Daftar Isi
“Cinta di Balik Hujan: Kisah Remaja yang Menyentuh Hati” adalah sebuah cerpen epik yang menggugah emosi, mengisahkan perjalanan Kaelani Vionera dalam menghadapi cinta, luka, dan rahasia masa lalu di tengah derai hujan Jakarta. Dengan alur yang mendalam, karakter unik, dan sentuhan emosional yang kuat, cerpen ini menawarkan pengalaman membaca yang tak terlupakan. Penuh dengan intrik, konflik batin, dan keberanian untuk menerima perubahan, cerita ini wajib masuk daftar bacaan Anda di tahun 2025. Siapkah Anda terhanyut dalam kisah cinta yang begitu nyata dan menyentuh?
Cinta di Balik Hujan
Awal yang Penuh Rahasia
Langit Jakarta di akhir Oktober 2024 kelabu, mendung tebal menggantung seperti rahasia yang belum terucap. Hujan turun perlahan, membasahi trotoar di depan SMA Bintang Cemerlang, sekolah swasta elit di pinggiran kota. Di sudut lapangan basket yang basah, seorang gadis bernama Kaelani Vionera berdiri sendirian, memandang ke arah lapangan yang kosong. Rambutnya yang panjang, berwarna cokelat keemasan, basah menempel di pipinya, tapi dia tak peduli. Matanya, yang berwarna hazel dengan bulu mata lentik, menatap jauh, seolah mencari sesuatu yang telah lama hilang. Payung hitamnya tergeletak di sampingnya, sengaja dibiarkan terbuka di tanah, seolah dia ingin hujan membasuh luka yang tak terlihat.
Kaelani, atau yang lebih sering dipanggil Kael, bukan gadis biasa. Di usianya yang baru 17 tahun, dia dikenal sebagai siswi berprestasi dengan otak cemerlang dan sikap dingin yang membuatnya dijuluki “Putri Es” oleh teman-temannya. Tapi di balik wajahnya yang selalu tenang, ada rahasia yang dia simpan rapat-rapat, bahkan dari sahabatnya sendiri, Zivara Elnaya.
Zivara, gadis ceria dengan rambut pendek berwarna merah marun dan senyum yang bisa mencairkan suasana, adalah kebalikan dari Kael. Dia adalah tipe orang yang selalu punya cerita untuk diceritakan, selalu punya tawa untuk dibagikan. Hari itu, Zivara berlari kecil di bawah hujan menuju Kael, payung birunya bergoyang-goyang di tangannya.
“Kael! Kamu ngapain berdiri di sini? Basah kuyup, nanti masuk angin!” seru Zivara, suaranya nyaring meski teredam oleh suara hujan. Dia mengangkat payungnya, berusaha melindungi Kael, tapi Kael hanya menggeleng pelan.
“Aku suka hujan,” jawab Kael, suaranya lembut tapi tegas, seperti selalu. “Rasanya… membersihkan.”
Zivara memutar bola matanya. “Membersihkan apa? Baju kamu malah kotor sekarang!” Dia menarik lengan Kael, memaksa sahabatnya itu berjalan menuju aula sekolah. “Ayo, kita ke kantin. Aku laper, dan kamu harus ceritain kenapa kamu tiba-tiba jadi puitis gini.”
Kael tersenyum tipis, tapi matanya tetap kosong. Dia membiarkan Zivara menyeretnya, meski pikirannya melayang jauh, ke masa lalu yang dia coba lupakan. Dua tahun lalu, di bawah hujan seperti ini, dia kehilangan seseorang yang sangat penting baginya. Seseorang yang membuatnya percaya pada cinta, tapi juga menghancurkannya.
Di kantin sekolah, suasana ramai seperti biasa. Bau kopi instan dan mie goreng menguar di udara, bercampur dengan tawa dan obrolan para siswa. Kael dan Zivara duduk di sudut, di meja kecil dekat jendela yang menghadap ke lapangan basket. Zivara memesan dua porsi bakpao dan teh hangat, sementara Kael hanya memandang keluar, ke arah hujan yang semakin deras.
“Serius, Kael, kamu kenapa sih?” tanya Zivara, menggigit bakpao dengan lahap. “Dari tadi muka kamu kayak orang yang baru putus cinta. Apa ada yang perlu aku tahu?”
Kael menghela napas, jari-jarinya memainkan ujung seragamnya yang basah. “Nggak ada, Ziv. Cuma… lagi mikirin sesuatu.”
“Sesuatu atau seseorang?” Zivara menyipitkan mata, wajahnya penuh rasa ingin tahu.
Kael tak menjawab. Dia hanya menatap ke arah lapangan, tempat dia pertama kali bertemu Rayvian Ardhana, cowok yang pernah mengisi hatinya dengan warna, tapi juga meninggalkan luka yang tak pernah sembuh. Rayvian, dengan senyumnya yang hangat dan mata cokelatnya yang selalu penuh tanya, adalah bagian dari masa lalunya yang tak bisa dia lepaskan.
Sementara Kael tenggelam dalam pikirannya, seseorang mendekati meja mereka. Davino Kreshna, cowok populer di sekolah yang dikenal karena bakatnya di basket dan pesonanya yang effortless, berdiri di depan mereka dengan senyum lebar. Rambutnya yang sedikit acak-acakan karena hujan membuatnya terlihat semakin menarik.
“Hai, Ziv. Kael,” sapa Davino, suaranya santai tapi penuh percaya diri. “Boleh gabung?”
