Cinta Abadi di Bawah Langit Surabaya: Kisah Remaja Penuh Emosi

Posted on

“Cinta Abadi di Bawah Langit Surabaya: Kisah Remaja Penuh Emosi” membawa Anda ke dalam perjalanan cinta yang mendalam dan penuh tantangan bersama Liriel Zafira dan Javiero Aditya, dua remaja yang berjuang melawan rintangan keluarga dan hujan melankolis Surabaya pada tahun 2024. Dengan alur cerita yang detail, emosi yang menghanyutkan, dan konflik batin yang relatable, cerpen ini menawarkan pengalaman membaca yang tak terlupakan. Siapkah Anda menyelami kisah cinta abadi ini yang penuh harapan dan perjuangan di tahun 2025?

Cinta Abadi di Bawah Langit Surabaya

Pertemuan di Balik Hujan

Surabaya, akhir Oktober 2024, udara terasa lembap dengan aroma tanah basah yang tercium setelah hujan deras mengguyur kota. Di sebuah sudut kecil dekat SMA Nusantara Harapan, seorang gadis bernama Liriel Zafira berdiri di bawah pohon beringin tua, memandang jalanan yang licin dengan mata penuh keraguan. Rambutnya yang hitam legam, panjang hingga pinggang, basah menempel di wajahnya yang pucat, sementara jas hujan birunya tampak compang-camping karena terkena angin kencang. Usianya baru 16 tahun, tapi tatapan matanya yang cokelat tua seolah membawa beban yang jauh lebih berat dari umurnya. Liriel dikenal di sekolah sebagai gadis pendiam yang selalu membawa buku tebal di tangannya, dijuluki “Penjaga Cerita” oleh teman-temannya karena kecintaannya pada literatur.

Hujan mulai mereda, meninggalkan genangan air di trotoar. Liriel menghela napas panjang, menatap langit kelabu yang seolah mencerminkan hatinya. Dia baru saja bertengkar hebat dengan ibunya pagi tadi, perihal nilai ulangan matematika yang turun drastis. Ibunya, seorang guru senior yang keras, menuntut kesempurnaan, sementara Liriel merasa tertekan oleh ekspektasi itu. Di tengah lamunannya, sebuah suara lembut mengagetkannya.

“Hey, kamu nggak apa-apa? Basah kuyup gitu.”

Liriel menoleh dan mendapati seorang pemuda berdiri di sampingnya, memegang payung hitam yang sedikit miring karena angin. Pemuda itu bernama Javiero Aditya, 17 tahun, dengan rambut ikal cokelat yang sedikit acak-acakan dan mata abu-abu yang anehnya memancarkan kehangatan. Dia adalah siswa baru di SMA Nusantara Harapan, pindah dari Bandung karena pekerjaan ayahnya, dan sudah mulai menarik perhatian dengan senyumnya yang ramah serta bakatnya dalam musik.

“Aku… iya, aku baik-baik saja,” jawab Liriel, suaranya pelan sambil menggeser posisi untuk menjauh sedikit. Dia tak terbiasa dengan orang asing yang tiba-tiba berbicara padanya.

Javiero tersenyum, memajukan payungnya sedikit untuk melindungi Liriel dari tetesan air yang masih jatuh dari daun-daun. “Aku Javiero. Aku liat kamu berdiri sendirian dari tadi. Kalau nggak keberatan, aku antar ke halte, ya? Nggak enak kalau kamu sakit.”

Liriel ragu, tapi ada sesuatu dalam sikap Javiero yang membuatnya merasa aman. Dia mengangguk pelan, dan mereka berjalan bersama menuju halte bus di ujung jalan. Sepanjang perjalanan, hening hanya diisi suara tetesan air dan angin yang berdesir. Tapi di dalam hati Liriel, ada getaran aneh yang tak bisa dia jelaskan.

Di halte, mereka duduk di bangku kayu yang sudah tua, dikelilingi oleh bau aspal basah. Javiero membuka ranselnya dan mengeluarkan sebuah harmonika kecil. “Aku suka main ini pas hujan. Membantu aku mikir,” katanya, lalu meniupkan nada-nada sederhana yang terdengar melankolis namun menenangkan. Liriel mendengarkan dengan saksama, dan untuk pertama kalinya hari itu, dia merasa sedikit lebih ringan.

