Inikah Rasanya Cinta: Kisah Cinta yang Mengguncang Jiwa

Posted on

Selami kisah cinta yang mendalam dan penuh emosi dalam cerpen Inikah Rasanya Cinta: Kisah Cinta yang Mengguncang Jiwa. Mengambil latar Yogyakarta tahun 2024, cerpen ini mengisahkan perjalanan Varen Adiswara dan Lintang Saraswati, dua jiwa yang terhubung oleh cinta, luka, dan rahasia masa lalu. Dengan alur yang merinci, penuh dengan nuansa romantis, sedih, dan harapan, cerpen ini menawarkan pengalaman membaca yang tak hanya menghibur, tetapi juga menggugah hati. Dari gang kecil di bawah pohon akasia hingga langit penuh bintang di Bukit Bintang, setiap bab mengajak pembaca untuk merasakan getar cinta yang autentik dan penuh makna. Siap untuk terhanyut dalam kisah cinta yang akan mengguncang jiwa Anda?

Inikah Rasanya Cinta

Bayang-Bayang di Bawah Pohon Akasia

Langit senja di Yogyakarta pada tahun 2024 berwarna jingga keemasan, menyapu cakrawala dengan sapuan lembut yang seolah menggenggam hati siapa saja yang memandangnya. Di sebuah gang kecil di pinggiran Kota Gudeg, di bawah pohon akasia yang daun-daunnya bergoyang pelan ditiup angin sore, berdiri seorang pemuda bernama Varen Adiswara. Tubuhnya tinggi ramping, dengan rambut hitam yang sedikit berantakan karena kebiasaannya menyelipkan tangan di sela-sela rambut saat berpikir. Matanya, cokelat tua dengan kilau penuh rahasia, memandang ke arah jalan setapak yang membelah gang itu. Ia sedang menunggu seseorang, seseorang yang entah mengapa selalu membuat jantungnya berdetak tak karuan.

Varen bukan tipe pria yang mudah jatuh cinta. Di usianya yang menginjak 27 tahun, ia lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan universitas, meneliti manuskrip kuno untuk tesis doktoralnya tentang sastra Jawa abad ke-19, daripada berkencan atau sekadar nongkrong di kafe kekinian. Ia adalah seorang akademisi sejati, seseorang yang lebih nyaman berbincang dengan buku-buku tua berdebu ketimbang manusia. Tapi, sejak beberapa bulan lalu, hidupnya berubah. Ada sebuah nama yang terus mengusik pikirannya, sebuah nama yang membuatnya merasa asing dengan dirinya sendiri: Lintang Saraswati.

Lintang adalah seorang pelukis, perempuan berusia 25 tahun dengan jiwa bebas yang seolah tak pernah bisa diikat oleh aturan dunia. Rambutnya yang panjang dan ikal selalu dibiarkan tergerai, kadang dihiasi bunga kamboja yang ia petik dari pekarangan rumahnya. Matanya besar, dengan bulu mata lentik yang seolah menyimpan cerita-cerita yang tak pernah ia ucapkan. Ia bukan tipe perempuan yang mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya bergerak, dalam caranya tersenyum, yang membuat orang-orang sulit mengalihkan pandangan darinya. Varen pertama kali bertemu Lintang di sebuah pameran seni di Taman Budaya Yogyakarta, tempat di mana ia seharusnya hanya mampir untuk mencari inspirasi tentang estetika visual dalam sastra Jawa. Tapi, ketika ia melihat lukisan Lintang—sebuah kanvas besar berlatar langit malam penuh bintang dengan siluet dua tangan yang saling meraih—ia merasa jiwanya tersedot ke dalamnya.

Hari itu, Lintang berdiri di samping lukisannya, mengenakan gaun sederhana berwarna biru tua yang kontras dengan kulitnya yang sawo matang. Varen, yang biasanya pendiam, mendadak berani mendekati Lintang dan bertanya tentang makna lukisannya. “Ini tentang kehilangan,” jawab Lintang dengan suara lembut, namun ada getar sedih di dalamnya. “Tentang dua jiwa yang ingin bersatu, tapi selalu terpisah oleh waktu dan ruang.” Varen tak tahu mengapa, tapi kata-kata itu mengguncangnya. Ia merasa seperti sedang melihat cermin, melihat bayang-bayang dirinya sendiri yang selama ini ia hindari.

