Daftar Isi
Masuki dunia emosi mendalam dalam cerpen Dendam yang Berubah Menjadi Cinta: Kisah Remaja Penuh Emosi, sebuah kisah yang terjalin di Yogyakarta pada 2024. Mengikuti perjalanan Zarina dan Rayhan, dua remaja yang bertransformasi dari dendam membara menjadi cinta sejati di tengah luka masa lalu, cerita ini penuh dengan konflik, kesedihan, dan harapan yang menyentuh hati. Dengan detail yang kaya dan alur yang memikat, cerpen ini wajib dibaca bagi Anda yang mencari inspirasi tentang pengampunan dan cinta—siapkah Anda menyelami kisah ini?
Dendam yang Berubah Menjadi Cinta
Api Dendam di Hati
Yogyakarta, Oktober 2024. Suasana sore di sebuah gang sempit dekat kampus UGM, hujan gerimis mulai turun, udara dingin membawa aroma tanah basah.
Zarina Alvira: (berdiri di bawah pohon pisang, tangannya mencengkeram tas sekolah, matanya tajam menatap ke arah jalan) Aku gak bakal lupa apa yang kamu lakuin, Rayhan. Kamu pikir bisa lolos begitu aja setelah nyakitin aku dan keluargaku?
Rayhan Zulfikar: (berjalan mendekat dengan jaket basah, rambut hitamnya meneteskan air hujan, ekspresinya bingung) Zarina? Apa kabar? Kenapa kamu ngomong gitu? Aku gak ngerti apa yang kamu maksud.
Zarina Alvira: (tertawa kecil, tapi penuh amarah) Jangan pura-pura lupa, Ray! Dua tahun lalu, ayahku bangkrut gara-gara proyek properti yang kamu dan keluargamu ambil alih. Dia stres, sampai akhirnya… (suara bergetar) dia pergi selamanya. Dan kamu, anak orang kaya yang gak peduli, cuma berdiri di sisi sambil senyum-senyum!
Rayhan Zulfikar: (terkejut, melangkah mundur) Tunggu, Zarina. Aku gak tahu detailnya. Aku cuma anak kecil waktu itu, baru 12 tahun. Ayahku yang ngurus bisnis, aku gak ikut campur. Kamu yakin aku yang salah?
Zarina Alvira: (mendekat, jari menunjuk wajah Rayhan) Jangan bohong! Aku lihat kamu di kantor ayahku waktu dia nangis minta ampun. Kamu ketawa bareng temen-temenmu, kayak gak peduli hidup orang lain hancur. Aku janji, Rayhan, aku bakal balas dendam. Aku bakal bikin kamu ngerasain sakitnya kehilangan!
Rayhan Zulfikar: (menghela napas, matanya sedih) Aku minta maaf kalo kamu lihat aku begitu. Tapi itu gak adil, Zarina. Aku gak punya kendali atas apa yang dilakukan ayahku. Aku cuma mau hidup normal, gak mau terlibat drama ini.
Zarina Alvira: (tertawa sinis) Normal? Kamu hidup di istana, Rayhan, sementara aku sama ibuku tinggal di kontrakan reyot. Jangan ngomong normal sama aku! Dari sekarang, aku bakal jadi bayangmu. Aku bakal hancurkan hidupmu, perlahan-lahan.
Rayhan Zulfikar: (menggeleng, suaranya tegas) Lakuin apa pun yang kamu mau, Zarina. Tapi jangan salahkan aku buat dosa orang lain. Kalo kamu mau dendam, setidaknya kasih aku kesempatan buat jelasin.
Zarina Alvira: (memalingkan wajah, air mata mulai jatuh) Nggak ada penjelasan yang bisa ubah fakta. Ayahku mati karena kamu dan keluargamu. Aku gak peduli apa pun yang kamu katakan. Mulai besok, perang antara kita dimulai.
Zarina berjalan pergi, meninggalkan Rayhan berdiri sendirian di bawah hujan. Rayhan menatap punggungnya, hatinya campur aduk antara rasa bersalah dan kebingungan.
