Daftar Isi
Cinta pada Pria Angkuh adalah cerpen roman dewasa yang memikat, mengisahkan perjalanan emosional Damayanti Kusuma, seorang desainer interior 28 tahun di Jakarta tahun 2024, yang jatuh cinta pada Raditya Wijaya, seorang pengusaha angkuh dan sukses. Cerita ini merinci konflik batin, ketegangan sosial, dan transformasi cinta di tengah kesombongan, dihiasi simbolisme sketsa dan laut. Penuh dengan emosi mendalam dan plot yang menegangkan, cerpen ini mengajak Anda menyelami kisah cinta yang tak biasa. Siapkah Anda terbawa dalam petualangan hati ini?
Cinta pada Pria Angkuh
Pertemuan di Balik Cahaya Senja
Langit Jakarta pada awal Juli 2024 tampak dipenuhi oleh warna jingga yang memudar, sinar matahari sore memantul di kaca-kaca gedung pencakar langit di kawasan Sudirman. Di sebuah kafe modern bernama Kopi Lestari, berdiri seorang wanita bernama Damayanti Kusuma, usianya 28 tahun, dengan rambut cokelat panjang yang tergerai hingga pinggang dan mata hazel yang penuh kepekaan. Ia bekerja sebagai desainer interior, tangannya sering penuh tinta dan sketsa, dan hari itu ia duduk di sudut kafe dengan laptop tua yang penuh goresan, mencoba menyelesaikan proyek untuk klien kaya.
Damayanti berasal dari keluarga sederhana di Yogyakarta, pindah ke Jakarta lima tahun lalu untuk mengejar mimpinya. Apartemen kecilnya di daerah Tebet penuh dengan kain perca, buku desain, dan tanaman hias yang ia rawat dengan penuh cinta. Ayahnya, seorang pensiunan guru, telah meninggal tiga tahun lalu, meninggalkan ibunya, Sri Wulan, yang kini tinggal sendirian dan sering menelepon untuk meminta kabar. Hidup Damayanti tak mudah—tagihan listrik menumpuk, dan proyek terakhirnya ditunda karena klien yang tak puas—tetapi ia selalu menemukan kekuatan dalam sketsa-sketsa yang ia gambar di malam hari.
Di kafe itu, Damayanti sering menghabiskan waktu sore, menikmati aroma kopi hitam dan suara derit kursi kayu. Pada 5 Juli 2024, sebuah kejadian mengubah hidupnya. Seorang pria tinggi dengan rambut hitam rapi dan sorot mata tajam masuk ke kafe, mengenakan jas mahal yang tampak mahal dan jam tangan berlian yang berkilau. Namanya Raditya Wijaya, usia 32 tahun, seorang pengusaha sukses yang dikenal angkuh dan dingin di kalangan bisnis. Ia duduk di meja sebelah, memerintahkan kopi tanpa gula dengan suara yang penuh otoritas, dan tak menyapa siapa pun.
Raditya Wijaya adalah putra seorang konglomerat properti, hidup di sebuah vila mewah di Pantai Indah Kapuk dengan pemandangan laut yang luas. Hidupnya penuh dengan rapat, kontrak jutaan rupiah, dan ekspektasi keluarga untuk mempertahankan kekayaan. Wajahnya tampan, tetapi sikapnya sering membuat orang menjauh—ia berjalan dengan angkuh, bicara dengan nada merendahkan, dan tak pernah menunjukkan kelemahan. Di kafe itu, ia tampak sibuk dengan tabletnya, mengetik dengan cepat, sementara aroma parfum mahalnya memenuhi udara.
