Daftar Isi
Selami kisah cinta yang penuh tawa, air mata, dan nostalgia dalam Cinta di Bawah Lampu Neon 2000: Kisah Cinta Komedi yang Mengharukan. Cerpen epik ini mengajak Anda kembali ke Jakarta tahun 2000, di mana lampu neon, kaset musik, dan mimpi-mimpi muda menjadi latar sebuah romansa yang tak terlupakan. Mengikuti perjalanan Radit dan Kira, cerita ini memadukan komedi ringan, drama emosional, dan nuansa retro yang akan membawa Anda bernostalgia dengan era milenium. Dengan alur yang mendetail dan karakter yang hidup, cerpen ini wajib dibaca bagi pecinta romansa yang mencari kisah cinta autentik dengan sentuhan humor dan kepekaan emosional.
Cinta di Bawah Lampu Neon 2000
Pertemuan di Bawah Cahaya Neon
Jakarta, tahun 2000. Kota ini adalah mozaik dari mimpi dan kenyataan, di mana lampu neon berkedip di sudut-sudut jalan, menari-nari di antara kepulan asap rokok dan aroma kopi murah dari warung pinggir jalan. Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, seorang pemuda bernama Raditya Wiratama, atau yang lebih suka dipanggil Radit, menjalani hidupnya sebagai seorang karyawan magang di sebuah perusahaan periklanan kecil bernama Neon Kreasi. Usianya baru 24 tahun, tapi wajahnya sudah dipenuhi garis-garis lelah dari jam kerja panjang dan mimpi-mimpi yang belum terwujud. Rambutnya yang sedikit berantakan, dengan jaket jeans usang yang selalu ia pakai, membuatnya tampak seperti anak muda yang tersesat di antara era 90-an dan awal milenium. Namun, di balik matanya yang cokelat tua, ada kilau semangat yang belum padam, meski sering kali ia sendiri meragukannya.
Radit tinggal di sebuah kos sederhana di kawasan Senen, di mana suara klakson angkot dan teriakan penjaja kacang rebus menjadi latar musik hariannya. Pagi itu, seperti biasa, ia bergegas menuju kantor dengan sepeda motor bututnya, sebuah Yamaha RX-King yang ia beli bekas dari pamannya. Jakarta pagi itu diselimuti kabut tipis, sisa hujan semalam yang meninggalkan genangan di trotoar. Radit melaju perlahan, menghindari lubang-lubang di jalanan, sambil mendengarkan kaset The Corrs yang diputar lewat headset murahan di telinganya. Lagu “Breathless” mengalun, membuatnya tersenyum kecil, seolah-olah dunia ini masih punya harapan.
Kantor Neon Kreasi terletak di sebuah ruko tua di daerah Cikini. Bangunan itu tampak seperti peninggalan zaman Belanda yang lupa direnovasi, dengan cat dinding mengelupas dan AC yang berderit seperti sedang bernyanyi karaoke. Di dalam, suasana kantor selalu riuh. Mesin fotokopi tua di sudut ruangan sering macet, telepon berdering tanpa henti, dan para karyawan senior sibuk berdebat tentang iklan sabun colek terbaru. Radit, sebagai magang, sering kali hanya kebagian tugas-tugas kecil: mengantar dokumen, mencatat pesanan kopi, atau mengetik laporan yang entah akan dibaca siapa. Tapi ia tidak mengeluh. Baginya, setiap hari di kantor adalah kesempatan untuk belajar, meski kadang ia merasa seperti ikan kecil di lautan yang terlalu luas.
Hari itu, Radit mendapat tugas baru yang sedikit berbeda. Bosnya, Pak Haryo, seorang pria paruh baya dengan kumis tebal yang selalu memakai kemeja batik, memanggilnya ke ruangan kecil yang dipenuhi tumpukan kertas dan asap rokok. “Radit, kamu ke toko kaset di Sarinah sore ini,” ujar Pak Haryo sambil menyerahkan selembar kertas bertuliskan alamat. “Kita butuh kaset lagu-lagu pop terbaru buat iklan baru. Jangan lupa, cari yang lagi nge-hits, kayak Britney Spears atau Backstreet Boys. Budgetnya terbatas, jadi nawar habis-habisan!”
Radit mengangguk, meski dalam hati ia bertanya-tanya mengapa iklan sabun colek membutuhkan soundtrack dari boyband Amerika. Tapi ia tidak protes. Ini adalah kesempatan langka untuk keluar dari rutinitas kantor yang membosankan. Setelah jam kerja selesai, ia meluncur ke Sarinah, sebuah pusat perbelanjaan yang pada tahun 2000 masih menjadi jantungan kota bagi anak muda Jakarta. Di sana, deretan toko kaset dan CD berjejer, dengan lampu neon warna-warni yang berkedip di etalase, menggoda setiap orang yang lewat untuk masuk dan membelanjakan uang mereka.