Hari-hari berikutnya, Zarina mulai melancarkan rencananya. Ia masuk ke SMA yang sama dengan Rayhan, sebuah sekolah elit di Yogyakarta, berkat beasiswa yang ia dapatkan dengan kerja keras. Ia sengaja duduk di kelas yang sama, mengamati setiap gerak-gerik Rayhan. Rayhan, yang awalnya tak peduli, mulai merasa ada yang aneh saat tasnya hilang atau catatan pentingnya tiba-tiba rusak.
Rayhan Zulfikar: (berdiri di koridor sekolah, memegang buku yang sobek) Zarina, ini kamu yang ngaco? Aku tahu kamu dendam, tapi merusak barangku gak akan balikin ayahmu!
Zarina Alvira: (bersandar di loker, tersenyum licik) Oh, Rayhan, ini cuma permulaan. Kamu pikir aku cuma main-main? Aku bakal bikin kamu merasa gak nyaman setiap hari sampai kamu minta ampun.
Rayhan Zulfikar: (mendekat, suaranya naik) Kamu gila, Zarina! Aku udah bilang aku gak bersalah. Kenapa kamu gak dengar?
Zarina Alvira: (menatap tajam) Karena aku gak percaya sama kata-kata manismu. Aku lihat sendiri bagaimana keluargamu hancurkan hidupku. Sekarang giliran kamu yang rasain.
Rayhan mencoba mengabaikan, tapi Zarina terus mengganggunya. Ia menyebarkan rumor tentang Rayhan, membuat temen-temennya menjauh, dan bahkan merusak proyek seni Rayhan yang akan dipamerkan di sekolah. Rayhan, yang biasanya tenang, mulai kehilangan kesabarannya.
Rayhan Zulfikar: (menghampiri Zarina di kantin, suaranya bergetar) Cukup, Zarina! Aku udah capek sama ulahmu. Kalo kamu mau bukti aku gak salah, aku bisa ajak kamu ketemu ayahku. Dia yang tahu semuanya.
Zarina Alvira: (tertawa kecil) Ketemu ayahmu? Buat apa? Biar dia kasih uang buat tutup mulutku? Gak bakal berhasil, Rayhan. Aku mau kamu menderita, bukan cuma dibayar.
Rayhan Zulfikar: (menghela napas panjang) Baiklah, kalo gitu. Tapi jangan salahkan aku kalo ini berakhir buruk buat kamu. Aku coba damai, tapi kamu pilih perang.
Zarina merasa menang, tapi di dalam hatinya, ada keraguan. Setiap kali ia melihat Rayhan yang terlihat lelah, ia ingat wajah ayahnya yang penuh harap sebelum semuanya runtuh. Namun, dendamnya terlalu kuat untuk dilupain. Ia terus merencanakan langkah berikutnya, tak sadar bahwa peristiwa tak terduga akan mengubah segalanya.
Suatu malam, saat Zarina pulang dari perpustakaan, ia diserang oleh sekelompok preman yang salah mengira ia membawa uang banyak. Rayhan, yang kebetulan lewat, melompat untuk menolongnya, mengusir preman itu dengan keberanian yang tak disangka Zarina.
Rayhan Zulfikar: (terengah-engah, membantu Zarina berdiri) Kamu baik-baik aja? Aku gak nyangka mereka berani nyerang di sini.
Zarina Alvira: (memandang Rayhan dengan bingung, tangannya gemetar) Kenapa… kenapa kamu tolong aku? Aku kan musuhmu.
Rayhan Zulfikar: (tersenyum tipis) Karena aku gak tega lihat siapa pun terluka, bahkan kamu. Dendam boleh ada, Zarina, tapi aku tetep manusia.
Zarina terdiam, air matanya jatuh tanpa sadar. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain dari Rayhan, sisi yang tak sesuai dengan bayangannya. Namun, dendamnya masih membakar, dan ia memutuskan untuk menggunakan kebaikan Rayhan ini sebagai senjata baru.
Zarina pulang ke kontrakannya, menatap foto ayahnya di dinding, dan berbisik, “Aku masih akan balas dendam, Ayah. Tapi mungkin… caranya bakal berbeda.”
Retakan di Tengah Api
Yogyakarta, November 2024. Suasana pagi di halaman sekolah, matahari mulai terbit setelah hujan semalaman, udara segar membawa harum bunga kamboja.
Zarina Alvira: (berdiri di dekat pohon beringin, memegang buku catatan yang basah) Rayhan, kamu pikir kemarin cukup buat aku lupa dendam? Aku cuma kasih kamu poin tambahan karena kamu nekat tolong aku.
