Daftar Isi
“Rintik Tangis Semut Cokelat” adalah cerpen epik yang memikat hati, berlatar di Surabaya dan Malang tahun 2024, mengisahkan perjalanan emosional Salsabila Merpati dalam mengenang persahabatan mendalamnya dengan Rangga Purnama, yang tragis hilang dalam banjir. Cerita ini merinci kenangan masa kecil, simbolisme semut cokelat, dan rintik hujan yang menjadi saksi tangis tak terucap. Penuh dengan emosi sedih namun penuh harapan, cerpen ini mengajak Anda menyelami kekuatan cinta dan ketahanan di tengah duka. Siapkah Anda terbawa dalam kisah yang menghangatkan dan menyayat jiwa ini?
Rintik Tangis Semut Cokelat
Hujan di Atas Lembah Hening
Langit Surabaya pada akhir September 2024 terlihat suram, diselimuti awan kelabu yang tampak seperti selimut tebal menyelimuti kota pelabuhan itu. Hujan rintik-rintik turun sejak pagi, membawa udara dingin yang meresap ke setiap sudut gang-gang kecil di kawasan Wonokromo. Di sebuah rumah tua bercat hijau yang mulai mengelupas, berdiri seorang wanita bernama Salsabila Merpati, usianya 29 tahun, dengan rambut panjang yang tergerai acak-acakan. Matanya yang cokelat tua menatap kosong ke arah jendela, tempat tetesan air hujan mengalir perlahan di kaca buram. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak kayu kecil yang penuh dengan benda-benda kecil—semut-semut cokelat kering yang telah ia kumpulkan sejak kecil, peninggalan dari seorang anak kecil yang dulu menjadi sahabatnya, Rangga Purnama.
Rumah tua itu terletak di ujung gang sempit, dikelilingi oleh pepohonan jati yang rimbun dan suara jangkrik yang mulai terdengar saat senja tiba. Salsabila tinggal sendirian di sana sejak kepindahannya dari kampung halamannya di Malang dua tahun lalu, meninggalkan kenangan yang terlalu berat untuk dijinjing. Kotak kayu itu adalah satu-satunya yang ia bawa dari masa kecilnya, bersama dengan sebuah buku harian berwarna cokelat yang penuh dengan coretan-coretan sederhana dan gambar-gambar semut yang dibuat oleh tangan kecil Rangga. Setiap kali hujan turun, seperti hari ini, 28 September 2024, Salsabila merasa seperti dunia berhenti, dan hanya suara rintik hujan yang mengisi keheningan.
Salsabila dan Rangga bertemu pertama kali ketika mereka berusia tujuh tahun, di sebuah ladang jagung di tepi desa Malang. Salsabila, yang kala itu sering merasa kesepian karena orang tuanya sibuk bekerja di pasar, menemukan Rangga sedang duduk di bawah pohon jati, mengamati semut-semut cokelat yang berbaris membawa remah-remah makanan. Anak laki-laki itu, dengan rambut hitam acak-acakan dan mata penuh rasa ingin tahu, tersenyum kecil padanya, lalu menawarkan sebuah semut kering yang ia simpan di saku celananya. “Ini spesial,” katanya pelan, seolah itu adalah harta karun. Dari situlah persahabatan mereka dimulai, tumbuh di antara ladang, sungai, dan hujan-hujan kecil yang sering mengguyur desa.
Mereka memiliki ritual sederhana: mengumpulkan semut-semut cokelat yang mati setelah hujan, menyimpannya dalam kotak kayu tua yang ditemukan Rangga di gudang kakeknya, dan memberikan nama untuk setiap semut. Ada “Semut Jago” yang kuat membawa remah besar, “Semut Lari” yang selalu tercepat, dan “Semut Diam” yang hanya duduk di sudut kotak. Salsabila selalu tertawa melihat Rangga begitu serius memberi nama, tapi di hatinya ia merasa hangat, karena itu adalah dunia kecil yang hanya mereka pahami. Rangga, dengan tangannya yang penuh luka dari memanjat pohon dan celananya yang selalu kotor, menjadi sahabat yang tak pernah ia duga akan meninggalkannya.