Damayanti tak sengaja menumpahkan kopinya saat buru-buru mengambil buku catatan, dan cairan panas itu mengenai jas Raditya. Pria itu menoleh dengan muka marah, matanya menyipit, dan untuk sesaat Damayanti merasa seperti dunia berhenti. Ia meminta maaf berulang-ulang, tangannya gemetar saat mengambil tisu, tetapi Raditya hanya mendengus, mengusap jasnya dengan gerakan kasar, dan berkata sesuatu yang tak terdengar jelas sebelum kembali ke tabletnya. Malu membakar wajah Damayanti, dan ia buru-buru membayar kopi sebelum meninggalkan kafe dengan hati berdebar.
Malam itu, Damayanti duduk di apartemennya, menatap langit kota yang dipenuhi lampu, dan merasa seperti ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Ia menggambar sketsa pria itu tanpa sadar, wajah angkuhnya muncul di kertas dengan detail yang mengejutkan—mata tajam, rahang tegas, dan sorot dingin yang tak bisa dilupakannya. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tetapi bayangan Raditya terus hadir, mengganggu pikirannya saat ia mencoba tidur di kasur tipisnya. Angin malam bertiup melalui jendela, membawa aroma hujan jauh, dan Damayanti merasa seperti hatinya mulai terpikat oleh seseorang yang bahkan tak mengenalnya.
Hari-hari berikutnya, Damayanti sering melihat Raditya di kafe yang sama, selalu dengan sikap sombong dan tatapan yang acuh. Ia mencoba menghindari meja pria itu, memilih sudut yang lebih jauh, tetapi matanya tak bisa berhenti melirik. Raditya tampak sibuk, sering menerima telepon dengan suara keras, dan sekali waktu ia melihat pria itu tersenyum tipis saat membaca pesan—senyum yang membuat Damayanti merasa ada sisi manusiawi di balik sikap angkuhnya. Ia menulis di buku catatannya: “Mengapa aku tergoda oleh seseorang seangkuh itu?”
Pada 12 Juli 2024, Damayanti mendapat proyek baru dari sebuah perusahaan properti besar, dan saat presentasi di kantor, ia terkejut melihat Raditya sebagai direktur utama. Pria itu duduk di ujung meja rapat, memandang presentasinya dengan ekspresi datar, dan sesekali memberikan komentar sinis tentang desainnya. Damayanti merasa dipermalukan, tangannya berkeringat saat menggenggam pointer, tetapi ia berusaha menjaga wibawanya. Setelah rapat, Raditya memanggilnya ke ruangan pribadinya, memberikan saran dingin tentang perbaikan, dan Damayanti meninggalkan kantor dengan hati campur aduk—marah, tersinggung, tetapi juga tertarik.
Malam itu, Damayanti duduk di balkon apartemennya, menatap lampu kota yang berkelap-kelip, dan merasa seperti ada tarik-menarik di dalam dirinya. Ia menggambar lagi, kali ini dengan lebih detail, menambahkan bayangan senja di belakang wajah Raditya. Hujan turun pelan, membasahi jendela, dan Damayanti menulis di buku catatannya: “Aku benci sikapnya, tetapi ada sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih dalam.” Cahaya senja yang memudar tampak mencerminkan perasaan yang mulai tumbuh, sebuah cinta yang lahir dari pertemuan tak terduga, penuh dengan emosi dan ketidakpastian.
Bayang di Tengah Kesombongan
Langit Jakarta pada pertengahan Juli 2024 tampak diselimuti awan tebal, hujan rintik-rintik membasahi jalanan Sudirman dan memantul di kaca gedung-gedung tinggi. Di kafe Kopi Lestari, Damayanti Kusuma, usia 28 tahun, duduk di sudut dengan laptop tua yang penuh goresan, tangannya sibuk menggambar sketsa desain untuk proyek Raditya Wijaya. Rambut cokelat panjangnya tergerai, mata hazelnya penuh konsentrasi, tetapi pikirannya kerap melayang ke pria angkuh yang kini menjadi kliennya. Di sampingnya, tergeletak buku catatan berisi sketsa wajah Raditya dan catatan emosi yang ia tulis sendiri.
