Daftar Isi
Rindu yang Tak Tersampaikan adalah sebuah cerpen epik berlatar Bandung tahun 2024, yang mengisahkan perjalanan Kirana Wulan dalam memeluk kenangan dan rindu yang tak pernah terucap kepada sahabat sekaligus cinta sejatinya, Arjuna Sastrawan. Cerita ini merangkai detail kehidupan, seni, dan emosi melalui lukisan, melodi kotak musik, dan bunga matahari yang penuh makna. Penuh dengan nuansa sedih namun inspiratif, cerpen ini akan membawa Anda ke dalam pusaran perasaan tentang cinta yang terpendam dan kekuatan untuk bangkit dari kehilangan. Siapkah Anda menyelami kisah yang akan mengoyak hati sekaligus menghangatkan jiwa?
Rindu yang Tak Tersampaikan
Bayang di Balik Kabut
Langit Bandung di akhir Oktober 2024 terbungkus kabut tebal yang menggantung rendah, seolah menyelimuti kota dengan selimut kelabu. Dataran tinggi yang biasanya dipenuhi warna-warni bunga dan hijau pepohonan kini tampak muram, dengan udara dingin yang meresap hingga ke tulang. Di sebuah rumah kayu sederhana di pinggir Lembang, duduk seorang perempuan muda bernama Kirana Wulan. Usianya baru 26 tahun, namun matanya menyimpan kedalaman yang tak sesuai dengan usianya, seolah ia telah melihat terlalu banyak kehilangan. Rambutnya yang ikal dan sepanjang bahu tergerai lepas, dan di tangannya ia memegang sebuah kotak musik tua berukir bunga melati, peninggalan dari seseorang yang pernah menjadi dunianya, Arjuna Sastrawan.
Rumah kayu itu, dengan dinding-dindingnya yang berderit saat angin bertiup, adalah tempat Kirana menghabiskan hari-harinya sejak setahun lalu, setelah kepindahannya dari Jakarta. Ia memilih Lembang untuk melarikan diri dari hiruk-pikuk kota, dari kenangan yang terus menghantuinya. Kotak musik itu adalah satu-satunya benda yang ia bawa dari kehidupan lamanya, selain sebuah buku sketsa yang penuh dengan gambar-gambar Arjuna. Setiap kali ia memutar tuas kotak musik itu, melodi lembut “Clair de Lune” mengalir, membawa kembali aroma kopi, tawa, dan malam-malam panjang yang mereka lalui bersama di sebuah kafe kecil di Jakarta.
Hari itu, 28 Oktober 2024, adalah hari yang seharusnya menjadi ulang tahun Arjuna yang ke-27. Kirana sengaja menutup laptopnya dan mengabaikan email-email dari kantor desain grafis tempat ia bekerja sebagai freelancer. Ia ingin hari ini hanya untuknya dan Arjuna, meski hanya dalam bayang-bayang kenangan. Di meja kecil di sampingnya, terdapat secangkir teh chamomile yang sudah dingin dan sepiring roti bakar yang tak disentuh. Di luar, kabut semakin tebal, menyelimuti bukit-bukit di sekitar rumahnya, menciptakan suasana yang seolah memisahkan dunia nyata dari dunia mimpinya.
Kirana dan Arjuna bertemu tujuh tahun lalu, di sebuah pameran seni kecil di Jakarta. Kirana, yang kala itu masih mahasiswi desain komunikasi visual, sedang memamerkan karya ilustrasinya untuk pertama kalinya. Ia nervous, berdiri di sudut ruangan dengan gaun sederhana, tak yakin apakah ada yang akan memperhatikan karyanya. Arjuna, seorang pelukis amatir dengan semangat yang menyala-nyala, mendekatinya dengan senyum lebar dan mata yang penuh rasa ingin tahu. Ia mengomentari salah satu ilustrasi Kirana—sebuah gambar burung kolibri yang terbang di tengah hujan—dengan pujian yang tulus, namun juga dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Kirana berpikir. “Kenapa burung ini nggak takut hujan?” tanyanya, dan dari situlah percakapan mereka mengalir, seperti sungai yang tak pernah berhenti.