“Bagus,” komentar Liriel, suaranya hampir hilang dalam suara angin. “Kamu jago.”

Javiero tertawa kecil. “Terima kasih. Kamu suka musik juga?”

Liriel mengangguk. “Tapi aku lebih suka baca. Buku lebih… bisa dipercaya.”

Javiero memandangnya dengan penasaran, tapi tak menekan lebih jauh. “Mungkin suatu hari kamu bisa ceritain buku favoritmu ke aku. Aku baru di sini, jadi butuh temen buat ngobrol.”

Sebelum Liriel bisa menjawab, bus datang, dan dia buru-buru berdiri. “Terima kasih, Javiero. Sampai jumpa,” katanya singkat, lalu naik bus dengan hati yang masih bergetar. Di dalam bus, dia menatap jendela, melihat bayangan Javiero yang masih berdiri di halte, memainkan harmonikanya di bawah payung.

Malam itu, Liriel duduk di kamarnya yang sederhana, dikelilingi tumpukan buku bekas. Dia membuka jurnalnya yang sudah lusuh, menulis tentang pertemuan tak terduga itu. “Hari ini aku ketemu seseorang yang bikin hatiku bergetar. Aku takut, tapi aku juga penasaran,” tulisnya, lalu menutup buku dengan napas berat. Di luar jendela, hujan kembali turun, seolah menyanyikan lagu yang sama dengan harmonika Javiero.

Hari berikutnya di sekolah, Liriel tak sengaja bertemu Javiero lagi di perpustakaan. Dia sedang mencari buku puisi, sementara Javiero duduk di sudut dengan gitar akustik kecil, berlatih chord sederhana. Matanya bertemu, dan Javiero melambai ramah. “Liriel, kan? Kamu suka ke sini juga?”

Liriel mengangguk, merasa wajahnya memanas. “Iya. Aku suka tempat yang tenang.”

Mereka mulai mengobrol, dari buku hingga musik, dan Liriel menemukan bahwa Javiero punya sisi lembut yang disembunyikan di balik sikapnya yang santai. Dia bercerita tentang ibunya yang meninggal dua tahun lalu, membuatnya pindah ke Surabaya untuk memulai ulang. Liriel, yang biasanya tertutup, malah merasa nyaman berbagi tentang tekanan dari ibunya dan mimpinya menjadi penulis.

Sejak hari itu, mereka sering bertemu, baik di perpustakaan maupun di taman sekolah saat istirahat. Javiero selalu membawa harmonikanya, sementara Liriel membawa buku puisi yang dia baca berdua dengannya. Tapi di balik keakraban itu, Liriel mulai merasakan sesuatu yang lebih dalam—cinta yang perlahan tumbuh di hatinya, meski dia takut mengakuinya.

Suatu sore, saat hujan turun lagi, Javiero mengajak Liriel ke taman kecil di belakang sekolah. Di bawah pohon pisang, dia memainkan lagu yang dia tulis sendiri, sebuah melodi lembut yang menggambarkan hujan dan perasaan yang tak terucap. Liriel menangis tanpa suara, terharu oleh kepekaan Javiero.

“Liriel,” kata Javiero, meletakkan harmonikanya. “Aku suka sama kamu. Bukan cuma sebagai temen, tapi… lebih dari itu.”

Liriel terdiam, jantungnya berdegup kencang. Dia ingin membalas, tapi bayangan ibunya yang keras muncul di pikirannya. “Aku… aku nggak tahu, Jav. Aku takut,” akunya pelan.

Javiero mengangguk, tak memaksa. “Aku ngerti. Aku cuma mau kamu tahu perasaanku. Ambil waktu yang kamu butuhin.”

Malam itu, Liriel menulis lagi di jurnalnya, air matanya menetes di halaman. “Aku suka dia, tapi aku takut kehilangan diriku sendiri. Apa cinta ini worth it?” Di luar, hujan terus turun, seolah menangisi keraguannya.

