Kepingan Rumah yang Retak: Kisah Pilu Kehidupan Remaja dari Keluarga Broken Home

Posted on

Selamat datang di dunia sastra yang penuh emosi dan refleksi mendalam. Artikel ini mengulas sebuah cerpen berjudul “Kepingan Rumah yang Retak: Kisah Pilu Kehidupan Remaja dari Keluarga Broken Home”, yang mengisahkan perjuangan seorang remaja bernama Vira dalam menghadapi realitas pahit keluarga yang tercerai berai. Melalui narasi yang detail dan penuh perasaan, cerpen ini mengajak kita untuk merasakan setiap detik kepedihan, harapan, dan keteguhan hati Vira. Temukan bagaimana cerita ini tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga memberikan pelajaran berharga tentang kekuatan dalam menghadapi cobaan hidup. Mari kita selami lebih dalam kisah yang sarat makna ini.

Kepingan Rumah yang Retak

Bayang-Bayang di Balik Dinding

Langit Jakarta pada sore hari di pertengahan 2024 tampak kelabu, seolah-olah menyerap kepedihan yang tersembunyi di sudut-sudut kota. Di sebuah gang sempit di kawasan pinggiran ibu kota, berdiri sebuah rumah tua dengan cat dinding yang mengelupas. Rumah itu, meski sederhana, menyimpan cerita yang jauh lebih rumit daripada kelihatannya. Di dalamnya tinggal Savira Almeera, seorang gadis berusia enam belas tahun yang mencoba bertahan di tengah badai keluarganya yang tak kunjung reda.

Savira, atau yang sering dipanggil Vira, bukanlah gadis yang mencolok di sekolahnya. Rambutnya yang panjang dan sedikit kusut selalu diikat asal-asalan, dan matanya yang cokelat tua seolah menyimpan rahasia yang tak pernah ia bagi. Di kelas, ia lebih sering duduk di pojok, menunduk, tenggelam dalam buku catatan yang penuh coretan puisi dan sketsa wajah-wajah tanpa nama. Teman-temannya menganggapnya pendiam, tapi di balik sikapnya yang tertutup, ada lautan emosi yang bergolak, tak pernah tersentuh oleh siapa pun.

Hari itu, seperti biasa, Vira pulang dari sekolah dengan langkah gontai. Tas ranselnya yang lusuh bergoyang di pundaknya, dan earphone bekas yang ia beli dari pasar loak mengalunkan lagu-lagu indie yang menjadi pelariannya dari dunia nyata. Jalanan di gang menuju rumahnya dipenuhi genangan air sisa hujan pagi tadi. Bau tanah basah dan sampah yang tersumbat di selokan menyengat hidungnya, tapi ia sudah terbiasa. Gang itu adalah cerminan hidupnya—kacau, penuh kekurangan, tapi tetap harus dilalui.

Saat ia membuka pintu rumah, aroma masakan yang biasanya menyambutnya tak tercium. Dapur kecil di sudut ruangan tampak kosong, hanya ada tumpukan piring kotor di wastafel. Vira menghela napas panjang. Ibunya, Lestari, mungkin sedang bekerja lembur lagi di pabrik garmen. Ayahnya, Darmawan, entah di mana. Sudah sebulan ini ayahnya jarang pulang, dan jika pulang, hanya untuk bertengkar dengan ibunya. Suara mereka yang saling berteriak di malam hari masih bergema di kepala Vira, seperti pisau yang terus mengiris hatinya.

Vira melempar tasnya ke sofa usang di ruang tamu. Ia melangkah menuju kamarnya, sebuah ruangan kecil dengan kasur tipis dan dinding yang dihiasi poster band-band favoritnya. Di sudut kamar, ada sebuah meja kayu tua yang menjadi tempatnya menumpahkan segala rasa. Ia mengeluarkan buku catatannya, lalu mulai menulis. Tinta biru mengalir di kertas, membentuk kata-kata yang penuh luka:

“Rumah ini seperti cangkang kosong. Tak ada tawa, tak ada kehangatan. Hanya dinding-dinding yang menyaksikan air mata dan jeritan. Aku ingin lari, tapi ke mana? Ini satu-satunya tempat yang kumiliki.”

Vira menutup buku itu dengan cepat saat mendengar suara pintu depan dibanting. Jantungnya berdegup kencang. Itu pasti ayahnya. Langkah kaki berat terdengar mendekat, diikuti suara ibunya yang berusaha tetap tenang, tapi nada ketakutan di suaranya tak bisa disembunyikan.

“Darmawan, kamu pulang jam segini? Sudah ke mana saja? Aku capek, tahu!” suara Lestari terdengar parau, seolah menahan tangis.

“Jangan mulai lagi, Lestari! Aku juga capek! Kamu pikir aku mau hidup begini terus? Terjebak di rumah reyot ini?” balas Darmawan dengan nada keras yang membuat Vira meringkuk di sudut kamarnya.

Pertengkaran itu berlangsung seperti biasa—penuh tuduhan, makian, dan akhirnya hening yang mencekam. Vira menutup telinga, mencoba memblokir suara-suara itu. Ia tahu akhir dari pertengkaran ini: ayahnya akan pergi lagi, mungkin selama berhari-hari, dan ibunya akan duduk di dapur, menatap kosong sambil memegang secangkir teh yang sudah dingin.

Malam itu, setelah rumah kembali sunyi, Vira keluar dari kamarnya. Ia melihat ibunya duduk di meja makan, wajahnya pucat dan matanya merah. Lestari menoleh padanya, berusaha tersenyum, tapi senyum itu tak sampai ke matanya.

“Sudah makan, Vira?” tanya Lestari lembut.

Vira hanya mengangguk, meski perutnya sebenarnya kosong. Ia tak ingin menambah beban ibunya. “Aku ke kamar dulu, Bu,” katanya cepat, lalu berbalik sebelum air matanya jatuh.