Sejak pertemuan itu, Varen dan Lintang mulai sering bertemu. Kadang di kafe kecil di Malioboro, kadang di tepi Sungai Code saat senja, kadang di studio kecil Lintang yang penuh dengan bau cat minyak dan kanvas-kanvas yang belum selesai. Varen tak pernah benar-benar mengerti apa yang ia rasakan. Ia, yang selalu logis dan terstruktur, mendadak kehilangan kata-kata setiap kali Lintang menatapnya dengan mata besarnya itu. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Lintang, tapi ada bagian dari dirinya yang takut—takut bahwa jika ia terlalu dekat, ia akan kehilangan kendali atas dunianya yang selama ini begitu teratur.

Sore ini, di bawah pohon akasia, Varen menunggu Lintang seperti biasa. Mereka berjanji untuk pergi ke sebuah pasar malam di pinggiran kota, tempat yang katanya penuh dengan lampu-lampu warna-warni dan aroma makanan tradisional. Varen tak terlalu suka keramaian, tapi ia tahu Lintang menyukai tempat-tempat seperti itu. Ia bisa membayangkan Lintang berjalan di antara kerumunan, tertawa sambil memegang sebungkus kue putu, matanya berbinar melihat lampion-lampion yang bergoyang di atas kepala. Gambar itu saja sudah cukup membuat Varen tersenyum kecil, meski dadanya terasa sesak oleh perasaan yang tak bisa ia jelaskan.

Saat langit mulai memudar menjadi ungu, Lintang akhirnya muncul di ujung gang. Ia mengenakan jaket denim tua yang sedikit kebesaran, rambutnya dibiarkan tergerai dengan sehelai pita merah yang entah bagaimana membuatnya tampak lebih hidup. “Maaf, aku telat,” katanya sambil tersenyum, napasnya sedikit tersengal karena berlari. Varen hanya mengangguk, tak bisa mempercayai betapa jantungnya berdegup kencang hanya karena melihat Lintang berdiri di depannya.

Perjalanan menuju pasar malam penuh dengan keheningan yang nyaman. Mereka berjalan berdampingan, sesekali saling melirik, tapi tak banyak bicara. Varen memperhatikan cara Lintang melangkah, ringan dan penuh semangat, seolah setiap langkahnya adalah bagian dari tarian yang hanya ia pahami. Di pasar malam, Lintang seperti burung yang dilepaskan dari sangkar. Ia menarik tangan Varen untuk mencoba berbagai makanan, dari sate kere sampai es dawet yang manisnya membuat Varen meringis. “Kamu terlalu serius, Varen,” kata Lintang sambil tertawa, matanya berbinar di bawah cahaya lampion. “Hidup itu harus dinikmati, tahu nggak?”

Varen hanya tersenyum kecil, tapi di dalam hatinya, ia merasa seperti sedang belajar ulang cara hidup. Bersama Lintang, dunia yang selama ini ia lihat dalam warna monokrom tiba-tiba penuh dengan warna. Ia mulai memahami bahwa ada keindahan dalam hal-hal kecil—dalam cara Lintang memegang cangkir teh hangat, dalam cara ia menggambar sketsa kecil di serbet kertas saat mereka duduk di warung pinggir jalan, dalam cara ia bercerita tentang mimpi-mimpinya untuk mengadakan pameran seni di Paris suatu hari nanti.

Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada sesuatu yang mengganjal di hati Varen. Ia sering melihat Lintang termenung, matanya menatap ke kejauhan seolah sedang mencari sesuatu yang telah hilang. Kadang, saat mereka duduk bersama di tepi Sungai Code, Lintang akan diam lama sekali, jari-jarinya menggenggam erat gelang kayu yang selalu ia kenakan. Varen pernah bertanya tentang gelang itu, tapi Lintang hanya tersenyum samar dan berkata, “Ini kenangan dari seseorang yang penting.” Varen tak pernah mendesak, tapi kata-kata itu seperti duri kecil yang tertancap di hatinya.

Malam itu, setelah mereka pulang dari pasar malam, Varen dan Lintang duduk di bangku kayu di tepi gang, di bawah pohon akasia yang sama. Langit sudah gelap, hanya diterangi oleh bintang-bintang yang berkedip malu-malu. Lintang memandang ke atas, rambutnya diterpa angin malam yang sejuk. “Varen,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara jangkrik di kejauhan, “kamu pernah nggak, merasa seperti ada lubang di hati kamu? Seperti… ada sesuatu yang hilang, tapi kamu nggak tahu apa?”

Varen menatap Lintang, mencoba mencari jawaban di matanya yang besar dan penuh rahasia. Ia ingin mengatakan bahwa ia tahu persis apa yang Lintang maksud, karena itulah yang ia rasakan setiap kali ia memikirkan Lintang—seperti ada lubang di hatinya yang hanya bisa diisi oleh kehadiran perempuan itu. Tapi, seperti biasa, Varen tak bisa mengucapkannya. Ia hanya mengangguk pelan, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar di antara mereka, sesuatu yang mungkin akan mengubah hidup mereka selamanya.