Luka di Tengah Cinta

November 2024 membawa angin sepoi-sepoi ke Surabaya, tapi hati Liriel Zafira tetap gelisah. Setelah pengakuan Javiero Aditya di taman sekolah, hubungan mereka berubah. Mereka tetap bertemu, tapi ada ketegangan yang tak terucap. Liriel, yang biasanya pendiam, kini sering terlihat melamun di kelas, menatap jendela dengan mata kosong. Sahabatnya, Yasmin Aurelia, gadis energik dengan rambut pendek pirang dan tawa ceria, mulai curiga.

“Lir, kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kayak orang kehilangan jiwa,” tanya Yasmin suatu hari di kantin sekolah, sambil mengaduk es tehnya dengan sedotan.

Liriel menghela napas, memainkan ujung seragamnya. “Aku cuma… bingung, Yas. Ada seseorang yang aku suka, tapi aku takut.”

Yasmin menyipitkan mata, lalu tersenyum lebar. “Javiero, kan? Aku tahu dari matanya pas dia liat kamu di perpustakaan. Cowok itu jelas naksir banget!”

Liriel memerah, tapi tak membantah. “Iya, tapi ibuku… dia nggak akan setuju. Dia mau aku fokus belajar, nggak mikirin cowok.”

Yasmin menggeleng, meletakkan gelasnya. “Lir, kamu cuma 16. Hidup nggak cuma soal nilai. Kalau kamu suka sama Javiero, coba deh kasih kesempatan. Tapi jangan lupa diri, ya.”

Nasihat Yasmin membuat Liriel berpikir. Dia mulai mengamati Javiero lebih dekat—cara dia tersenyum saat bermain harmonika, cara dia mendengarkan ceritanya dengan penuh perhatian. Perlahan, dia membuka hati, dan suatu hari, di bawah pohon beringin yang sama tempat mereka bertemu pertama kali, Liriel berkata, “Jav, aku… aku juga suka sama kamu.”

Javiero tersenyum lebar, matanya berbinar. Dia menggenggam tangan Liriel, dan untuk pertama kalinya, mereka merasa dunia hanya milik mereka berdua. Mereka mulai menghabiskan waktu bersama lebih sering, dari belajar bareng di perpustakaan hingga jalan-jalan di sepanjang Jalan Tunjungan saat akhir pekan. Javiero sering membawakan Liriel buku puisi bekas yang dia temukan di toko tua, sementara Liriel menulis puisi pendek untuk Javiero, yang selalu dia simpan di dompetnya.

Tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Suatu malam, ibu Liriel, Siti Rahayu, menemukan puisi yang ditulis Liriel untuk Javiero di mejanya. Marah besar, Siti memanggil Liriel ke ruang tamu, suaranya menggema di rumah sederhana mereka.

“Ini apa, Liriel?! Kamu pacaran sama cowok padahal aku udah bilang fokus belajar!” bentak Siti, memegang puisi itu dengan tangan gemetar.

Liriel menunduk, air matanya menetes. “Maaf, Bu. Tapi aku suka sama dia. Dia baik sama aku.”

Siti memotong dengan nada tinggi. “Baik? Cowok cuma bikin kamu lupa tujuanmu! Aku nggak akan izinin hubungan ini. Besok kamu putus sama dia, atau aku pindahin kamu ke sekolah lain!”

Liriel menangis, tapi tak berani membantah. Malam itu, dia menulis di jurnalnya dengan tangan gemetar. “Aku nggak mau kehilangan Jav, tapi aku juga nggak mau kehilangan ibuku. Apa yang harus aku lakukan?”

Keesokan harinya, Liriel bertemu Javiero di perpustakaan dengan mata sembab. Dia menceritakan ancaman ibunya, dan Javiero memeluknya erat. “Kita cari cara, Lir. Aku nggak mau kehilangan kamu juga.”