Proyek dengan perusahaan Raditya membawa Damayanti ke dalam dunia yang asing baginya. Ia sering dipanggil ke vila mewah di Pantai Indah Kapuk, tempat Raditya tinggal, sebuah rumah besar dengan kolam renang kristal dan taman tropis yang terawat. Ruang kerjanya dipenuhi dokumen dan lukisan mahal, dan setiap kali Damayanti datang, ia merasa seperti masuk ke dunia yang tak bisa disentuhnya. Raditya, usia 32 tahun, selalu menyambutnya dengan tatapan dingin, memberikan instruksi tajam tentang desain, dan kadang-kadang mengabaikannya sepenuhnya saat sibuk dengan telepon.
Hidup Raditya penuh dengan kemewahan, tetapi juga kesepian yang tersembunyi. Ia sering berdiri di balkon vila, memandangi laut yang bergoyang, dengan segelas wiski di tangan, dan wajahnya menunjukkan sedikit keraguan di balik sikap angkuhnya. Damayanti memperhatikan detail itu—cara tangannya bergetar saat memegang gelas, atau saat ia menatap kosong ke kejauhan—dan merasa ada luka di balik sifat sombongnya. Ia sering pulang ke apartemen Tebet dengan hati berdebar, menggambar sketsa baru, dan menulis di buku catatannya: “Apakah dia seangkuh yang kulihat?”
Pada 18 Juli 2024, Damayanti mendapat kritik keras dari Raditya saat presentasi di vila. Pria itu berdiri dengan tangan bersedekap, mengatakan desainnya “terlalu biasa” dan “tak pantas untuk reputasinya,” suaranya penuh nada merendahkan. Damayanti merasa dipermalukan di depan timnya, wajahnya memerah, tetapi ia menelan rasa sakit dan berjanji memperbaiki. Malam itu, ia duduk di balkon apartemen, hujan turun deras, dan air matanya bercampur dengan tetesan hujan di jendela. Ia menggambar wajah Raditya lagi, kali ini dengan ekspresi sedih, dan merasa seperti hatinya terbuka untuknya meski ia membencinya.
Hari-hari berikutnya, Damayanti bekerja keras, menghabiskan malam demi malam untuk menyempurnakan desain, tangannya penuh tinta dan kopi dingin di mejanya. Raditya tampak terkesan saat presentasi berikutnya pada 22 Juli 2024, memberikan anggukan kecil yang jarang ia tunjukkan, tetapi tak ada pujian lisan. Damayanti merasa seperti menangkap kilatan kekaguman di matanya, dan itu membuat hatinya bergetar. Ia mulai memperhatikan detail lain—cara Raditya tersenyum tipis saat membaca laporan, atau saat ia memandang laut dengan mata kosong—dan perasaannya semakin rumit.
Pada 25 Juli 2024, sebuah kejadian kecil mengubah dinamika mereka. Damayanti tersandung di tangga vila saat membawa dokumen, dan Raditya, dengan refleks cepat, menahannya sebelum jatuh. Untuk sesaat, mereka saling menatap, jarak wajah mereka begitu dekat hingga Damayanti bisa merasakan aroma parfumnya. Pria itu melepaskannya dengan cepat, kembali ke sikap dinginnya, tetapi tangan Damayanti masih terasa hangat dari sentuhan itu. Ia pulang dengan hati berdebar, menggambar sketsa mereka berdua dalam pelukan, dan menulis: “Apakah dia juga merasakan ini?”
Malam-malam di apartemennya dipenuhi dengan bayangan Raditya. Damayanti sering terjaga, menatap langit kota yang berkelap-kelip, dan merasa seperti cinta itu tumbuh di tengah kesombongan pria itu. Ia tahu Raditya tak akan pernah mengakui perasaan, sikap angkuhnya menjadi tembok yang tinggi, tetapi hatinya terus tertarik, penuh dengan emosi yang sulit dijelaskan. Di buku catatannya, ia menulis: “Aku terjebak dalam bayangnya, dan aku tak bisa melupakannya.” Hujan terus turun di luar, mencerminkan air mata yang ia tahan, dan cinta itu semakin dalam, meski penuh dengan luka.