Kehilangan itu terjadi pada 12 Oktober 2023, sebuah hari yang Salsabila ingat dengan jelas meski ia berusaha melupakannya. Rangga, yang kala itu berusia 28 tahun dan bekerja sebagai petani di desa, terseret banjir hebat yang melanda Malang setelah hujan deras selama tiga hari berturut-turut. Salsabila, yang sedang berada di Surabaya untuk urusan kuliahnya, hanya menerima kabar melalui telepon dari ibunya: “Rangga nggak selamat, Bila. Dia hilang di sungai.” Hujan yang turun saat itu terasa seperti tangisan langit, dan sejak hari itu, setiap rintik hujan membawa bayang Rangga kembali ke pikirannya.
Salsabila tak pernah benar-benar pulih dari kehilangan itu. Ia pindah ke Surabaya, meninggalkan desa yang penuh kenangan, tapi kotak semut dan buku harian Rangga selalu ia bawa, seperti jangkar yang menahannya agar tak hanyut. Hari ini, saat hujan turun dengan lembut, ia membuka kotak kayu itu, memandangi semut-semut cokelat yang telah rapuh, dan merasa seperti Rangga masih ada di sisinya, mengamati barisan kecil itu dengan mata penuh semangat. Di buku harian, ia menemukan tulisan Rangga yang sederhana: “Semut cokelat nggak pernah menyerah, kayak kita, Bila.”
Hujan semakin deras, dan Salsabila duduk di lantai kayu yang dingin, memeluk kotak itu erat-erat. Ia mengingat hari-hari di ladang jagung, ketika mereka berlari di bawah hujan, tertawa saat lumpur menempel di kaki mereka, dan bersembunyi di bawah pohon jati saat petir menyambar. Rangga selalu bilang bahwa hujan adalah cara alam menangis, dan semut-semut cokelat adalah prajurit kecil yang tetap bertahan meski dunia runtuh. Kini, Salsabila merasa seperti semut itu—kecil, rapuh, tapi terus bergerak meski hatinya hancur.
Malam itu, Salsabila memutuskan untuk pergi ke sebuah taman kecil di dekat rumahnya, tempat ia sering duduk sendirian saat rindu menyerang. Ia membawa kotak semut dan buku harian, memakai mantel tua warna cokelat yang dulu sering dipinjamnya dari Rangga. Taman itu sepi, hanya ada suara hujan yang menyentuh daun-daun dan genangan air yang berkilau di bawah lampu jalan. Ia duduk di bangku kayu yang sudah usang, membuka kotak kayu, dan meletakkan semut-semut itu di atas rumput basah. Ia membayangkan Rangga di sisinya, tersenyum kecil sambil mengamati semut-semut itu, dan untuk pertama kalinya dalam setahun, air matanya jatuh, bercampur dengan rintik hujan.
Salsabila menulis di buku harian itu, mencoret-coret dengan tangan gemetar: “Rangga, aku rindu kamu. Hujan ini kayak tangismu, dan aku nggak tahu cara berhenti nangis.” Ia menutup buku itu, memandang langit yang kelabu, dan merasa seperti Rangga menatapnya dari balik awan. Rintik hujan terasa seperti tangisan kecil, seperti semut-semut cokelat yang terus berjalan meski dunia runtuh di sekitar mereka.
Jejak di Balik Reruntuhan
Hujan di Surabaya pada awal Oktober 2024 tampak tak pernah usai, menciptakan genangan air di setiap sudut jalan dan membuat udara terasa lembap. Salsabila Merpati bangun di pagi yang dingin, dengan selimut tipis yang tak mampu menghalau dingin yang merembes dari lantai kayu rumah tuanya. Matanya sembab, seolah ia menangis dalam tidurnya, dan di tangannya masih memegang buku harian cokelat yang ia tulis tadi malam. Kotak kayu berisi semut-semut cokelat duduk di samping tempat tidurnya, terbuka sedikit, menunjukkan isi yang rapuh di dalamnya. Hari ini, 3 Oktober 2024, terasa seperti hari yang berat, sebuah pengingat bahwa satu tahun telah berlalu sejak kehilangan Rangga Purnama.