Tapi rencana mereka tak berjalan mulus. Siti mulai mengawasi Liriel ketat, melarangnya pergi ke perpustakaan atau bertemu teman di luar sekolah. Liriel merasa seperti burung di dalam sangkar, dan setiap kali dia melihat Javiero dari kejauhan, hatinya terasa hancur. Javiero, yang biasanya ceria, kini terlihat murung, sering bermain harmonika sendirian di taman sekolah dengan nada-nada sedih.

Suatu hari, saat hujan turun lagi, Liriel nekat keluar rumah untuk menemui Javiero. Di bawah pohon pisang, mereka bertemu, basah kuyup oleh hujan. “Jav, aku nggak tahan lagi. Ibu aku terlalu keras,” tangis Liriel, memeluk Javiero erat.

Javiero mengelus rambutnya, matanya juga berkaca-kaca. “Aku tahu ini susah, Lir. Tapi aku janji, aku bakal tunggu kamu. Kita cari jalan bareng.”

Tapi harapan itu sirna ketika Siti tiba-tiba muncul, menarik Liriel dari pelukan Javiero. “Kamu malu-maluin aku, Liriel! Pulang sekarang!” teriak Siti, suaranya penuh amarah. Liriel menangis, mencoba melawan, tapi Siti lebih kuat. Javiero hanya bisa menatap, tak berdaya, saat Liriel dibawa pergi.

Malam itu, Siti mengunci Liriel di kamarnya, melarangnya menggunakan ponsel atau keluar rumah selama seminggu. Liriel menangis sepanjang malam, menulis surat untuk Javiero yang tak bisa dia kirim. “Aku sayang kamu, Jav. Tapi aku nggak tahu kapan kita bisa bareng lagi,” tulisnya, lalu menyimpan surat itu di laci.

Di sisi lain kota, Javiero duduk di kamarnya, memainkan harmonika dengan nada yang semakin melankolis. Dia menatap foto Liriel yang dia ambil diam-diam di taman, air matanya jatuh ke lantai. “Aku bakal tunggu kamu, Lir. Apa pun yang terjadi,” bisiknya pada dirinya sendiri.

Hari-hari berikutnya, Liriel dipaksa fokus belajar oleh Siti, tapi pikirannya selalu pada Javiero. Dia mendengar kabar dari Yasmin bahwa Javiero semakin tertutup, jarang ke sekolah, dan sering absen. Liriel merasa bersalah, tapi dia tak punya cara untuk menghubunginya.

Suatu sore, saat Siti pergi mengajar, Liriel nekat membobol laci ibunya untuk mengambil ponsel. Dengan tangan gemetar, dia mengirim pesan ke Javiero. “Jav, aku rindu kamu. Aku coba cari cara buat kita bareng lagi. Jangan menyerah, ya.”

Javiero membalas cepat, “Aku juga rindu kamu, Lir. Aku nggak akan menyerah. Kita ketemu di taman besok malam, kalau kamu bisa.”

Liriel mengangguk pada dirinya sendiri, meski hati kecilnya tak yakin. Tapi dia tahu, demi cinta yang tumbuh di tengah hujan, dia harus berjuang.

Perjuangan di Tengah Badai

Desember 2024 menyapa Surabaya dengan udara yang sedikit lebih sejuk, tapi hati Liriel Zafira tetap dilanda badai emosi. Setelah pertemuan singkat dengan Javiero Aditya di taman sekolah yang berakhir dengan kemarahan ibunya, Siti Rahayu, Liriel merasa seperti dipenjara dalam rumahnya sendiri. Kamarnya yang dulu jadi tempat pelarian dengan buku dan jurnal kini terasa seperti sangkar besi, dengan pintu yang dikunci setiap malam oleh Siti. Ponselnya telah disita, dan Yasmin Aurelia, sahabatnya, hanya bisa menyelinap memberi kabar melalui catatan kecil yang disembunyikan di buku pelajaran Liriel saat jam pelajaran.

Malam itu, Liriel duduk di tepi ranjangnya, menatap jendela yang tertutup rapat. Di tangannya, dia memegang surat yang tak pernah dikirim untuk Javiero, tinta di atas kertas lusuh sudah memudar karena air matanya. “Aku harus ketemu dia,” gumamnya pada dirinya sendiri, matanya berkaca-kaca. Pesan terakhir Javiero masih bergema di pikirannya—“Kita ketemu di taman besok malam, kalau kamu bisa”—dan Liriel tahu ini mungkin satu-satunya kesempatan mereka.