Malam itu, ketika Varen berjalan pulang ke kosannya, ia tak bisa menghilangkan bayang-bayang Lintang dari pikirannya. Ia merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang, antara ingin melompat dan menahan diri. Ia tahu bahwa apa yang ia rasakan terhadap Lintang bukan sekadar kagum atau suka biasa—ini adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih kuat, sesuatu yang membuatnya takut sekaligus bersemangat. Tapi, di sudut hatinya, ia juga merasa bahwa ada rahasia yang disembunyikan Lintang, sebuah rahasia yang mungkin akan menjadi dinding di antara mereka.

Hari-hari berikutnya berlalu seperti mimpi. Varen dan Lintang semakin dekat, meski tanpa kata-kata yang jelas menyatakan perasaan mereka. Mereka menghabiskan waktu bersama di tempat-tempat yang sederhana namun penuh makna: perpustakaan tua di universitas, warung makan di pinggir jalan, atau sekadar berjalan-jalan di sekitar Taman Sari sambil berbagi cerita. Varen mulai terbiasa dengan kehadiran Lintang, dengan caranya tertawa, dengan caranya memandang dunia dengan penuh harap meski ada bayang-bayang kesedihan di matanya.

Namun, ada satu momen yang mengubah segalanya. Suatu sore, saat mereka duduk di studio Lintang, Varen tanpa sengaja menemukan sebuah sketsa tua di antara tumpukan kertas di meja kerja Lintang. Sketsa itu menggambarkan seorang pria muda dengan wajah yang samar, tapi ada sesuatu di matanya yang membuat Varen merasa tak asing. Di sudut sketsa, ada tulisan kecil dalam huruf yang hampir pudar: “Untuk Bintang, dari Lintang.” Varen merasa jantungnya berhenti sejenak. Siapa Bintang? Dan mengapa sketsa ini terasa begitu penting bagi Lintang?

Ketika Lintang kembali ke ruangan dengan dua cangkir teh di tangannya, ia melihat Varen memegang sketsa itu. Wajahnya langsung berubah, pucat seperti kertas. “Varen, itu…” suaranya tercekat, dan untuk pertama kalinya, Varen melihat ketakutan di mata Lintang. Ia ingin bertanya, ingin tahu siapa Bintang dan mengapa sketsa itu membuat Lintang begitu gelisah, tapi ia tak bisa. Ada sesuatu dalam tatapan Lintang yang membuatnya merasa bahwa ia telah menyentuh luka yang belum sembuh.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Varen merasa bahwa hubungannya dengan Lintang bukanlah sesuatu yang sederhana. Ada rahasia di antara mereka, sebuah rahasia yang mungkin akan mengguncang dunia yang selama ini ia coba bangun bersama Lintang. Dan di sudut hatinya, ia tahu bahwa rahasia itu akan membawanya pada sebuah perjalanan yang penuh dengan cinta, kehilangan, dan harapan—sebuah perjalanan yang akan mengubahnya selamanya.

Jejak di Antara Bintang-Bintang

Pagi di Yogyakarta selalu memiliki pesona tersendiri. Cahaya matahari yang lembut menyelinap di antara celah-celah daun pohon beringin di halaman kampus, menciptakan pola-pola bayangan yang menari-nari di trotoar. Varen berjalan menyusuri lorong menuju perpustakaan, sebuah buku tebal tentang naskah-naskah Jawa kuno terjepit di lengannya. Pikirannya, bagaimanapun, tidak berada di halaman-halaman buku itu. Pikirannya melayang pada Lintang, pada sketsa tua yang ia temukan di studio, pada nama “Bintang” yang seolah menjadi bayang-bayang yang tak pernah pergi dari hidup Lintang.

Sejak kejadian di studio beberapa hari lalu, ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Lintang masih tersenyum, masih mengajak Varen untuk berjalan-jalan atau berbagi cerita tentang lukisannya, tapi ada jarak yang tak terucapkan. Varen bisa merasakannya—dalam cara Lintang menghindari tatapannya, dalam cara ia cepat-cepat mengganti topik setiap kali Varen mencoba bertanya tentang masa lalunya. Varen bukan orang yang suka mendesak, tapi rasa ingin tahunya semakin kuat. Siapa Bintang? Dan mengapa nama itu membuat Lintang begitu rapuh?