Toko kaset yang dituju Radit bernama “Melodi Nusantara”, sebuah toko kecil yang terselip di antara gerai pakaian dan warung makan. Begitu masuk, ia disambut oleh aroma plastik baru dari sampul kaset dan suara lagu “Oops!… I Did It Again” yang mengalun pelan dari speaker tua. Di balik meja kasir, seorang gadis muda sedang sibuk mengatur tumpukan kaset. Namanya, seperti yang kemudian Radit ketahui, adalah Kirana Swastika, atau yang lebih suka dipanggil Kira. Usianya sekitar 22 tahun, dengan rambut panjang sebahu yang diikat asal dengan karet gelang merah. Ia mengenakan kaus longgar bertuliskan “Spice Girls” dan celana kargo yang sedikit kebesaran, tapi entah kenapa, di mata Radit, ia tampak seperti tokoh utama dalam film romansa yang baru saja ia tonton di bioskop minggu lalu.
Kira tidak langsung menyapa Radit. Ia sedang asyik menyanyi kecil mengikuti lagu Britney Spears, sambil menata kaset-kaset di rak. Radit, yang biasanya tidak canggung berbicara dengan orang baru, mendadak merasa lidahnya kelu. Ia berdiri di dekat rak kaset, pura-pura memeriksa koleksi lagu Westlife, padahal pikirannya sibuk mencari alasan untuk menyapa gadis itu. Akhirnya, dengan sedikit keberanian yang ia kumpulkan, ia berdehem dan berkata, “Ehm, mbak, ada kaset Backstreet Boys yang baru nggak?”
Kira menoleh, matanya yang besar dan berbinar menatap Radit dengan ekspresi setengah bingung, setengah geli. “Mbak? Serius? Kita seumuran kali,” katanya sambil tersenyum kecil, membuat Radit langsung merasa wajahnya memanas. “Backstreet Boys ada, tapi yang baru sold out. Kalau mau, ada stok *NSYNC, lagunya juga oke, lho.”
Radit tertawa canggung, merasa seperti anak SMA yang baru pertama kali ngobrol dengan gebetan. “Oh, oke, *NSYNC juga boleh. Aku lagi cari buat iklan, sih. Bosku bilang cari yang nge-hits.”
Kira mengangguk, lalu berjalan ke rak di sudut toko, mengambil sebuah kaset dengan sampul warna-warni. “Ini No Strings Attached. Lagu ‘Bye Bye Bye’-nya lagi digemari banget. Cocok buat iklan apa pun, asal jangan iklan odol,” candanya, membuat Radit tersenyum lebar.
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Kira ternyata bukan hanya penjaga toko biasa. Ia adalah mahasiswi seni musik di sebuah universitas swasta di Jakarta, yang bekerja paruh waktu di toko kaset untuk menambah uang saku. Ia punya selera musik yang luas, dari Sheila on 7 sampai Radiohead, dan ia bisa berbicara tentang lagu-lagu itu dengan semangat yang menular. Radit, yang awalnya hanya berniat membeli kaset dan pulang, mendadak betah berlama-lama di toko itu. Mereka berbincang tentang musik, film, dan bahkan keluh kesah tentang Jakarta yang semakin macet. Tanpa sadar, waktu berlalu, dan lampu neon di luar toko mulai menyala, mewarnai malam dengan cahaya pink dan biru yang lembut.
Saat akhirnya Radit harus pulang, ia merasa ada sesuatu yang berbeda di dadanya. Jantungan hatinya sedikit lebih cepat, dan wajah Kira yang tersenyum sambil melambai dari balik kasir terus terbayang di kepalanya. Ia pulang dengan kaset *NSYNC di tangan, tapi yang benar-benar ia bawa pulang adalah perasaan baru yang belum bisa ia jelaskan. Malam itu, di kamar kosnya yang sempit, Radit memutar kaset itu di tape recorder tuanya, mendengarkan “Bye Bye Bye” sambil tersenyum sendiri. Ia tahu, ini bukan sekadar soal kaset. Ini tentang gadis di toko kaset yang, tanpa ia sadari, telah mencuri sedikit ruang di hatinya.
Hari-hari berikutnya, Radit mencari alasan untuk kembali ke Melodi Nusantara. Kadang ia pura-pura membeli kaset baru, kadang hanya mampir untuk mengobrol. Kira selalu menyambutnya dengan senyum yang sama, yang entah kenapa selalu membuat Radit merasa dunia ini sedikit lebih cerah. Mereka mulai saling berbagi cerita: Radit tentang mimpinya menjadi copywriter terkenal, Kira tentang keinginannya membuat album musik sendiri suatu hari nanti. Di antara tumpukan kaset dan aroma kopi dari warung sebelah, benih-benih cinta mulai tumbuh, meski keduanya masih terlalu malu untuk mengakuinya.