Siti, yang biasanya pulang larut karena mengajar les tambahan, menjadi rutinitas harian. Liriel memanfaatkan waktu itu untuk merencanakan pelariannya. Dia mengamati pola ibunya, mencatat kapan Siti pergi dan kembali, dan meminta bantuan Yasmin untuk jadi penutup jika ada yang mencari. Yasmin, dengan keberaniannya yang khas, setuju membantu. “Kamu layak bahagia, Lir. Aku bakal bantu sampe kamu bisa ketemu Javiero,” kata Yasmin suatu hari, menyelinap ke belakang perpustakaan untuk menyerahkan peta sederhana menuju taman.

Malam berikutnya, saat Siti pergi mengajar, Liriel memaksa jendela kamarnya terbuka dengan bantuan sendok logam yang dia ambil dari dapur. Dengan hati berdebar, dia turun menggunakan selimut yang diikatkan ke tiang ranjang, kakinya gemetar menyentuh tanah basah. Hujan kecil mulai turun, dan Liriel berlari menuju taman sekolah, jaket abu-abunya basah kuyup, tapi dia tak peduli. Di taman, di bawah pohon pisang yang sama, Javiero sudah menunggu, memainkan harmonikanya dengan nada yang penuh kerinduan.

“Lir!” panggil Javiero, berlari mendekat saat melihatnya. Dia memeluk Liriel erat, dan untuk sesaat, dunia terasa hening. “Aku takut kamu nggak datang.”

Liriel menangis di bahu Javiero, tangannya mencengkeram jaketnya. “Aku hampir nggak bisa, Jav. Ibu aku ketat banget. Aku nggak tahu berapa lama aku bisa gini.”

Javiero mengelus rambutnya, matanya penuh tekad. “Aku bakal cari cara, Lir. Kita nggak bisa terus begini. Aku mau bicara sama ibumu, jelasin bahwa aku serius sama kamu.”

Liriel menggeleng cepat. “Nggak, Jav. Dia nggak akan denger. Dia benci cowok buat aku. Katanya aku harus fokus kuliah, nggak boleh pacaran.”

Tapi Javiero tak menyerah. Dia mengusulkan rencana—minta bantuan Yasmin untuk mengatur pertemuan dengan Siti di tempat netral, seperti kafe kecil dekat sekolah, di mana Javiero bisa menunjukkan niat baiknya. Liriel ragu, tapi melihat semangat Javiero, dia setuju. Mereka berpisah di bawah hujan, berjanji akan mencoba lagi.

Hari berikutnya, Yasmin bekerja keras mengatur pertemuan. Dengan tipu muslihat, dia meyakinkan Siti bahwa ada acara sekolah yang membutuhkan kehadiran orang tua, dan kafe itu jadi tempat yang dipilih. Siti, yang awalnya curiga, akhirnya setuju, tak tahu bahwa Javiero akan hadir. Malam itu, di kafe sederhana dengan aroma kopi hangat, Siti duduk dengan wajah tegang, sementara Liriel dan Javiero masuk bersama.

“Ibu, ini Javiero,” kata Liriel, suaranya gemetar. “Dia… dia yang aku suka.”

Siti memandang Javiero dengan tatapan tajam, matanya menyipit. “Jadi kamu yang bikin anakku lupa belajar? Aku udah bilang, Liriel, nggak ada cowok yang boleh ganggu fokusmu!”

Javiero berdiri tegak, meski jantungnya berdegup kencang. “Ibu Siti, saya ngerti kekhawatiran Ibu. Tapi saya janji, saya nggak akan ganggu fokus Liriel. Saya dukung dia buat belajar, dan saya serius sama dia. Saya cuma mau dia bahagia.”

Siti tertawa kecil, tapi nadanya penuh sinisme. “Bahagia? Kamu anak kecil yang ngerti apa tentang bahagia? Liriel punya masa depan, dan aku nggak akan izinin dia buang waktu sama kamu!”