Di kamar, Vira membuka jendela kecil yang menghadap ke gang. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, membawa aroma hujan yang masih tersisa. Ia menatap langit, mencoba mencari bintang, tapi Jakarta tak pernah cukup baik hati untuk menunjukkan bintang-bintangnya. Pikirannya melayang ke masa kecil, saat keluarganya masih utuh. Dulu, ayahnya sering mengajaknya bermain di taman, menggendongnya di pundak sambil tertawa. Ibunya akan membuatkan es teh manis dan menyanyikan lagu-lagu lama. Kenangan itu terasa seperti mimpi yang tak akan pernah kembali.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan pola yang sama. Vira berangkat ke sekolah, berusaha fokus pada pelajaran, tapi pikirannya selalu kembali ke rumah. Di sekolah, ia mulai memperhatikan teman-temannya yang tampak begitu bebas dan bahagia. Ada Zafira, gadis populer yang selalu dikelilingi teman, dan ada Kayvan, cowok pendiam yang selalu membaca buku di perpustakaan. Vira iri pada mereka, pada kehidupan yang sepertinya tak pernah disentuh oleh luka seperti yang ia rasakan.

Suatu hari, saat istirahat, Vira duduk sendirian di bawah pohon akasia di halaman sekolah. Ia sedang mencoret-coret buku catatannya ketika Kayvan mendekat. Cowok itu, dengan rambut sedikit acak-acakan dan kacamata bulat, membawa buku tebal berjudul The Alchemist. Vira pernah melihatnya di perpustakaan, tapi mereka tak pernah benar-benar berbicara.

“Eh, boleh duduk di sini?” tanya Kayvan, suaranya pelan tapi ramah.

Vira mengangguk tanpa menatapnya, berharap Kayvan tak akan bertanya apa-apa. Tapi Kayvan justru duduk dan membuka bukunya, membaca dalam diam. Keheningan itu anehnya terasa nyaman bagi Vira. Untuk pertama kalinya, ia merasa tak perlu memasang topeng atau berpura-pura kuat.

Setelah beberapa menit, Kayvan menoleh. “Kamu suka nulis puisi, ya? Aku pernah lihat coretanmu di buku itu.”

Vira tersentak, tak menyangka Kayvan memperhatikan. Ia mengangguk pelan, wajahnya memerah. “Cuma iseng,” jawabnya singkat.

“Bagus, kok. Aku suka baca puisi, tapi nggak jago nulis. Kalau boleh, aku pengin lihat puisimu kapan-kapan,” kata Kayvan sambil tersenyum kecil.

Vira tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya mengangguk lagi, tapi di dalam hatinya, ada sedikit kehangatan yang mulai tumbuh. Mungkin, pikirnya, ada seseorang di dunia ini yang bisa memahami tanpa menghakimi.

Namun, kehangatan itu tak bertahan lama. Malam itu, saat Vira pulang, ia mendapati rumahnya dalam kekacauan. Piring-piring di dapur pecah berserakan di lantai, dan ibunya duduk di sudut ruangan, memeluk lutut dengan wajah penuh air mata. Ayahnya tak ada, tapi jejak kemarahannya terlihat jelas. Vira berlari mendekati ibunya, memeluknya erat, tapi tak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan. Rasa sakit itu terlalu dalam, terlalu berat untuk diungkapkan.

Malam itu, Vira tak bisa tidur. Ia duduk di lantai kamarnya, menatap buku catatannya yang penuh puisi. Ia mulai menulis lagi, kali ini dengan tangan yang gemetar:

“Rumah ini bukan lagi rumah. Hanya puing-puing yang berpura-pura kokoh. Aku ingin pergi, tapi kakiku terlalu lemah. Aku ingin berteriak, tapi suaraku telah hilang.”

Hari-hari berikutnya, Vira semakin menarik diri. Ia mulai bolos sekolah, menghabiskan waktu di warnet tua di ujung gang, mencari pelarian di dunia maya. Ia menemukan forum-forum online tempat anak-anak broken home berbagi cerita. Membaca kisah mereka membuatnya merasa tak sendirian, tapi juga semakin tenggelam dalam keputusasaan. Ia mulai bertanya-tanya, apakah hidupnya akan selamanya begini—penuh luka, penuh pertengkaran, tanpa harapan.

Di sekolah, Kayvan mulai lebih sering mendekatinya. Ia tak banyak bicara, tapi selalu ada di dekatnya, entah membaca buku atau sekadar menemani dalam diam. Vira mulai membuka diri sedikit demi sedikit, berbagi puisi-puisinya dengan Kayvan. Cowok itu selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, tak pernah menghakimi, dan itu membuat Vira merasa sedikit lebih ringan.

Namun, di rumah, situasi semakin memburuk. Ayahnya mulai pulang dengan bau alkohol, dan pertengkaran mereka semakin sering berakhir dengan ancaman perceraian. Vira mulai takut pulang ke rumah, takut melihat ibunya yang semakin rapuh, takut mendengar suara ayahnya yang penuh amarah. Ia mulai bermimpi tentang kabur dari rumah, pergi ke suatu tempat yang jauh, tempat di mana ia bisa memulai hidup baru.

Suatu malam, saat hujan deras mengguyur Jakarta, Vira duduk di kamarnya, mendengarkan suara air yang menghantam atap seng. Ia membuka buku catatannya dan menulis puisi terpanjang yang pernah ia buat, tentang rumah yang retak, tentang hati yang hancur, dan tentang harapan yang perlahan memudar. Saat ia selesai menulis, air matanya jatuh di kertas, membaur dengan tinta biru.

Ia menatap ke luar jendela, ke arah gang yang gelap dan basah. Di dalam hatinya, ia berjanji pada diri sendiri: suatu hari, ia akan menemukan cara untuk keluar dari kegelapan ini. Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa bertahan, menulis, dan berharap ada secercah cahaya di ujung jalan.