Zivara langsung tersenyum lebar. “Boleh banget, Dav! Tapi bayarin bakpao aku dulu, ya.” Dia tertawa, dan Davino mengangguk sambil memesan makanan untuk dirinya sendiri.
Kael hanya mengangguk kecil, tak terlalu antusias. Davino selalu ramah padanya, tapi ada sesuatu dalam cara cowok itu menatapnya yang membuat Kael merasa tidak nyaman. Bukan karena Davino jahat—dia justru dikenal sebagai cowok yang baik hati—tapi karena tatapannya seolah bisa melihat menembus dinding yang Kael bangun di sekitar hatinya.
“Ngomong-ngomong, kalian ikut acara pensi minggu depan?” tanya Davino, mencoba memecah keheningan. “Tim basket aku bakal main di pembukaan. Kael, kamu kan jago nyanyi. Nggak pengen ikut perform?”
Kael menggeleng. “Aku nggak suka tampil di depan orang.”
Zivara memotong dengan nada protes. “Oh, ayolah, Kael! Suara kamu tuh kayak malaikat! Kalau nggak perform, sayang banget!”
Davino terkekeh. “Bener, Kael. Aku pernah dengar kamu nyanyi pas latihan paduan suara. Keren banget.”
Kael merasa wajahnya memanas, tapi dia berusaha menyembunyikannya dengan menyeruput teh hangatnya. “Terima kasih, tapi aku lebih suka di belakang layar.”
Davino hanya mengangguk, tapi matanya tak lepas dari Kael. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Zivara menyadari bahwa Davino menyukai sahabatnya, meski Kael sepertinya sama sekali tak peka.
Hari itu berlalu dengan cepat, tapi pikiran Kael terus kembali ke Rayvian. Di malam hari, ketika dia duduk di kamarnya yang penuh dengan buku-buku dan jurnal, Kael membuka laci meja belajarnya. Di dalamnya, tersimpan sebuah kotak kayu kecil dengan ukiran bunga matahari. Dia membukanya perlahan, dan di dalamnya ada sebuah gelang perak sederhana dengan liontin berbentuk bintang. Gelang itu adalah hadiah dari Rayvian, pemberian terakhir sebelum cowok itu menghilang dari hidupnya tanpa penjelasan.
Kael memegang gelang itu, jari-jarinya mengelus permukaan dinginnya. Air mata mulai menggenang di matanya, tapi dia menahannya. “Kenapa kamu pergi, Ray?” bisiknya pada dirinya sendiri. “Kenapa kamu nggak bilang apa-apa?”
Malam itu, Kael menulis di jurnalnya, seperti yang selalu dia lakukan ketika perasaannya terlalu berat untuk ditahan. Dia menulis tentang hujan, tentang rasa sakit yang masih menghantuinya, dan tentang rahasia yang dia simpan dari semua orang—bahwa dia masih mencintai Rayvian, meski cowok itu mungkin sudah melupakannya.
Hari berikutnya, suasana di SMA Bintang Cemerlang sedikit lebih cerah, meski hujan masih turun rintik-rintik. Kael dan Zivara duduk di kelas, mendengarkan pelajaran sejarah yang membosankan. Di sela-sela catatan yang dia tulis, Kael menggambar sketsa kecil di buku catatannya: sebuah bintang dengan sinar yang memudar. Zivara, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan.
“Itu apa?” tanya Zivara, menunjuk sketsa itu.
Kael buru-buru menutup bukunya. “Cuma coretan.”
Zivara menyipitkan mata, tapi tak bertanya lebih jauh. Dia tahu Kael punya banyak rahasia, dan meski dia penasaran, dia tak ingin memaksa sahabatnya untuk bercerita.
Setelah jam pelajaran selesai, Zivara mengajak Kael ke klub seni, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Di sana, Kael biasanya melukis atau menulis puisi, sementara Zivara sibuk membuat kerajinan tangan atau menggambar komik pendek. Tapi hari itu, klub seni kedatangan tamu baru: Nayara Velith, gadis pindahan dari Bandung yang langsung mencuri perhatian dengan kecantikannya yang natural dan sikapnya yang ramah.
Nayara, dengan rambut panjang bergelombang dan mata hijau yang jarang dimiliki orang Indonesia, langsung menjadi pusat perhatian. Dia memperkenalkan diri dengan senyum lebar, dan dalam waktu singkat, dia sudah akrab dengan hampir semua anggota klub seni. Tapi ada sesuatu dalam cara Nayara menatap Kael yang membuat gadis itu merasa tak nyaman. Seolah Nayara tahu sesuatu tentangnya, sesuatu yang Kael sendiri coba sembunyikan.
“Hai, kamu Kaelani, kan?” sapa Nayara, mendekati Kael yang sedang melukis di sudut ruangan. “Aku dengar kamu jago nyanyi. Aku juga suka musik, loh. Mungkin kita bisa kolplay sometime?”
Kael mengangguk sopan, tapi hatinya berdebar. Ada sesuatu dalam nada suara Nayara yang terasa… familiar. Tapi dia mengusir pikiran itu. “Mungkin,” jawabnya singkat, lalu kembali fokus pada lukisannya, sebuah pemandangan hujan dengan siluet dua orang di bawah payung.