Rayhan Zulfikar: (mendekat dengan tas di bahu, tersenyum kecil) Aku gak minta pujian, Zarina. Aku cuma gak mau lihat kamu celaka. Tapi kalo kamu mau lanjutin perang ini, silakan. Aku udah siap.
Zarina Alvira: (mengangkat dagu) Baiklah. Mulai hari ini, aku bakal masuk ke lingkaran temen-temenmu. Aku bakal bikin mereka takut sama kamu, biar kamu ngerasain kesepian kayak aku dulu.
Rayhan Zulfikar: (tertawa pelan) Coba aja. Tapi jangan salahkan aku kalo mereka malah suka sama kamu. Aku tahu kamu pinter, Zarina. Sayang kalo cuma dipakai buat dendam.
Zarina mulai mendekati temen-temen Rayhan, seperti Aditya dan Salsa, dengan sikap manis yang disembunyikan di balik niat jahatnya. Ia menyebarkan cerita-cerita kecil tentang keluarga Rayhan, membuat temen-temennya ragu. Namun, kebaikan alami Zarina justru membuat mereka menyukainya, terutama Salsa, yang mulai menganggap Zarina sebagai adik.
Salsa Putri: (duduk di bangku taman sekolah, tersenyum pada Zarina) Kamu lucu, Zar. Aku suka cara kamu cerita. Kenapa kamu gak dekat sama Rayhan aja? Dia baik kok, meskipun agak jutek kadang.
Zarina Alvira: (tersenyum tipis, tapi hatinya gelisah) Dia baik? Mungkin di depan kamu. Tapi aku tahu sisi gelapnya, Salsa. Aku gak bisa maafin dia.
Salsa Putri: (mengernyit) Sisi gelap? Apa maksudmu? Rayhan selalu bantu kami, bahkan waktu Aditya sakit bulan lalu.
Zarina terdiam, mulai ragu dengan rencananya. Tapi ia terus maju, merencanakan aksi berikutnya: merusak reputasi Rayhan di acara debat sekolah yang akan datang. Ia belajar keras, menyiapkan argumen untuk mengalahkan Rayhan, yang dikenal sebagai debater terbaik.
Hari debat tiba, dan suasana tegang di aula sekolah. Zarina tampil dengan percaya diri, menyerang argumen Rayhan dengan data yang ia kumpulkan tentang keluarga Rayhan.
Zarina Alvira: (berdiri di podium, suaranya lantang) Lihat fakta ini, temen-temen. Keluarga Rayhan Zulfikar pernah ambil alih proyek kecil milik pedagang lokal, termasuk ayahku, yang akhirnya bangkrut dan meninggal. Ini bukti ambisi buta mereka!
Rayhan Zulfikar: (bangkit dari kursinya, matanya menyala) Zarina, itu gak sepenuhnya bener! Ayahku memang ambisius, tapi dia gak sengaja bikin ayahmu bangkrut. Aku punya dokumen yang buktiin dia coba bantu, tapi ayahmu tolak.
Zarina Alvira: (tertawa sinis) Dokumen? Kamu pikir aku bakal percaya omong kosongmu? Tunjukin bukti, Rayhan, kalo kamu berani!
Rayhan mengeluarkan selembar kertas dari tasnya, sebuah surat dari ayahnya yang menawarkan bantuan ke ayah Zarina, tapi ditolak karena harga diri. Aula menjadi gaduh, dan guru pembimbing, Pak Santoso, meminta jeda.
Pak Santoso: (mengangkat tangan) Cukup! Kalian berdua punya argumen kuat, tapi ini debat, bukan ajang dendam pribadi. Rayhan, Zarina, ke kantor sekarang.
Di kantor, Rayhan menjelaskan dengan tulus, sementara Zarina menangis, merasa kebenaran mulai retak.
Rayhan Zulfikar: (duduk di kursi, suaranya lembut) Zarina, aku tahu kamu sakit. Tapi aku gak bohong. Ayahku punya kesalahan, tapi aku gak bagian dari itu. Aku cuma mau kamu tahu kebenaran.