Retaknya Tembok Angkuh
Langit Jakarta pada akhir Juli 2024 tampak diselimuti awan kelabu, hujan deras membasahi jalanan Sudirman dan menggenangi trotoar di depan kafe Kopi Lestari. Di dalam apartemen kecil Damayanti Kusuma di Tebet, wanita berusia 28 tahun itu duduk di meja kayu tua, tangannya gemetar saat menggambar sketsa wajah Raditya Wijaya di buku catatannya. Rambut cokelat panjangnya tergerai acak-acakan, mata hazelnya penuh perenungan, dan di sekitarnya terdapat cangkir kopi dingin serta kain perca yang berserakan. Di luar, suara hujan bercampur dengan derit jendela tua, menciptakan suasana melankolis yang sesuai dengan perasaannya.
Proyek dengan Raditya membawa Damayanti lebih dalam ke dalam kehidupannya. Ia sering dipanggil ke vila mewah di Pantai Indah Kapuk, tempat Raditya, usia 32 tahun, tinggal dengan kemewahan yang mencolok—kolam renang kristal, taman tropis, dan lukisan mahal di dinding. Raditya tetap menunjukkan sikap angkuhnya, memberikan kritik tajam tentang desain dengan nada merendahkan, tetapi Damayanti mulai melihat celah di balik topengnya. Kadang-kadang, saat pria itu berdiri di balkon dengan segelas wiski, matanya menunjukkan kesepian yang dalam, dan itu membuat hati Damayanti bergetar.
Pada 28 Juli 2024, sebuah kejadian kecil mengubah segalanya. Saat Damayanti mengantarkan revisi desain, ia menyaksikan Raditya berdebat hebat dengan ibunya melalui telepon, suaranya penuh amarah tetapi juga rasa frustrasi. Setelah panggilan selesai, pria itu duduk di sofa dengan wajah pucat, tangannya menutup mata, dan untuk pertama kalinya Damayanti melihat sisi rentannya. Ia tak berani mendekat, tetapi meninggalkan secangkir teh hangat di meja sebelum pergi, sebuah tanda kecil kasih yang tak pernah ia akui. Malam itu, ia menggambar sketsa Raditya dengan ekspresi rapuh, dan menulis di buku catatannya: “Apakah dia manusia di balik kesombongannya?”
Hari-hari berikutnya, Damayanti mulai memperhatikan detail lain. Raditya kadang tersenyum tipis saat membaca laporan, atau memandang laut dengan mata kosong, dan itu membuat Damayanti merasa seperti ada ikatan tak terucap di antara mereka. Ia bekerja lebih keras, menghabiskan malam demi malam di apartemennya, tangannya penuh tinta dan kopi tumpah di meja. Pada 2 Agustus 2024, Raditya memuji desainnya untuk pertama kalinya, sebuah anggukan kecil yang terasa seperti kemenangan besar, dan Damayanti pulang dengan hati berdebar, menggambar mereka berdua di tepi laut.
Pada 5 Agustus 2024, hujan deras membanjiri Jakarta, dan Damayanti terjebak di vila Raditya saat menyelesaikan presentasi. Listrik padam, dan mereka terpaksa bekerja dengan lilin, duduk berhadapan di meja kayu besar. Cahaya lilin berkelap-kelip, menciptakan bayangan di wajah Raditya, dan untuk sesaat ia tampak lembut, matanya menatap Damayanti dengan intensitas yang tak biasa. Angin bertiup melalui jendela terbuka, membawa aroma laut, dan Damayanti merasa seperti tembok angkuh Raditya mulai retak. Ia meninggalkan vila dengan hati penuh harap, menulis di buku catatannya: “Aku melihat hatinya hari ini.”
