Daftar Isi
Selami kisah penuh emosi dan petualangan dalam novel grafis Best Partner in Crime: Petualangan Dua Hati di Bawah Langit Jakarta, sebuah cerpen remaja yang menggugah hati karya dua jiwa muda, Kaivan dan Syerina. Berlatar di tengah hujan dan gemerlap ibu kota pada 2024, cerita ini mengisahkan persahabatan tak terpatahkan antara dua remaja yang berjuang melawan luka masa lalu, krisis keluarga, dan mimpi yang nyaris sirna. Dengan puisi yang mendalam dan sketsa yang memukau, cerpen ini bukan hanya tentang petualangan, tetapi juga tentang keberanian menemukan cahaya di tengah badai. Temukan alasan mengapa karya ini wajib masuk daftar bacaan Anda!
Best Partner in Crime
Pertemuan di Bawah Hujan
Jakarta, Oktober 2024. Hujan turun tanpa permENjem, mengguyur jalanan ibu kota yang selalu sibuk. Lampu-lampu neon dari toko-toko di sepanjang Jalan Sudirman berkilau di genangan air, menciptakan mozaik warna yang memantul di aspal basah. Di antara keramaian payung dan jaket hujan, seorang remaja bernama Kaivan Radithya berjalan dengan langkah cepat, kepalanya tertunduk di bawah hoodie biru tua yang sudah sedikit basah. Ia tak membawa payung, seolah hujan adalah teman lama yang tak perlu ia hindari.
Kaivan, atau yang biasa dipanggil Kai, adalah anak SMA kelas 11 di sebuah sekolah swasta ternama di Jakarta Selatan. Wajahnya tampan dengan rahang tegas dan mata cokelat yang selalu menyimpan rahasia. Tapi, di balik penampilan cool-nya, ia menyimpan luka yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Kehilangan kakak perempuannya, Kirana, setahun lalu dalam kecelakaan tragis, membuatnya menutup diri dari dunia. Ia lebih suka menyendiri, mendengarkan playlist indie di earphone-nya, dan menulis puisi di buku catatan kecil yang selalu ia bawa.
Hari itu, Kai berjalan menuju halte bus di dekat Sarinah. Ia baru saja selesai les tambahan matematika, meskipun sebenarnya ia tak terlalu peduli dengan nilai-nilainya. Ia hanya ingin keluar dari rumah, dari suasana yang terasa semakin dingin sejak kepergian Kirana. Ibunya sibuk bekerja sebagai dokter, ayahnya entah di mana—mereka bercerai ketika Kai masih kecil. Rumah besar di kawasan elite Kebayoran Baru terasa seperti museum: megah, tapi kosong.
Di halte, Kai melihat seseorang berdiri di bawah atap yang bocor. Seorang gadis dengan rambut panjang dikuncir kuda, mengenakan jaket denim oversized yang tampak kebesaran untuk tubuhnya yang ramping. Ia memegang sebuah buku yang dilindungi plastik transparan, seolah tak ingin setetes air hujan pun menyentuhnya. Kai memperhatikan gerak-geriknya yang gelisah, seperti sedang menunggu seseorang atau sesuatu. Entah mengapa, ada sesuatu pada gadis itu yang membuat Kai tak bisa mengalihkan pandangan.
Gadis itu bernama Syerina Valysha, atau yang biasa dipanggil Shera. Ia adalah siswi baru di SMA yang sama dengan Kai, tapi mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Shera pindah ke Jakarta dari Yogyakarta setelah keluarganya mengalami krisis finansial. Ayahnya, seorang pengusaha kecil, bangkrut setelah ditipu mitra bisnisnya, dan ibunya harus bekerja sebagai penutup untuk menutupi kebutuhan keluarga. Shera, dengan semangatnya yang tak pernah padam, berusaha tetap tersenyum meski hidupnya kini jauh dari nyaman. Ia suka membaca novel-novel klasik, bermimpi menjadi penulis, dan selalu membawa buku catatan berisi sketsa dan coretan-coretan ide cerita.
Hujan semakin deras, dan atap halte tak lagi mampu menahan air. Tetesan air mulai membasahi buku Shera, membuatnya panik. Tanpa pikir panjang, Kai melepas hoodie-nya dan memayungkannya di atas kepala Shera, melindungi buku itu dari air. Shera terkejut, menoleh ke arah Kai dengan mata lebar.