Zarina Alvira: (menunduk, air mata jatuh) Kebenaran? Aku gak tahu apa yang harus dipercaya lagi. Tapi dendamku belum selesai, Rayhan. Aku masih mau kamu menderita.
Tapi kejadian itu membuka celah di hati Zarina. Ia mulai mengingat saat Rayhan menolongnya dari preman, dan sikapnya yang tulus di debat. Di malam hari, ia duduk di kamar kontrakannya, menatap foto ayahnya, dan berbisik, “Ayah, apa aku salah?”
Sementara itu, Rayhan mulai merasa iba pada Zarina. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam tentang kebangkrutan ayah Zarina, menemui ayahnya untuk meminta penjelasan.
Rayhan Zulfikar: (berdiri di ruang kerja ayahnya, suaranya tegas) Pa, aku mau tahu soal proyek ayah Zarina. Apa bener ayah ambil alih paksa?
Pak Zulfikar: (menghela napas, menunduk) Iya, Ray. Aku ambil alih karena situasi bisnis, tapi aku coba bantu dengan pinjaman. Dia tolak, dan aku gak tahu dia stres sampai meninggal. Maaf, aku gak ceritain ini sebelumnya.
Rayhan terdiam, merasa beban baru. Ia memutuskan untuk memberi tahu Zarina, tapi tak tahu bagaimana caranya mendekatinya lagi.
Zarina menulis di buku hariannya, “Aku mulai ragu. Rayhan… apakah dia beneran orang yang aku benci?” Sementara Rayhan berdiri di balkon, memandang langit Yogyakarta, berpikir, “Mungkin aku bisa ubah dendamnya jadi sesuatu yang lain.”
Cahaya di Tengah Retakan
Yogyakarta, Desember 2024. Suasana malam di sebuah kafe kecil dekat Malioboro, lampu-lampu jalanan berkilau di udara dingin, aroma kopi dan hujan bercampur di udara.
Zarina Alvira: (duduk di sudut kafe, memandangi cangkir kopi, suaranya pelan) Aku gak nyangka bakal sampe di sini, Rayhan. Setelah debat itu, aku mulai mikir… apa aku salah menyalahkan kamu?
Rayhan Zulfikar: (duduk di seberang, menatap Zarina dengan hati-hati) Aku seneng kamu mau dengerin aku, Zarina. Aku udah bawa bukti dari ayahku. Ini surat yang dia tulis buat ayahmu, nawarin bantuan sebelum semuanya runtuh.
Zarina Alvira: (mengambil surat, tangannya gemetar membukanya) Kenapa ayahku tolak? Dia gak pernah cerita ini… (membaca surat, air mata mulai jatuh) Dia bilang dia malu, gak mau jadi beban. Tapi kenapa ayahmu gak tegas bantu?
Rayhan Zulfikar: (menghela napas) Ayahku punya kesalahan, Zarina. Dia terlalu fokus sama bisnis, gak ngerti perasaan orang lain. Tapi dia menyesal, dan aku janji bakal bantu kamu kalo kamu mau.
Zarina Alvira: (menatap Rayhan, suaranya bergetar) Bantu? Setelah semua yang aku lakuin ke kamu? Aku merusak barangmu, bikin temenmu jauh, dan nyerang kamu di debat. Kenapa kamu gak benci aku?
Rayhan Zulfikar: (tersenyum tipis) Karena aku lihat ada luka di matamu, Zarina. Aku tahu rasanya kehilangan seseorang. Aku kehilangan temen baikku, Dion, dua tahun lalu. Jadi aku ngerti kenapa kamu dendam.
Zarina Alvira: (terdiam, air matanya jatuh lebih deras) Aku… aku gak tahu harus ngapain lagi. Dendamku udah jadi bagian dari hidupku. Tapi kalo ini bener, mungkin aku salah arah.
Pertemuan itu menjadi titik balik. Zarina mulai meragukan dendamnya, tapi ia tak langsung membukanya. Ia meminta Rayhan untuk memberi waktu, dan Rayhan setuju, berjanji untuk menunjukkan kebaikan keluarganya. Mereka mulai bertemu secara diam-diam, di kafe atau taman, berbagi cerita tentang masa lalu mereka. Zarina menceritakan kenangan indah dengan ayahnya, sementara Rayhan berbagi tentang rasa bersalahnya terhadap Dion.