Namun, sikap Raditya tetap dingin di hari-hari berikutnya. Ia kembali mengkritik desain dengan nada sinis, membuat Damayanti merasa dipermalukan lagi, dan ia sering pulang dengan air mata yang ditahan. Malam-malam di apartemennya dipenuhi dengan sketsa dan puisi, menggambarkan cinta yang sulit diraih, dan Damayanti merasa seperti terjebak dalam emosi yang membingungkan. Pada 10 Agustus 2024, ia menemukan surat lama di mejanya, dari Raditya, meminta maaf atas kritiknya, dan itu membuat hatinya bergetar lebih dalam.
Damayanti mulai mencari cara mendekatinya. Ia meninggalkan sketsa kecil di mejanya, menggambarkan vila dengan sentuhan hangat, dan Raditya tampak terkejut saat melihatnya, matanya menyipit seolah mencoba memahami. Pada 15 Agustus 2024, saat hujan reda, mereka berjalan di taman vila, dan Raditya tanpa sengaja menyentuh tangannya saat menunjuk pohon palem. Sentuhan itu singkat, tetapi membuat Damayanti merasa seperti ada harapan. Ia pulang dengan hati penuh mimpi, menggambar mereka berdua di bawah pohon, dan menulis: “Aku ingin dia melihatku.”
Tembok angkuh Raditya mulai retak, tetapi perjalanan cinta mereka masih penuh rintangan. Damayanti sering terjaga di malam hari, menatap langit kota yang berkelap-kelip, dan merasa seperti cinta itu tumbuh di tengah kesombongan pria itu. Ia tahu Raditya tak akan mudah membuka hati, tetapi setiap tanda kecil—sebuah anggukan, sebuah surat, sebuah sentuhan—menjadi cahaya yang membimbingnya. Di buku catatannya, ia menulis: “Aku akan terus mencoba, meski hatiku terluka.”
Cinta di Balik Masker
Langit Jakarta pada pertengahan Agustus 2024 tampak jernih, sinar matahari sore memantul di kaca gedung-gedung Sudirman dan menciptakan kilauan emas di tepi jalan. Di vila mewah Raditya Wijaya di Pantai Indah Kapuk, Damayanti Kusuma, usia 28 tahun, berdiri di taman tropis, tangannya memegang buku catatan berisi sketsa dan puisi untuk pria yang telah mengubah hidupnya. Rambut cokelat panjangnya tertiup angin laut, mata hazelnya penuh harap, dan di sekitarnya terdapat bunga-bunga yang ia tanam sebagai hadiah kecil untuk vila itu.
Perjalanan cinta Damayanti dan Raditya mencapai puncaknya setelah berbulan-bulan penuh emosi. Raditya, usia 32 tahun, mulai menunjukkan sisi lain di balik sikap angkuhnya. Ia sering membiarkan Damayanti tinggal lebih lama di vila, duduk bersama di balkon dengan segelas teh, dan kadang-kadang berbagi cerita tentang masa kecilnya—tentang ayahnya yang keras dan ekspektasi keluarga yang membebani. Damayanti mendengarkan dengan hati terbuka, menggambar sketsa wajahnya yang lembut di malam hari, dan merasa seperti masker kesombongan Raditya perlahan terlepas.
Pada 20 Agustus 2024, Raditya mengundang Damayanti ke acara amal yang ia adakan, sebuah langkah langka yang menunjukkan kepercayaannya. Damayanti mengenakan gaun sederhana yang ia desain sendiri, merasa seperti masuk ke dunia baru saat berjalan di samping Raditya di antara tamu-tamu kaya. Pria itu memperkenalkannya sebagai “desainer berbakat,” sebuah pujian yang membuat hatinya bergetar, tetapi sikap dinginnya tetap ada saat berbicara dengan yang lain. Malam itu, di sudut ballroom, Raditya memegang tangannya sebentar, dan Damayanti merasa seperti cinta mereka akhirnya diakui.