Nayara tak menyerah. Dia duduk di sebelah Kael, memulai percakapan tentang seni, musik, dan hal-hal lain yang sepertinya sengaja dia pilih untuk membuat Kael merasa nyaman. Tapi semakin Nayara berbicara, semakin Kael merasa ada yang aneh. Suara Nayara, caranya tersenyum, bahkan caranya memainkan rambutnya—semuanya mengingatkan Kael pada Rayvian.
Malam itu, Kael tak bisa tidur. Dia terus memikirkan Nayara, dan perasaan aneh yang muncul setiap kali gadis itu ada di dekatnya. Apakah mungkin…? Tidak, itu tidak masuk akal. Rayvian adalah laki-laki, dan Nayara adalah perempuan. Tapi kenapa hatinya terus berkata bahwa ada hubungan antara mereka?
Di sisi lain kota, di sebuah apartemen kecil, Nayara duduk di kamarnya, memandang foto lama di ponselnya. Foto itu menunjukkan dirinya—atau lebih tepatnya, dirinya yang dulu, dengan rambut pendek dan pakaian laki-laki. Dia tersenyum pahit, mengelus layar ponselnya. “Maaf, Kael,” bisiknya. “Aku nggak tahu caranya bilang ke kamu.”
Hari-hari berikutnya, Kael mulai memperhatikan Nayara lebih dekat. Gadis itu memang menarik, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Kael merasa seperti sedang berjalan di tepi jurang. Setiap kali Nayara tersenyum padanya, Kael merasa jantungan, tapi dia tak tahu mengapa. Apakah ini hanya perasaan biasa, atau ada sesuatu yang lebih dalam?
Sementara itu, Davino mulai semakin sering mendekati Kael. Dia mengajaknya untuk menonton latihan basket, mengiriminya pesan lucu di WhatsApp, dan bahkan membawakan kue favorit Kael dari toko roti langganannya. Zivara, yang melihat semua ini, mulai menggoda Kael tanpa henti.
“Kael, Davino naksir kamu, loh!” bisik Zivara suatu hari, saat mereka berjalan pulang bersama. “Dia tuh cowok idaman banget. Ganteng, baik, jago basket. Apa lagi yang kamu cari?”
Kael hanya tersenyum kecil. “Aku nggak cari apa-apa, Ziv.”
Zivara menghela napas. “Kamu tuh terlalu susah dilupain seseorang, ya? Siapa sih cowok yang bikin kamu gini? Ceritain dong!”
Kael menggeleng. “Nggak penting.”
Tapi Zivara tak menyerah. Dia terus menggoda Kael, sampai akhirnya Kael marah dan berjalan lebih cepat, meninggalkan Zivara di trotoar. Hujan mulai turun lagi, dan Kael berlari ke halte bus terdekat, mencoba menenangkan dirinya. Tapi di halte itu, dia melihat Nayara, berdiri sendirian dengan payung merah di tangannya.
“Kael?” panggil Nayara, suaranya lembut. “Kamu kenapa?”
Kael ingin mengabaikannya, tapi ada sesuatu dalam mata Nayara yang membuatnya tak bisa berpaling. “Aku cuma… lagi nggak mood,” jawab Kael, suaranya pelan.
Nayara mendekat, memayungi Kael dengan payungnya. “Hujan lagi, ya,” katanya, tersenyum kecil. “Kamu suka hujan, kan?”
Kael terkejut. “Kamu tahu dari mana?”
Nayara terdiam sejenak, lalu tersenyum lagi. “Zivara bilang.”
Tapi Kael tahu itu bohong. Zivara tak pernah cerita soal itu pada siapa pun. Jantung Kael berdegup kencang. Siapa sebenarnya Nayara?
Malam itu, Kael bermimpi tentang Rayvian. Dalam mimpinya, mereka berjalan bersama di bawah hujan, tertawa seperti dulu. Tapi ketika Kael mencoba menyentuh tangan Rayvian, wajah cowok itu berubah menjadi wajah Nayara. Kael terbangun dengan keringat dingin, jantungnya berdebar kencang.
Dia meraih ponselnya dan membuka galeri foto. Di sana, tersimpan satu-satunya foto yang dia miliki bersama Rayvian, diambil dua tahun lalu di taman dekat sekolah. Dalam foto itu, Rayvian tersenyum lebar, memegang payung untuk melindungi Kael dari hujan. Kael menatap foto itu lama, air matanya jatuh tanpa suara.
“Ray, kalau kamu masih hidup, kenapa kamu nggak pernah cari aku?” bisiknya.
Tapi di lubuk hatinya, Kael mulai menyadari bahwa jawabannya mungkin lebih dekat dari yang dia kira. Dan rahasia yang disembunyikan Nayara mungkin adalah kunci dari semua pertanyaan yang selama ini menghantuinya.
Bayang-Bayang Masa Lalu
Hujan tak kunjung berhenti di Jakarta, seolah langit ikut merasakan beban yang dipikul Kaelani. Pagi di awal November 2024, Kael berdiri di balkon kamarnya, memandang kota yang basah. Di tangannya, dia memegang gelang bintang dari Rayvian, jari-jarinya mengelus permukaan perak yang sudah sedikit pudar. Setiap sentuhan pada gelang itu seperti membuka pintu menuju kenangan yang dia coba kubur, tapi tak pernah berhasil.