Hari itu, Varen memutuskan untuk menghabiskan waktu di perpustakaan, mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan akademis. Tapi, setiap kali ia membaca baris-baris naskah kuno, wajah Lintang muncul di benaknya. Ia teringat pada malam di pasar malam, pada tawa Lintang yang seolah mampu menghentikan waktu, pada caranya memandang langit penuh bintang dengan ekspresi yang bercampur antara kagum dan sedih. Varen tahu bahwa ia sedang jatuh cinta—mungkin sudah lama—tapi ia juga tahu bahwa cinta ini bukanlah sesuatu yang sederhana. Ada sesuatu yang disembunyikan Lintang, dan Varen tak yakin apakah ia siap menghadapi kebenaran itu.

Sore itu, setelah berjam-jam di perpustakaan, Varen mendapat pesan dari Lintang. “Aku di Bukit Bintang malam ini. Kalau kamu nggak sibuk, datang ya?” Bukit Bintang, sebuah tempat di pinggiran Yogyakarta yang terkenal dengan pemandangan kota yang berkilau di malam hari, adalah salah satu tempat favorit Lintang. Varen tak berpikir dua kali. Ia mengemasi buku-bukunya, mengenakan jaket tua yang selalu ia pakai, dan bergegas menuju Bukit Bintang.

Ketika ia tiba, malam sudah turun sepenuhnya. Langit di atas Bukit Bintang dipenuhi bintang-bintang yang berkedip seperti lampu-lampu kecil di kanvas tak berujung. Lintang duduk di atas tikar kecil yang ia bawa, sebuah sketsa di tangannya dan pensil yang terselip di sela-sela jari-jarinya. Ia mengenakan syal wol berwarna merah marun, yang membuatnya tampak seperti bagian dari lukisan malam itu sendiri. Varen mendekat, hatinya berdetak kencang seperti biasa setiap kali ia melihat Lintang.

“Kamu datang,” kata Lintang, tersenyum samar. “Aku kira kamu bakal sibuk dengan buku-buku tua itu.”

Varen duduk di sampingnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku… butuh udara segar,” jawabnya, meski ia tahu itu bukan alasan sebenarnya. Ia ingin berada di dekat Lintang, ingin memahami apa yang ada di balik matanya yang penuh rahasia.

Mereka duduk dalam diam untuk beberapa saat, hanya mendengarkan suara angin malam dan gemerisik dedaunan. Lintang mulai menggambar, jari-jarinya bergerak cepat di atas kertas, menciptakan garis-garis yang lembut namun penuh makna. Varen memperhatikan, terpesona oleh cara Lintang menuangkan jiwanya ke dalam setiap goresan. “Kamu selalu bikin aku kagum,” katanya tiba-tiba, suaranya pelan namun jujur.

Lintang berhenti menggambar, matanya menatap Varen dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Jangan bilang gitu, Varen,” katanya, suaranya hampir berbisik. “Aku nggak sebagus yang kamu pikir.”

Varen ingin protes, ingin mengatakan bahwa Lintang adalah orang paling menakjubkan yang pernah ia temui, tapi ia tahu ada sesuatu yang mengganjal di hati Lintang. Ia memutuskan untuk tidak memaksa, tapi malam itu, ia merasa bahwa ia harus tahu lebih banyak. “Lintang,” katanya hati-hati, “kalau ada sesuatu yang… kamu ingin ceritain, aku di sini. Aku nggak bakal ngejudge.”

Lintang menunduk, jari-jarinya menggenggam erat pensilnya. Untuk sesaat, Varen berpikir bahwa Lintang akan membuka diri, akan menceritakan apa yang selama ini ia sembunyikan. Tapi, Lintang hanya tersenyum kecil dan berkata, “Makasih, Varen. Tapi… mungkin belum waktunya.”

Malam itu, mereka menghabiskan waktu dengan berbagi cerita ringan, tentang impian mereka, tentang tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi, tentang hal-hal kecil yang membuat hidup terasa berarti. Tapi, di sudut hati Varen, ia tahu bahwa ada dinding tak terlihat di antara mereka, sebuah dinding yang dibangun dari rahasia yang belum terucap.

Hari-hari berikutnya, Varen mulai memperhatikan pola dalam perilaku Lintang. Ia sering menghilang tanpa kabar, kadang selama berjam-jam, kadang selama seharian penuh. Ketika Varen bertanya, Lintang selalu punya alasan—ke galeri seni, bertemu teman lama, atau sekadar butuh waktu sendiri. Tapi, Varen bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ia mulai memperhatikan detail kecil: gelang kayu yang selalu Lintang kenakan, sketsa-sketsa tua yang tersembunyi di studio, dan nama “Bintang” yang sesekali muncul dalam percakapan mereka, selalu dengan nada yang penuh kerinduan.