“Eh, makasih, tapi… kamu jadi basah sendiri,” katanya, suaranya lembut tapi penuh kebingungan.
Kai hanya mengangkat bahu, rambutnya yang basah menempel di dahi. “Gak apa-apa. Buku itu kayaknya penting buat kamu.”
Shera tersenyum kecil, wajahnya memerah. “Iya, ini… novel favoritku. Pride and Prejudice. Aku baca ulang tiap kali aku butuh pelarian.”
Kai mengangguk, tak tahu harus menjawab apa. Ia bukan tipe orang yang mudah memulai percakapan, apalagi dengan orang asing. Tapi ada sesuatu dalam nada suara Shera—hangat, tulus, dan sedikit rapuh—yang membuatnya merasa… nyaman.
Mereka akhirnya mengobrol, awalnya canggung, tentang hujan, Jakarta, dan buku. Shera bercerita tentang Yogya, tentang pasar malam yang selalu ramai, tentang candi-candi yang ia rindukan. Kai mendengarkan dengan saksama, sesekali menyelipkan komentar pendek. Ia tak banyak bicara tentang dirinya, tapi Shera tak memaksa. Ada pemahaman tak terucap di antara mereka, seperti dua jiwa yang sama-sama lelah dengan dunia, tapi masih mencari alasan untuk tetap bertahan.
Bus yang ditunggu Shera tak kunjung datang, dan hujan tak juga reda. Kai, yang sebenarnya tinggal tak jauh dari halte, menawarkan Shera untuk berteduh di sebuah kafe kecil di ujung jalan. “Aku tahu tempat yang oke. Gak jauh dari sini. Kalo kamu mau, bisa nunggu hujan reda di sana,” katanya, suaranya datar tapi ada sedikit harapan di matanya.
Shera ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Oke, tapi aku bayar kopiku sendiri, ya.”
Kai tersenyum tipis, pertama kalinya hari itu. “Deal.”
Kafe itu bernama Langit Senja, sebuah tempat kecil dengan dinding kayu dan lampu-lampu gantung yang memancarkan cahaya kuning hangat. Mereka duduk di sudut dekat jendela, memesan dua cangkir kopi hitam dan sepiring pisang goreng. Di antara aroma kopi dan suara hujan yang masih mengguyur di luar, mereka melanjutkan percakapan. Shera bercerita tentang mimpinya menjadi penulis, tentang cerita-cerita yang ia tulis di buku catatannya. Kai, meski awalnya enggan, akhirnya membuka sedikit tentang puisi-puisinya, meski ia buru-buru menambahkan, “Tapi gak bagus-bagus amat, sih.”
“ boleh lihat?” tanya Shera, matanya berbinar.
Kai menggeleng cepat. “Belum waktunya. Mungkin… nanti.”
Mereka tertawa, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Kai merasa ada seseorang yang benar-benar melihatnya—bukan sebagai anak yang pendiam atau anak yang kehilangan kakaknya, tapi sebagai Kaivan, dengan segala mimpi dan lukanya.
Malam itu, mereka bertukar nomor telepon. Shera menulis nomornya di selembar kertas dari buku catatannya, dengan tulisan tangan yang rapi dan sedikit coretan bunga di sudutnya. Kai menyimpan kertas itu di saku jaketnya, seperti menyimpan sesuatu yang berharga.
Hujan akhirnya reda, dan mereka berpisah di depan kafe. Shera melambaikan tangan, senyumnya cerah meski wajahnya lelah. “Sampai ketemu lagi, Kai.”
Kai hanya mengangguk, tapi di dalam hatinya, ia tahu ini bukan pertemuan terakhir mereka.
Hari-hari berikutnya, Kai dan Shera mulai sering bertemu, baik sengaja maupun tidak. Mereka duduk bersama di kantin sekolah, berbagi earphone untuk mendengarkan lagu-lagu indie yang ternyata mereka sukai bersama, dan kadang menghabiskan sore di Langit Senja, menulis atau sekadar mengobrol. Persahabatan mereka tumbuh seperti tanaman yang disiram hujan: perlahan, tapi kuat.