Sejak saat itu, mereka menjadi tak terpisahkan. Arjuna, dengan jaket denimnya yang selalu sedikit usang dan sketsa-sketsa yang ia buat di mana saja, menjadi sahabat sekaligus inspirasi Kirana. Mereka sering menghabiskan waktu di kafe kecil bernama “Senja” di daerah Cikini, tempat mereka berbagi sketsa, ide, dan mimpi. Arjuna ingin menjadi pelukis terkenal, tapi bukan untuk ketenaran, melainkan untuk menceritakan kisah-kisah yang tak terucap melalui kuasnya. Kirana, di sisi lain, ingin menciptakan karya yang bisa menyentuh hati, meski ia sering meragukan bakatnya sendiri. Bersama, mereka saling menguatkan, seperti dua sisi kanvas yang saling melengkapi.
Kotak musik itu adalah hadiah dari Arjuna di ulang tahun Kirana yang ke-23. Ia menemukannya di pasar antik di Jalan Surabaya, membersihkannya dengan hati-hati, dan mengecat ulang ukiran bunga melatinya dengan warna emas. “Ini biar kamu inget, Kirana, hidup itu kayak melodi—kadang pelan, kadang cepet, tapi selalu indah kalau kamu dengerin dengan hati,” katanya saat itu. Kirana masih ingat bagaimana ia tertawa, menganggap Arjuna terlalu puitis, tapi kini, melodi “Clair de Lune” itu adalah satu-satunya yang bisa membuatnya merasa Arjuna masih ada.
Kehilangan Arjuna terjadi begitu tiba-tiba, seperti lukisan yang robek di tengah proses. Pada 15 Desember 2023, Arjuna pergi ke Bali untuk sebuah proyek seni komunitas. Ia berjanji akan kembali dalam seminggu, dengan membawa sketsa-sketsa baru untuk ditunjukkan kepada Kirana. Tapi malam itu, sebuah pesan singkat dari teman Arjuna di Bali menghancurkan dunia Kirana. “Arjuna jatuh dari tebing saat trekking di Uluwatu. Dia… nggak selamat.” Kirana tak ingat bagaimana ia bertahan di hari-hari setelahnya. Ia hanya ingat kabut di pikirannya, rasa kosong yang menelan semua warna, dan rasa bersalah yang terus menggerogoti karena ia tak pernah mengatakan apa yang sebenarnya ia rasakan kepada Arjuna.
Kirana tak pernah mengakui, bahkan pada dirinya sendiri, bahwa rindunya pada Arjuna lebih dari sekadar persahabatan. Ada perasaan yang tumbuh diam-diam, yang ia pendam karena takut merusak apa yang mereka miliki. Arjuna, dengan caranya yang penuh semangat namun lembut, sering membuat hatinya bergetar, tapi ia selalu menepisnya sebagai kekaguman biasa. Kini, ketika Arjuna telah tiada, rindu itu terasa seperti beban yang tak tersampaikan, seperti kata-kata yang terjebak di ujung lidah, tak pernah terucap.
Hari itu, di tengah kabut Lembang yang dingin, Kirana memutuskan untuk mengunjungi sebuah tempat yang dulu pernah ia dan Arjuna rencanakan untuk dikunjungi bersama: sebuah ladang bunga matahari di pinggir Lembang. Arjuna selalu bilang bahwa bunga matahari adalah simbol harapan, karena mereka selalu menghadap matahari, bahkan di hari yang kelabu. Mereka berjanji akan pergi ke sana, membawa kanvas dan cat, untuk melukis bersama. Tapi rencana itu tak pernah terwujud, dan kini Kirana ingin pergi sendirian, untuk Arjuna.
