang. Rambutnya yang putih kusut oleh angin, dan matanya yang cokelat pucat menatapnya dengan kelembutan yang aneh. Ia memperkenalkan diri sebagai Tavion Lee, seorang pensiunan yang mengaku tersesat di lingkungan itu dan mencari tempat berteduh. Wajahnya penuh kerutan, tapi ada ketenangan dalam caranya berdiri yang membuat Lirien tak bisa menolak mengundangnya masuk.
Tavion duduk di sofa lusuh, tangannya yang bergetar memegang cangkir teh yang ditawarkan Lirien. Matanya sesekali melirik foto-foto di rak, seolah mengenali wajah-wajah di dalamnya. “Rumah ini penuh kenangan,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh desau angin. Lirien mengangguk, hati bergetar oleh kata-kata yang terasa terlalu dekat dengan perasaannya. Tavion memutuskan untuk tinggal sementara, dengan alasan ingin membantu merawat rumah tua itu, dan meski Lirien ragu, ia merasa ada kelegaan dalam kehadiran pria itu, sebuah perubahan dari kesepian yang selama ini menyelimutinya.
Hari-hari berikutnya membawa ritme baru ke kehidupan Lirien. Tavion membantu memperbaiki atap yang bocor, memotong rumput liar di halaman, dan bahkan duduk bersamanya saat ia membolak-balik album foto keluarga. Ia tak banyak bertanya tentang Jorhan, Veyra, atau Kaelin, tapi gerakannya yang pelan, seperti saat ia menyapu lantai atau menyiram tanaman di teras, seolah membawa sedikit cahaya ke dalam kegelapan hatinya. Lirien mulai merasa nyaman dengan kehadiran Tavion, meski ia tak pernah mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.
Namun, di balik ketenangan yang muncul, ada bayangan yang semakin pekat. Setiap kali angin bertiup kencang, Lirien merasa ada suara samar di dalam rumah—langkah kaki yang terdengar seperti Jorhan, atau derit pintu yang mirip dengan tawa anak-anaknya. Ia sering terbangun di malam hari, berkeringat dingin, membayangkan keluarganya berdiri di sudut ruangan, wajah mereka pucat dan matanya kosong. Dan Tavion, dengan instingnya yang tajam, mulai memperhatikan hal-hal kecil—cara Lirien menatap foto-foto, cara ia memegang cangkir keramik dengan tangan gemetar, dan cara ia selalu terdiam ketika angin membawa kenangan.
Pada suatu malam yang dingin, ketika lampu kota tampak redup di balik tirai, Lirien mendengar ketukan lembut di pintu rumah. Ia membukanya, berpikir itu Tavion yang kembali dari toko malam untuk membeli teh. Tapi yang berdiri di sana bukan Tavion. Seorang pria muda dengan jaket basah dan rambut hitam kusut memandangnya dengan mata yang penuh duka. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak kecil yang tampak tua, permukaannya penuh goresan. Pria itu meletakkan kotak itu di ambang pintu dan berbicara dengan suara pelan, “Ini milik keluarga Dae. Aku menemukannya di gudang tua di Seoul.” Sebelum Lirien bisa bertanya lebih lanjut, pria itu berbalik dan menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan Lirien dengan detak jantung yang kencang dan rasa takut yang tak bisa dijelaskan.
Lirien berdiri di pintu, memegang kotak itu yang terasa dingin di tangannya. Di dalamnya, ia tahu, ada sesuatu yang akan mengubah segalanya. Ia menatap ke arah jalanan yang basah di luar, dan untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, ia merasa takut—bukan hanya karena kehilangan Jorhan, Veyra, dan Kaelin, tapi karena kenyataan bahwa kenangan itu mungkin akan menghancurkannya sepenuhnya.