Namun, hidup tidak pernah sesederhana film romansa. Radit punya rahasia yang ia simpan rapat-rapat: ia sedang berjuang melawan rasa rendah diri yang menghantuinya sejak kecil. Ayahnya, seorang pegawai kantoran yang keras, selalu menganggap Radit tidak akan pernah sukses. “Kamu cuma anak magang, Radit. Jangan bermimpi terlalu tinggi,” kata ayahnya suatu kali, dan kata-kata itu seperti duri yang tertancap di hatinya. Radit takut, jika ia terlalu berharap pada Kira, ia hanya akan mengecewakannya. Bagaimana jika ia tidak cukup baik? Bagaimana jika mimpinya hanya akan tetap menjadi mimpi?
Di sisi lain, Kira juga punya luka sendiri. Di balik senyumnya yang ceria, ia menyimpan cerita tentang ibunya yang sakit keras, yang membuatnya harus bekerja keras untuk membantu biaya pengobatan. Ia tidak pernah menceritakan ini pada Radit, karena ia tidak ingin terlihat lemah. Tapi setiap malam, saat toko tutup dan ia pulang ke kontrakan kecilnya, ia sering menangis sendiri, merasa beban dunia ada di pundaknya.
Pertemuan mereka di bawah lampu neon itu adalah awal dari sesuatu yang indah, tapi juga penuh tantangan. Radit dan Kira, dua jiwa yang saling tertarik, belum tahu bahwa cinta mereka akan diuji oleh waktu, rahasia, dan mimpi-mimpi yang mereka kejar. Di tengah Jakarta yang riuh, di bawah cahaya neon yang berkedip, mereka mulai menulis kisah mereka sendiri, tanpa tahu apakah akhirnya akan bahagia atau penuh air mata.
Nada-nada Cinta yang Tersembunyi
Jakarta di akhir tahun 2000 mulai memasuki musim hujan. Jalanan basah, trotoar licin, dan langit sering kali kelabu, seolah-olah mencerminkan hati Radit yang penuh dengan campuran harapan dan keraguan. Sejak pertemuan pertamanya dengan Kira di Melodi Nusantara, hidupnya terasa seperti kaset yang diputar ulang: setiap hari ia mencari alasan untuk mampir ke toko kaset itu, meski kantongnya semakin tipis karena kebiasaan membeli kaset yang sebenarnya tidak ia butuhkan. Ia membeli album-album seperti Meteora dari Linkin Park atau Membuktikan dari Sheila on 7, hanya untuk punya alasan mengobrol lebih lama dengan Kira. Tapi di balik senyumnya yang canggung dan candaannya yang kadang garing, ada perasaan yang semakin kuat, seperti lagu yang terus terngiang di kepala.
Kira, di sisi lain, mulai merasakan kehadiran Radit sebagai bagian dari rutinitasnya. Toko kaset yang biasanya sepi di sore hari kini terasa lebih hidup setiap kali Radit muncul dengan jaket jeans usangnya dan senyum malu-malu yang entah kenapa selalu membuat Kira ingin tertawa. Ia mulai memperhatikan kebiasaan kecil Radit: caranya menggaruk tengkuk saat gugup, atau caranya berbicara dengan penuh semangat tentang iklan-iklan yang ia impikan. Kira tidak tahu kapan tepatnya, tapi ia mulai menanti-nanti kedatangan Radit, seperti menanti lagu favorit di radio.
Suatu sore, saat hujan deras mengguyur Jakarta, Radit datang ke toko dengan keadaan basah kuyup. Jaketnya menempel di tubuhnya, dan rambutnya yang biasanya berantakan kini tampak seperti disisir oleh angin topan. Kira, yang sedang menyapu lantai toko, langsung tertawa melihat penampilannya. “Ya Tuhan, Radit, kamu kayak anak kucing kecebur got,” katanya sambil menahan tawa.
Radit cuma nyengir, mencoba menutupi rasa malunya. “Motor gue mogok di tengah jalan. Harus dorong sampe sini,” jawabnya, sambil menggigil kedinginan. Kira buru-buru mengambil handuk kecil dari belakang kasir dan menyerahkannya pada Radit. “Nih, keringin dulu. Nanti masuk angin, lho.”
Momen itu, meski sederhana, terasa istimewa bagi keduanya. Radit duduk di sudut toko, mengelap rambutnya dengan handuk, sementara Kira memutar kaset Let Go milik Avril Lavigne, yang baru saja ia dapatkan dari supplier. Hujan di luar makin deras, membuat toko terasa seperti kapsul kecil yang terisolasi dari dunia. Mereka berbincang tentang banyak hal: tentang film Cast Away yang baru saja rilis, tentang betapa susahnya cari parkir di Sarinah, dan tentang mimpi-mimpi mereka yang kadang terasa terlalu jauh untuk digapai.