Ia mengenakan mantel wol cokelat yang sudah sedikit usang, memasukkan kotak musik ke dalam tas kainnya, dan berjalan keluar. Kabut menyapa wajahnya, dingin dan lembap, tapi ia tak peduli. Jalanan Lembang yang berkelok-kelok terasa sepi, hanya sesekali terlihat petani yang berjalan dengan cangkul di bahu. Kirana berjalan perlahan, membiarkan pikirannya mengembara ke kenangan-kenangan bersama Arjuna. Ia ingat malam ketika mereka duduk di trotoar Cikini, makan jagung bakar sambil melihat lampu-lampu kota. Arjuna menggambar wajah Kirana di buku sketsanya, tapi ia menolak menunjukkannya, hanya tersenyum misterius dan berkata, “Nanti, kalau waktunya tepat.”
Sampai di ladang bunga matahari, Kirana terdiam. Bunga-bunga itu berdiri tegak, menghadap matahari yang samar di balik kabut, seolah menolak menyerah pada kegelapan. Ia duduk di tepi ladang, membuka kotak musik, dan memutar “Clair de Lune”. Melodi itu mengalir, bercampur dengan suara angin yang membelai daun-daun bunga. Kirana menutup matanya, membayangkan Arjuna di sisinya, memegang kuas, melukis bunga-bunga itu dengan warna-warna cerah. Tapi ketika ia membuka mata, hanya kabut dan kesunyian yang ada. Ia mengeluarkan buku sketsa Arjuna dari tasnya, membuka halaman yang penuh dengan gambar bunga matahari, burung, dan wajah-wajah orang asing yang Arjuna temui di perjalanannya. Di halaman terakhir, ia menemukan sketsa wajahnya sendiri, digambar dengan pensil, dengan ekspresi lembut dan mata yang penuh cahaya. Di bawahnya, Arjuna menulis: “Kirana, matahariku.”
Air mata Kirana jatuh, membasahi halaman buku itu. Ia memeluk buku sketsa itu erat-erat, merasa seperti Arjuna berbicara kepadanya melalui garis-garis pensil itu. Rindu itu terasa begitu nyata, namun juga begitu jauh, seperti bunga matahari yang hanya bisa memandang matahari tanpa pernah menyentuhnya.
Jejak di Kanvas Kosong
Kabut di Lembang perlahan memudar menjelang sore, meninggalkan udara yang masih dingin namun lebih jernih. Kirana kembali ke rumah kayunya dengan hati yang berat, buku sketsa Arjuna masih ia peluk erat. Kotak musik di dalam tasnya terasa seperti jangkar, menahannya agar tak hanyut sepenuhnya dalam lautan rindu. Di dalam rumah, ia meletakkan buku sketsa di atas meja kecil di ruang tamu, di samping kanvas kosong yang sudah lama tak disentuh. Kanvas itu adalah hadiah dari Arjuna, yang ia berikan dengan harapan Kirana akan mulai melukis lagi, tapi sejak kepergiannya, kuas dan cat Kirana hanya menjadi hiasan di sudut ruangan.
Malam itu, setelah mandi dan mengganti pakaiannya dengan sweter tebal dan celana flanel, Kirana duduk di lantai ruang tamunya. Di depannya, sebuah kotak kayu kecil yang ia temukan di antara barang-barang Arjuna menarik perhatiannya. Kotak itu diberikan oleh kakak Arjuna, Raka, beberapa bulan setelah kecelakaan itu, bersama dengan buku sketsa dan beberapa barang lainnya. Kirana belum pernah membuka kotak itu, takut akan apa yang akan ia temukan di dalamnya. Tapi malam itu, entah didorong oleh rindu atau keberanian yang tiba-tiba, ia memutuskan untuk membukanya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka tutup kotak kayu itu. Di dalamnya, ia menemukan beberapa benda yang begitu khas Arjuna: sebuah kuas lukis dengan gagang kayu yang sudah aus, beberapa tabung cat minyak yang hampir habis, dan sebuah buku catatan kecil berwarna hitam. Buku itu penuh dengan coretan-coretan Arjuna—sketsa cepat, catatan tentang warna, dan bahkan beberapa puisi pendek yang ia tulis dengan tulisan tangan yang khas, sedikit miring dan penuh semangat. Tapi yang membuat Kirana terhenti adalah sebuah amplop kecil di dasar kotak, bertuliskan “Untuk Kirana, Buka Kalau Aku Sudah Jauh”.