Hari itu adalah hari Sabtu, dan Zivara sudah mengirim pesan sejak pagi, mengajak Kael untuk ikut ke acara bazar sekolah. Kael awalnya menolak, tapi Zivara, dengan kegigihannya yang khas, akhirnya berhasil membujuknya. “Kael, ayolah! Kita cuma SMA sekali seumur hidup. Jangan cuma ngurung diri di kamar!” tulis Zivara dalam pesannya, diikuti dengan serangkaian emoji ceria.
Kael menghela napas, lalu mengetik balasan singkat. “Oke, aku datang. Tapi jangan maksa aku ikut lomba apa-apa.” Dia tahu Zivara pasti punya rencana untuk menyeretnya ke aktivitas yang dia benci, seperti karaoke atau lomba cosplay.
Di sekolah, bazar sudah ramai sejak pagi. Stan-stan berjejer di lapangan, menjual makanan, minuman, dan kerajinan tangan buatan siswa. Musik pop mengalun dari speaker besar, bercampur dengan tawa dan teriakan siswa yang sedang bermain di stan permainan. Kael, dengan jaket hoodie abu-abunya, berjalan di samping Zivara, yang tampak bersemangat seperti anak kecil di taman bermain.
“Lihat itu, Kael! Stan takoyaki! Kita beli, yuk!” Zivara menarik tangan Kael menuju salah satu stan, di mana Davino sedang membantu menggoreng bola-bola takoyaki dengan cekatan. Dia mengenakan celemek biru yang sedikit terlalu kecil untuk tubuhnya yang tinggi, membuatnya terlihat lucu sekaligus menawan.
“Kalian datang!” sapa Davino, tersenyum lebar saat melihat Kael dan Zivara. “Mau coba takoyaki spesial ala tim basket?”
Zivara langsung mengangguk antusias. “Pasti! Kasih yang paling enak, Dav!”
Kael hanya tersenyum kecil, tapi matanya tak sengaja bertemu dengan mata Davino. Ada kehangatan di sana, tapi juga sesuatu yang membuat Kael merasa bersalah. Dia tahu Davino menyukainya, tapi hatinya masih terpaku pada seseorang dari masa lalunya.
Saat mereka duduk di bangku dekat stan makanan, menikmati takoyaki hangat, Nayara tiba-tiba muncul. Dia mengenakan dress sederhana berwarna hijau zaitun yang membuat matanya terlihat lebih mencolok. Rambutnya dibiarkan tergerai, bergoyang lembut tertiup angin.
“Hai, kalian!” sapa Nayara, suaranya ceria. Dia membawa sekeranjang kecil penuh dengan gelang anyaman yang dia buat untuk dijual di bazar. “Mau beli gelang? Ini buatan tangan, loh.”
Zivara langsung antusias, memeriksa gelang-gelang itu dengan mata berbinar. “Keren banget, Nay! Kamu bikin sendiri?”
Nayara mengangguk, lalu menoleh ke Kael. “Kael, kamu suka yang mana?”
Kael terkejut, tak menyangka Nayara akan mengajaknya bicara langsung. Dia memandang gelang-gelang itu, dan matanya tertuju pada satu gelang dengan liontin kecil berbentuk bintang. Jantungnya berdegup kencang. Bintang itu mirip sekali dengan gelang yang diberikan Rayvian padanya.
“Ini… bagus,” kata Kael pelan, jari-jarinya menyentuh gelang itu.
Nayara tersenyum, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit dibaca. “Aku buat yang ini khusus. Kalau kamu suka, ambil aja. Gratis buat kamu.”
Kael menggeleng cepat. “Nggak, aku bayar.”
Tapi Nayara bersikeras, dan akhirnya Kael menerima gelang itu dengan perasaan campur aduk. Dia memakainya di pergelangan tangan kirinya, tepat di sebelah gelang dari Rayvian. Dua bintang itu berdampingan, seperti dua kenangan yang saling bersentuhan.
Zivara, yang memperhatikan interaksi itu, menyenggol Kael dengan siku. “Eh, Kael, kamu kok kayak orang bingung gitu? Nayara baik banget, loh. Dia kayaknya naksir kamu,” bisiknya sambil terkekeh.
Kael memelototi Zivara. “Jangan ngaco, Ziv.”
Tapi Zivara hanya tertawa, lalu menyeret Kael untuk ikut ke stan permainan. Di sana, mereka bertemu dengan Rivano Elzio, teman sekelas mereka yang dikenal sebagai “si jenius teknologi”. Rivano, dengan kacamata besar dan rambut yang selalu acak-acakan, sedang sibuk memamerkan robot kecil buatannya yang bisa menyanyi lagu-lagu pop.
“Kael, Ziv, coba lihat ini!” seru Rivano, matanya berbinar. “Ini prototipe robot karaoke. Kalau kalian nyanyi, dia bisa kasih skor berdasarkan nada!”
Zivara langsung antusias, tapi Kael hanya tersenyum kecil. Dia tak suka menjadi pusat perhatian, tapi Rivano dan Zivara tak memberinya pilihan. Akhirnya, Kael setuju untuk mencoba, dan ketika dia menyanyikan lagu “Hujan” dari Utopia, seluruh stan terdiam. Suaranya, yang lembut namun penuh emosi, membuat semua orang terpaku.
Nayara, yang berdiri di dekat stan, menatap Kael dengan mata berkaca-kaca. Dia tahu lagu itu, dan dia tahu mengapa Kael memilihnya. Lagu itu adalah lagu favorit Rayvian, lagu yang sering mereka nyanyikan bersama di bawah hujan dua tahun lalu.