Suatu hari, ketika Varen sedang membantu Lintang merapikan studio, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil di sudut ruangan, tersembunyi di balik tumpukan kanvas. Kotak itu terlihat tua, dengan ukiran bunga-bunga yang sudah memudar. Varen tahu ia seharusnya tidak membukanya, tapi rasa ingin tahunya terlalu kuat. Dengan hati-hati, ia membuka kotak itu dan menemukan setumpuk surat-surat tua, beberapa foto pudar, dan sebuah jurnal kecil dengan sampul kulit. Di halaman pertama jurnal, ada tulisan tangan Lintang: “Untuk Bintang, bintangku yang tak pernah padam.”

Varen merasa jantungnya terhenti. Ia tahu ia telah melanggar batas, tapi ia tak bisa menahan diri untuk membaca beberapa baris. Jurnal itu berisi catatan-catatan tentang seseorang bernama Bintang, seseorang yang jelas sangat penting bagi Lintang. Ada cerita tentang malam-malam yang mereka habiskan bersama, tentang impian mereka untuk bepergian ke seluruh dunia, tentang cinta yang begitu dalam namun penuh dengan luka. Varen tak membaca terlalu jauh—ia merasa bersalah—tapi apa yang ia baca sudah cukup untuk membuatnya mengerti bahwa Bintang bukan sekadar nama. Bintang adalah seseorang yang pernah mengisi hidup Lintang, dan mungkin masih mengisi hatinya.

Ketika Lintang kembali ke studio, ia menemukan Varen memegang jurnal itu. Wajahnya pucat, matanya penuh dengan campuran kemarahan dan kesedihan. “Varen, kenapa?” suaranya gemetar, dan untuk pertama kalinya, Varen melihat air mata menggenang di mata Lintang. “Itu… itu bukan untuk kamu baca.”

Varen ingin meminta maaf, ingin menjelaskan bahwa ia hanya ingin memahami, tapi kata-kata terasa macet di tenggorokannya. Ia hanya bisa menatap Lintang, merasa seperti telah menghancurkan sesuatu yang rapuh di antara mereka. Lintang merebut jurnal itu dari tangannya, memeluknya erat seolah itu adalah satu-satunya yang tersisa dari dunianya. “Aku butuh waktu, Varen,” katanya pelan, suaranya penuh luka. “Tolong… jangan cari aku dulu.”

Malam itu, Varen berjalan pulang dengan hati yang berat. Ia merasa seperti telah kehilangan Lintang, meski ia tahu bahwa Lintang masih ada di suatu tempat di kota ini. Ia tahu bahwa ia telah jatuh cinta, tapi ia juga tahu bahwa cinta itu kini dipenuhi dengan bayang-bayang Bintang, seseorang yang mungkin akan selalu berdiri di antara mereka. Di bawah langit Yogyakarta yang penuh bintang, Varen merasa seperti sedang tersesat, mencari jawaban atas pertanyaan yang tak pernah ia ucapkan: Inikah rasanya cinta? Dan jika iya, mengapa terasa begitu menyakitkan?

Luka di Balik Cahaya Bintang

Langit Yogyakarta di akhir tahun 2024 terasa lebih kelam bagi Varen Adiswara. Sejak kejadian di studio Lintang Saraswati, ketika ia tanpa sengaja membaca jurnal tua yang menyimpan rahasia masa lalu Lintang, hubungan mereka terasa seperti kain yang robek—masih utuh, tapi penuh dengan benang-benang yang lepas. Lintang meminta waktu, dan Varen, dengan hati yang berat, menghormati keinginannya. Ia tak menghubungi Lintang, tak mengunjungi studionya, tak bahkan berani melintas di gang kecil di bawah pohon akasia tempat mereka sering bertemu. Namun, setiap sudut kota ini—dari trotoar Malioboro yang ramai hingga tepi Sungai Code yang sepi—seolah menyimpan bayang-bayang Lintang. Varen merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya, meski ia tak pernah benar-benar memiliki Lintang.

Hari-hari berlalu dengan lambat, seperti air yang mengalir di sungai yang nyaris kering. Varen mencoba mengalihkan perhatiannya ke tesis doktoralnya, menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan universitas, membaca naskah-naskah Jawa kuno yang dulu begitu memikatnya. Tapi, kini, setiap baris yang ia baca terasa hampa. Ia sering mendapati dirinya menatap kosong ke arah jendela, membayangkan Lintang dengan rambut ikalnya yang diterpa angin, dengan senyumnya yang penuh rahasia, dengan matanya yang seolah menyimpan seluruh galaksi. Ia ingin meminta maaf, ingin menjelaskan bahwa ia tak bermaksud mengorek luka lama Lintang, tapi ia tahu bahwa kata-kata tak akan cukup untuk memperbaiki apa yang telah retak.