Jantung Kirana berdegup kencang. Ia tahu membuka amplop itu akan membawanya ke tempat yang penuh emosi, tapi ia tak bisa menahan diri. Di dalam amplop, ia menemukan sepucuk surat pendek, ditulis dengan tinta biru tua:
Kirana,
Kalau kamu baca ini, mungkin aku udah nggak ada di sisi kamu. Tapi aku pengen kamu tahu, kamu adalah warna di setiap kanvasku. Aku nggak pernah jago ngomong soal perasaan, tapi setiap kali aku melukis, aku mikirin kamu. Maaf kalau aku nggak pernah bilang ini langsung. Aku suka kamu, Kirana, lebih dari sekadar sahabat. Kalau hidup kasih aku waktu lebih, aku bakal bilang ini sambil ngelukis bunga matahari buat kamu. Jangan berhenti berkarya, ya. Dunia butuh warna kamu.
Arjuna.
Kirana menutup surat itu dengan tangan gemetar, air matanya jatuh ke atas kertas, mengaburkan beberapa kata. Ia merasa seperti dunia runtuh di sekitarnya, namun juga seperti ada secercah cahaya yang menerobos kabut di hatinya. Arjuna, dengan segala keberaniannya untuk melukis dunia, ternyata juga menyimpan rindu yang tak tersampaikan, sama seperti dirinya. Rasa bersalah menyelimuti Kirana—kenapa ia tak pernah berani mengakui perasaannya? Kenapa ia membiarkan waktu berlalu tanpa mengatakan apa yang ada di hatinya?
Malam itu, Kirana tak bisa tidur. Ia duduk di depan kanvas kosong, memandangnya seperti memandang cermin yang mencerminkan kekosongannya sendiri. Ia mengambil kuas Arjuna, mencelupkannya ke dalam cat kuning, dan mulai melukis. Ia tak tahu apa yang ia gambar, tapi tangannya bergerak sendiri, menciptakan garis-garis yang membentuk bunga matahari. Setiap sapuan kuas terasa seperti percakapan dengan Arjuna, seperti cara untuk mengatakan semua yang tak pernah ia ucapkan. Ia melukis hingga larut malam, hingga tangannya lelah dan matanya perih karena menangis.
Keesokan harinya, 29 Oktober 2024, Kirana memutuskan untuk pergi ke Jakarta, ke kafe “Senja” tempat ia dan Arjuna sering menghabiskan waktu. Ia ingin merasakan kehadiran Arjuna lagi, ingin mengenang momen-momen ketika mereka duduk di sudut kafe, berbagi sketsa dan cerita. Ia membawa buku sketsa, kotak musik, dan surat Arjuna, seolah benda-benda itu adalah jangkar yang menahannya agar tak tersesat dalam rindu.
Kafe “Senja” masih sama seperti yang ia ingat, meski beberapa detail telah berubah. Meja-meja kayu masih berdiri di tempat yang sama, tapi lampu-lampu gantung kini sedikit lebih modern, dan menu di papan tulis sudah ditambah dengan beberapa minuman baru. Kirana memilih duduk di sudut dekat jendela, tempat favorit mereka dulu. Ia memesan kopi hitam, minuman yang selalu dipesan Arjuna, dan membuka buku sketsa. Ia menelusuri setiap halaman, menemukan sketsa-sketsa kecil yang mereka buat bersama—gambar cangkir kopi, pohon di luar kafe, bahkan karikatur lucu wajah mereka berdua. Di salah satu halaman, ia menemukan sketsa yang belum selesai, sebuah gambar bunga matahari dengan catatan kecil: “Buat Kirana, selesain ini someday.”
Kirana merasa seperti Arjuna meninggalkan petunjuk baginya, seperti jejak-jejak kecil yang menuntunnya untuk melanjutkan hidup. Ia mengeluarkan kotak musik dan memutar “Clair de Lune” lagi, membiarkan melodi itu mengisi ruangan. Beberapa pengunjung kafe menoleh, tapi Kirana tak peduli. Ia hanya ingin merasakan Arjuna, meski hanya dalam nada-nada yang lembut. Ia membayangkan Arjuna duduk di seberangnya, tersenyum dengan jaket denimnya, menggambar sesuatu di buku sketsanya.