Setelah Kael selesai bernyanyi, tepuk tangan riuh menggema. Davino, yang juga ada di sana, menatap Kael dengan kagum. “Kael, kamu harus ikut pensi. Serius, suara kamu luar biasa.”
Kael hanya menggeleng, wajahnya memerah. Dia buru-buru menarik Zivara menjauh dari kerumunan, tapi Nayara mengikutinya.
“Kael, tadi itu… indah banget,” kata Nayara, suaranya pelan. “Kamu bikin aku teringat seseorang.”
Kael berhenti berjalan. Dia menoleh ke Nayara, matanya penuh tanya. “Seseorang?”
Nayara mengangguk, tapi tak berkata apa-apa lagi. Dia hanya tersenyum, lalu berbalik pergi, meninggalkan Kael dengan sejuta pertanyaan di kepalanya.
Malam itu, Kael duduk di kamarnya, menatap dua gelang di pergelangan tangannya. Dia tak bisa mengusir perasaan bahwa Nayara menyimpan rahasia besar. Dia membuka jurnalnya dan mulai menulis, menuangkan semua kebingungannya, ketakutannya, dan harapannya. Dia menulis tentang Rayvian, tentang Nayara, dan tentang perasaan aneh yang terus menghantuinya.
Di sisi lain kota, Nayara duduk di kamarnya, memandang cermin. Dia melepas wig panjangnya, memperlihatkan rambut pendek yang tersembunyi di bawahnya. Dia menghela napas, matanya penuh penyesalan. “Aku harus bilang ke dia,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Tapi bagaimana caranya?”
Hari-hari berikutnya, Kael mulai memperhatikan Nayara lebih dekat. Dia menyadari bahwa Nayara sering menghindari pertanyaan tentang masa lalunya, dan setiap kali Kael menyebut sesuatu yang berhubungan dengan Rayvian, Nayara akan terdiam atau mengalihkan pembicaraan. Kael mulai curiga, tapi dia tak tahu bagaimana cara memastikannya.
Sementara itu, Davino semakin berusaha mendekati Kael. Dia mengajaknya untuk ikut latihan basket, membantunya dengan tugas matematika, dan bahkan menulis catatan kecil yang dia selipkan di loker Kael. Tapi setiap kali Davino mendekat, Kael merasa semakin jauh dari dirinya sendiri. Dia tahu Davino baik, tapi hatinya masih terpaku pada Rayvian—dan sekarang, pada misteri yang bernama Nayara.
Suatu hari, saat hujan deras mengguyur kota, Kael dan Nayara terjebak bersama di perpustakaan sekolah. Mereka duduk di sudut, dikelilingi oleh tumpukan buku dan aroma kertas tua. Hujan di luar jendela menciptakan suasana yang intim, tapi juga penuh ketegangan.
“Kael,” kata Nayara tiba-tiba, suaranya gemetar. “Kalau… kalau aku punya rahasia besar, kamu bakal benci aku nggak?”
Kael menatapnya, jantungnya berdegup kencang. “Tergantung rahasianya.”
Nayara menggigit bibirnya, matanya penuh keraguan. “Aku… aku nggak tahu caranya bilang ini. Tapi aku harus jujur sama kamu.”
Sebelum Nayara bisa melanjutkan, pintu perpustakaan terbuka, dan Zivara masuk dengan wajah cemas. “Kael! Aku cari kamu dari tadi! Ada kabar buruk!”
Kael dan Nayara menoleh serentak. “Apa?” tanya Kael, suaranya penuh kekhawatiran.
Zivara menarik napas dalam-dalam. “Davino kecelakaan pas latihan basket. Dia di rumah sakit sekarang.”
Kael merasa dunianya berputar. Meski dia tak yakin dengan perasaannya pada Davino, cowok itu sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Tanpa berpikir panjang, dia berlari keluar perpustakaan, meninggalkan Nayara yang masih memandangnya dengan mata penuh penyesalan.
Di rumah sakit, Kael menemukan Davino terbaring di ranjang dengan kaki yang diperban. Dia tersenyum lemah saat melihat Kael. “Maaf bikin kamu khawatir,” katanya, suaranya parau.
Kael hanya bisa mengangguk, air matanya mengalir tanpa suara. Dia tak tahu mengapa dia menangis—apakah karena Davino, atau karena semua rahasia dan luka yang selama ini dia pendam.
Malam itu, Kael kembali ke kamarnya, pikirannya kacau. Dia memandang gelang bintang di tangannya, dan untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa mungkin sudah saatnya dia melepaskan masa lalunya. Tapi pertanyaan tentang Nayara masih menghantuinya, dan dia tahu bahwa rahasia itu akan segera terungkap, entah dia siap atau tidak.
Rahasia yang Terungkap
Langit Jakarta di pertengahan November 2024 masih kelabu, hujan turun hampir setiap hari, seolah mencerminkan kekacauan yang dirasakan Kaelani Vionera. Setelah kejadian di rumah sakit, di mana Davino Kreshna terbaring dengan kaki yang cedera, Kael merasa hidupnya semakin rumit. Dia duduk di kamarnya malam itu, memandang dua gelang bintang di pergelangan tangannya—satu dari Rayvian Ardhana, satu lagi dari Nayara Velith. Jantungnya berdegup kencang setiap kali memikirkan Nayara, dan pertanyaan yang tak terjawab terus menghantuinya: siapa sebenarnya gadis itu?