Suatu malam, ketika hujan gerimis membasahi jalan-jalan Yogyakarta, Varen duduk di kamar kosannya, ditemani secangkir kopi yang sudah dingin. Di depannya, laptopnya menampilkan dokumen tesis yang tak kunjung selesai. Pikirannya melayang kembali ke jurnal Lintang, ke nama “Bintang” yang seolah menjadi kunci dari segala misteri. Siapa Bintang? Apakah ia seseorang dari masa lalu Lintang yang masih mengisi hatinya? Atau apakah Bintang adalah luka yang tak pernah sembuh, sesuatu yang membuat Lintang begitu rapuh? Varen merasa seperti sedang memecahkan teka-teki, tapi setiap petunjuk yang ia temukan justru membuatnya semakin tersesat.

Keesokan harinya, Varen memutuskan untuk mencari jawaban. Ia tahu bahwa ia mungkin akan melanggar batas lagi, tapi rasa ingin tahunya—dan, lebih dari itu, perasaannya terhadap Lintang—terlalu kuat untuk diabaikan. Ia pergi ke sebuah kafe kecil di pinggiran kota, tempat yang pernah disebut Lintang sebagai tempat favoritnya untuk bertemu teman-teman lamanya. Kafe itu bernama “Senja di Ufuk,” sebuah bangunan sederhana dengan dinding kayu dan lampu-lampu gantung yang memancarkan cahaya kuning hangat. Varen berharap bisa menemukan seseorang yang mengenal Lintang, seseorang yang mungkin tahu tentang Bintang.

Di kafe itu, Varen bertemu dengan seorang perempuan bernama Kirana, seorang teman lama Lintang yang bekerja sebagai barista. Kirana adalah perempuan berusia awal tiga puluhan dengan senyum ramah dan rambut pendek yang dicat merah maroon. Ketika Varen menyebut nama Lintang, wajah Kirana berubah, seolah ada kenangan pahit yang tiba-tiba muncul. “Lintang… dia baik-baik aja, kan?” tanya Kirana, suaranya penuh perhatian. Varen mengangguk, meski ia tahu itu bukan jawaban yang sepenuhnya jujur. Ia lalu memberanikan diri untuk bertanya tentang Bintang, dengan hati-hati agar tak terdengar seperti sedang mengorek rahasia.

Kirana menatap Varen lama, seolah menimbang apakah ia bisa dipercaya. Akhirnya, ia menghela napas dan mulai bercerita. “Bintang adalah kakak laki-laki Lintang,” katanya pelan. “Mereka sangat dekat, seperti dua sisi mata uang. Bintang adalah orang yang mengajari Lintang melukis, yang selalu mendukung mimpinya untuk menjadi seniman. Tapi… lima tahun lalu, Bintang meninggal dalam kecelakaan motor. Itu menghancurkan Lintang. Dia nggak pernah benar-benar pulih sejak saat itu.”

Varen merasa seperti ada batu besar yang menghantam dadanya. Bintang bukan kekasih Lintang, bukan saingan, melainkan kakak yang sangat ia sayangi. Tiba-tiba, semua potongan teka-teki mulai masuk akal: gelang kayu yang selalu Lintang kenakan, sketsa tua dengan tulisan “Untuk Bintang,” jurnal yang penuh dengan kenangan. Lintang tak pernah berhenti merindukan kakaknya, dan setiap lukisannya, setiap goresan pensilnya, adalah caranya untuk menjaga Bintang tetap hidup dalam ingatannya.

Namun, pengetahuan itu tak membuat Varen merasa lega. Sebaliknya, ia merasa semakin bersalah karena telah membuka luka lama Lintang tanpa memahami konteksnya. Ia juga merasa semakin jauh dari Lintang, seolah rahasia itu justru membangun dinding yang lebih tinggi di antara mereka. Ia ingin menemui Lintang, ingin meminta maaf, tapi ia tahu bahwa ia harus memberi Lintang waktu, seperti yang ia minta.