Cahaya di Antara Retakan
Hujan turun pelan di Yeonsan, membasahi jalanan dan membentuk cermin di trotoar yang mencerminkan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Lirien Dae duduk di lantai ruang tamu, kotak tua yang diberikan pria misterius itu terbuka di depannya, isi di dalamnya tersebar di karpet usang. Udara di dalam rumah terasa lembap, bercampur dengan aroma kayu lama dan debu yang menempel di setiap sudut. Di luar, angin bertiup lembut melalui celah jendela, membawa suara derit yang terdengar seperti bisikan dari masa lalu. Lampu gantung tua di tengah ruangan berkedip lemah, menciptakan bayang-bayang yang menari di dinding, seolah menggambarkan kenangan yang terus menghantuinya.
Kotak itu berisi benda-benda yang membuat jantung Lirien berdegup kencang—sebuah jam tangan perak milik Jorhan, beberapa surat yang ditulis tangan oleh Veyra, dan sebuah buku catatan kecil Kaelin yang penuh coretan musik. Kertas-kertas itu terasa dingin dan sedikit lengket karena kelembapan, dan aroma tinta yang memudar memenuhi udara, membawa kembali ingatan tentang keluarga yang dulu lengkap. Lirien menatap isi kotak itu selama berjam-jam, tangannya bergetar setiap kali hendak menyentuh buku catatan Kaelin yang tampak seperti menyimpan rahasia terakhir anaknya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika mereka duduk bersama di meja makan, ketika tawa Jorhan masih terdengar jelas di telinganya.
Pagi itu, ketika matahari tersembunyi di balik awan tebal dan hujan mereda menjadi gerimis, Tavion Lee kembali dari perjalanan singkatnya ke pasar lokal. Ia membawa sebuah tas kain yang berisi buah-buahan segar dan sebuah kotak kayu kecil yang ia temukan di dekat taman tua di ujung jalan. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya yang cokelat pucat bersinar dengan rasa ingin tahu yang aneh. “Aku menemukan sesuatu yang mungkin membantumu,” katanya, meletakkan kotak itu di meja makan di samping kotak milik keluarga Dae. Kotak itu terbuat dari kayu gelap dengan ukiran sederhana, dan di dalamnya terdapat sebuah surat yang ditulis dengan tangan rapi, bersama dengan foto keluarga yang sudah menguning.
Lirien merasa napasnya terhenti sejenak. Surat itu ditulis oleh Veyra, tinta hitamnya masih samar terbaca meski kertasnya basah. Ia mengambil surat itu dengan tangan yang gemetar, membukanya perlahan, dan menemukan kata-kata yang membuat dunianya bergetar. “Ibu, maafkan aku karena pergi,” tulisnya. Surat itu menceritakan tentang tekanan karier di Seoul, tentang bagaimana Veyra merasa terjebak dalam ekspektasi, dan tentang keputusan terakhirnya untuk menjaga jarak demi melindungi Lirien dari rasa bersalah yang ia pikul. Foto keluarga menunjukkan mereka bertiga—Jorhan, Veyra, dan Kaelin—berdiri di halaman rumah, dengan senyum tipis yang penuh duka.
Lirien merasa dadanya sesak. Ia ingat Veyra, yang selalu membantu di dapur, dan hari-hari ketika ia menunggu kabar dari anaknya dengan harapan yang perlahan memudar. Surat itu mengungkap bahwa Veyra tahu tentang kesedihan Lirien, tapi ia memilih untuk diam, tak ingin menyakitinya lebih dalam dengan kebenaran. Lirien menutup mata, mencoba menahan air mata yang mengalir, tapi hati kecilnya terus berbisik bahwa ini adalah akhir dari harapan yang tersisa.