Pagi harinya, Kael berjalan ke sekolah dengan perasaan berat. Zivara Elnaya, sahabatnya yang selalu ceria, berusaha menghiburnya dengan cerita-cerita lucu tentang bazar sekolah, tapi Kael hanya bisa tersenyum kecil. Pikirannya terpecah antara kekhawatiran untuk Davino dan rasa penasaran yang semakin kuat terhadap Nayara. Dia tahu Nayara menyimpan rahasia, dan momen di perpustakaan kemarin—ketika Nayara hampir mengatakan sesuatu sebelum Zivara memotongnya—membuat Kael semakin yakin bahwa rahasia itu berhubungan dengan masa lalunya.
Di sekolah, suasana sedikit berbeda. Kabar tentang kecelakaan Davino menyebar cepat, dan tim basket kehilangan semangat tanpa kapten mereka. Kael memutuskan untuk mengunjungi Davino lagi setelah sekolah, tapi sebelum itu, dia harus menghadiri klub seni, tempat yang kini terasa penuh ketegangan karena kehadiran Nayara.
Di ruang klub seni, Kael duduk di sudut, melukis pemandangan hujan yang kelam. Nayara masuk dengan langkah ringan, membawa sketsa baru yang dia buat: sebuah gambar dua orang di bawah payung, salah satunya memegang bintang kecil. Kael menatap sketsa itu, jantungnya berdegup kencang. Gambar itu terlalu mirip dengan kenangannya bersama Rayvian.
“Kael, kamu suka?” tanya Nayara, suaranya lembut tapi penuh harap.
Kael menelan ludah, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. “Ini… mirip sesuatu dari masa lalu aku.”
Nayara terdiam, matanya penuh emosi yang sulit dibaca. “Mungkin karena aku terinspirasi dari cerita yang pernah aku dengar,” katanya, tapi nadanya ragu, seolah dia sedang menyembunyikan sesuatu.
Sebelum Kael bisa bertanya lebih jauh, Zivara masuk dengan Rivano Elzio, si jenius teknologi, yang membawa prototipe robot barunya. “Kael, Nay, kalian harus lihat ini!” seru Rivano, matanya berbinar. “Robot ini bisa nari kalau denger musik!”
Zivara tertawa, tapi Kael hanya mengangguk sopan. Dia merasa sulit fokus, pikirannya terus kembali ke Nayara dan sketsa itu. Setelah klub selesai, Kael memutuskan untuk mengikuti Nayara, yang berjalan sendirian menuju halte bus. Hujan mulai turun lagi, dan Kael mempercepat langkahnya, payungnya bergoyang di tangan.
“Nayara!” panggil Kael, suaranya sedikit terdengar putus asa.
Nayara berbalik, wajahnya pucat di bawah sinar lampu jalan. “Kael? Kamu kenapa?”
Kael berhenti di depannya, napasnya tersengal. “Aku perlu tahu. Siapa kamu sebenarnya? Kenapa setiap kali aku dekat kamu, aku merasa… merasa kayak kenal kamu dari dulu?”
Nayara membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Matanya berkaca-kaca, dan untuk pertama kalinya, Kael melihat kerapuhan di wajah gadis itu. “Kael, aku… aku nggak tahu caranya bilang ini tanpa bikin kamu benci aku.”
Kael menggeleng, langkahnya mendekat. “Cuma bilang yang sebenarnya. Aku nggak akan benci kamu.”
Hujan semakin deras, dan Nayara akhirnya menarik Kael ke bawah atap halte bus. Dia menghela napas panjang, tangannya gemetar. “Kael, aku… aku dulu adalah Rayvian.”
Kata-kata itu menghantam Kael seperti petir. Dia mundur selangkah, matanya melebar. “Apa?”
Nayara menunduk, air matanya bercampur dengan air hujan yang menetes dari rambutnya. “Dua tahun lalu, aku adalah Rayvian Ardhana. Aku… aku transgender, Kael. Aku pergi dari Jakarta karena aku perlu waktu untuk jadi diri aku yang sebenarnya. Aku nggak bilang apa-apa ke kamu karena aku takut… takut kamu nggak akan terima aku.”
Kael merasa dunianya berputar. Dia memandang Nayara, mencoba mencari bayang-bayang Rayvian di wajahnya. Matanya, yang selalu penuh tanya, senyumnya yang hangat, caranya berbicara—semuanya mulai masuk akal. Tapi di saat yang sama, Kael merasa dikhianati. “Kenapa kamu nggak bilang apa-apa? Dua tahun, Ray—Nayara. Dua tahun aku mikirin kamu, nanya-nanya kenapa kamu pergi!”
“Aku takut, Kael,” bisik Nayara, suaranya pecah. “Aku takut kamu bakal benci aku. Aku takut kehilangan kamu sepenuhnya.”
Kael menutup wajahnya dengan tangan, mencoba menahan air mata. “Kamu nggak tahu betapa sakitnya ditinggal tanpa kabar. Aku pikir aku salah apa, pikir kamu nggak peduli lagi.”
Nayara menangis, tangannya mencoba meraih Kael, tapi dia menghentikan diri. “Aku peduli, Kael. Aku selalu peduli. Makanya aku balik ke sini, makanya aku coba dekat sama kamu lagi. Tapi aku nggak tahu caranya bilang yang sebenarnya.”