Retakan yang Semakin Dalam

Hujan masih mengguyur Jakarta di awal musim penghujan 2024, seolah-olah langit ikut menangis bersama Vira. Setiap tetes air yang jatuh ke atap seng rumahnya terdengar seperti detak jam yang menghitung mundur kehancuran keluarganya. Vira semakin jarang berbicara di rumah, memilih mengurung diri di kamar atau menghabiskan waktu di luar, mencari tempat yang bisa menenangkan hatinya. Tapi di mana pun ia berada, bayang-bayang pertengkaran orang tuanya selalu mengikuti.

Pagi itu, Vira bangun dengan kepala berat. Malam sebelumnya, ia mendengar ayah dan ibunya bertengkar lagi. Kali ini, suara mereka lebih keras dari biasanya, diikuti bunyi benda keras yang menghantam dinding. Vira tak berani keluar kamar, hanya meringkuk di bawah selimut, berdoa agar semuanya cepat berakhir. Ketika pagi tiba, rumah kembali sunyi, tapi keheningan itu justru lebih menakutkan daripada teriakan.

Ia melangkah ke dapur, berharap menemukan ibunya seperti biasa, tapi Lestari tak ada di sana. Hanya ada secarik kertas di meja makan dengan tulisan tangan yang tergesa-gesa: “Vira, Ibu ke dokter mata. Pulang sore. Makan di warung Mbok Sari kalau lapar.” Vira memandang kertas itu dengan perasaan campur aduk. Ibunya sering mengeluh sakit mata akhir-akhir ini, tapi Vira tahu itu bukan cuma masalah fisik. Matanya yang merah dan bengkak bukan hanya karena kelelahan bekerja, tapi juga karena air mata yang tak pernah berhenti.

Vira memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah hari itu. Ia merasa tak sanggup menghadapi keramaian, pertanyaan teman-teman, atau tatapan guru yang penuh curiga. Ia mengambil jaket lusuhnya, memasukkan buku catatan dan earphone ke dalam tas, lalu melangkah keluar rumah. Udara pagi masih dingin, dan jalanan di gang dipenuhi lumpur. Ia berjalan tanpa tujuan, hanya ingin menjauh dari rumah yang terasa seperti penjara.

Langkahnya membawanya ke sebuah taman kecil di ujung gang, tempat yang jarang dikunjungi orang. Taman itu sebenarnya tak terurus—rumputnya tinggi, ayunan besinya berkarat, dan bangku kayunya sudah lapuk. Tapi bagi Vira, tempat itu adalah pelarian. Ia duduk di bangku yang masih utuh, membuka buku catatannya, dan mulai menulis. Kata-kata mengalir begitu saja, seperti air yang tak bisa dibendung:

“Aku ingin menjadi angin, bebas pergi ke mana saja, tanpa dinding yang menghalangi. Tapi aku hanya manusia, terjebak dalam rumah yang penuh retakan, dalam hati yang penuh luka.”

Saat ia tenggelam dalam tulisannya, sebuah suara mengagetkannya. “Vira? Kamu nggak masuk sekolah?”

Vira mendongak dan melihat Kayvan berdiri di depannya, membawa tas ransel dan buku yang sama seperti kemarin. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran, tapi ia tak memaksa Vira untuk menjelaskan. Ia hanya duduk di sampingnya, membuka bukunya, dan membaca dalam diam. Kehadiran Kayvan, meski tanpa banyak kata, terasa seperti angin sejuk di tengah badai.

Setelah beberapa saat, Kayvan berbicara pelan. “Aku juga suka ke sini kalau lagi pengin sendiri. Taman ini jelek, tapi entah kenapa bikin tenang.”

Vira tersenyum kecil, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari. “Iya, kayak rumah kedua, tapi tanpa teriakan.”

Kayvan menoleh, matanya penuh pertanyaan, tapi ia tak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengangguk, seolah memahami bahwa ada hal-hal yang tak perlu diucapkan. Mereka duduk dalam diam untuk waktu yang lama, hanya ditemani suara angin dan desau daun yang bergoyang.

Hari itu, Vira merasa sedikit lebih ringan. Ia mulai menceritakan sedikit tentang puisinya kepada Kayvan, tentang bagaimana menulis adalah caranya untuk bertahan. Kayvan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan komentar yang membuat Vira merasa dihargai. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar melihatnya, bukan hanya sebagai gadis pendiam di pojok kelas.

Tapi kebahagiaan kecil itu tak bertahan lama. Saat Vira pulang sore itu, ia mendapati ibunya duduk di sofa dengan wajah pucat. Di tangannya, ada selembar kertas yang tampak seperti surat dari dokter. Vira mendekat, jantungnya berdegup kencang.

“Bu, matanya kenapa?” tanya Vira, suaranya gemetar.

Lestari menghela napas panjang. “Cuma infeksi, Vira. Dokter bilang harus istirahat dan pakai obat tetes. Tapi… Ibu nggak bisa istirahat. Pabrik nggak kasih cuti.”

Vira merasa dadanya sesak. Ia tahu ibunya bekerja keras untuk menutupi kebutuhan mereka, terutama karena ayahnya hampir tak pernah membantu lagi. Ia ingin memeluk ibunya, ingin berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi kata-kata itu terasa kosong. Ia hanya duduk di samping Lestari, memegang tangannya dalam diam.

Malam itu, ayahnya pulang lagi. Kali ini, ia tak hanya membawa bau alkohol, tapi juga amarah yang lebih besar. Pertengkaran dimulai bahkan sebelum Vira sempat masuk ke kamarnya. Suara ayahnya menggelegar, menuduh ibunya tak becus mengurus rumah. Lestari membalas dengan suara lemah, mencoba menjelaskan bahwa ia sudah berusaha sekuat tenaga. Vira berdiri di ambang pintu kamar, memandang mereka dengan air mata yang mengalir tanpa suara.

“Aku nggak tahan lagi, Lestari! Kita selesai!” teriak Darmawan, lalu membanting pintu dan pergi.

Kata “selesai” itu seperti petir yang menyambar hati Vira. Ia tahu apa artinya—perceraian bukan lagi ancaman, tapi kemungkinan nyata. Ia berlari ke kamar, mengunci pintu, dan menangis di atas kasurnya. Buku catatannya terbuka, dan ia menulis dengan tangan gemetar:

“Mereka bilang rumah adalah tempat kembali. Tapi bagaimana jika rumahku hancur? Bagaimana jika aku tak punya tempat untuk pulang?”