Tavion memperhatikan reaksi Lirien, tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya duduk di sudut ruangan, membolak-balik buku-buku tua yang ia bawa dari pasar, seolah memberikan ruang bagi Lirien untuk tenggelam dalam pikirannya. Namun, kehadiran Tavion, meski diam, terasa seperti tekanan lembut yang mendorong Lirien untuk menghadapi kenyataan. Ia menatap buku catatan Kaelin di tangannya, lalu ke jam tangan perak di kotak. Ada hubungan antara keduanya, ia tahu itu, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan ketegangan yang tak terucapkan. Lirien mulai merasa bahwa kehadiran Tavion bukanlah kebetulan. Ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam cara ia menatap surat Veyra, yang membuat Lirien curiga bahwa pria ini tahu lebih banyak daripada yang ia katakan. Pada suatu sore, ketika mereka duduk di teras sambil menikmati teh hangat di tengah hujan yang reda, Tavion tiba-tiba berkata, “Kenangan itu bisa menjadi beban, Lirien.” Lirien menatapnya tajam, merasa seperti ditelanjangi. Ia ingin marah, ingin mengusir pria itu dari rumahnya, tapi ada sesuatu dalam nada suara Tavion yang membuatnya tak bisa berbohong. “Kadang kita harus melepaskan,” jawabnya dingin, lalu bangkit dan berjalan kembali ke dalam, meninggalkan Tavion sendirian di teras.
Malam itu, Lirien akhirnya memberanikan diri untuk membuka buku catatan Kaelin. Di dalamnya, ia menemukan catatan-catatan yang ditulis dengan tangan gemetar, penuh dengan lirik lagu dan sketsa wajah keluarga. Satu halaman terakhir berisi puisi pendek yang ditulis dengan tinta yang sudah luntur: “Di hening ini aku pergi, meninggalkan bayang untukmu. Maafkan aku, ibu.” Lirien merasa dadanya sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeram hatinya. Ia ingin lari, ingin meninggalkan Yeonsan dan semua kenangan yang tersimpan di rumah ini, tapi ia tahu ia tak bisa. Rumah itu, keluarganya, adalah bagian dari dirinya, dan ia harus menghadapi apa yang telah lama ia hindari.
Pagi berikutnya, Tavion menemukan Lirien duduk di sofa, dikelilingi oleh surat, buku catatan, dan jam tangan dari kotak itu. Ia tak bertanya apa-apa, hanya duduk di sampingnya dan menawarkan segelas teh. Tapi di matanya, Lirien melihat sesuatu yang membuatnya takut—sebuah pengertian yang terlalu dalam, seolah Tavion tahu lebih banyak tentang keluarga Dae daripada yang ia katakan. “Kau pernah kehilangan keluarga?” tanya Lirien tiba-tiba, suaranya serak karena menangis semalaman. Tavion menatapnya lama, lalu mengangguk perlahan. “Aku pernah,” katanya. “Dan aku tahu betapa sakitnya itu.”
Hari itu, untuk pertama kalinya, Lirien mulai berbicara tentang masa lalunya—tentang Jorhan, tentang harapan yang ia pendam untuk Veyra dan Kaelin, dan tentang luka yang membuatnya tinggal di Yeonsan. Tavion mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang membuat Lirien merasa bahwa pria ini bukan hanya seorang pensiunan. Ada hubungan antara Tavion dan kenangan keluarga Dae yang ia temukan di kotak dan buku catatan, dan Lirien tahu bahwa kebenaran itu akan segera terungkap, entah ia siap atau tidak.
Yeonsan, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti panggung bagi sebuah cerita yang belum selesai. Setiap tetes hujan yang ia dengar, setiap bayangan Jorhan, Veyra, dan Kaelin yang ia lihat di rumah, membawanya lebih dekat ke sebuah kebenaran yang mungkin akan menghancurkannya. Dan di tengah semua itu, ada Tavion, pria yang datang sebagai orang asing, tapi kini menjadi bagian dari cerita yang tak pernah Lirien bayangkan akan ia jalani lagi.