Hujan terus turun, menyamarkan air mata mereka. Kael ingin marah, ingin berteriak, tapi dia juga merasa lega. Rayvian—Nayara—masih hidup. Orang yang dia cintai masih ada di depannya, meski dalam bentuk yang berbeda. Tapi perasaan itu bercampur dengan kebingungan, kemarahan, dan rasa sakit yang belum sembuh.
“Aku perlu waktu,” kata Kael akhirnya, suaranya pelan. “Aku nggak tahu apa yang harus aku pikirkan sekarang.”
Nayara mengangguk, matanya penuh penyesalan. “Aku ngerti. Aku cuma minta satu hal—jangan benci aku, Kael.”
Kael tak menjawab. Dia berbalik dan berjalan pergi di bawah hujan, meninggalkan Nayara di halte bus. Di dalam hatinya, dia merasa seperti sedang terkoyak antara cinta dan luka.
Malam itu, Kael tak bisa tidur. Dia duduk di kamarnya, menulis di jurnalnya dengan tangan gemetar. Dia menulis tentang Nayara, tentang Rayvian, tentang perasaan yang tak bisa dia pahami. Dia mencoba mengingat setiap momen yang dia habiskan bersama Rayvian dua tahun lalu—tawa mereka di taman, lagu-lagu yang mereka nyanyikan bersama, dan janji-janji kecil yang kini terasa seperti mimpi.
Di sisi lain kota, Nayara duduk di kamarnya, memandang foto lama di ponselnya. Foto itu menunjukkan dirinya sebagai Rayvian, berdiri di samping Kael di bawah hujan. Dia menangis, menyesali keputusannya untuk pergi tanpa kabar. Tapi dia juga tahu bahwa dia tak punya pilihan lain saat itu. Keluarganya menolak identitasnya, dan dia harus pergi untuk menemukan dirinya sendiri.
Hari-hari berikutnya, Kael menghindari Nayara di sekolah. Dia tak tahu bagaimana menghadapi gadis itu, tak tahu bagaimana menghadapi perasaannya sendiri. Zivara, yang mulai curiga ada sesuatu yang salah, terus mencoba mengorek informasi dari Kael, tapi Kael hanya diam.
Sementara itu, Davino mulai pulih dari cederanya. Kael mengunjunginya di rumah sakit beberapa kali, dan setiap kali, Davino selalu berusaha membuatnya tersenyum. “Kael, kamu kelihatan murung banget,” kata Davino suatu hari, saat mereka duduk di ruang tunggu rumah sakit. “Ceritain dong, apa yang bikin kamu gitu?”
Kael menggeleng, tapi Davino tak menyerah. Dia meraih tangan Kael, matanya penuh kehangatan. “Aku tahu aku nggak bisa maksa kamu cerita. Tapi aku cuma mau bilang—aku ada di sini buat kamu, kapan aja.”
Kata-kata Davino membuat Kael merasa bersalah. Dia tahu Davino tulus, tapi hatinya masih terbelah antara masa lalu dan masa kini. Dia tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan air matanya. “Terima kasih, Dav.”
Tapi di dalam hati, Kael tahu dia harus membuat keputusan. Dia tak bisa terus hidup di bawah bayang-bayang Rayvian—atau Nayara. Dia harus menghadapi kenyataan, meski itu menyakitkan.
Suatu malam, saat hujan deras kembali mengguyur Jakarta, Kael memutuskan untuk menemui Nayara. Dia tahu alamat apartemen Nayara dari Zivara, yang tanpa sengaja pernah menyebutkannya. Dengan payung di tangan, Kael berjalan ke apartemen Nayara, hatinya penuh ketakutan tapi juga tekad.
Ketika Nayara membuka pintu, wajahnya penuh kejutan. “Kael? Kamu di sini?”
“Aku perlu bicara,” kata Kael, suaranya tegas meski hatinya bergetar. “Aku nggak bisa terus gini.”
Nayara mengangguk, mengundang Kael masuk. Di dalam apartemen kecil itu, Kael melihat foto-foto lama di dinding—beberapa di antaranya menunjukkan Nayara sebagai Rayvian. Kael merasa dadanya sesak, tapi dia memaksa diri untuk tetap tenang.
“Aku nggak tahu apa yang harus aku rasakan,” kata Kael, duduk di sofa kecil. “Aku marah karena kamu pergi tanpa bilang apa-apa. Tapi aku juga… aku masih sayang sama kamu, Nayara. Atau Rayvian. Atau siapa pun kamu sekarang.”
Nayara menangis, duduk di depan Kael. “Aku minta maaf, Kael. Aku pergi karena aku nggak punya pilihan. Keluargaku nggak terima aku, dan aku harus cari tempat di mana aku bisa jadi diri aku sendiri. Tapi aku nggak pernah berhenti mikirin kamu.”
Kael menunduk, air matanya jatuh ke pangkuannya. “Aku cuma pengen kamu jujur dari awal.”
“Aku tahu,” bisik Nayara. “Dan aku janji, mulai sekarang, aku nggak akan sembunyi lagi.”
Malam itu, mereka berbicara panjang, tentang masa lalu, tentang luka, dan tentang harapan. Kael mulai memahami perjuangan Nayara, dan meski dia masih bingung, dia merasa sedikit lebih ringan. Tapi di dalam hatinya, dia tahu dia harus membuat pilihan—antara masa lalu yang dia cintai dan masa depan yang mungkin menantinya bersama Davino.