Namun, rencana Zarina untuk tetap membenci Rayhan diuji oleh kebaikan tak terduga. Suatu hari, ibunya, Bu Lestari, jatuh sakit parah dan harus dirawat di rumah sakit. Zarina panik, tak punya cukup uang untuk biaya pengobatan. Rayhan, yang tahu dari temen sekolah, datang ke rumah sakit dengan amplop berisi uang.
Rayhan Zulfikar: (menyerahkan amplop, suaranya lembut) Ini dari ayahku, Zarina. Dia mau menebus kesalahan lama. Ambil ini, buat ibumu.
Zarina Alvira: (memandang amplop dengan mata berbinar) Kenapa kamu gini, Rayhan? Aku kan musuhmu. Aku gak pantas nerima ini.
Rayhan Zulfikar: (menggenggam tangan Zarina) Kamu gak musuhku, Zarina. Aku cuma mau kamu bahagia. Kalo ini bisa bantu ibumu, aku seneng.
Uang itu cukup untuk operasi Bu Lestari, yang berhasil dengan baik. Zarina menangis di pelukan ibunya, merasa beban dendamnya mulai melemah. Ia mulai melihat Rayhan sebagai lebih dari sekadar musuh—seorang yang tulus. Tapi temen-temen Rayhan, seperti Aditya, mulai curiga dan menentang hubungan mereka.
Aditya Prabowo: (menghampiri Rayhan di koridor sekolah) Bro, kamu gila apa? Zarina itu cuma pake kamu! Dia dendam, loh, inget gak?
Rayhan Zulfikar: (menggeleng) Gak, Adit. Aku tahu dia dulu benci aku, tapi sekarang dia berubah. Aku percaya dia.
Aditya Prabowo: (menghela napas) Kalo kamu salah pilih, jangan salahkan aku kalo aku bilang “sudah kubilang.”
Zarina juga menghadapi tekanan dari dalam dirinya. Ia merasa bersalah atas ulahnya sebelumnya dan mulai menulis surat permintaan maaf untuk Rayhan, tapi tak berani mengirimnya. Sementara itu, Rayhan terus menunjukkan perhatian, seperti mengantar makanan untuk ibunya atau membantu Zarina belajar untuk ujian akhir.
Suatu malam, saat mereka duduk di taman, hujan turun pelan, dan perasaan baru muncul.
Zarina Alvira: (memandang Rayhan, suaranya pelan) Rayhan, aku… aku mulai ngerasa beda sama kamu. Aku gak tahu apa ini, tapi dendamku udah gak sekuat dulu.
Rayhan Zulfikar: (tersenyum, menggenggam tangan Zarina) Aku juga ngerasa gitu, Zarina. Mungkin ini saatnya kita coba jadi lebih dari musuh. Aku suka kamu, serius.
Zarina Alvira: (terdiam, wajahnya merah) Aku… aku juga suka kamu, Rayhan. Tapi aku takut. Apa kalo ini cuma ilusi?
Rayhan Zulfikar: (mengusap air mata Zarina) Kita buktikan bareng. Langkah kecil dulu, ya?
Mereka memutuskan untuk memulai sebagai temen dekat, tapi di dalam hati, cinta mulai tumbuh. Namun, konflik muncul lagi saat ayah Rayhan, Pak Zulfikar, mengetahui kedekatan mereka dan marah besar.
Pak Zulfikar: (berdiri di ruang tamu, suaranya keras) Rayhan, kamu gila! Anak itu dendam sama kita. Kamu gak boleh dekat sama dia!
Rayhan Zulfikar: (mendekat, tegas) Pa, aku tahu kesalahan ayah. Tapi Zarina udah maafin kita. Aku cinta dia, dan aku gak akan ninggalin dia.
Pak Zulfikar: (terdiam, lalu menghela napas) Kalo kamu yakin, buktikan. Tapi kalo dia nyakitin kamu, jangan harap aku turun tangan.
Zarina dan Rayhan berdiri di bawah hujan, saling berpelukan, berjanji untuk menghadapi masa depan bersama, meski tantangan masih menanti.
Cinta di Ujung Dendam
Yogyakarta, Januari 2025. Suasana pagi di taman UGM, matahari terbit dengan lembut, udara segar membawa harum bunga melati.