Namun, di balik tawa dan cerita, masing-masing menyimpan rahasia. Kai masih dihantui kenangan tentang Kirana, tentang malam kecelakaan itu, tentang rasa bersalah yang tak pernah ia akui. Shera, di sisi lain, berjuang dengan tekanan keluarganya yang semakin berat—utang yang menumpuk, pertengkaran orangtuanya, dan rasa takut bahwa mimpinya menjadi penulis hanyalah angan-angan yang tak akan pernah terwujud.
Suatu hari, saat mereka duduk di taman belakang sekolah, Shera mengeluarkan buku catatannya dan menunjukkan sebuah sketsa kepada Kai. Itu adalah gambar dua orang remaja, berdiri di bawah payung besar, dengan latar belakang kota yang basah oleh hujan. “Ini kita, waktu pertama ketemu,” kata Shera, tersenyum malu.
Kai menatap sketsa itu lama, hatinya terasa hangat dan perih di saat yang sama. “Kamu bener-bener talented, Shera,” katanya, suaranya pelan. “Jangan pernah berhenti nulis atau gambar, apa pun yang terjadi.”
Shera mengangguk, tapi ada bayangan di matanya. “Kadang aku takut, Kai. Takut semua ini cuma mimpi yang bakal hancur.”
Kai memandangnya, ingin berkata sesuatu untuk menghibur, tapi kata-kata terasa macet di tenggorokannya. Ia hanya meraih tangan Shera dan memegangnya erat, seperti janji tak terucap bahwa mereka akan melewati semua ini bersama.
Di akhir bab ini, Kai dan Shera mulai merencanakan sesuatu yang mereka sebut “proyek rahasia”. Shera mendapat ide untuk membuat sebuah novel grafis bersama, menggabungkan puisi-puisi Kai dan sketsa-sketas Shera. Mereka menyebutnya Best Partner in Crime, sebuah cerita tentang dua remaja yang berpetualang di Jakarta, mencari makna di tengah kekacauan hidup mereka. Proyek ini menjadi pelarian mereka, cara untuk melawan luka dan ketakutan yang mereka simpan.
Namun, di balik semangat mereka, bayang-bayang masa lalu dan masalah keluarga mulai mengintai. Kai mendapat telepon dari ibunya, yang mengatakan bahwa ayahnya tiba-tiba muncul kembali setelah bertahun-tahun menghilang. Shera, di sisi lain, mendengar pertengkaran orangtuanya yang semakin sengit, dengan ancaman perceraian yang kini terasa nyata. Bab ini ditutup dengan mereka duduk di atap gedung sekolah, menatap langit Jakarta yang kelabu, berjanji untuk menjadi “partner in crime” yang tak akan pernah meninggalkan satu sama lain, apa pun yang terjadi.
Rahasia di Balik Senyum
November 2024. Langit Jakarta masih sering kelabu, tapi bagi Kai dan Shera, dunia mereka mulai dipenuhi warna. Proyek Best Partner in Crime menjadi jangkar yang menahan mereka dari badai kehidupan masing-masing. Setiap sore, mereka menghabiskan waktu di Langit Senja, menyebar buku catatan, pensil, dan kopi di atas meja kayu yang sudah penuh goresan. Kai menulis puisi-puisi pendek tentang hujan, kota, dan kehilangan, sementara Shera menggambar panel-panel komik yang hidup, penuh dengan detail kecil seperti genangan air di trotoar atau lampu neon yang berkedip.
Namun, di balik semangat mereka, ada ketegangan yang mulai muncul. Kai mulai memperhatikan bahwa Shera sering tampak lelah, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang ia tutupi dengan tawa. Shera, di sisi lain, merasakan bahwa Kai menyಮ
punya rahasia yang lebih dalam. Kai tak pernah banyak bercerita, tapi Shera bisa melihat kegelisahan di matanya setiap kali topik keluarga muncul.
Suatu sore, saat mereka sedang mengerjakan proyek di kafe, Shera tiba-tiba menutup buku sketsanya dengan keras. “Kai, kamu pernah gak merasa… kayak hidup ini terlalu berat?” tanyanya tiba-tiba, suaranya parau.