Salsabila berdiri perlahan, mengenakan sepasang sandal tua yang sudah usang, dan berjalan ke dapur kecil untuk menyeduh teh hangat. Aroma teh jahe mengisi ruangan, tapi tak mampu menghapus rasa kosong di dadanya. Di meja dapur, ia menemukan sebuah amplop cokelat yang ia temukan di antara barang-barang Rangga saat mengunjungi desa Malang beberapa bulan lalu. Amplop itu belum ia buka, takut akan apa yang tersembunyi di dalamnya. Tapi pagi itu, dengan hujan yang masih turun di luar, ia merasa ada dorongan untuk membukanya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Salsabila merobek amplop itu dan mengeluarkan selembar kertas lipat yang ditulis dengan tinta hitam yang sedikit luntur. Tulisan tangan Rangga yang khas—sedikit miring dan penuh semangat—muncul di hadapannya:
Bila,
Kalau kamu baca ini, mungkin aku udah nggak ada. Aku nulis ini di bawah pohon jati, pas hujan gerimis kayak biasa. Aku pengen kamu tahu, kamu adalah temen terbaikku. Aku selalu takut bilang ini, tapi aku suka lihat kamu tersenyum, kayak semut cokelat yang ketemu remah besar. Jangan berhenti hidup, ya. Kotak semut itu buat kamu, biar kamu inget aku selalu di sisi kamu.
Rangga.
Salsabila menutup mata, membiarkan air mata jatuh ke kertas itu, mengaburkan beberapa kata. Surat itu seperti pukulan lembut di hatinya, membawa kembali kenangan tentang Rangga yang selalu tersenyum meski hidupnya penuh tantangan. Ia ingat malam-malam di ladang jagung, ketika mereka duduk di bawah pohon jati, mengamati semut-semut berjalan sambil berbagi cerita tentang mimpi mereka. Rangga ingin menjadi petani sukses, tapi bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk membantu keluarganya yang miskin. Salsabila, di sisi lain, ingin menjadi penulis, tapi ia selalu ragu apakah tulisannya akan pernah dibaca orang.
Malam itu, Salsabila tak bisa tidur. Ia duduk di lantai ruang tamu, memandangi kotak semut dan buku harian, dan merasa seperti Rangga meninggalkan jejak untuknya. Ia mengambil pena dan mulai menulis lagi, mencoret-coret halaman baru dengan cerita tentang masa kecil mereka. Ia menulis tentang hujan pertama yang mereka sambut bersama, tentang semut-semut yang mereka beri nama, dan tentang pohon jati yang menjadi saksi bisu persahabatan mereka. Setiap kata terasa seperti cara untuk menggenggam Rangga, meski hanya dalam ingatan.
Keesokan harinya, Salsabila memutuskan untuk kembali ke Malang, ke desa tempat ia dan Rangga tumbuh. Ia ingin mengunjungi ladang jagung dan pohon jati, tempat mereka menghabiskan waktu berjam-jam. Ia membawa kotak semut, buku harian, dan mantel cokelat tua itu, seolah benda-benda itu adalah jembatan menuju masa lalu. Perjalanan dari Surabaya ke Malang memakan waktu beberapa jam, dan selama di bus, Salsabila memandang jendela, melihat hujan yang masih turun lembut di sepanjang jalan.
Sampai di desa, Salsabila berjalan perlahan menuju ladang jagung. Tanaman-tanaman itu tampak lebih tinggi sekarang, dan pohon jati berdiri kokoh seperti dulu, meski daun-daunnya sedikit rontok karena musim hujan. Ia duduk di bawah pohon itu, membuka kotak semut, dan meletakkan beberapa di atas akar pohon. Ia membayangkan Rangga di sisinya, mengamati semut-semut itu dengan mata penuh semangat, dan merasa seperti waktu berhenti. Di buku harian, ia menulis lagi: “Rangga, aku di sini, di pohon jati kita. Aku rindu tawa kamu.”
Hujan mulai turun lagi, rintik-rintik yang terasa seperti tangisan kecil. Salsabila membiarkan air hujan membasahi wajahnya, bercampur dengan air matanya. Ia memandang langit kelabu, mencoba menemukan Rangga di antara awan, dan merasa seperti semut-semut cokelat itu masih berjalan, membawa harapan kecil di tengah reruntuhan hatinya.