Pertemuan itu berakhir dengan kemarahan Siti, yang langsung menarik Liriel keluar dari kafe. Javiero hanya bisa menatap, tangannya mencengkeram harmonika di sakunya. Di rumah, Siti semakin memperketat aturan—Liriel dilarang ke sekolah selama seminggu, dipaksa belajar di rumah dengan guru privat yang dia sewa. Liriel menangis setiap malam, merasa cintanya dengan Javiero semakin jauh.

Di sisi lain, Javiero tak menyerah. Dia menulis surat untuk Liriel, meminta Yasmin menyampaikannya. Dalam surat itu, dia menulis, “Lir, aku tahu ini susah. Tapi aku percaya kita bisa lewatin ini. Aku bakal tunggu, sampe kamu siap melawan buat kita.” Liriel membaca surat itu di sela-sela pelajaran privat, air matanya menetes ke kertas. Dia mulai merencanakan pemberontakan kecil—membujuk Siti dengan nilai bagus untuk mendapatkan kepercayaan kembali, lalu memanfaatkannya untuk bertemu Javiero.

Hari-hari berlalu dengan tekanan yang semakin berat. Liriel belajar mati-matian, menghafal rumus matematika dan menulis esai panjang untuk membuktikan pada Siti bahwa dia masih fokus. Akhirnya, setelah dua minggu, Siti mulai melunak, mengizinkan Liriel kembali ke sekolah dengan pengawasan ketat. Liriel memanfaatkan momen itu, menyelinap bertemu Javiero di perpustakaan saat istirahat.

Di sudut perpustakaan yang sepi, mereka berpelukan, air mata mereka bercampur dengan harapan. “Kita harus sabar, Jav,” kata Liriel. “Aku bakal coba ubah pikiran ibu aku, tapi aku butuh waktu.”

Javiero mengangguk, mencium keningnya lembut. “Aku tunggu, Lir. Selamanya, kalau perlu.”

Tapi badai belum usai. Siti mulai mencurigai aktivitas Liriel lagi, dan suatu malam, dia menemukan surat dari Javiero di tas Liriel. Marah besar, Siti mengunci Liriel kembali, kali ini dengan ancaman pindah ke kota lain. Liriel menangis sepanjang malam, merasa cintanya hancur di tengah badai yang tak kunjung reda.

Cahaya di Ujung Hujan

Januari 2025 membawa angin segar ke Surabaya, tapi luka di hati Liriel Zafira masih terasa dalam. Setelah ancaman Siti Rahayu untuk memindahkannya ke kota lain, Liriel merasa harapannya bersama Javiero Aditya semakin tipis. Kamarnya kini jadi penjara sunyi, dengan jendela yang selalu terkunci dan buku-bukunya yang tak lagi memberi kenyamanan. Tapi di dalam dadanya, api kecil masih menyala—cinta yang tak pernah padam untuk Javiero.

Yasmin Aurelia, yang terus mendukung, membawa kabar baik suatu hari. “Lir, aku denger Javiero lagi nyanyi di acara sekolah minggu depan. Dia bilang itu buat kamu. Kamu harus ke sana, aku bantu atur!”

Liriel ragu, tapi dorongan Yasmin membuatnya berani. Dia merencanakan pelarian terakhir—menggunakan alasan tugas sekolah untuk keluar rumah, dengan Yasmin sebagai penutup. Malam acara, Liriel menyelinap keluar, mengenakan jaket tebal untuk menyamarkan dirinya dari mata Siti. Di aula sekolah, lampu sorot menyala, dan Javiero berdiri di panggung dengan gitar akustiknya, rambutnya sedikit basah oleh hujan ringan di luar.

Ketika Javiero mulai bernyanyi, lagu yang dia tulis untuk Liriel, suaranya lembut namun penuh emosi. “Di balik hujan, aku cari cahayamu, di setiap tetes, aku dengar namamu,” nyanyian itu mengguncang hati Liriel, yang berdiri di sudut aula dengan air mata mengalir. Penonton terpukau, tapi hanya Liriel yang tahu makna sebenarnya di balik lagu itu.