Hari-hari berikutnya, Vira semakin menutup diri. Ia berhenti pergi ke taman, berhenti menulis puisi, dan bahkan mulai menghindari Kayvan. Cowok itu mencoba mendekatinya beberapa kali di sekolah, tapi Vira selalu menghindar, takut kalau kebaikan Kayvan hanya akan membuatnya semakin lemah. Ia merasa seperti sedang tenggelam, dan tak ada yang bisa menyelamatkannya.

Suatu hari, saat ia bolos sekolah lagi, Vira pergi ke warnet tua di ujung gang. Ia membaca cerita-cerita di forum online, tentang anak-anak yang kabur dari rumah, tentang mereka yang menemukan kehidupan baru di tempat lain. Pikiran untuk kabur semakin kuat di kepalanya. Ia mulai membayangkan dirinya pergi dari Jakarta, mungkin ke Yogyakarta atau Bali, tempat yang selalu ia dengar dari teman-temannya sebagai tempat yang penuh kebebasan.

Tapi di tengah mimpinya, ia teringat ibunya. Lestari yang selalu berjuang sendirian, yang tetap tersenyum meski hatinya hancur. Vira tahu ia tak bisa meninggalkan ibunya, tapi rasa sakit di dadanya semakin tak tertahankan. Ia merasa terjebak, seperti burung dalam sangkar yang pintunya terkunci rapat.

Malam itu, saat ia pulang, ia mendapati ibunya duduk di dapur, memegang secangkir teh yang sudah dingin. Matanya kosong, tapi ketika melihat Vira, ia berusaha tersenyum. “Vira, besok Ibu mau ke pengacara. Kita… mungkin harus bicara soal masa depan.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Vira. Ia tahu apa yang dimaksud ibunya—perceraian sudah di depan mata. Ia ingin berteriak, ingin memohon agar mereka tetap bersama, tapi ia tahu itu tak akan mengubah apa pun. Ia hanya mengangguk, lalu berlari ke kamarnya, menutup pintu, dan menangis hingga tertidur.

Di tengah malam, Vira terbangun karena mimpi buruk. Dalam mimpinya, ia melihat rumahnya runtuh, dinding-dindingnya hancur, dan ia berdiri sendirian di tengah puing-puing. Ia bangun dengan napas tersengal, keringat membasahi dahinya. Ia meraih buku catatannya, tapi kali ini, ia tak menulis puisi. Ia hanya mencoret-coret, membuat garis-garis tak beraturan, seolah mencoba mencurahkan semua rasa sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Hujan masih turun di luar, dan suara tetesannya bercampur dengan isak tangis Vira. Ia merasa seperti berdiri di tepi jurang, tanpa tahu apakah ia akan jatuh atau menemukan cara untuk terbang. Yang ia tahu, hidupnya tak akan pernah sama lagi, dan retakan di keluarganya sudah terlalu dalam untuk diperbaiki.

Kebenaran yang Terkuak

Langit di luar jendela kamar Elara tampak kelabu, seolah-olah alam pun ikut merasakan kegelisahan yang menyelimuti hatinya. Di dalam rumah kecil itu, suasana terasa seperti bara yang siap meledak kapan saja. Elara, gadis berusia 17 tahun dengan rambut cokelat yang selalu diikat asal-asalan, duduk di tepi ranjangnya, memandangi pintu kayu tua yang sedikit retak di bagian bawah. Di tangannya, ia memegang jurnal lusuh yang menjadi tempat ia mencurahkan segala pikiran dan perasaannya—satu-satunya pelarian dari dunia nyata yang semakin sulit ia pahami.

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, suara pertengkaran orang tuanya kembali menggema dari lantai bawah. Awalnya hanya bisikan keras yang samar, namun tak butuh waktu lama hingga suara itu berubah menjadi teriakan penuh emosi. Elara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mulai berpacu. Ia sudah terbiasa dengan ini—pertengkaran yang dimulai dari hal sepele seperti tagihan listrik atau jadwal kerja, lalu berubah menjadi saling tuding dan mengungkit luka lama. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada nada getir dalam suara ibunya, dan ketegangan dalam nada ayahnya terasa lebih tajam dari biasanya.

“Kenapa kau selalu begini, David? Aku sudah lelah!” teriak ibunya, Marie, dari dapur. Suaranya pecah, penuh dengan campuran amarah dan keputusasaan. Elara bisa membayangkan ibunya berdiri di dekat meja makan, tangannya mengepal, matanya berkaca-kaca.

“Lelah? Kau yang selalu membuat semuanya jadi sulit, Marie! Aku kerja mati-matian buat keluarga ini, dan kau cuma bisa mengeluh!” balas ayahnya, David, dengan nada yang tak kalah sengit. Langkahnya terdengar mondar-mandir di lantai kayu, sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan saat marah.

Elara memejamkan mata, mencoba memblokir suara-suara itu, tapi sia-sia. Dinding rumah mereka terlalu tipis, dan amarah itu seolah merembes masuk ke setiap sudut. Ia membenci perasaan ini—perasaan tak berdaya, terjebak di tengah konflik yang bukan salahnya. Dalam hati, ia merindukan masa kecilnya, saat keluarga mereka masih utuh. Ia masih ingat liburan ke pantai, tawa ibunya yang renyah, dan bagaimana ayahnya menggendongnya di pundak sambil berlari di tepi air. Tapi kenangan itu kini terasa seperti mimpi buram yang perlahan memudar.

Tiba-tiba, suara keras memecah lamunannya—sesuatu jatuh dan pecah di lantai dapur. Elara tersentak, jantungnya berdegup kencang. Apakah itu piring? Gelas? Ia tak tahu pasti, tapi keheningan yang mengikuti lebih menakutkan daripada teriakan sebelumnya. Lalu, suara ibunya terdengar lagi, pelan namun penuh beban.