Zarina Alvira: (duduk di bangku taman, memandang Rayhan dengan senyum kecil) Aku gak nyangka kita bakal sampe di sini, Ray. Dari dendam jadi… ini.
Rayhan Zulfikar: (tersenyum, duduk di samping Zarina) Aku juga gak nyangka, Zar. Tapi aku seneng banget. Kita udah lewatin banyak.
Setelah kejadian dengan Pak Zulfikar, Zarina dan Rayhan menghadapi ujian besar. Temen-temen Rayhan, termasuk Aditya, awalnya menolak Zarina, tapi Salsa membantu menjembatani hubungan dengan mengundang mereka semua ke acara reuni kecil. Di sana, Zarina meminta maaf secara terbuka.
Zarina Alvira: (berdiri di tengah ruangan, suaranya teguh) Aku minta maaf ke kalian semua. Aku dulu dendam sama Rayhan karena kesalahan keluarganya ke ayahku. Tapi sekarang aku tahu, dia gak salah. Aku harap kalian kasih aku kesempatan buat jadi temen.
Aditya Prabowo: (terdiam, lalu mengangguk) Oke, Zarina. Kalo Rayhan percaya kamu, aku coba terima. Tapi jangan ulangi, ya.
Hubungan mereka semakin erat. Zarina dan Rayhan bekerja sama dalam proyek sekolah, membuat film pendek tentang penyembuhan luka masa lalu, yang memenangkan kompetisi nasional. Hadiahnya digunakan untuk membantu keluarga lain yang mengalami kebangkrutan, sebagai penebusan Zarina atas dendamnya.
Namun, masa lalu kembali mengganggu saat Pak Zulfikar jatuh sakit. Rayhan panik, dan Zarina memutuskan untuk membantu, meski awalnya ragu.
Zarina Alvira: (berdiri di sisi ranjang rumah sakit, suaranya lembut) Pak, aku tahu kamu gak suka aku. Tapi buat Rayhan, aku mau bantu. Maafin aku kalo aku salah.
Pak Zulfikar: (menatap Zarina, suaranya lemah) Zarina… aku yang minta maaf. Aku salah sama ayahmu. Kalo kamu bikin Rayhan bahagia, aku terima kamu.
Kesehatan Pak Zulfikar membaik, dan ia mengadakan makan malam untuk merestui hubungan mereka. Bu Lestari, ibu Zarina, juga hadir, dan untuk pertama kalinya, kedua keluarga berdamai.
Suatu malam, di taman UGM, Rayhan mengajak Zarina untuk bicara serius.
Rayhan Zulfikar: (menggenggam tangan Zarina, matanya penuh harap) Zarina, aku tahu perjalanan kita penuh luka. Tapi aku yakin kamu cinta sejati aku. Mau jadi pacarku resmi?
Zarina Alvira: (tertawa kecil, air mata jatuh) Rayhan, aku udah lama nunggu kata ini. Iya, aku mau. Dendamku udah jadi cinta, dan aku gak mau lepas dari kamu.
Mereka berpelukan di bawah pohon beringin, ditemani suara angin dan canda temen-temen mereka yang datang untuk merayakan. Zarina menulis di buku hariannya malam itu, “Dari dendam, aku temukan cinta. Terima kasih, Ayah, buat ngasih aku kekuatan.”
Zarina dan Rayhan berjalan bersama di taman, tangan terjalin, menatap masa depan yang cerah, meninggalkan bayang-bayang dendam di belakang mereka.
Dendam yang Berubah Menjadi Cinta: Kisah Remaja Penuh Emosi adalah bukti bahwa cinta dapat menyembuhkan luka terdalam dan mengubah dendam menjadi ikatan abadi. Kisah Zarina dan Rayhan mengajarkan kita tentang kekuatan pengampunan, keberanian, dan cinta yang lahir dari kepahitan. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan setiap detil emosional dari cerita ini—sebuah karya yang akan menggugah hati dan meninggalkan kesan mendalam!
Terima kasih telah menjelajahi ulasan Dendam yang Berubah Menjadi Cinta: Kisah Remaja Penuh Emosi! Semoga cerita ini membawa inspirasi dan kehangatan dalam hidup Anda. Bagikan pengalaman membacanya dengan teman-teman, dan sampai bertemu lagi di petualangan literatur berikutnya!