Retakan di Hati yang Tersisa
Langit Yeonsan di pagi hari pertengahan musim dingin 2024 tampak tertutup awan tebal, membawa hujan ringan yang menetes pelan di atap rumah tua Lirien Dae. Udara dingin menyelinap melalui celah-celah jendela, membawa aroma tanah basah dan daun kering yang berguguran di halaman. Lirien duduk di lantai ruang tamu, dikelilingi oleh benda-benda dari kotak tua—jam tangan perak milik Jorhan, surat Veyra, dan buku catatan Kaelin yang penuh lirik-lirik puitis. Cahaya redup dari lampu gantung tua menciptakan bayangan panjang di dinding, seolah menggambarkan jejak keluarga yang telah hilang. Matanya yang cokelat tua menatap kosong ke arah foto keluarga di rak, hati dipenuhi campuran kerinduan dan ketakutan akan kebenaran yang semakin mendekat.
Tavion Lee, pria tua yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Lirien, sedang menyiram tanaman liar di teras dengan gerakan pelan. Tangan-tangannya yang kasar bergerak dengan konsentrasi, tapi pikiran Lirien tak sepenuhnya ada di sana. Ia terus memikirkan kata-kata Tavion malam sebelumnya, ketika ia mengaku memiliki koneksi dengan keluarga Dae melalui cerita-cerita lama yang ia dengar dari pedagang di Yeonsan. Ada sesuatu dalam nada suaranya, dalam cara ia menatap surat Veyra, yang membuat Lirien yakin bahwa Tavion menyimpan rahasia yang lebih dalam—rahasia yang mungkin bisa menjelaskan kehancuran keluarganya.
Hari itu, Lirien memutuskan untuk menghadapi Tavion. Ia menunggu hingga pria itu selesai menyiram tanaman, lalu mengajaknya duduk di sofa lusuh di depan jendela yang menghadap ke halaman. Hujan kecil di luar menciptakan pola air di kaca, seolah menari bersama bayang-bayang yang terbentuk dari cahaya lampu jalan. Lirien meletakkan buku catatan Kaelin di atas meja kopi, di samping kotak yang masih mengeluarkan aroma lembap. “Tavion,” katanya, suaranya tegas namun gemetar, “aku perlu tahu apa yang kau sembunyikan. Dan apa hubunganmu dengan keluargaku.”
Tavion menatapnya lama, matanya yang cokelat pucat seolah menimbang-nimbang sesuatu. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan sebuah buku kecil dari saku mantelnya, kulitnya sudah mengelupas dan penuh noda tua. “Aku bukan hanya pensiunan yang tersesat, Lirien,” katanya pelan. “Aku seorang penjaga cerita, dan aku datang ke sini karena kisah keluarga Dae yang terputus di Yeonsan. Aku tahu tentang Jorhan, Veyra, dan Kaelin.”
Lirien merasa jantungnya berdegup kencang. Ia ingin marah, ingin mengusir Tavion karena telah menyusup ke hidupnya dengan motif tersembunyi, tapi ada bagian dari dirinya yang merasa lega—lega karena akhirnya ada seseorang yang mungkin bisa membantu memahami perasaannya. Tavion membuka buku itu, menunjukkan catatan-catatan tentang keluarga Dae, termasuk nama-nama yang ia kenali—Jorhan sebagai pria yang pernah bekerja di pabrik lokal, Veyra yang pernah mengikuti lomba desain, dan Kaelin yang dikenal sebagai musisi muda yang berbakat. Menurut cerita yang ia kumpulkan, setiap keluarga di Yeonsan ditakdirkan menghadapi ujian besar, dan kepergian anggota keluarga adalah bagian dari kutukan lama yang tak bisa dihindari.