Kai menatapnya, terkejut dengan pertanyaan yang mendadak. “Setiap hari,” jawabnya jujur, untuk pertama kalinya membuka sedikit tentang perasaannya. “Sejak Kirana… aku kayak cuma jalan tanpa tujuan.”
Shera memandangnya lama, matanya penuh empati. “Aku tahu rasanya kehilangan sesuatu yang penting. Tapi… kamu gak sendirian, Kai. Aku ada di sini.”
Kata-kata itu sederhana, tapi bagi Kai, mereka seperti pelita di tengah kegelapan. Untuk pertama kalinya, ia merasa seseorang benar-benar memahaminya tanpa perlu banyak kata.
Malam itu, mereka memutuskan untuk melakukan “petualangan kecil” untuk mencari inspirasi. Mereka naik motor Kai, sebuah Vespa tua peninggalan Kirana, dan berkeliling Jakarta di tengah malam. Mereka mampir di warung-warung pinggir jalan, mencuri tawa di antara lampu-lampu kota, dan berhenti di sebuah jembatan tua di Kota Tua, menatap Sungai Ciliwung yang berkilau di bawah bulan.
Di sana, Shera akhirnya menceritakan rahasia yang selama ini ia pendam: keluarganya hampir kehilangan rumah karena utang, dan ia takut harus berhenti sekolah untuk bekerja. Air matanya jatuh, dan Kai, tanpa banyak bicara, memeluknya erat di bawah langit malam. “Kita bakal cari jalan keluar, Shera. Bersama,” bisiknya.
Namun, petualangan mereka tak selalu indah. Kai mulai dihantui mimpi buruk tentang kecelakaan Kirana, dan ia sering terbangun dengan keringat dingin, tak bisa menceritakannya kepada Shera. Sementara itu, Shera mendapat kabar bahwa ayahnya jatuh sakit, menambah beban di pundaknya. Di tengah tekanan ini, proyek novel grafis mereka menjadi semakin penting—bukan hanya sebagai mimpi, tapi sebagai cara untuk bertahan.
Suatu hari, Kai mendapat pesan dari ayahnya, yang tiba-tiba ingin bertemu setelah bertahun-tahun tak ada kabar. Kai, yang masih menyimpan amarah, menolak, tapi pertemuan itu memicu pertengkaran kecil dengan Shera, yang berpikir Kai seharusnya memberi ayahnya kesempatan. “Kamu gak tahu apa yang aku rasain, Shera!” bentak Kai, untuk pertama kalinya kehilangan kendali.
Shera terdiam, terluka, tapi ia tak menyerah. Malam itu, ia menulis surat panjang untuk Kai, menceritakan ketakutannya sendiri dan betapa ia membutuhkan Kai sebagai sahabatnya. Kai, yang membaca surat itu di kamarnya, menangis untuk pertama kalinya sejak kematian Kirana. Ia menyadari bahwa Shera adalah satu-satunya orang yang membuatnya merasa hidup kembali.
Mereka berdamai di Langit Senja, berjanji untuk tidak pernah saling menyakiti lagi. Mereka memutuskan untuk mempercepat proyek Best Partner in Crime, dengan rencana untuk mengirimkannya ke penerbit indie di Jakarta. Namun, di ujung bab, sebuah telepon masuk ke ponsel Shera: ibunya mengatakan bahwa ayahnya harus dioperasi, dan biayanya jauh di luar kemampuan mereka. Shera menatap Kai dengan mata berkaca-kaca, dan Kai tahu bahwa petualangan mereka sebagai “partner in crime” akan segera menghadapi ujian terbesar.
Badai di Ufuk
Desember 2024. Langit Jakarta semakin kelabu, seolah mencerminkan hati Kaivan dan Syerina yang kini dipenuhi kekhawatiran. Hujan yang turun hampir setiap sore tak lagi terasa romantis seperti saat mereka pertama bertemu di halte bus. Kafe Langit Senja tetap menjadi tempat perlindungan mereka, tapi suasana di meja kayu itu kini penuh dengan ketegangan yang tak terucap. Proyek novel grafis Best Partner in Crime masih menjadi jangkar mereka, tapi badai kehidupan mulai mengguncang fondasi persahabatan mereka.