Hari itu, Kirana menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, menulis di buku sketsa Arjuna. Ia tak menulis puisi atau cerita, melainkan catatan kecil untuk Arjuna, seperti surat yang tak akan pernah sampai:
Arjuna,
Aku juga suka kamu. Maaf aku nggak bilang ini dulu. Aku janji bakal selesain sketsa bunga mataharimu. Aku janji bakal hidup dengan warna, seperti yang kamu mau.
Kirana.
Ia menutup buku itu, memandang keluar jendela, ke langit Jakarta yang mulai memerah di ujung senja. Rindu itu masih ada, seperti kabut yang tak pernah benar-benar hilang, tapi kini ia merasa ada sedikit keberanian untuk melangkah maju, untuk membawa Arjuna dalam setiap karya yang ia ciptakan.
Cat di Ujung Senja
Kabut di Lembang pada awal November 2024 mulai mereda, digantikan oleh sinar matahari yang lembut namun masih membawa dingin yang menusuk. Langit di atas bukit-bukit tampak seperti kanvas luas, dengan semburat oranye dan ungu yang perlahan muncul saat senja tiba. Kirana Wulan kembali ke rumah kayunya setelah perjalanan emosionalnya ke Jakarta, ke kafe “Senja” yang menyimpan begitu banyak kenangan bersama Arjuna Sastrawan. Di tangannya, ia masih memegang buku sketsa Arjuna, yang kini terasa lebih berat, bukan karena fisiknya, melainkan karena beban emosi yang terkandung di setiap halamannya. Kotak musik berukir bunga melati ada di dalam tas kainnya, dan surat Arjuna yang ia temukan di kotak kayu kini tersimpan rapi di saku jaketnya, seperti jimat yang menemaninya.
Rumah kayu Kirana, dengan jendela-jendela besar yang menghadap ke lembah, terasa lebih hidup hari itu. Ia menyalakan lampu gantung tua di ruang tamu, yang memancarkan cahaya kuning hangat, menciptakan bayang-bayang lembut di dinding. Di meja kecil di sudut ruangan, kanvas kosong yang dulu diberikan Arjuna masih berdiri, sekarang dengan sketsa bunga matahari yang ia mulai lukis beberapa malam lalu. Kuas-kuas dan tabung cat minyak yang ia temukan di kotak kayu Arjuna tersusun rapi di sampingnya, seolah menunggu untuk menceritakan kisah baru. Kirana duduk di lantai, memandangi kanvas itu, dan merasa ada dorongan dalam dirinya untuk melanjutkan apa yang Arjuna tinggalkan.
Hari itu, 2 November 2024, Kirana memutuskan untuk menjelajahi lebih dalam warisan Arjuna. Surat yang ia temukan di kotak kayu itu telah mengubah sesuatu dalam dirinya. Kata-kata Arjuna, yang mengungkapkan perasaannya yang tak pernah tersampaikan, membuat Kirana merasa seperti diberi tanggung jawab untuk menjaga mimpinya tetap hidup. Di buku sketsa Arjuna, ia menemukan catatan kecil di salah satu halaman, ditulis dengan tinta biru yang mulai memudar: “Pameran kecil di Lembang, untuk cerita-cerita yang tak terucap. Bunga matahari, burung, dan senja.” Catatan itu sederhana, tapi Kirana tahu itu adalah mimpi Arjuna—sebuah pameran seni yang menampilkan lukisannya, yang menceritakan keindahan dunia melalui matanya.