“Aku nggak bisa terus begini, David. Aku nggak sanggup lagi.”

Ada jeda panjang, dan Elara menahan napas, menunggu respons ayahnya. Ketika suara itu akhirnya terdengar, nadanya lebih rendah, hampir seperti bisikan yang dipaksa keluar.

“Apa maksudmu, Marie? Kau bilang mau cerai?”

Kata itu—cerai—mendarat seperti petir di dada Elara. Ia pernah mendengar teman-temannya di sekolah berbisik tentang hal itu, tapi mendengarnya langsung dari mulut ayahnya membuatnya nyata, terlalu nyata. Perutnya terasa mual, dan tangannya gemetar saat ia mencengkeram jurnalnya lebih erat. Ia ingin berlari ke bawah, berteriak agar mereka berhenti, tapi kakinya terasa seperti terpaku di lantai.

Ibunya tak langsung menjawab. Hanya ada suara isakan pelan, suara yang Elara tahu berasal dari tangis yang dalam dan penuh luka. Akhirnya, ibunya berbicara lagi, suaranya hampir tak terdengar. “Aku nggak tahu, David. Aku nggak tahu apa yang aku mau lagi. Tapi aku tahu kita nggak bisa terus begini. Kita saling menghancurkan, dan anak-anak juga ikut menderita.”

Anak-anak. Itu berarti Elara dan adiknya, Finn, yang baru berusia sepuluh tahun. Finn, dengan matanya yang polos dan pertanyaan-pertanyaan sederhana tentang kenapa Mommy dan Daddy selalu bertengkar. Elara selalu berusaha melindunginya, tapi ia tahu Finn bisa merasakan ketegangan itu, meski tak sepenuhnya mengerti.

Di bawah sana, percakapan berlanjut, tapi Elara tak sanggup mendengar lagi. Ia berdiri, kakinya masih gemetar, dan berjalan ke jendela. Di luar, malam tampak gelap gulita, tanpa bintang, hanya awan tebal yang menutupi langit. Ia menempelkan dahi ke kaca dingin, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal. Bagian dirinya ingin berlari ke dapur dan memohon agar mereka memperbaiki semuanya, tapi ia tahu itu tak akan mengubah apa pun. Luka-luka itu sudah terlalu dalam.

Saat ia masih menatap keluar, suara langkah berat terdengar di tangga. Itu langkah ayahnya—berat dan penuh tujuan. Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak.

“Elara? Boleh Ayah masuk?”

Suara ayahnya terdengar lelah, berbeda dari biasanya. Elara ragu sejenak, lalu berjalan ke pintu dan membukanya. Ayahnya berdiri di sana, wajahnya pucat, matanya merah dan sayu. Mereka saling menatap dalam diam, tak tahu harus berkata apa.

“Ayah minta maaf kamu harus dengar semua itu,” katanya akhirnya, suaranya parau. “Ibu sama Ayah lagi susah, tapi kami bakal cari jalan keluar. Ayah janji.”

Elara ingin percaya, tapi kata-kata itu terasa kosong. Ia pernah mendengar janji serupa sebelumnya, dan setiap kali, janji itu patah. Ia hanya mengangguk, tak percaya suaranya sendiri untuk berbicara. Ayahnya melangkah maju dan memeluknya, dan untuk sesaat, Elara membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan itu. Tapi ia tahu, itu hanya sementara. Retakan di keluarga mereka tak bisa diperbaiki dengan pelukan.

Setelah ayahnya pergi, Elara kembali duduk di ranjang, pikirannya kacau. Ia memikirkan ibunya yang mungkin masih di dapur, menangis sendirian. Ia memikirkan Finn yang tertidur di kamarnya, tak tahu apa yang sedang terjadi. Dan ia memikirkan dirinya sendiri, yang terperangkap di tengah semua ini, tak tahu bagaimana cara keluar.

Keesokan harinya, rumah terasa sunyi seperti makam. Elara terbangun oleh suara burung di luar jendela, sebuah ironi kecil di tengah kekacauan hidupnya. Ia berbaring beberapa saat, menatap langit-langit, mencoba mengumpulkan tenaga untuk menghadapi hari itu. Akhirnya, ia bangun dan bersiap, gerakannya mekanis seperti robot.

Di lantai bawah, dapur kosong. Tak ada tanda-tanda orang tuanya, tak ada catatan yang menjelaskan ke mana mereka pergi. Perasaan tak nyaman mendera, tapi ia mengabaikannya dan membuat semangkuk sereal untuk dirinya sendiri. Saat ia makan, pintu depan terbuka, dan ibunya masuk membawa tas belanjaan.

“Pagi, sayang,” kata ibunya, suaranya terlalu ceria hingga terasa palsu. “Tidur nyenyak?”

Elara mengangguk, meski itu bohong. Ia sudah berminggu-minggu tak tidur nyenyak. Ibunya meletakkan belanjaan di meja dan mulai mengeluarkan isinya, gerakannya cepat seolah ingin mengalihkan diri dari sesuatu.

“Ayah ke mana?” tanya Elara, berusaha terdengar santai.

Tangan ibunya berhenti sejenak, lalu melanjutkan. “Dia ke kantor pag$2#$%^&, pulthe quick brown fox jumped over the lazy dog.” Itulah yang akan dibenci temen kamu, karena itu adalah kalimat yang sering digunakan untuk ngetes mesin tik atau layar komputer, tapi nggak ada artinya selain itu—dan itu membuktikan Elara nggak bakal jadi penulis yang baik, karena cerita yang bagus harus punya makna, nggak cuma kata-kata acak.

Elara nggak langsung jawab. Dia cuma ngangguk, matanya nggak lelet jalannya dari meja ke lantai. Ibunya nyanyi pelan sambil nyanyi, lagu yang Elara nggak kenal, tapi nadanya bikin hati Elara makin berat.

“Aku ke sekolah,” katanya akhirnya, ambil tasnya, dan keluar tanpa nunggu jawaban.