Lirien mendengarkan dengan napas tertahan, setiap kata Tavion seperti membuka luka lama yang ia coba kubur. Ia teringat Jorhan, yang selalu tersenyum di foto-foto, dan hari-hari ketika ia menunggu kabar dari Veyra dan Kaelin dengan harapan yang perlahan memudar. Dalam buku catatan Kaelin, ia membaca tentang perasaannya yang tumbuh seiring waktu, tentang bayangan Jorhan yang ia anggap sebagai tanda kehangatan, dan tentang jam tangan perak yang ia temukan di kotak. Lirien tak pernah tahu detail tentang keputusan anak-anaknya, tapi surat Veyra menyebutkan bahwa ia tahu tentang kesedihan Lirien, namun memilih pergi demi menjaga ibunya dari luka yang lebih dalam.
Malam itu, setelah percakapan mereka, Lirien dan Tavion duduk di teras, ditemani suara hujan yang bertiup pelan melalui celah-celah jendela. Lirien memutuskan untuk menceritakan kisahnya kepada Tavion—kisah yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Ia menceritakan tentang masa kecilnya bersama Jorhan, tentang Veyra dan Kaelin yang tumbuh di rumah itu, tentang hari-hari penuh harapan sebelum ia menyadari bahwa keluarganya tak akan pernah utuh lagi. Ia menceritakan tentang malam ketika Jorhan meninggal, tentang rasa sakit yang mengisi hidupnya sejak saat itu.
Tavion mendengarkan tanpa menyela, tapi matanya penuh dengan empati yang tulus. Ketika Lirien selesai bercerita, ia mengeluarkan sebuah foto dari buku kecilnya. Foto itu menunjukkan seorang pria tua dengan senyum hangat, berdiri di depan rumah tua yang dulu ditempati Jorhan. “Ini dia,” kata Tavion pelan. “Jorhan, sebelum semuanya berubah.” Lirien merasa dunia di sekitarnya berputar. Foto itu diambil di halaman belakang, dengan latar belakang pohon-pohon yang mirip dengan tempat mereka bermain bersama anak-anak.
Tavion menjelaskan bahwa ia menemukan foto itu di antara kenangan-kenangan tua yang ia beli dari pedagang loak. Foto itu disertai dengan sebuah catatan yang ditulis oleh Jorhan, yang berbunyi: “Lirien, maafkan aku karena tak bisa bertahan. Aku tinggalkan ini untukmu.” Lirien tak bisa menahan air matanya. Ia merasa campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kerinduan yang begitu kuat hingga dadanya terasa sesak. Ia ingin bertanya pada Tavion bagaimana ia bisa menemukan semua ini, tapi kata-kata tak mau keluar dari mulutnya.
Hari-hari berikutnya di Yeonsan dipenuhi dengan pencarian jawaban. Lirien dan Tavion mulai menjelajahi halaman belakang, mencari petunjuk yang mungkin ditinggalkan oleh Jorhan atau kenangan-kenangan yang tersembunyi. Mereka menemukan sebuah peti tua yang tersembunyi di balik semak-semak lebat, di mana ukiran kecil berbentuk jam tampak terpahat di kayu. Lirien merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa tempat ini adalah pusat dari keluarga yang hilang yang mengikatnya.
Malam itu, ketika mereka kembali ke rumah, Lirien menemukan sebuah catatan lain di dalam buku catatan Kaelin, yang selama ini ia lewatkan. Catatan itu berbunyi: “Keluarga ini bukan hanya tentang kebersamaan, tapi tentang pengorbanan. Seseorang harus melepaskan hati untuk memutusnya, dan harga itu adalah cinta.” Lirien merasa jantungnya berhenti. Ia menatap Tavion, yang sedang membaca catatan-catatan sendiri di sudut rumah, dan tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang membuatnya takut. Tavion bukan hanya penjaga cerita yang kebetulan datang ke Yeonsan. Ia memiliki hubungan dengan keluarga ini, dengan Jorhan, dan mungkin dengan dirinya.