Beberapa minggu berlalu, dan Varen mulai merasa bahwa ia mungkin telah kehilangan Lintang untuk selamanya. Ia mencoba fokus pada tesisnya, pada rutinitasnya, tapi setiap malam, ia mendapati dirinya menatap langit, mencari bintang yang mungkin bisa memberinya petunjuk. Suatu malam, ketika ia sedang berjalan di tepi Sungai Code, ia melihat sosok yang tak asing. Lintang berdiri di sana, sendirian, memandang air sungai yang berkilau di bawah cahaya bulan. Rambutnya dibiarkan tergerai, dan ia mengenakan jaket denim tua yang membuatnya tampak kecil dan rapuh.

Varen mendekat dengan hati-hati, tak ingin mengejutkan Lintang. “Lintang,” panggilnya pelan. Lintang menoleh, dan untuk sesaat, Varen melihat kilau air mata di matanya. “Varen,” katanya, suaranya hampir tak terdengar. “Aku… aku kira kamu nggak bakal datang lagi.”

Mereka duduk di tepi sungai, hanya ditemani suara air yang mengalir pelan. Lintang mulai bercerita, untuk pertama kalinya membuka diri tentang Bintang. Ia menceritakan bagaimana Bintang adalah orang yang selalu ada untuknya, yang mengajarinya cara melihat dunia dengan penuh warna, yang membuatnya percaya bahwa ia bisa menjadi seniman hebat. Ketika Bintang meninggal, Lintang merasa seperti kehilangan separuh jiwanya. “Aku melukis untuk dia,” kata Lintang, suaranya gemetar. “Setiap lukisan, setiap garis, itu untuk Bintang. Aku takut kalau aku berhenti melukis, aku akan melupakannya.”

Varen mendengarkan dengan penuh perhatian, tak berani menyela. Ia merasa hatinya hancur mendengar cerita Lintang, tapi di saat yang sama, ia merasa semakin jatuh cinta. Ia kagum pada kekuatan Lintang, pada caranya tetap melangkah meski hatinya penuh luka. Ketika Lintang selesai bercerita, Varen mengambil tangannya, dengan lembut namun penuh keyakinan. “Aku nggak akan pernah bisa menggantikan Bintang,” katanya pelan. “Tapi aku ingin ada di sampingmu, Lintang. Aku ingin jadi bagian dari duniamu, kalau kamu mau.”

Lintang menatap Varen, matanya penuh dengan campuran rasa takut dan harapan. Untuk pertama kalinya, ia tak menarik tangannya. Mereka duduk dalam diam, tangan mereka saling menggenggam, sementara bintang-bintang di atas mereka berkedip seperti menyaksikan awal dari sesuatu yang baru. Tapi, di sudut hati Varen, ia tahu bahwa perjalanan mereka masih jauh dari selesai. Ada luka yang masih perlu disembuhkan, dan ada cinta yang masih perlu diuji.

Cinta di Ujung Langit

Musim hujan di Yogyakarta pada akhir 2024 membawa aroma tanah basah dan kesunyian yang anehnya terasa nyaman. Varen dan Lintang, setelah malam di tepi Sungai Code, mulai membangun kembali hubungan mereka, meski dengan langkah yang hati-hati. Mereka seperti dua orang yang belajar menari bersama, takut salah langkah, tapi tak bisa menahan diri untuk terus bergerak. Varen belajar untuk menghormati ruang yang Lintang butuhkan, sementara Lintang mulai membuka hatinya, sedikit demi sedikit, untuk menerima kehadiran Varen.

Mereka kembali menghabiskan waktu bersama, tapi kali ini dengan pemahaman yang lebih dalam. Varen tak lagi mencoba mencari jawaban atas setiap rahasia Lintang; ia belajar untuk mencintai Lintang apa adanya, dengan semua luka dan kenangannya. Lintang, di sisi lain, mulai melihat Varen bukan hanya sebagai teman atau seseorang yang mengagumi lukisannya, tapi sebagai seseorang yang mampu membuatnya merasa utuh kembali.

Suatu hari, Lintang mengundang Varen ke sebuah pameran seni kecil yang ia adakan di galeri independen di pusat kota. Pameran itu bertajuk “Jejak Bintang,” sebuah penghormatan untuk kakaknya yang telah tiada. Ketika Varen masuk ke galeri, ia terpana oleh lukisan-lukisan Lintang. Ada kanvas besar yang menggambarkan langit malam dengan bintang-bintang yang berkilau, ada sketsa-sketsa kecil yang menceritakan kenangan-kenangan bersama Bintang, dan ada satu lukisan yang membuat Varen terhenti: sebuah potret dua tangan yang saling meraih di bawah langit penuh bintang, mirip dengan lukisan yang pertama kali ia lihat di pameran Taman Budaya. Tapi, kali ini, ada sesuatu yang berbeda—ada kehangatan di dalamnya, sebuah harapan yang tak ada di lukisan sebelumnya.