Bayang di Tengah Hujan Lebat
Hujan di Malang pada pertengahan Oktober 2024 tampak tak pernah reda, menciptakan sungai-sungai kecil di antara ladang jagung dan jalan setapak yang licin. Salsabila Merpati masih berada di desa tempat ia tumbuh, duduk di bawah pohon jati yang kini tampak lebih tua, dengan akar-akarnya yang menonjol dari tanah basah. Udara dingin menusuk tulang, dan mantel cokelat tua yang ia kenakan dari Rangga Purnama terasa lembap di pundaknya. Di tangannya, ia memegang kotak kayu berisi semut-semut cokelat kering, sementara buku harian cokelat terbuka di pangkuannya, penuh dengan coretan-coretan baru yang ia tulis sejak kembali ke desa. Hari ini, 15 Oktober 2024, terasa seperti titik balik baginya, sebuah panggilan untuk menghadapi kenangan yang selama ini ia hindari.
Pohon jati itu berdiri tegak, menyediakan tempat perlindungan sementara dari hujan yang turun deras, meski daun-daunnya tak mampu menahan semua tetesan air. Salsabila memandangi semut-semut di kotak kayu, merenungkan bagaimana Rangga dulu begitu terpikat oleh ketahanan makhluk kecil itu. Ia mengingat hari-hari ketika mereka duduk di tempat yang sama, mengamati barisan semut yang terus bergerak meski hujan membanjiri tanah. Rangga selalu bilang bahwa semut cokelat adalah simbol perjuangan, dan kini Salsabila merasa seperti salah satu dari mereka—kecil, rapuh, tapi tetap berusaha melangkah.
Setelah membaca surat Rangga yang ditemukannya di Surabaya, Salsabila merasa ada dorongan untuk mencari lebih banyak jejaknya di desa. Ia memutuskan untuk mengunjungi rumah tua keluarga Rangga, yang kini ditinggalkan sejak kepergiannya. Rumah itu terletak di ujung desa, dikelilingi oleh semak-semak liar dan pohon pisang yang daunnya robek-robek akibat angin. Pintu kayu depan terbuka sedikit, menunjukkan tanda-tanda usang dengan cat yang mengelupas. Salsabila masuk perlahan, menginjak lantai yang berderit, dan disambut oleh aroma lembap kayu dan debu.
Di dalam, ia menemukan ruangan kecil yang penuh dengan kenangan—meja tua dengan permukaan penuh goresan, kursi rotan yang sudah miring, dan sebuah rak kayu yang berisi buku-buku tua dan beberapa alat pertanian. Di sudut ruangan, ia menemukan sebuah kotak kardus tua yang tersembunyi di balik kain lusuh. Dengan hati-hati, ia membukanya dan menemukan beberapa barang Rangga: sebuah topi jerami yang ia pakai saat bekerja di ladang, sepasang sepatu karet yang sudah rusak, dan sebuah buku sketsa kecil yang penuh dengan gambar-gambar sederhana—semut, jagung, dan pohon jati. Di halaman terakhir, ada sketsa wajahnya sendiri, digambar dengan pensil sederhana, dengan catatan kecil: “Salsabila, temenku selamanya.”
Air mata Salsabila jatuh, membasahi halaman buku itu. Ia memeluk buku sketsa itu erat-erat, merasa seperti Rangga berbicara kepadanya melalui garis-garis pensil itu. Ia membawa kotak kardus itu ke bawah pohon jati, duduk kembali di akar yang licin, dan mulai menelusuri setiap gambar. Ada sketsa ladang jagung di bawah hujan, semut-semut yang berbaris membawa remah, dan bahkan gambar sungai yang kini menjadi saksi kepergian Rangga. Setiap detail terasa seperti potongan jiwa Rangga, dan Salsabila merasa seperti sedang menyusun kembali dirinya melalui kenangan-kenangan itu.
Hujan semakin lebat, dan Salsabila memutuskan untuk tinggal di bawah pohon jati lebih lama. Ia mengeluarkan kotak semut dari saku mantelnya, meletakkan beberapa di atas akar pohon, dan membayangkan Rangga di sisinya, tersenyum kecil sambil mengamati semut-semut itu. Ia menulis di buku harian: “Rangga, aku nemuin sketsa kamu. Aku nggak tahu aku secantik ini di matamu. Aku rindu kamu, dan hujan ini kayak tangismu yang nggak berhenti.” Ia menutup buku itu, memandang langit yang kelabu, dan merasa seperti Rangga menatapnya dari balik awan.