Kirana merasa dorongan untuk mewujudkan mimpi itu. Ia ingin mengadakan pameran kecil di Lembang, bukan hanya untuk menghormati Arjuna, tapi juga untuk mengatakan kepadanya, meski terlambat, bahwa ia juga mencintainya. Ia mulai dengan membuka kembali buku sketsa Arjuna, menelusuri setiap halaman dengan hati-hati. Ada sketsa pasar malam dengan lampion-lampion yang bergoyang, sketsa anak-anak yang berlari di tepi sawah, dan sketsa burung kolibri yang terbang di tengah hujan—gambar yang mengingatkannya pada ilustrasi pertamanya yang dikomentari Arjuna tujuh tahun lalu. Setiap gambar terasa seperti potongan jiwa Arjuna, dan Kirana merasa seperti sedang menyusun kembali dirinya melalui garis-garis pensil itu.
Ia juga menemukan beberapa lukisan kecil yang tersimpan di kotak kayu, dilipat rapi di antara kain flanel. Lukisan-lukisan itu, meski sederhana, penuh dengan warna dan emosi. Ada lukisan bunga matahari di bawah langit senja, lukisan seorang penjual bunga di pinggir jalan, dan bahkan lukisan dirinya sendiri, duduk di kafe “Senja” dengan cangkir kopi di tangan. Kirana tersentuh, menyadari bahwa Arjuna selalu melihatnya dengan cara yang tak pernah ia lihat sendiri. Di belakang salah satu lukisan, ia menemukan catatan kecil lagi: “Kirana, kamu adalah warna yang nggak bisa aku lukis, tapi selalu ada di setiap kuasku.”
Air mata Kirana jatuh, tapi kali ini ia tak membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan. Ia mengambil kuas Arjuna dan mulai melukis lagi di kanvas kosongnya. Ia melanjutkan sketsa bunga matahari yang ia mulai, menambahkan warna kuning cerah, hijau daun, dan semburat oranye dari langit senja. Setiap sapuan kuas terasa seperti percakapan dengan Arjuna, seperti cara untuk mengatakan semua yang ia pendam selama ini. Ia melukis hingga larut malam, hingga tangannya kaku dan matanya perih, tapi ia tak berhenti. Ia ingin kanvas itu menjadi sesuatu yang layak untuk Arjuna, sesuatu yang bisa menceritakan kisah mereka.
Keesokan harinya, Kirana menghubungi seorang teman lama dari komunitas seni di Jakarta, seorang kurator muda bernama Saskia. Ia menceritakan rencananya untuk mengadakan pameran kecil di Lembang, menggunakan lukisan dan sketsa Arjuna, serta beberapa karya Kirana sendiri yang terinspirasi olehnya. Saskia, yang juga mengenal Arjuna, langsung setuju untuk membantu. Ia menawarkan untuk menghubungi beberapa seniman lokal di Bandung dan mencari tempat untuk pameran. Setelah beberapa hari mencari, mereka menemukan sebuah galeri kecil di Dago Atas, sebuah ruangan sederhana dengan dinding putih dan jendela besar yang menghadap ke bukit-bukit Lembang.
Persiapan pameran dimulai dengan penuh semangat, tapi juga penuh tantangan. Kirana harus memilih mana dari sketsa dan lukisan Arjuna yang akan dipamerkan, sebuah proses yang terasa seperti menelusuri kembali hidupnya bersama sahabatnya. Setiap gambar membawa kenangan—malam-malam di kafe, perjalanan ke pasar antik, atau saat mereka duduk di trotoar sambil makan jagung bakar. Ia juga memutuskan untuk memasukkan kotak musik sebagai bagian dari pameran, menempatkannya di tengah ruangan dengan catatan kecil yang menjelaskan maknanya. Kirana juga melukis beberapa karya baru, semuanya terinspirasi oleh Arjuna—bunga matahari, burung kolibri, dan senja yang penuh warna.
Pameran itu dijadwalkan pada 15 Desember 2024, tepat setahun setelah kepergian Arjuna. Kirana ingin hari itu menjadi penghormatan untuk sahabatnya, sebuah cara untuk mengatakan bahwa ia mendengar kata-katanya, bahwa ia akan terus berkarya seperti yang Arjuna inginkan. Ia menghabiskan hari-hari menjelang pameran dengan bekerja tanpa lelah, memilih bingkai untuk lukisan, menulis deskripsi untuk setiap karya, dan bahkan membuat katalog kecil yang berisi puisi-puisi pendek yang ia tulis untuk Arjuna. Setiap langkah terasa seperti perjalanan emosional, membawa Kirana lebih dekat kepada sahabatnya, namun juga mengingatkannya bahwa ia tak akan pernah bisa memeluknya lagi.