Syerina, atau Shera, kini menghadapi kenyataan pahit: ayahnya, Pak Bima, didiagnosis dengan gagal ginjal. Biaya dialisis dan kemungkinan operasi transplantasi ginjal jauh melampaui kemampuan keluarganya. Ibunya, Bu Wulan, bekerja lembur sebagai penjahit, tapi penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Shera mulai bekerja paruh waktu di sebuah toko buku kecil di Kemang setelah sekolah, mengorbankan waktu untuk mengerjakan proyeknya dengan Kai. Wajahnya yang dulu cerah kini sering terlihat pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tak bisa disembunyikan oleh senyumnya.
Kai, di sisi lain, berjuang dengan konflik batinnya sendiri. Ayahnya, Pak Raditya, terus mencoba menghubunginya, mengirim pesan dan bahkan muncul di depan rumahnya di Kebayoran Baru. Kai masih menyimpan dendam atas kepergian ayahnya saat ia masih kecil, terutama karena ia merasa ayahnya tak pernah ada saat Kirana, kakaknya, masih hidup. Namun, ibunya, Bu Alira, yang kini mulai membuka diri tentang masa lalu, meminta Kai untuk memberi ayahnya kesempatan. “Dia berubah, Kai. Dia menyesal,” kata Bu Alira suatu malam, tapi Kai hanya menatap keluar jendela, tak ingin mendengar.
Di tengah kekacauan ini, Kai dan Shera tetap berusaha menjaga semangat mereka untuk proyek Best Partner in Crime. Novel grafis mereka kini sudah memiliki beberapa bab awal: sebuah cerita tentang dua remaja, Arga dan Lintang, yang menjelajahi Jakarta untuk mencari “harta karun” berupa makna hidup. Puisi-puisi Kai, yang penuh dengan metafora tentang hujan dan kehilangan, dipadukan dengan sketsa-sketas Shera yang hidup, menggambarkan jalanan Jakarta dengan detail yang memukau—dari warung kopi pinggir jalan hingga lampu-lampu neon di Thamrin. Mereka bermimpi untuk mengirimkan naskah ini ke penerbit indie bernama Cahaya Kertas, yang dikenal menerbitkan karya-karya anak muda.
Namun, waktu bersama mereka semakin terbatas. Shera sering membatalkan pertemuan karena harus bekerja atau menemani ayahnya di rumah sakit. Kai, meski berusaha memahami, merasa kesepian tanpa Shera. Ia mulai menghabiskan malam-malamnya menulis puisi yang semakin gelap, mencerminkan rasa takutnya kehilangan satu-satunya orang yang membuatnya merasa utuh setelah kematian Kirana.
Suatu sore, saat hujan baru reda, Kai mengunjungi Shera di toko buku tempat ia bekerja. Toko itu kecil, dengan rak-rak kayu penuh buku-buku bekas yang berbau kertas tua. Shera sedang menyusun buku di rak belakang, rambutnya yang biasanya dikuncir kini tergerai, menutupi wajahnya yang lelah. Kai memperhatikan tangannya yang gemetar saat mengangkat setumpuk novel.
“Shera, kamu baik-baik aja?” tanya Kai, suaranya penuh kekhawatiran.
Shera tersenyum lemah, tapi matanya berkaca-kaca. “Aku cuma… capek, Kai. Ayah harus dialysis lagi minggu depan, dan… aku gak tahu gimana kita bakal bayar semuanya.”
Kai merasa dadanya sesak. Ia ingin membantu, tapi ia tahu keluarganya sendiri tak dalam kondisi finansial yang jauh lebih baik. Ibunya, meski dokter, menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk membayar cicilan rumah dan biaya sekolah Kai. “Kita bakal cari cara, Shera. Aku janji,” katanya, meski ia sendiri tak yakin bagaimana caranya.
Malam itu, mereka memutuskan untuk “kabur” sejenak dari kenyataan. Kai mengajak Shera naik Vespa tuanya untuk menjelajahi Jakarta malam. Mereka berkeliling tanpa tujuan, melewati Monas yang berkilau di bawah lampu sorot, mampir di warung bakso di pinggir Kali Ciliwung, dan akhirnya berhenti di Pantai Ancol. Angin laut yang dingin menerpa wajah mereka, dan untuk sesaat, dunia terasa lebih ringan.