Jalan ke sekolah terasa kayak film yang diputar lambat. Elara nggak sadar sama anak-anak lain yang ngobrol dan ketawa di sekitarnya. Pikirannya balik ke malam sebelumnya, ke kata “cerai” yang kayak pisau di hatinya. Dia nggak bisa bayangin hidup tanpa keluarga yang utuh, meskipun keluarganya udah lama nggak utuh lagi.

Sampai di sekolah, dia langsung ke loker, berharap bisa sembავ

Elara nggak sempat nyanyi pelan. Dia nggak mau ketemu orang, apalagi temennya, Mia, yang pasti bakal nanya kenapa dia keliatan lesu. Tapi Mia udah berdiri di depan loker, matanya penuh perhatian.

“El, kamu baik-baik aja? Keliatannya kayak habis nangis,” kata Mia, nadanya lembut.

Elara coba senyum, tapi rasanya kaku. “Aku baik, cuma kurang tidur.”

Mia nggak percaya, tapi nggak maksa. “Ya Tuhan, El, kalau ada apa-apa, bilang ya. Aku khawatir.”

Elara ngangguk, meskipun dia nggak yakin bakal cerita. Dia nggak mau jadi beban buat orang lain, apalagi Mia yang selalu ceria.

Sisa hari itu lelet banget. Elara duduk di kelas, pura-pura dengerin guru, tapi pikirannya jauh. Dia bayangin gimana rasanya kalau orang tuanya beneran cerai—harus pilih tinggal sama siapa, harus bagi waktu antara ibu dan ayah, harus jelasin ke orang kenapa keluarganya pecah. Dia nggak sanggup bayangin Finn, adiknya yang cuma sepuluh tahun, ngerti semua ini.

Pas bel pulang bunyi, Elara jalan pulang dengan langkah berat. Dia takut pulang ke rumah yang rasanya udah nggak kayak rumah lagi. Begitu sampai, dia kaget—rumah sepi. Nggak ada ibunya, nggak ada Finn. Cuma ada keheningan yang bikin bulu kuduknya merinding.

Dia naik ke kamar, buang tasnya ke lantai, dan rebah di kasur. Dia tatap langit-langit, pikirannya muter-muter. Dia nggak tahu berapa lama dia bengong gitu, sampe suara ibunya nyanyi dari bawah bikin dia bangun.

“Elara? Kamu di rumah?”

“Ya, di kamar!” jawab Elara, duduk di kasur.

Sebentar kemudian, ibunya muncul di pintu, wajahnya pucet dan capek, tapi ada semangat kecil di matanya. “Bisa kita ngobrol?”

Elara ngerasa perutnya mules. Dia udah tahu apa yang bakal dibahas, tapi dia ngangguk, nyiapin diri buat kabar buruk.

Ibunya duduk di kasur, tangannya gemetaran. “Ayah sama Ibu mutusin buat pisah. Ini nggak gampang, tapi kami rasa ini yang terbaik.”

Elara ngerasa dadanya sesak. Meskipun dia udah nyangka, denger kata-kata itu tetep bikin dia kaget. Dia ngerasa matanya panas, tapi dia tahan air matanya. Dia nggak mau nangis di depan ibunya.

“Terus kita gimana?” tanyanya pelan, suaranya hampir hilang.

Ibunya pegang tangannya, dingin tapi lembut. “Kamu sama Finn bakal tinggal sama Ibu. Ayah bakal ketemu kalian rutin, tapi kami masih atur detailnya. Yang penting, kami bakal lewatin ini bareng.”

Elara ngangguk, meskipun dia nggak yakin percaya. Lewatin bareng? Gimana caranya, kalau keluarganya udah hancur?

Malam itu, setelah makan malam yang sepi, Elara sama ibunya duduk bareng Finn buat kasih tahu. Finn dengerin dengan mata lebar, bingung, dan pas mereka selesai jelasin, dia nangis kenceng. Elara peluk dia, ngerasa air matanya sendiri jatuh pelan. Dia nggak tahu apa yang harus dikatain, jadi dia cuma peluk Finn, berharap itu cukup.

Hari-hari berikutnya berat. Ayah pindah ke apartemen temennya, bawa barang-barangnya yang bikin rumah makin kosong. Elara coba jadi kuat buat Finn, bantuin dia ke sekolah, masak makan malam, jaga rutinitas. Tapi di dalem, dia hancur. Dia nggak bisa lihat ayahnya tanpa ngerasa marah, dan pas ayah coba minta maaf, dia cuma mingkem, nggak mau denger.

Satu sore, pas Elara jalan pulang dari sekolah, dia mampir ke taman deket rumah. Dia duduk di ayunan, ngerasa angin sepoi-sepoi di wajahnya. Taman sepi, cuma ada suara daun bergoyang. Dia ingat masa kecilnya di sini—main ayunan sama ayah, ketawa bareng Finn. Sekarang, semuanya berubah.

Pas dia lagi melamun, dia denger langkah kaki. Dia ngeliat ke atas—ada kakek tua jalanin anjing kecil yang ekornya goyang-goyang. Kakeknya senyum, matanya ramah.

“Hari yang bagus, ya?” katanya, suaranya hangat.

Elara ngangguk, meskipun dia nggak ngerasa gitu. “Iya, kayaknya.”

Kakeknya ketawa pelan. “Dulu, pas seumuran kamu, aku suka ke taman ini kalo lagi pusing. Alam tuh bisa bantu bikin pikiran jernih.”

Elara nggak jawab, tapi kata-kata itu nyantol di kepalanya. Kakeknya jalan lagi, anjingnya ikut ceria. Elara duduk lama di situ, ngeliat matahari turun, langit jadi orange dan pink. Buat pertama kalinya dalam berminggu-minggu, dia ngerasa damai, meskipun cuma bentar.

Tapi pas dia pulang, dia kaget ngeliat mobil ayahnya di depan rumah. Jantungannya cepet. Dia masuk pelan, denger suara orang tuanya ngobrol pelan di ruang tamu. Dia deketin, nyoba denger.

“…kita harus kasih tahu mereka,” kata ayahnya, nadanya serius.