Hari pameran tiba dengan langit yang cerah, sebuah kejutan di tengah musim hujan. Galeri kecil di Dago Atas dipenuhi dengan lukisan dan sketsa Arjuna, ditemani oleh beberapa karya Kirana. Kotak musik diletakkan di tengah ruangan, memutar “Clair de Lune” secara berkala, mengisi udara dengan melodi yang lembut namun penuh makna. Pengunjung datang, mulai dari teman-teman lama Arjuna hingga seniman lokal yang penasaran dengan karya-karyanya. Kirana berdiri di sudut ruangan, memandangi orang-orang yang berjalan dari satu lukisan ke lukisan lain, membaca catatan-catatan kecil yang ia tulis. Ia merasa seperti Arjuna ada di sana, tersenyum di antara kerumunan, bangga dengan apa yang telah Kirana lakukan.
Tapi di tengah kehangatan itu, Kirana merasakan rindu yang tak tersampaikan itu kembali muncul. Ia memandangi lukisan dirinya di kafe “Senja”, dan tiba-tiba merasa seperti Arjuna berbicara kepadanya melalui warna-warna itu. Ia ingin mengatakan kepadanya bahwa ia juga mencintainya, bahwa ia menyesal karena tak pernah berani mengungkapkannya. Tapi ia tahu, pameran ini adalah caranya mengatakan itu semua, meski terlambat.
Warna yang Tak Pernah Pudar
Tanggal 16 Desember 2024, sehari setelah pameran, Kirana bangun dengan perasaan yang bercampur antara lega dan kosong. Pameran kemarin telah menjadi titik balik baginya, sebuah cara untuk menghormati Arjuna dan melepaskan sebagian beban rindunya. Tapi rindu itu, seperti kabut yang selalu kembali di pagi Lembang, tak pernah benar-benar hilang. Ia duduk di beranda rumah kayunya, memandangi bukit-bukit yang kini berselimut sinar matahari pagi. Secangkir teh chamomile ada di tangannya, uapnya mengepul lembut, membawa aroma yang menenangkan.
Pagi itu, Kirana memutuskan untuk kembali ke ladang bunga matahari di pinggir Lembang, tempat yang pernah ia kunjungi untuk mengenang Arjuna. Ia membawa buku sketsa, kotak musik, dan sebuah kanvas kecil yang ia siapkan khusus untuk hari ini. Ia ingin melukis di sana, di tempat yang penuh makna bagi mereka berdua, sebagai cara untuk menutup babak ini dalam hidupnya dan memulai yang baru. Ia mengenakan jaket denim tua yang dulu sering dipakai Arjuna, yang ia temukan di antara barang-barangnya. Jaket itu masih menyimpan aroma samar Arjuna—campuran cat minyak dan kopi—dan memakainya terasa seperti dipeluk oleh sahabatnya.
Ladang bunga matahari tampak lebih cerah hari itu, dengan bunga-bunga yang berdiri tegak, menghadap matahari yang kini bersinar penuh. Kirana duduk di tepi ladang, meletakkan kanvas kecilnya di atas rumput, dan mulai melukis. Ia memilih warna-warna yang mencerminkan Arjuna—kuning cerah untuk bunga matahari, biru lembut untuk langit, dan oranye hangat untuk senja. Setiap sapuan kuas terasa seperti doa, seperti cara untuk mengatakan kepada Arjuna bahwa ia akan terus hidup dengan warna, seperti yang ia inginkan.