Malam itu, setelah pameran selesai, Lintang dan Varen berjalan bersama di bawah langit yang cerah. Lintang berhenti di tepi jalan, menatap Varen dengan mata yang penuh keberanian. “Varen,” katanya, suaranya mantap meski ada getar kecil di dalamnya, “aku nggak tahu apakah aku bisa mencintai lagi seperti dulu. Tapi… aku ingin mencoba. Bersamamu.”

Varen merasa jantungnya berhenti sejenak. Ia ingin mengatakan begitu banyak hal, ingin mengungkapkan betapa Lintang telah mengubah hidupnya, tapi ia hanya bisa tersenyum dan menggenggam tangan Lintang lebih erat. “Aku akan menunggu, Lintang,” katanya. “Seberapa lama pun itu.”

Hari-hari berikutnya adalah perjalanan penuh warna. Varen dan Lintang mulai merencanakan masa depan bersama, meski dengan langkah kecil. Mereka bermimpi untuk bepergian ke Paris, tempat Lintang ingin mengadakan pameran seni, dan ke Kyoto, tempat Varen ingin meneliti manuskrip-manuskrip kuno. Tapi, lebih dari itu, mereka belajar untuk saling menyembuhkan. Lintang mulai melukis dengan warna-warna yang lebih cerah, sementara Varen mulai menulis dengan lebih banyak emosi, seolah Lintang telah membuka bagian dari dirinya yang selama ini terkunci.

Namun, cinta mereka tak pernah bebas dari ujian. Suatu malam, ketika mereka duduk di Bukit Bintang, Lintang tiba-tiba menangis. Ia menceritakan ketakutannya bahwa ia tak akan pernah bisa benar-benar bahagia, bahwa bayang-bayang Bintang akan selalu ada di hatinya. Varen mendengarkan, tak mencoba menghibur dengan kata-kata kosong, tapi hanya memeluk Lintang dengan erat, membiarkan air matanya jatuh di bahunya. “Aku nggak akan meminta kamu melupakan Bintang,” katanya pelan. “Tapi aku ingin jadi bagian dari cerita barumu.”

Malam itu menjadi titik balik. Lintang mulai belajar untuk melepaskan rasa bersalahnya, untuk menerima bahwa mencintai Varen bukan berarti mengkhianati kenangan Bintang. Varen, di sisi lain, belajar bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki seseorang sepenuhnya, tapi tentang memberi mereka kebebasan untuk menjadi diri mereka sendiri, dengan semua luka dan keindahan mereka.

Di akhir cerita, Varen dan Lintang berdiri bersama di bawah pohon akasia di gang kecil tempat mereka pertama kali sering bertemu. Langit di atas mereka penuh dengan bintang, seperti lukisan yang hidup. Lintang memegang tangan Varen, senyumnya lebih tulus dari sebelumnya. “Inikah rasanya cinta?” tanyanya, setengah bercanda, setengah serius.

Varen tersenyum, matanya penuh dengan cinta yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Mungkin,” jawabnya. “Tapi yang aku tahu, ini rasanya seperti rumah.”

Dan di bawah bayang-bayang pohon akasia, di antara bintang-bintang yang berkedip di langit Yogyakarta, mereka melangkah bersama menuju masa depan, dengan hati yang penuh luka namun juga penuh harapan. Cinta mereka bukanlah akhir dari cerita, melainkan awal dari perjalanan baru—sebuah perjalanan yang akan terus ditulis, satu langkah pada satu waktu.

Inikah Rasanya Cinta: Kisah Cinta yang Mengguncang Jiwa bukan sekadar cerpen romantis, melainkan sebuah perjalanan emosional yang mengajarkan kita tentang cinta, kehilangan, dan penyembuhan. Dengan detail yang kaya dan karakter yang hidup, cerpen ini akan meninggalkan kesan mendalam di hati setiap pembaca. Jangan lewatkan kisah Varen dan Lintang yang membuktikan bahwa cinta sejati adalah tentang menerima seseorang dengan segala luka dan keindahannya. Mulailah membaca sekarang dan temukan apakah ini benar-benar rasanya cinta!

Terima kasih telah menyimak ulasan tentang Inikah Rasanya Cinta: Kisah Cinta yang Mengguncang Jiwa. Kami harap Anda terinspirasi untuk menyelami kisah ini dan merasakan setiap emosi yang ditawarkannya. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa untuk terus menjelajahi cerita-cerita penuh makna yang menggugah jiwa!

Leave a Reply