Hujan kembali turun malam itu, dan suara tetesan air di atap terdengar lebih keras. Lirien duduk di lantai, dikelilingi oleh surat, buku catatan, dan jam tangan dari kotak itu. Ia merasa seperti sedang menyusun sebuah teka-teki raksasa, tapi setiap potongan yang ia temukan hanya membuat gambar itu semakin gelap. Tavion, yang duduk di sampingnya, akhirnya berkata, “Aku tahu kau terluka, Lirien. Tapi kita harus menghadapi ini bersama. Aku bukan hanya di sini untuk mengingat. Aku di sini karena aku berjanji pada seseorang untuk menemukan kedamaian.”
Kata-kata itu seperti angin yang menyapu hati Lirien. Ia ingin bertanya siapa “seseorang” itu, tapi ia sudah tahu jawabannya. Jorhan. Nama itu seperti mantra yang terus bergema di kepalanya, membawa kembali kenangan tentang hari-hari ketika mereka duduk bersama di teras, mendengarkan suara angin. Tapi kenangan itu juga membawa rasa sakit yang tak tertahankan, rasa sakit yang membuatnya tinggal di Yeonsan, berharap bisa melupakan segalanya.
Pagi berikutnya, Lirien dan Tavion kembali ke peti tua di halaman belakang, membawa buku catatan dan jam tangan perak. Di peti itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah puisi yang harus diucapkan di depan peti, dengan jam tangan sebagai pengikat. Tapi puisi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Lirien tahu apa yang harus ia korbankan: cinta yang ia miliki untuk Jorhan, Veyra, dan Kaelin, emosi yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Namun, sebelum mereka bisa membaca lebih lanjut, mereka mendengar suara langkah di semak-semak. Seseorang mendekat, dan suara itu terasa familiar namun menakutkan. Lirien merasa jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke Tavion, yang wajahnya tiba-tiba pucat. “Kita tidak sendirian,” katanya pelan, dan di matanya, Lirien melihat ketakutan yang sama yang ia rasakan. Halaman belakang, yang selama ini menjadi tempat pelariannya, kini terasa seperti jebakan yang menutup di sekitarnya.
Akhir di Tengah Hening
Hujan turun deras di Yeonsan, membasahi halaman belakang rumah tua Lirien Dae dengan air yang membentuk aliran kecil di tanah. Lirien dan Tavion berdiri di depan peti tua, memegang buku catatan dan jam tangan perak. Cahaya lampu jalan yang redup berkedip-kedip, menciptakan bayang-bayang yang menari di permukaan genangan air, seolah jiwa-jiwa dari masa lalu sedang mengintip mereka. Suara langkah yang mereka dengar semakin mendekat, diiringi oleh bisikan yang kini terdengar jelas, penuh dengan kesedihan yang tak terucap. Lirien merasa bulu kuduknya berdiri, tapi ia tahu bahwa lari bukan lagi pilihan. Ia harus menghadapi apa pun yang ada di halaman, apa pun yang telah memburu hatinya selama tiga tahun.
Ketika mereka menoleh, mereka melihat sosok yang berdiri di antara semak-semak. Itu adalah pria tua dengan rambut hitam yang mulai memutih, wajahnya pucat namun familiar—Jorhan. Matanya yang kosong memandang Lirien, dan senyum tipis muncul di bibirnya, penuh dengan duka yang tak bisa diucapkan. “Kau sudah menemukannya, bukan?” kata sosok itu, suaranya lembut namun penuh otoritas. “Buku itu, jam itu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Lirien.”
Lirien ingin bertanya siapa sosok itu, tapi sebelum ia bisa membuka mulut, Tavion melangkah maju. “Jorhan,” katanya, suaranya tegas namun penuh emosi. “Kau tak seharusnya ada di sini.” Lirien merasa dunia di sekitarnya berputar. Jorhan, suami yang ia rindukan, yang konon meninggal tiga tahun lalu, kini berdiri di depannya, hidup namun berbeda. Tapi ada sesuatu yang salah dengan sosok ini. Auranya terasa hampa, seolah ia adalah bagian dari hujan itu sendiri, bagian dari keluarga yang tak terbalas yang mengikat Lirien.