Radit mulai membuka diri tentang kehidupannya. Ia menceritakan bagaimana ia besar di keluarga yang sederhana, dengan ayah yang selalu skeptis terhadap mimpinya dan ibu yang sibuk bekerja sebagai penjahit untuk menutupi kebutuhan keluarga. “Aku pengen bikin iklan yang orang inget, tahu? Kayak iklan Nike yang ‘Just Do It’ itu. Tapi kadang aku ngerasa… aku nggak cukup pinter buat itu,” katanya, suaranya pelan, hampir tenggelam oleh suara hujan.
Kira mendengarkan dengan saksama, matanya menatap Radit dengan penuh empati. Ia ingin menceritakan tentang ibunya, tentang rumah sakit dan tagihan yang terus menumpuk, tapi ia menahan diri. Ia tidak ingin Radit melihatnya sebagai gadis yang lemah atau penuh keluh kesah. Sebaliknya, ia memilih untuk mengalihkan pembicaraan. “Kalau aku, aku pengen bikin lagu yang orang dengerin pas mereka sedih atau seneng. Lagu yang bikin mereka ngerasa nggak sendirian,” katanya, sambil memainkan ujung rambutnya.
Malam itu, saat hujan reda dan Radit akhirnya pulang, ia merasa ada ikatan baru yang terbentuk antara mereka. Ia tidak tahu apa itu cinta—atau apakah ini memang cinta—tapi ia tahu bahwa ia ingin terus melihat Kira, mendengar suaranya, dan berada di dekatnya. Kira, di sisi lain, mulai merasakan hal yang sama, meski ia terus mengingatkan dirinya untuk tidak terlalu berharap. Hidupnya sudah terlalu penuh dengan tanggung jawab, dan ia takut membiarkan hati membawanya ke tempat yang belum siap ia jelajahi.
Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka semakin dekat. Radit mulai membantu Kira di toko, meski cuma sekedar menata kaset atau membawakan kopi dari warung sebelah. Mereka sering menghabiskan waktu bersama setelah toko tutup, berjalan-jalan di trotoar Sarinah sambil makan bakpao atau es krim Cornetto. Jakarta di malam hari, dengan lampu neon yang berkedip dan suara klakson yang tak pernah reda, menjadi saksi bisu dari tawa mereka, canda mereka, dan momen-momen kecil yang perlahan membangun sesuatu yang lebih besar.
Namun, di tengah kebahagiaan kecil itu, bayang-bayang masalah mulai muncul. Di kantor, Radit mendapat tekanan dari Pak Haryo untuk membuat ide iklan baru yang “revolusioner”. Jika gagal, magangnya bisa diputus, dan mimpinya untuk jadi copywriter akan semakin jauh. Di saat yang sama, kondisi ibu Kira memburuk, dan tagihan rumah sakit semakin membebani pikirannya. Ia mulai bekerja lebih lama di toko, kadang sampai larut malam, membuat Radit khawatir tapi tidak tahu bagaimana membantu.
Suatu malam, saat mereka duduk di trotoar di depan toko, Kira akhirnya membuka diri. Dengan suara yang gemetar, ia menceritakan tentang ibunya, tentang rasa takutnya kehilangan satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini. Radit mendengarkan tanpa menyela, tangannya ingin meraih tangan Kira tapi ia urungkan, takut terlalu lancang. “Aku nggak tahu kenapa aku ceritain ini ke kamu,” kata Kira, matanya berkaca-kaca. “Mungkin… mungkin karena aku ngerasa kamu beda.”
Radit tidak tahu harus menjawab apa, tapi ia merasakan sesuatu yang hangat di dadanya. Ia hanya mengangguk, lalu berkata pelan, “Aku nggak janji bisa bantu apa-apa, Kira. Tapi aku janji aku bakal ada buat kamu, kapan pun kamu butuh.”
Malam itu, di bawah lampu neon yang berkedip, mereka saling menatap dalam diam. Tidak ada kata-kata besar tentang cinta, tidak ada pengakuan dramatis seperti di film-film. Tapi di antara mereka, ada pemahaman yang tak perlu diucapkan: bahwa mereka saling membutuhkan, dan bahwa, entah bagaimana, mereka akan menghadapi dunia ini bersama.
Namun, seperti lagu yang tiba-tiba berhenti di tengah putaran, hidup punya caranya sendiri untuk mengacaukannya. Sebuah insiden kecil di kantor Radit—sebuah kesalahan dalam presentasi iklan—membuatnya dihukum dengan tugas tambahan yang memakan waktu. Ia mulai jarang mampir ke toko kaset, dan Kira, yang sibuk dengan pekerjaan dan ibunya, mulai merasa jarak di antara mereka. Ketidakpastian mulai merayap, seperti kaset yang mulai aus dan berderit saat diputar. Apakah perasaan mereka cukup kuat untuk bertahan? Ataukah, seperti banyak kisah cinta di Jakarta, mereka hanya akan jadi kenangan yang ditinggalkan di bawah lampu neon?