Hujan yang Berhenti
Desember 2024 tiba, dan hujan di Jakarta mulai reda, digantikan oleh sinar matahari yang hangat. Kaelani Vionera berdiri di lapangan basket SMA Bintang Cemerlang, memandang langit yang kini cerah. Dua gelang bintang masih melingkar di pergelangan tangannya, tapi kini dia memandangnya dengan perasaan yang berbeda—bukan lagi sebagai beban, tapi sebagai kenangan yang membentuk dirinya.
Setelah percakapan panjang dengan Nayara, Kael mulai menerima kenyataan bahwa Rayvian, orang yang dia cintai, kini adalah Nayara, gadis yang berjuang untuk menemukan identitasnya. Tapi penerimaan itu tak datang dengan mudah. Kael menghabiskan malam-malam panjang menulis di jurnalnya, mencoba memahami perasaannya sendiri. Dia tahu dia masih mencintai Rayvian, tapi dia juga mulai menyadari bahwa cinta itu mungkin harus berubah bentuk—menjadi persahabatan, atau sesuatu yang baru.
Di sekolah, Davino sudah kembali dari rumah sakit, meski masih menggunakan kruk. Dia tetap ceria, selalu berusaha membuat Kael tersenyum. Suatu hari, saat mereka duduk bersama di kantin, Davino menyerahkan sebuah kotak kecil padanya.
“Apa ini?” tanya Kael, memandang kotak itu dengan bingung.
“Buka aja,” kata Davino, tersenyum lebar.
Di dalam kotak itu, Kael menemukan sebuah gelang sederhana dengan liontin berbentuk bulan sabit. “Bulan buat bintang,” kata Davino, suaranya lembut. “Aku tahu kamu suka bintang, jadi aku pikir ini cocok buat kamu.”
Kael tersenyum, tapi hatinya terasa berat. Dia tahu Davino mencintainya, dan dia juga mulai merasakan sesuatu untuk cowok itu. Tapi bayang-bayang Nayara—dan Rayvian—masih ada di pikirannya.
Sementara itu, Nayara berusaha memberi Kael ruang. Dia tetap ramah, tetap hadir di klub seni, tapi dia tak lagi memaksa Kael untuk berbicara. Dia tahu Kael perlu waktu, dan dia bersedia menunggu, meski itu menyakitkan.
Pada acara pensi sekolah di akhir Desember, Kael akhirnya setuju untuk tampil. Dia memilih untuk menyanyikan lagu “Hujan” lagi, tapi kali ini dengan aransemen baru yang dia buat bersama Nayara di klub seni. Saat dia berdiri di panggung, dengan sorotan lampu menerangi wajahnya, Kael merasa semua emosinya—luka, cinta, dan harapan—mengalir keluar melalui suaranya.
Di antara penonton, Nayara berdiri dengan air mata mengalir di pipinya. Dia tahu lagu itu adalah caranya Kael mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu mereka, tapi juga caranya untuk menerima Nayara sebagai dirinya yang sekarang. Davino, yang berdiri di samping Nayara, juga menatap Kael dengan kagum, tapi ada sedikit kesedihan di matanya. Dia tahu Kael belum sepenuhnya membuka hatinya.
Setelah pensi selesai, Kael berjalan ke lapangan basket, tempat dia pertama kali bertemu Rayvian. Nayara dan Davino mengikutinya, dan untuk pertama kalinya, mereka bertiga duduk bersama di bawah langit malam yang cerah.
“Kael,” kata Nayara, suaranya pelan. “Aku cuma mau bilang—terima kasih udah ngasih aku kesempatan. Aku tahu aku nggak bisa balikin apa yang dulu kita punya, tapi aku harap kita bisa jadi temen.”
Kael mengangguk, tersenyum kecil. “Kita selalu temen, Nay.”
Davino, yang mendengar percakapan itu, tersenyum juga. “Kael, apa pun yang kamu pilih, aku cuma mau kamu bahagia.”
Kael memandang mereka berdua, dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, dia merasa bebas. Hujan di hatinya sudah berhenti, dan meski dia belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan, dia tahu dia akan baik-baik saja.
Malam itu, Kael menulis entri terakhir di jurnalnya. Dia menulis tentang hujan, tentang cinta yang hilang, dan tentang harapan yang baru. Dia menulis tentang Nayara, tentang Davino, dan tentang dirinya sendiri—gadis yang akhirnya belajar untuk melepaskan masa lalu dan membuka hati untuk masa depan.
Di langit Jakarta, bintang-bintang bersinar terang, seolah merayakan keberanian Kael untuk melangkah maju.
“Cinta di Balik Hujan: Kisah Remaja yang Menyentuh Hati” bukan sekadar cerpen, melainkan sebuah perjalanan emosional yang mengajak Anda merasakan setiap tetes hujan dan detak hati para karakternya. Dengan narasi yang detail dan penuh makna, cerpen ini mengingatkan kita bahwa cinta sejati adalah tentang penerimaan dan keberanian untuk melangkah maju. Jangan lewatkan kisah Kaelani, Nayara, dan Davino yang akan mengaduk-aduk hati Anda dan meninggalkan kesan mendalam.
Terima kasih telah menyimak ulasan tentang “Cinta di Balik Hujan: Kisah Remaja yang Menyentuh Hati”. Semoga artikel ini menginspirasi Anda untuk menyelami cerpen ini dan menemukan keindahan dalam setiap halamannya. Sampai jumpa di petualangan literatur berikutnya, pembaca setia!