Jorhan tersenyum tipis, namun senyumnya tak mencapai matanya. “Aku di sini untuk memastikan bayang ini berhenti menghantui, Tavion. Dan kau tahu apa yang diperlukan untuk itu.” Lirien menatap Tavion, mencari jawaban di wajahnya, tapi pria itu hanya menunduk, tangannya mengepal erat. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Lirien, suaranya gemetar. “Apa yang harus kulakukan?”
Jorhan menjelaskan bahwa keluarga Dae hanya bisa dipersatukan kembali dengan pengorbanan—seseorang harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga baginya, sesuatu yang ia cintai lebih dari hidupnya sendiri. Bagi Jorhan, itu adalah mimpinya untuk melihat keluarga bahagia, yang ia lepaskan demi menjaga Lirien dari luka yang lebih dalam sebelum ia meninggal. Dan kini, giliran Lirien untuk memilih. Jam tangan perak yang ia pegang adalah kunci untuk menyelesaikan ritual, tapi harga yang harus dibayar adalah sesuatu yang akan menghancurkan hatinya.
Lirien merasa dadanya sesak. Ia teringat Jorhan, teringat hari-hari ketika mereka duduk di teras bersama, teringat senyumnya yang hangat di foto-foto. Ia tahu, tanpa perlu dikatakan, bahwa pengorbanan itu berhubungan dengan cinta yang ia miliki—cinta yang pernah ia rasakan untuk Jorhan, Veyra, dan Kaelin, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Malam itu, di tengah hujan yang tak kunjung reda, Lirien dan Tavion kembali ke rumah. Mereka duduk di lantai, dikelilingi oleh buku catatan, foto-foto, dan puisi dari kotak itu. Tavion akhirnya menceritakan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Ia adalah teman lama Jorhan, bagian dari lingkaran kecil yang pernah mendukung keluarga Dae, yang datang ke Yeonsan untuk memenuhi janji Jorhan—janji untuk memutus ikatan keluarga yang telah menghancurkan hati Lirien. Jorhan, menurut Tavion, tahu tentang kesedihan Lirien sebelum ia meninggal, tapi ia memilih pergi, dan kematian mimpinya untuk keluarga adalah upaya terakhir untuk menyelamatkannya.
Lirien merasa air matanya mengalir tanpa henti. Ia tak pernah tahu bahwa Tavion memiliki hubungan dengan Jorhan, tak pernah tahu bahwa Jorhan telah mengorbankan mimpinya untuknya. Tavion memegang tangannya, matanya penuh dengan kesedihan yang sama yang ia rasakan. “Aku datang ke sini untuk menemukan jawaban, Lirien,” katanya. “Tapi aku juga datang untuk melindungimu. Aku tahu harga yang harus dibayar, dan aku siap membayarnya.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menikam hati Lirien. Ia tahu bahwa Tavion bersedia mengorbankan dirinya untuk memutus ikatan, tapi ia tak bisa membiarkan itu terjadi. Ia telah kehilangan terlalu banyak—harapan, keluarga, dan kini, mungkin, kedamaian. Ia memutuskan bahwa ia sendiri yang akan menyelesaikan ritual itu, apa pun harganya.