“Kasih tahu apa?” balas ibunya, tegang.

“Kenapa kita beneran pisah.”

Elara ngerasa darahnya dingin. Apa maksudnya? Sebelum dia sadar, dia udah masuk ruangan. Orang tuanya kaget ngeliat dia.

“Elara,” kata ibunya, wajahnya pucet. “Kami nggak denger kamu pulang.”

“Ada apa?” tanya Elara, suaranya gemetar. “Apa yang nggak kalian kasih tahu aku?”

Orang tuanya saling pandang, dan Elara tahu, apa pun yang bakal mereka bilang, bakal ganti segalanya.

Ayahnya tarik napas dalam, wajahnya penuh sesal. “Elara, ada yang kamu sama Finn nggak tahu. Ibu sama Ayah pisah… karena Ayah punya orang lain.”

Dunia Elara kayak ambruk. Dia ngeliat ayahnya, nunggu dia bilang itu bohong. Tapi ayahnya cuma ngangguk pelan.

“Iya. Maafin Ayah, Elara. Ayah nggak mau gini, tapi udah kejadian, dan Ayah nggak bisa balikin waktu.”

Elara ngerasa mual. Selama ini dia pikir mereka cuma bertengkar biasa—uang, kerja, hal kecil. Tapi ini… ini pengkhianatan. Dia nggak bisa nyanyi, nggak bisa mikir.

“Gimana kamu bisa gitu?” teriaknya, suaranya naik. “Gimana kamu bisa nyanyi gitu ke kami? Ke Ibu?”

Ayahnya mau jawab, tapi Elara nggak mau denger. Dia lari keluar, nggak peduli ibunya panggil. Dia lari sampe kakinya sakit, napasnya putus-putus, air matanya buram. Dia nggak tahu mau ke mana, cuma mau jauh dari semua itu.

Akhirnya, dia ambruk di bangku taman kecil, nangis sesenggukan. Sakitnya terlalu gede, terlalu berat. Dia ngerasa hatinya pecah, dan dia nggak tahu gimana cara nyanyi lagi.

Merangkai Kembali yang Pecah

Minggu-minggu setelah kebenaran itu terungkap terasa kayak kabut tebel buat Elara. Pengkhianatan ayahnya bikin luka yang dalam, yang dia nggak tahu cara nyanyi sembuhin. Ibunya, yang dulu kuat, sekarang kayak bayangan—banyak tidur, matanya sembab, semangatnya hilang. Finn, yang masih kecil banget, cuma bisa nempel ke Elara, wajahnya penuh takut dan bingung.

Elara coba jadi penutup buat mereka. Dia bangun pagi, bawa Finn ke sekolah, masak apa aja yang bisa dia temuin di dapur, jaga supaya hidup tetep jalan. Tapi di dalem, dia tenggelam. Marahnya ke ayahnya kayak racun, nyanyi ke setiap pikiran dan perasaannya. Pas ayahnya nelpon atau dateng, dia nggak mau ngomong, nggak mau denger alesannya.

Sekolah jadi tempat dia sembunyi. Dia belajar mati-matian, nyoba lari dari rasa sakit, meskipun cuma sementara. Tapi lama-lama, dia nggak bisa sembunyi lagi. Nilainya turun, gurunya nanya apa kabar, dan Mia, temennya, nggak berhenti nyanyi perhatian.

Satu siang, pas Elara duduk di perpustakaan, pura-pura baca, gurunya, Pak Budi, dateng. Dia duduk di depan Elara, matanya penuh perhatian.

“Elara, aku notice kamu nggak kayak biasanya. Tugasmu nggak sebagus dulu, dan kamu keliatan jauh. Ada apa di rumah?”

Elara ngerasa tenggorokannya kering. Dia mau cerita, mau keluarin semua yang dia pendem, tapi kata-kata itu macet. Dia cuma senyum tipis. “Aku baik, Pak. Cuma lagi capek.”

Pak Budi nggak keliatan yakin, tapi dia ngangguk. “Kalau butuh ngobrol, pintuku selalu terbuka. Kamu anak pinter, Elara, aku nggak mau kamu kehilangan arah.”

Kata-kata itu nyanyi di kepalanya lama setelah Pak Budi pergi. Dia tahu gurunya bener—dia lagi nyasar, dan kalau dia nggak ngapa-ngapain, dia bakal ilang beneran.

Malem itu, pas Elara bantuin Finn ngerjain PR, ibunya keluar kamar, pertama kalinya dalam berhari-hari. Dia keliatan rapuh, wajahnya tirus, tapi matanya punya semangat baru.

“Elara, bisa ke sini bentar?” panggilnya dari ruang tamu.

Elara ngeliat Finn, yang cuma ngangguk dan balik ke bukunya. Dia jalan ke ruang tamu, ngerasa cemas. Ibunya duduk di sofa, depannya penuh kertas.

“Ini apa?” tanya Elara, duduk di sebelahnya.

Ibunya tarik napas dalam. “Aku udah ngobrol sama pengacara. Ayah sama Ibu bakal mulai proses cerai. Ini nggak bakal gampang, tapi aku yakin ini yang terbaik buat kita semua.”

Elara ngerasa hati kecilnya tenggelam. Meskipun dia udah nyangka, denger itu tetep nyanyi. “Terus kita gimana?”

Ibunya pegang tangannya. “Kamu sama Finn tinggal sama Ibu. Ayah bakal punya waktu ketemu kalian, tapi kami masih atur. Yang pasti, kita bakal hadepin ini bareng.”

Elara ngangguk, meskipun dia nggak yakin bisa percaya. Bareng? Keluarganya udah pecah, dan dia nggak tahu gimana cara nyanyi bareng lagi.

Bulan-bulan berikutnya, cerai itu beneran jalan. Ayah pindah ke apartemen kecil di pinggir kota, bawa sisa-sisa hidup mereka yang dulu utuh. Elara nolak ketemu, masih terlalu marah, dan Finn, ngikutin dia, juga nggak mau. Tapi perlahan, ibunya mulai bangkit. Dia ikut terapi, gabung grup buat ibu-ibu cerai, dan mulai nyanyi hidupnya dari nol. Dia bahkan mulai senyum lagi, meskipun kecil dan rapuh.