Melodi yang Tersendat
Jakarta di penghujung tahun 2000 terasa seperti kaset yang mulai aus, penuh dengan suara-suara sumbang yang mengganggu harmoni. Hujan masih sering mengguyur, meninggalkan genangan di trotoar dan aroma tanah basah yang bercampur dengan asap knalpot. Raditya Wiratama, atau Radit, kini menghabiskan hari-harinya dalam tekanan yang semakin berat. Kantor Neon Kreasi, yang dulu ia lihat sebagai pintu menuju mimpinya, kini terasa seperti labirin tanpa ujung. Tugas-tugas menumpuk, dan kesalahan kecil dalam presentasi iklan sabun colek dua minggu lalu masih menghantuinya. Pak Haryo, bosnya, tidak berhenti mengingatkannya bahwa posisi magangnya bisa dicabut kapan saja jika ia tidak bisa “menunjukkan sesuatu yang luar biasa.”
Radit duduk di meja kecilnya di sudut kantor, dikelilingi tumpukan kertas dan storyboard yang belum selesai. Cahaya neon di atas kepalanya berkedip-kedip, seolah mencerminkan pikirannya yang kacau. Ia ingin sekali mampir ke Melodi Nusantara, toko kaset tempat Kirana Swastika bekerja, tapi waktu dan tenaganya tersita oleh pekerjaan. Sudah hampir dua minggu ia tidak bertemu Kira, dan setiap kali ia memikirkan gadis itu, hatinya terasa seperti dipelintir. Ia merindukan senyumnya, candaannya yang kadang garing, dan cara Kira memandangnya dengan mata besar yang penuh kehangatan. Tapi ia juga takut—takut bahwa ia tidak cukup baik untuknya, takut bahwa mimpinya yang belum tercapai hanya akan menjadi beban bagi Kira.
Di sisi lain, Kira sendiri tenggelam dalam dunianya yang semakin kelam. Kondisi ibunya, yang menderita kanker paru-paru, semakin memburuk. Setiap hari setelah toko tutup, Kira akan buru-buru ke rumah sakit, duduk di samping ranjang ibunya, memegang tangan yang kini terasa rapuh seperti kertas. Ibunya, seorang wanita tangguh yang dulu bekerja sebagai penutup buku di pasar, kini hanya bisa berbaring dengan selang oksigen di hidungnya. Tagihan rumah sakit terus menumpuk, dan meski Kira bekerja keras di toko kaset dan kadang mengambil job tambahan sebagai penyanyi kafe, uang itu seperti air yang mengalir keluar dari ember bocor. Ia merasa seperti berlari di tempat, tanpa tahu kapan akan sampai ke garis akhir.
Malam itu, saat hujan reda dan langit Jakarta berwarna kelabu tua, Kira duduk sendirian di toko kaset yang sepi. Lampu neon di luar berkedip, memantulkan cahaya pink dan biru ke wajahnya yang lelah. Ia memutar kaset Dookie dari Green Day, lagu “When I Come Around” mengalun pelan, tapi pikirannya tidak benar-benar ada di sana. Ia memikirkan Radit, tentang bagaimana ia mulai terbiasa dengan kehadirannya, tentang bagaimana ia merindukannya meski ia tidak pernah mengatakannya. Tapi ia juga merasa bersalah. Bagaimana ia bisa memikirkan cinta di tengah semua masalah ini? Bagaimana ia bisa membiarkan hati membawanya ke tempat yang begitu rapuh?
Tiba-tiba, pintu toko berderit terbuka, dan Radit muncul dengan wajah pucat dan jaket jeans yang sedikit basah karena gerimis. Kira tersentak, hatinya melonjak sekaligus tenggelam. Ia ingin tersenyum, tapi ada sesuatu di mata Radit yang membuatnya ragu. “Radit? Kamu kenapa datang malam-malam gini?” tanyanya, suaranya lembut tapi penuh kekhawatiran.
Radit menghela napas panjang, lalu duduk di bangku kecil di dekat kasir. “Aku… aku cuma pengen lihat kamu, Kira. Kantor lagi kacau, dan aku ngerasa kayak… kayak semuanya salah.” Ia menunduk, tangannya menggosok-gosok tengkuknya, kebiasaan yang selalu ia lakukan saat gugup.
Kira ingin menghiburnya, tapi ia sendiri sedang berjuang dengan beban di pundaknya. Mereka duduk dalam diam untuk beberapa saat, hanya ditemani suara Green Day dan derit kipas angin tua di sudut ruangan. Akhirnya, Kira berbicara, suaranya hampir berbisik. “Radit, aku juga lagi nggak baik-baik aja. Ibu… ibuku makin parah. Aku nggak tahu berapa lama lagi aku bisa bayar rumah sakit.”
Radit menatapnya, matanya penuh dengan campuran keterkejutan dan rasa bersalah. Ia ingin berkata sesuatu yang bisa meringankan beban Kira, tapi kata-kata itu seperti tersangkut di tenggorokannya. “Kira, aku… aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi aku pengen bantu, beneran. Cuma… aku nggak tahu caranya.”