Setelah beberapa waktu, Kirana membuka buku sketsa Arjuna dan menemukan halaman yang berisi sketsa bunga matahari yang belum selesai, dengan catatan “Buat Kirana, selesain ini someday.” Ia tersenyum kecil, mengambil pensil dari tasnya, dan mulai menyelesaikan sketsa itu. Ia menambahkan detail pada kelopak bunga, menambahkan bayang-bayang, dan bahkan menggambar dirinya sendiri di sudut gambar, memegang kotak musik. Di bawahnya, ia menulis: “Arjuna, aku selesaikan ini untukmu. Aku cinta kamu.”
Kirana lalu memutar kotak musik, membiarkan “Clair de Lune” mengalir di tengah ladang. Melodi itu bercampur dengan suara angin dan kicauan burung, menciptakan harmoni yang membuat hatinya terasa ringan. Ia memandang langit, mencari matahari yang bersinar terang, dan membayangkan Arjuna di sana, tersenyum kepadanya. Rindu itu masih ada, tapi kini ia merasa seperti bagian dari dirinya, seperti warna yang tak pernah pudar dari kanvas hidupnya.
Di bulan-bulan berikutnya, Kirana mulai melukis lagi dengan semangat baru. Ia membuka studio kecil di rumah kayunya, tempat ia menciptakan karya-karya yang terinspirasi oleh Arjuna. Ia juga mulai mengajar seni kepada anak-anak di Lembang, berbagi keindahan yang ia pelajari dari sahabatnya. Setiap kali ia merasa rindu, ia memandang bunga matahari di ladang, atau memutar kotak musik, atau membuka buku sketsa Arjuna. Ia tahu bahwa Arjuna tak pernah benar-benar pergi—ia ada di setiap warna, di setiap melodi, di setiap karya yang Kirana ciptakan.
Kirana juga mulai menulis surat-surat untuk Arjuna, bukan untuk dikirim, tapi untuk dirinya sendiri. Ia menulis tentang hari-harinya, tentang karya-karyanya, tentang bagaimana ia belajar untuk hidup dengan rindu. Surat-surat itu ia simpan di kotak kayu Arjuna, bersama dengan lukisan dan sketsa. Ia merasa seperti sedang berbicara dengan Arjuna, seperti dulu, ketika mereka duduk bersama di kafe “Senja” atau di trotoar Cikini.
Pada suatu malam yang cerah, Kirana berdiri di beranda rumahnya, memandang langit yang penuh bintang. Ia mencari bintang yang paling terang, seperti yang pernah Arjuna katakan: “Kalau aku nggak ada, cari aku di bintang-bintang, Kirana. Aku pasti di sana, ngelukis buat kamu.” Ia tersenyum, merasa bahwa Arjuna memang ada di sana, di antara bintang-bintang, mengawasinya dengan senyumnya yang hangat.
Kirana tahu bahwa rindu yang tak tersampaikan itu akan selalu menjadi bagian dari dirinya, tapi ia juga tahu bahwa rindu itu adalah bukti cinta mereka. Ia akan terus melukis, terus berkarya, terus hidup dengan warna, seperti yang Arjuna inginkan. Dan di setiap sapuan kuas, di setiap nada “Clair de Lune”, Arjuna akan selalu ada, seperti bintang yang tak pernah pudar, selalu bersinar di malam yang kelam.
Rindu yang Tak Tersampaikan adalah lebih dari sekadar cerita; ini adalah cerminan tentang bagaimana rindu dan cinta bisa menjadi warna yang menghiasi hidup, bahkan di tengah kehilangan. Melalui kanvas, sketsa, dan melodi, Kirana belajar bahwa Arjuna tak pernah benar-benar pergi—ia hidup dalam setiap karya yang ia ciptakan. Cerpen ini adalah pengingat bahwa meski beberapa kata tak pernah terucap, cinta tetap abadi seperti bintang di langit malam. Jangan lewatkan kisah ini yang akan meninggalkan jejak mendalam di hati Anda, mengajak Anda untuk menghargai setiap momen bersama orang-orang tersayang.
Terima kasih telah menyelami ulasan tentang Rindu yang Tak Tersampaikan. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk merangkul kenangan dan terus berkarya dengan cinta. Sampai jumpa di cerita berikutnya, dan tetaplah menjaga warna-warna indah dalam hidup Anda!