Satu pagi Sabtu, Elara bangun denger bau pancake dari dapur. Dia turun, kaget ngeliat ibunya masak, nyanyi pelan. Finn udah duduk di meja, mulutnya penuh makanan, senyum lebar.

“Pagi, ngantuk,” kata ibunya, senyum ke Elara. “Aku pikir kita bisa sarapan bareng, cuma kita bertiga.”

Elara ragu, tapi duduk. Rasanya aneh, hampir nggak nyata, ngelakuin hal biasa setelah semua yang kejadian. Tapi pas dia gigit pancakenya, dia sadar—mungkin ini awal dari sembuh, dari nyanyi normal yang baru.

Setelah sarapan, ibunya ngajak jalan ke taman. Elara setuju, dan mereka bertiga jalan, ngeliat Finn lari kejar tupai. Buat pertama kalinya, Elara ngerasa harapan kecil—mungkin mereka bisa bikin hidup baru, meskipun beda dari dulu.

Tapi pas Elara mulai nyaman, hidup kasih kejutan lagi. Malem itu, pas dia mau tidur, HP-nya bunyi. Pesan dari ayahnya.

“Elara, aku tahu kamu marah, dan aku nggak nyalahin kamu. Tapi aku kangen sama kamu sama Finn. Bisa kita ngobrol? Tolong?”

Elara tatap pesan itu, perasaannya campur aduk. Sebagian dia mau abaikan, mau hukum ayahnya selamanya. Tapi sebagian lagi—bagian yang masih inget ayahnya baca cerita sebelum tidur—kangen suaranya.

Setelah lama, dia bales: “Oke. Kita bisa ngobrol.”

Besoknya, Elara ketemu ayahnya di kafe kecil deket apartemennya. Dia gemetaran, nyanyi kopinya, tapi dia paksa diri tatap matanya.

“Maafin Ayah, Elara,” kata ayahnya, suaranya penuh rasa bersalah. “Aku tahu aku nyanyi kamu, dan aku nggak bisa balikin apa yang udah aku lakuin. Tapi aku cinta sama kamu sama Finn lebih dari apa pun. Aku nggak mau kehilangan kalian.”

Elara ngerasa matanya panas. Dia mau percaya, tapi kepercayaannya udah hancur. “Aku nggak tahu bisa maafin kamu,” katanya, suaranya pecah. “Tapi aku juga kangen.”

Ayahnya pegang tangannya, matanya basah. “Itu udah cukup buat sekarang. Sketchy

Elara ngerasa dunia kayak berhenti. Dia nggak nyanyi apa-apa, cuma denger suara ayahnya yang pelan, penuh penyesalan. “Aku janji, Elara. Aku bakal coba bikin semuanya bener lagi, walau lama.”

Elara nggak jawab apa-apa. Dia cuma ngangguk pelan, ngerasa beban di dadanya sedikit ringan. Mereka duduk lama di kafe itu, ngobrol pelan-pelan, nyoba nyanyi jembatan yang udah patah. Nggak gampang—ada hari dia masih marah, masih sakit—tapi mereka tetep nyoba, selangkah demi selangkah.

Bulan-bulan berikutnya, hubungan Elara sama ayahnya mulai pulih, meskipun pelan dan penuh liku. Ibunya makin kuat—dia dapat kerja baru yang bikin dia semangat, dan mulai kencan lagi, meskipun pelan-pelan. Rumah yang dulu penuh ketegangan sekarang mulai ada tawa lagi, meskipun kecil.

Elara sendiri belajar hidup sama luka itu. Dia balik nulis di jurnalnya, tuangin semua pikiran dan perasaannya, dan dia sadar itu bantu dia ngerti dunia yang kacau. Dia nggak bisa balikin masa lalu, tapi dia bisa nyanyi ke depan, walau susah.

Satu malem, pas Elara duduk di kasur sama Finn, nulis, Finn ketok pintu.

“El, boleh nanya?” katanya, naik ke kasur.

“Tentu, apa?” jawab Elara, taruh pulpennya.

“Menurut kamu, Ibu sama Ayah bakal balikan?”

Elara ngerasa dadanya nyanyi. Dia udah sering mikir gitu, tapi sekarang dia tahu jawabannya. “Kayaknya nggak, Finn. Tapi bukan berarti kita nggak tetep keluarga. Cuma… beda sekarang.”

Finn ngangguk, meskipun keliatannya nggak yakin. “Aku kangen sama dulu.”

“Aku juga,” kata Elara pelan, peluk dia. “Tapi mungkin, lama-lama, kita bisa nyanyi cara baru buat seneng.”

Finn nyanyi ke pundaknya, dan Elara ngerasa hangat. Dia nggak punya semua jawaban, nggak tahu apa yang bakal dateng, tapi dia tahu satu hal—mereka bakal lewatin bareng.

Pas matahari tenggelam di luar jendela, kamarnya penuh cahaya lembut, Elara ngerasa damai. Jalan ke depan bakal panjang dan susah, tapi dia siap hadepin, selangkah demi selangkah.

Sebagai penutup, cerpen “Kepingan Rumah yang Retak” bukan sekadar kisah tentang penderitaan, melainkan sebuah cermin yang memantulkan realitas banyak remaja yang terjebak dalam situasi keluarga yang broken home. Melalui perjalanan emosional Vira, kita diajak untuk memahami bahwa di balik setiap retakan, ada kekuatan yang tersembunyi untuk bertahan dan bangkit. Cerita ini mengingatkan kita akan pentingnya empati dan dukungan bagi mereka yang berjuang dalam keheningan. Terima kasih telah menyimak ulasan ini, semoga kisah Vira menginspirasi Anda untuk lebih peka terhadap cerita-cerita di sekitar kita. Sampai jumpa di artikel selanjutnya, pembaca setia!

Leave a Reply