Setelah penampilan, Javiero turun dari panggung dan langsung mencari Liriel. Mereka berpelukan di belakang panggung, tak peduli tatapan orang lain. “Lir, aku nggak nyerah. Aku mau ibumu ngerti,” kata Javiero, matanya penuh tekad.

Liriel mengangguk, tapi tahu ini belum selesai. Mereka merencanakan pertemuan terbuka dengan Siti, kali ini dengan dukungan Yasmin dan guru pembimbing sekolah, Pak Dwi, yang dikenal adil. Malam berikutnya, di ruang tamu rumah Liriel, pertemuan itu diadakan. Siti duduk dengan wajah masam, sementara Javiero, Liriel, Yasmin, dan Pak Dwi hadir.

“Ibu, saya minta maaf kalau saya bikin Liriel lupa belajar,” kata Javiero, suaranya teguh. “Tapi saya janji, saya dukung dia buat capai mimpinya. Saya sayang sama dia, dan saya mau buktikan itu.”

Pak Dwi menambahkan, “Bu Siti, Liriel anak yang cerdas. Hubungan ini nggak mengganggu prestasinya, malah bikin dia lebih termotivasi. Saya dukung mereka kalau Ibu izinin.”

Siti terdiam lama, matanya menatap Liriel yang menangis pelan. Untuk pertama kalinya, ada keraguan di wajahnya. “Aku cuma takut kamu salah pilih, Liriel,” katanya akhirnya, suaranya lembut. “Tapi kalau dia bikin kamu bahagia, aku… aku coba terima.”

Liriel melompat memeluk ibunya, air matanya bercampur dengan tawa. Javiero tersenyum, merasa beban di pundaknya hilang. Mereka sepakat untuk melanjutkan hubungan dengan aturan ketat—belajar tetap nomor satu, dan Javiero harus menunjukkan komitmen dengan membantu Liriel belajar.

Hari-hari berikutnya, mereka membuktikan janji itu. Javiero sering datang ke rumah Liriel, membawa buku dan harmonikanya, membantu Liriel dengan pelajaran sambil sesekali bermain musik untuk menghibur. Siti, meski masih waspada, mulai melihat perubahan positif pada Liriel—nilainya naik, dan senyumnya kembali.

Suatu malam, di bawah langit Surabaya yang cerah setelah hujan reda, Javiero mengajak Liriel ke taman sekolah. Di bawah pohon pisang, dia mengeluarkan kotak kecil dari sakunya. “Lir, aku tahu kita masih muda. Tapi aku mau janji sama kamu—aku bakal selalu di sisi kamu, sampe kita bisa bareng selamanya.”

Di dalam kotak, ada sepasang gelang sederhana dengan liontin hati kecil. Liriel menangis, mengangguk, dan mereka memasang gelang itu di pergelangan masing-masing. Di kejauhan, Yasmin menyaksikan dari balik pohon, tersenyum puas.

Malam itu, Liriel menulis di jurnalnya untuk terakhir kali. “Cahaya akhirnya muncul di ujung hujan. Aku dan Jav menemukan jalan, dan aku tahu ini baru awal dari cerita kita.” Di luar, bintang-bintang bersinar terang, menyambut cinta abadi yang lahir dari badai.

“Cinta Abadi di Bawah Langit Surabaya: Kisah Remaja Penuh Emosi” adalah bukti bahwa cinta sejati bisa bertahan di tengah badai hidup, seperti yang dialami Liriel dan Javiero. Dengan narasi yang kaya akan emosi dan pesan inspiratif tentang keberanian dan pengorbanan, cerpen ini akan meninggalkan kesan mendalam dan memotivasi Anda untuk percaya pada kekuatan cinta. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan setiap detik dari kisah ini!

Terima kasih telah menjelajahi ulasan “Cinta Abadi di Bawah Langit Surabaya: Kisah Remaja Penuh Emosi” bersama kami. Semoga cerita ini membawa inspirasi dan kehangatan ke dalam hidup Anda. Sampai bertemu lagi di petualangan literatur berikutnya, pembaca setia!

Leave a Reply