Kira tersenyum tipis, tapi senyum itu penuh dengan kepedihan. “Kamu nggak perlu bantu apa-apa, Radit. Kamu ada di sini aja udah cukup.”
Momen itu terasa seperti jeda dalam lagu, di mana semua nada berhenti sejenak sebelum melodi kembali mengalir. Mereka saling menatap, dan untuk pertama kalinya, Radit merasa cukup berani untuk meraih tangan Kira. Tangannya dingin, tapi ada kehangatan yang mengalir saat jari-jari mereka saling bertaut. Tidak ada kata-kata besar, tidak ada pengakuan cinta seperti di film-film. Tapi di antara mereka, ada pemahaman yang tak perlu diucapkan: bahwa mereka adalah pelampung satu sama lain di tengah lautan yang bergelombang.
Namun, seperti kaset yang tiba-tiba macet, kehidupan punya cara untuk mengacaukannya. Keesokan harinya, Radit mendapat kabar buruk dari kantor: proyek iklan besar yang ia kerjakan ditolak klien karena dianggap “kurang orisinal.” Pak Haryo marah besar, dan untuk pertama kalinya, ia mengancam akan memecat Radit jika tidak bisa memperbaiki kinerjanya dalam seminggu. Radit merasa seperti berdiri di tepi jurang, dengan mimpinya sebagai copywriter yang perlahan runtuh di depan matanya. Ia ingin menceritakan ini pada Kira, tapi ia tahu gadis itu sudah punya beban sendiri. Ia tidak ingin menambahkannya.
Sementara itu, Kira mendapat telepon dari rumah sakit yang mengatakan bahwa ibunya harus segera menjalani operasi darurat. Biayanya jauh di luar kemampuannya, dan meski ia sudah menabung setiap rupiah dari gajinya, jumlah itu masih jauh dari cukup. Ia mulai bekerja lebih lama, mengambil shift malam di kafe dan bahkan menjual beberapa kaset pribadinya untuk tambahan uang. Ia jarang tidur, wajahnya semakin pucat, dan senyumnya yang dulu cerah kini mulai memudar.
Di tengah kekacauan itu, Radit dan Kira mulai merasakan jarak yang tidak mereka inginkan. Radit, yang sibuk menyelamatkan pekerjaannya, jarang bisa mampir ke toko kaset. Kira, yang terkubur dalam tanggung jawabnya, mulai menutup diri, takut bahwa membiarkan Radit terlalu dekat hanya akan membuatnya semakin rapuh. Mereka masih bertemu sesekali, tapi percakapan mereka kini penuh dengan jeda yang canggung, seperti lagu yang kehilangan ritmenya.
Suatu malam, saat Radit akhirnya bisa mampir ke toko, ia menemukan Kira sedang menangis di belakang kasir, wajahnya tersembunyi di tangannya. Kaset Radiohead Kid A diputar pelan, lagu “Everything in Its Right Place” mengalun seperti mantra yang gagal menenangkan. Radit ingin memeluknya, tapi ia hanya berdiri di sana, merasa tidak berdaya. “Kira, apa yang bisa aku lakuin buat kamu?” tanyanya, suaranya gemetar.
Kira menggeleng, air matanya masih mengalir. “Nggak ada, Radit. Ini… ini bukan salahmu. Aku cuma… aku cuma capek.”
Malam itu, mereka duduk bersama dalam diam, mendengarkan kaset yang terus berputar. Radit tahu, jika ia tidak melakukan sesuatu, ia bisa kehilangan Kira—bukan hanya sebagai seseorang yang ia sayangi, tapi juga sebagai bagian dari dirinya yang membuatnya merasa hidup. Ia memutuskan untuk bertaruh pada mimpinya. Ia akan membuat iklan terbaik yang pernah ia ciptakan, bukan hanya untuk menyelamatkan pekerjaannya, tapi juga untuk membuktikan pada Kira bahwa mereka bisa menghadapi dunia ini bersama.
Radit mulai bekerja seperti orang kesurupan. Ia begadang di kantor, menggambar storyboard di bawah lampu neon yang berkedip, mencari inspirasi dari lagu-lagu yang ia dengar bersama Kira. Ia ingin membuat iklan yang tidak hanya menjual produk, tapi juga menceritakan sebuah kisah—kisah tentang mimpi, tentang cinta, tentang tidak menyerah meski dunia terasa berat. Ia memikirkan Kira, tentang bagaimana ia selalu tersenyum meski hatinya penuh luka, dan itulah yang menjadi jantungan ide-idenya.
Sementara itu, Kira mulai merasa bahwa ia tidak bisa terus-terusan menyembunyikan lukanya dari Radit. Ia tahu bahwa ia mencintainya—meski kata itu belum pernah ia ucapkan—dan ia tahu bahwa cinta itu tidak akan bertahan jika ia terus menutup diri. Ia memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Radit, tentang ketakutannya, tentang ibunya, tentang mimpi-mimpinya yang mulai terasa seperti bayangan yang memudar.