Keesokan harinya, Salsabila memutuskan untuk membersihkan rumah tua Rangga sebagai penghormatan baginya. Ia membawa sapu, kain lap, dan ember air, bekerja perlahan di tengah hujan yang masih turun. Ia menyapu lantai yang penuh debu, membersihkan jendela yang buram, dan mengatur ulang barang-barang di rak. Di dapur kecil, ia menemukan sebuah toples kaca yang berisi gula merah, sesuatu yang Rangga suka simpan untuk semut-semutnya. Ia tersenyum kecil, mengingat bagaimana Rangga selalu membagi gula itu dengan semut-semut di ladang, dan kini ia merasa seperti melanjutkan ritual kecil itu.
Proses pembersihan itu berlangsung berhari-hari, dan Salsabila menemukan lebih banyak jejak Rangga—sebuah kalung tali dari kulit yang ia buat sendiri, sebuah pisau kecil untuk memotong jagung, dan bahkan sebuah surat pendek lagi yang terselip di balik rak. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang buru-buru:
Bila,
Kalau hujan datang lagi, jangan sedih. Aku selalu di sini, di pohon jati, di semut-semut. Jaga kotak itu ya, buat kita berdua.
Rangga.
Salsabila menangis tersedu, memeluk surat itu seolah itu adalah Rangga sendiri. Ia merasa seperti surat-surat itu adalah cara Rangga berbicara kepadanya, mengirimkan pesan dari dunia lain. Ia membawa semua barang itu ke bawah pohon jati, meletakkannya di sekitar akar, dan membiarkan hujan membasuhinya. Ia duduk di sana hingga malam tiba, memandangi semut-semut yang mulai muncul lagi di tanah basah, seolah menjawab panggilan Rangga.
Hari-hari berikutnya, Salsabila mulai menulis cerita tentang Rangga di buku harian dan buku sketsa itu. Ia menulis tentang masa kecil mereka, tentang hujan yang menjadi saksi persahabatan mereka, dan tentang semut-semut cokelat yang menjadi simbol ketahanan. Ia juga mulai menggambar, mencoba meniru gaya Rangga, dengan tangan yang gemetar tapi penuh semangat. Setiap garis pensil terasa seperti cara untuk menggenggam Rangga, meski hanya dalam bayangan.
Pada 20 Oktober 2024, Salsabila memutuskan untuk mengadakan ritual kecil di ladang jagung. Ia membawa kotak semut, buku sketsa, dan toples gula merah, lalu menyebarkannya di tanah di sekitar pohon jati. Ia membiarkan semut-semut hidup mengambil gula itu, membayangkan Rangga tersenyum di sisinya. Hujan turun lembut, dan Salsabila menulis di buku harian: “Rangga, aku kasih gula buat semutmu. Aku harap kamu seneng di sana.” Ia memandang langit, merasa seperti Rangga menjawab dengan rintik hujan yang jatuh di wajahnya.
Cahaya di Balik Kabut
Hujan di Malang pada akhir Oktober 2024 mulai mereda, digantikan oleh langit yang sedikit lebih cerah, meski kabut masih menyelimuti bukit-bukit di kejauhan. Salsabila Merpati berdiri di bawah pohon jati, memandangi ladang jagung yang kini mulai hijau kembali setelah banjir surut. Di tangannya, ia memegang kotak kayu berisi semut-semut cokelat, buku harian cokelat, dan buku sketsa Rangga Purnama. Hari ini, 31 Oktober 2024, terasa seperti penutup perjalanan emosionalnya, sebuah hari untuk mengucapkan selamat tinggal sekaligus menyambut awal baru.
Rumah tua Rangga kini tampak lebih hidup setelah Salsabila membersihkannya. Ia telah mengubah ruangan kecil itu menjadi tempat untuk mengenang, dengan meja tua yang kini berisi buku sketsa dan kotak semut, serta rak yang dihias dengan foto-foto lama yang ia temukan di kotak kardus. Di dinding, ia menempelkan gambar-gambar yang ia buat sendiri, menggambar semut, jagung, dan pohon jati dengan gaya yang perlahan menyerupai Rangga. Setiap hari, ia duduk di sana, menulis dan menggambar, merasa seperti Rangga ada di sisinya.