Hari-hari berikutnya, hubungan mereka berkembang perlahan. Raditya mulai mengirim pesan singkat, meminta pendapat tentang desain atau sekadar bertanya kabar, dan Damayanti menjawab dengan hati-hati, takut merusak momen rapuh itu. Pada 25 Agustus 2024, ia menemukan buket bunga liar di mejanya, ditinggalkan Raditya sebagai tanda diam-diam, dan itu membuatnya menangis tersedu di apartemennya. Ia menggambar mereka berdua di taman, menulis di buku catatannya: “Aku percaya dia mencintaiku.”
Namun, rintangan tetap ada. Ibunya Raditya menentang hubungan mereka, menganggap Damayanti tak pantas karena latar belakangnya yang sederhana, dan pria itu sering terlihat tegang setelah panggilan telepon dengannya. Damayanti merasa tertekan, sering duduk di balkon apartemennya dengan air mata, tetapi ia tak menyerah. Pada 30 Agustus 2024, ia membuat kejutan dengan mendesain ulang ruang tamu vila, menambahkan sentuhan hangat yang mencerminkan hatinya, dan Raditya terpana, untuk pertama kalinya memeluknya dengan erat.
Pada 5 September 2024, Raditya mengajak Damayanti ke tepi laut di malam hari, membawakan syal untuk menutupi pundaknya dari angin. Di bawah cahaya bulan, ia mengakui perasaannya, mengatakan bahwa Damayanti telah melunakkan hatinya yang keras, dan meminta maaf atas sikapnya di masa lalu. Damayanti menangis, merasa seperti mimpi menjadi nyata, dan mereka saling berpelukan di pasir, ombak laut menjadi saksi cinta mereka. Ia menulis di buku catatannya: “Cinta kita menang atas segalanya.”
Hari-hari berikutnya, mereka membangun hidup bersama. Raditya mulai mengurangi jadwal kerjanya, sering mengunjungi apartemen Damayanti, dan mereka merencanakan masa depan di sebuah rumah kecil yang ia desain. Ibunya akhirnya menerima, membawa hadiah tradisional sebagai tanda damai, dan keluarga Damayanti di Yogyakarta menyambut Raditya dengan hangat. Pada 10 September 2024, mereka mengadakan makan malam sederhana di vila, penuh tawa dan harapan, dan Damayanti merasa seperti masker angkuh Raditya telah lenyap, digantikan oleh cinta yang tulus.
Di tepi laut yang sama, Damayanti berdiri dengan Raditya, memandangi ombak yang bergoyang, dan merasa seperti cinta mereka telah mengubah segalanya. Ia menggambar sketsa terakhir, menggambarkan mereka berdua di bawah bulan, dan menulis: “Aku menemukan hatinya, dan aku tak akan melepaskannya.” Angin laut bertiup lembut, membawa aroma garam, dan cinta mereka berdiri kokoh di balik masker yang pernah memisahkan.
Cinta pada Pria Angkuh adalah kisah roman dewasa yang memukau, menggambarkan bagaimana Damayanti dan Raditya mengatasi kesombongan dan rintangan sosial untuk menemukan cinta sejati di Jakarta tahun 2024. Dari kritik tajam hingga pelukan di tepi laut, cerita ini meninggalkan pesan mendalam tentang kekuatan pengampunan dan transformasi, menginspirasi Anda untuk percaya pada keajaiban cinta. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan kehangatan kisah ini!
Terima kasih telah menyelami Cinta pada Pria Angkuh. Semoga cerita ini membawa inspirasi dan kelembutan dalam hati Anda, mengajak Anda percaya pada kekuatan cinta yang dapat mengubah segalanya. Sampai jumpa di kisah roman berikutnya, dan tetaplah menjaga api hati Anda!