Pagi berikutnya, ketika matahari akhirnya muncul di antara awan, Lirien dan Tavion kembali ke peti tua di halaman belakang. Mereka membawa buku catatan, jam tangan perak, dan tekad yang tak tergoyahkan. Di peti itu, mereka menemukan petunjuk terakhir dalam buku itu—sebuah puisi yang harus diucapkan di depan peti, dengan jam tangan sebagai pengikat. Tapi puisi itu hanya akan berhasil jika seseorang menyerahkan sesuatu yang paling ia cintai. Lirien tahu apa yang harus ia korbankan: cinta yang ia miliki untuk Jorhan, Veyra, dan Kaelin, emosi yang selama ini ia pegang erat-erat, yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Dengan tangan gemetar, Lirien berdiri di depan peti, memegang jam tangan itu. Ia mengucapkan puisi yang ditulis dalam buku catatan, setiap kata terasa seperti mengoyak jiwanya. Ia teringat wajah Jorhan, senyumnya di foto-foto, suara tawanya. Ketika kata terakhir puisi itu diucapkan, jam tangan di tangannya bersinar terang, dan hujan di sekitarnya berhenti sejenak, menciptakan keheningan yang menyelimuti halaman. Cahaya itu meredup, dan Lirien merasa sesuatu telah berubah. Jam tangan itu kini tenggelam ke dalam genangan air di dekat peti, dan hujan kembali turun, seolah ikatan itu telah terputus.
Tapi ada harga yang harus dibayar. Lirien merasa kenangan tentang Jorhan, Veyra, dan Kaelin mulai memudar, seperti tinta yang terhapus perlahan dari buku catatan. Ia masih ingat bahwa ia pernah memiliki keluarga, tapi wajah mereka, suara mereka, semua detail itu hilang, seolah tak pernah ada. Ia jatuh berlutut di halaman belakang, menangis tanpa suara, sementara air hujan membasahi tubuhnya. Tavion memegang tangannya, matanya penuh dengan air mata. “Kau melakukannya, Lirien,” katanya pelan. “Ikatan itu sudah berakhir.” Tapi Lirien tahu bahwa kemenangan ini datang dengan harga yang terlalu mahal. Ia telah kehilangan cinta yang menjadi alasan hidupnya, dan di dalam hatinya, ia merasa kosong.
Hari-hari berikutnya di Yeonsan terasa seperti mimpi buruk yang tak berakhir. Hujan tetap turun, tapi tawa Jorhan, Veyra, dan Kaelin tak lagi terdengar. Lirien duduk di depan meja, menatap buku catatan yang kini kosong, tanpa kata-kata yang menyertainya. Pada suatu malam, ketika hujan turun lagi, Lirien berjalan menuju halaman belakang, membawa buku catatan yang telah kosong. Ia berdiri di depan peti tua, menatap genangan air yang mencerminkan wajahnya yang pucat, dan merasa bahwa hidupnya telah berakhir bersama keluarga yang hilang. Dengan langkah perlahan, ia meletakkan buku catatan di peti dan berjalan menjauh, membiarkan hujan menyelimuti dirinya sepenuhnya. Halaman itu kembali tenggelam dalam keheningan, menyimpan bayang keluarga dalam kenangan yang abadi.
Yeonsan berdiri diam di belakangnya, lampu-lampu jalan berkedip redup, dan peti tua di halaman belakang tetap menjadi saksi bisu dari akhir tragis Lirien Dae, di mana cinta keluarga dan pengorbanan berakhir dalam duka yang tak pernah sirna.
Air Mata Keluarga yang Terpisah: Kisah Sedih yang Menyentuh Jiwa menyajikan kisah keluarga yang penuh pengorbanan dan kesedihan, meninggalkan kesan mendalam yang sulit dilupakan. Dengan alur yang emosional dan akhir yang tragis, cerpen ini mengajak Anda merenung tentang kekuatan cinta keluarga dan harga yang harus dibayar. Segera jelajahi kisah Lirien dan rasakan sentuhan duka yang abadi dalam narasi ini!
Terima kasih telah menyelami ulasan Air Mata Keluarga yang Terpisah: Kisah Sedih yang Menyentuh Jiwa. Semoga kisah keluarga ini membawa Anda pada refleksi mendalam dan emosi yang tulus. Kami menantikan kehadiran Anda kembali untuk petualangan literatur berikutnya—silakan bagikan kesan Anda dengan kami!