Mereka bertemu lagi di toko kaset, di bawah lampu neon yang sama yang menjadi saksi pertemuan pertama mereka. Kali ini, tidak ada candaan atau tawa. Hanya dua jiwa yang lelah, tapi masih ingin berjuang untuk satu sama lain. “Radit, aku takut,” kata Kira, suaranya hampir hilang di tengah suara hujan di luar. “Aku takut kehilangan ibu, takut kehilangan diriku sendiri… takut kehilangan kamu.”
Radit memeluknya, untuk pertama kalinya, dan di pelukannya itu, Kira merasa seperti akhirnya bisa bernapas. “Kamu nggak akan kehilangan aku, Kira,” bisiknya. “Aku janji, kita bakal lewatin ini bareng.”
Tapi janji itu, meski tulus, tidak bisa menghentikan badai yang datang. Malam itu, setelah Radit pulang, Kira mendapat telepon dari rumah sakit. Ibunya kini dalam kondisi kritis, dan dokter mengatakan bahwa operasi harus dilakukan dalam 48 jam jika ingin ada harapan. Kira merasa dunianya runtuh, dan untuk pertama kalinya, ia bertanya-tanya apakah cinta yang ia rasakan untuk Radit cukup kuat untuk menahan semua ini.
Cahaya di Ujung Lagu
Hujan di Jakarta pada akhir Desember 2000 terasa seperti tirai yang menutup panggung kehidupan. Jalanan basah, lampu neon di Sarinah berkedip-kedip seperti mata yang lelah, dan Radit serta Kira berada di persimpangan yang tidak pernah mereka bayangkan. Radit kini menghadapi tenggat waktu terakhir untuk proyek iklannya, sebuah iklan untuk minuman ringan yang ia ubah menjadi sebuah cerita tentang dua anak muda yang bermimpi di tengah kota besar. Ia menuangkan hatinya ke dalam setiap baris naskah, setiap gambar di storyboard, dan setiap nada yang ia pilih untuk mengiringi iklan itu. Ia memilih lagu *NSYNC “This I Promise You”, yang mengingatkannya pada janji yang ia buat pada Kira di bawah lampu neon.
Di kantor, Radit bekerja tanpa henti. Ia begadang hingga subuh, matanya merah karena kurang tidur, tapi semangatnya tidak padam. Ia ingin iklan ini menjadi bukti bahwa ia bisa menjadi seseorang yang Kira banggakan, seseorang yang tidak hanya bermimpi tapi juga mewujudkannya. Ia membayangkan Kira menonton iklan ini suatu hari nanti, tersenyum, dan berkata, “Itu Raditku.” Tapi di tengah usahanya, ia tidak bisa mengabaikan kekhawatiran yang menggerogoti hatinya. Kira semakin jarang membalas pesannya—pesan singkat yang ia kirim lewat Nokia 3310-nya—dan ia tahu ada sesuatu yang salah.
Kira, di sisi lain, terjebak dalam pusaran keputusasaan. Ibunya kini terbaring di ruang ICU, dan dokter mengatakan bahwa peluangnya semakin kecil. Kira menghabiskan malam-malamnya di rumah sakit, duduk di kursi plastik yang keras, memegang tangan ibunya yang semakin dingin. Ia berhenti bekerja di toko kaset karena ia tidak bisa meninggalkan ibunya, dan uang tabungannya hampir habis. Ia merasa seperti kaset yang sudah diputar terlalu sering, pita di dalamnya kusut dan tidak lagi bisa menghasilkan suara yang jernih.
Di tengah keputusasaannya, Kira mulai mempertanyakan hubungannya dengan Radit. Ia mencintainya—ia yakin akan itu—tapi ia takut bahwa cintanya hanya akan menjadi beban bagi pemuda itu. Radit punya mimpinya sendiri, dan Kira tidak ingin menahannya. Ia mulai menjauh, tidak membalas pesan, dan bahkan menghindari Radit saat ia mencoba mampir ke rumah sakit. Bukan karena ia tidak peduli, tapi karena ia terlalu peduli—terlalu takut bahwa ia akan menyeret Radit ke dalam kegelapan yang ia rasakan.
Namun, Radit bukan tipe orang yang mudah menyerah. Ia tahu Kira sedang menjauh, tapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa hidup tanpa gadis itu. Ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang gila, sesuatu yang mungkin akan membuatnya dipecat dari kantor, tapi ia tidak peduli. Ia ingin menunjukkan pada Kira bahwa ia serius, bahwa cintanya bukan hanya kata-kata kosong.
Malam sebelum presentasi iklan terakhirnya, Radit pergi ke rumah sakit tempat ibu Kira dirawat. Ia membawa sebuah kaset tua, sebuah mixtape yang ia buat sendiri dengan lagu-lagu yang pernah mereka dengarkan bersama: *NSYNC, Sheila on 7, Avril Lavigne, dan bahkan lagu-lagu Indonesia seperti Padi dan Dewa 19. Ia juga membawa sebuah surat, yang ia tulis dengan tangan di bawah lampu meja di kosnya. Surat itu berisi semua yang ia rasakan, semua mimpinya, dan semua janji yang ia ingin tepati untuk Kira.