Pagi itu, Salsabila memutuskan untuk melakukan perjalanan terakhir ke sungai tempat Rangga hilang. Ia membawa semua barang yang ia temukan—kotak semut, buku sketsa, toples gula merah, dan mantel cokelat—seolah itu adalah persembahan untuk sahabatnya. Perjalanan ke sungai memakan waktu satu jam, melewati jalan setapak yang licin dan sawah-sawah yang masih basah. Sungai itu kini tenang, dengan air yang mengalir pelan di antara batu-batu besar, kontras dengan kekacauan banjir tahun lalu.
Salsabila duduk di tepi sungai, meletakkan kotak semut di atas batu datar, dan membukanya. Ia mengeluarkan semut-semut kering satu per satu, meletakkannya di sepanjang tepi sungai, membayangkan Rangga mengamati barisan kecil itu. Ia membuka buku sketsa, menelusuri sketsa wajahnya yang dibuat Rangga, dan menulis di halaman terakhir: “Rangga, aku lepaskan kamu hari ini. Aku rindu kamu, tapi aku janji bakal lanjut hidup, kayak semutmu.” Ia menaburkan gula merah ke air, membiarkannya larut, seolah memberi makan semut-semut yang tak terlihat.
Hujan turun lagi, rintik-rintik yang terasa seperti berkah. Salsabila membiarkan air membasahi wajahnya, bercampur dengan air matanya, dan merasa seperti Rangga menatapnya dari balik kabut. Ia memandang langit, mencari cahaya di antara awan, dan tersenyum kecil, merasa seperti Rangga ada di sana, tersenyum kembali. Ia meninggalkan sungai dengan hati yang lebih ringan, membawa mantel cokelat dan buku harian, tapi meninggalkan kotak semut di tepi sungai sebagai tanda perpisahan.
Kembali di rumah tua Rangga, Salsabila mulai menulis cerita lengkap tentang mereka berdua. Ia menamakan ceritanya “Rintik Tangis Semut Cokelat,” sebuah kisah tentang persahabatan, kehilangan, dan ketahanan. Ia menghabiskan hari-hari berikutnya dengan menulis, menggambar, dan mengajarkan anak-anak desa tentang semut-semut cokelat, berbagi cerita Rangga dengan dunia. Setiap kali hujan turun, ia duduk di beranda, memandang ladang jagung, dan merasa seperti Rangga masih ada, di setiap rintik, di setiap semut, di setiap nafas yang ia ambil.
Pada suatu malam yang cerah, Salsabila berdiri di beranda, memandang langit yang penuh bintang. Ia mencari bintang paling terang, seperti yang pernah Rangga katakan: “Kalau aku nggak ada, cari aku di bintang, Bila.” Ia tersenyum, merasa bahwa Rangga memang ada di sana, mengamatinya dengan senyum hangat. Rintik tangis semut cokelat itu tak lagi terasa seperti beban, tapi seperti lagu yang mengiringi hidupnya, sebuah pengingat bahwa cinta dan kenangan tak pernah benar-benar hilang.
“Rintik Tangis Semut Cokelat” adalah lebih dari sekadar cerita; ini adalah perjalanan menyentuh tentang bagaimana persahabatan dan kenangan dapat menjadi cahaya di tengah kegelapan. Melalui semut cokelat, pohon jati, dan rintik hujan, Salsabila menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidup, menghormati Rangga dengan setiap langkahnya. Cerpen ini mengajarkan kita untuk memeluk duka sebagai bagian dari cinta yang abadi, meninggalkan kesan mendalam yang akan menginspirasi Anda untuk menghargai setiap momen berharga. Jangan lewatkan kisah ini yang menyatu dengan jiwa!
Terima kasih telah menyelami ulasan tentang ‘Rintik Tangis Semut Cokelat’. Semoga cerita ini membawa kehangatan dan inspirasi dalam hati Anda, mengajak Anda untuk menghargai persahabatan dan ketahanan hidup. Sampai bertemu di petualangan cerita berikutnya, dan tetaplah menjaga semangat kecil di hati Anda!