Di rumah sakit, ia menemukan Kira duduk sendirian di lorong, wajahnya pucat dan matanya sembab. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menyerahkan kaset dan surat itu padanya. “Dengerin ini, Kira,” katanya, suaranya lembut tapi tegas. “Dan baca ini. Aku nggak minta kamu bales sekarang. Aku cuma pengen kamu tahu bahwa aku nggak akan kemana-mana.”
Kira menerima kaset dan surat itu dengan tangan gemetar. Ia tidak membukanya malam itu, tapi ia membawanya pulang ke kontrakannya, dan di bawah lampu neon kecil di kamarnya, ia membaca surat Radit. Setiap kata terasa seperti nada dalam lagu, penuh dengan kejujuran dan kehangatan. Radit menulis tentang bagaimana ia jatuh cinta padanya sejak pertama kali melihatnya di toko kaset, tentang bagaimana ia takut gagal tapi lebih takut kehilangan Kira, dan tentang bagaimana ia ingin membangun masa depan bersama, meski itu berarti harus berjuang melawan dunia.
Air mata Kira jatuh ke kertas itu, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia merasa ada secercah harapan. Ia memutar kaset itu di tape recorder tuanya, dan saat lagu “This I Promise You” mengalun, ia tersenyum di tengah tangisnya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus menjauh dari Radit. Ia harus berjuang, bukan hanya untuk ibunya, tapi juga untuk dirinya sendiri dan untuk cinta yang mereka miliki.
Keesokan harinya, presentasi iklan Radit menjadi sebuah kejutan. Iklannya, yang terinspirasi dari kisahnya dan Kira, berhasil memukau klien. Gambar-gambar anak muda yang bermimpi di tengah kota, ditemani lagu *NSYNC yang penuh emosi, membuat ruangan presentasi penuh dengan tepuk tangan. Pak Haryo, yang biasanya pelit pujian, menepuk pundak Radit dengan bangga. “Kamu selamat, Radit. Dan mungkin… mungkin kamu emang punya bakat,” katanya, membuat Radit tersenyum lebar untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu.
Sementara itu, Kira mendapat kabar baik dari rumah sakit. Operasi ibunya berhasil, dan meski pemulihannya akan panjang, dokter mengatakan bahwa ada harapan besar untuk sembuh. Kira merasa seperti beban di pundaknya sedikit terangkat, dan ia tahu bahwa ia harus menemui Radit.
Malam itu, mereka bertemu di trotoar depan Melodi Nusantara, di bawah lampu neon yang sama yang menjadi saksi pertemuan pertama mereka. Hujan baru saja reda, meninggalkan udara yang sejuk dan aroma tanah basah. Kira memandang Radit, matanya penuh dengan campuran rasa syukur dan cinta. “Aku baca suratmu,” katanya, suaranya lembut. “Dan aku dengerin kasetnya. Radit, aku… aku nggak tahu apa yang bakal terjadi besok, tapi aku tahu aku pengen hadepin semuanya sama kamu.”
Radit tersenyum, hatinya terasa seperti kaset yang akhirnya menemukan ritmenya lagi. Ia meraih tangan Kira, dan kali ini, ia tidak ragu. “Kita bakal hadepin semuanya bareng, Kira. Aku janji.”
Di bawah lampu neon yang berkedip, di tengah Jakarta yang riuh, mereka berdiri bersama, tangan mereka bertaut, hati mereka berdetak seirama. Kisah mereka belum selesai—masih ada mimpi yang harus dikejar, luka yang harus sembuh, dan tantangan yang harus dihadapi. Tapi untuk saat ini, di bawah cahaya neon yang lembut, mereka tahu bahwa mereka punya satu sama lain, dan itu sudah cukup untuk membuat dunia terasa seperti lagu yang indah.
Cinta di Bawah Lampu Neon 2000 bukan sekadar cerita cinta, melainkan perjalanan emosional yang menggambarkan perjuangan, mimpi, dan harapan di tengah hiruk-pikuk Jakarta tahun 2000. Dengan detail yang kaya dan alur yang memikat, cerpen ini akan meninggalkan kesan mendalam di hati Anda, mengingatkan bahwa cinta sejati selalu menemukan jalannya, bahkan di bawah kilau lampu neon yang sederhana. Jangan lewatkan kisah Radit dan Kira yang akan membuat Anda tertawa, menangis, dan percaya pada kekuatan cinta.
Terima kasih telah menyimak ulasan tentang Cinta di Bawah Lampu Neon 2000! Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menyelami lebih banyak cerita cinta yang penuh makna. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa untuk terus mengejar mimpi Anda, seperti Radit dan Kira di bawah cahaya neon!