Di bawah langit yang penuh bintang, Shera mengeluarkan buku catatannya dan menunjukkan sketsa baru: sebuah panel yang menggambarkan Arga dan Lintang duduk di tepi pantai, saling berbagi rahasia. “Ini kita, Kai,” katanya pelan. “Aku pengen cerita kita punya akhir yang bahagia.”
Kai menatap sketsa itu, hatinya terasa perih. “Aku juga, Shera. Tapi… kadang hidup gak seindah cerita.”
Shera memandangnya, matanya penuh tekad. “Maka dari itu kita bikin cerita ini, Kai. Supaya kita punya sesuatu yang bisa kita pegang, apa pun yang terjadi.”
Namun, badai tak bisa dihindari. Beberapa hari kemudian, Kai mendapat kabar bahwa ayahnya dirawat di rumah sakit karena serangan jantung ringan. Meski marah, Kai tak bisa menahan diri untuk tidak pergi ke rumah sakit. Di sana, ia melihat ayahnya untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun: seorang pria yang kini terlihat tua, dengan rambut yang mulai memutih dan wajah penuh penyesalan. “Aku tahu aku gagal jadi ayah buat kamu, Kai,” kata Pak Raditya, suaranya lemah. “Tapi aku pengen memperbaiki semuanya.”
Kai tak bisa menjawab. Ia hanya menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca, lalu pergi tanpa kata-kata. Di luar rumah sakit, ia menangis di bawah hujan, merasa dunia semakin menekannya.
Sementara itu, Shera menghadapi krisis baru. Ayahnya harus segera menjalani operasi, tapi keluarganya tak punya cukup uang. Shera memutuskan untuk menjual beberapa barang berharganya, termasuk buku-buku kesayangannya dan bahkan laptop tua yang ia gunakan untuk menggambar digital. Kai, yang mengetahui ini, merasa tak berdaya. Ia mulai mencari cara untuk membantu, bahkan mempertimbangkan untuk mencuri uang dari tabungan ibunya—sesuatu yang membuatnya merasa bersalah hanya dengan memikirkannya.
Di tengah tekanan ini, proyek Best Partner in Crime hampir terhenti. Shera tak punya waktu untuk menggambar, dan Kai terlalu terpuruk untuk menulis. Namun, sebuah ide muncul: mereka memutuskan untuk mengadakan pameran kecil di Langit Senja, menampilkan sketsa-sketas Shera dan puisi-puisi Kai untuk mengumpulkan dana. Mereka bekerja keras, mencetak poster, menyebarkan undangan di media sosial, dan bahkan mengajak teman-teman sekolah untuk membantu.
Pameran itu sukses di luar dugaan. Banyak anak muda datang, terpesona oleh karya mereka yang penuh emosi. Seorang editor dari Cahaya Kertas bahkan hadir dan menawarkan untuk melihat naskah lengkap mereka. Namun, di tengah kebahagiaan ini, Shera mendapat kabar bahwa kondisi ayahnya memburuk. Ia harus segera dioperasi, atau ia tak akan bertahan lama.
Bab ini ditutup dengan Kai dan Shera duduk di atap Langit Senja, menatap langit Jakarta yang mulai cerah setelah hujan. Shera memegang tangan Kai, suaranya gemetar. “Kai, aku takut. Aku takut kehilangan ayah, kayak kamu kehilangan Kirana.”
Kai memeluknya erat, air matanya jatuh. “Kamu gak bakal sendiri, Shera. Aku di sini. Kita partner in crime, ingat?”
Mereka berjanji untuk menyelesaikan novel grafis mereka, apa pun yang terjadi, sebagai simbol bahwa mereka tak akan menyerah pada hidup. Tapi di ujung bab, sebuah pesan masuk ke ponsel Kai: ayahnya meminta untuk bertemu sekali lagi, mengatakan bahwa ia punya sesuatu yang penting untuk disampaikan. Kai tahu bahwa keputusan ini akan mengubah segalanya.
Cahaya di Ujung Hujan
Januari 2025. Jakarta memasuki musim yang sedikit lebih cerah, tapi bagi Kai dan Shera, hidup mereka masih dipenuhi awan gelap. Pameran di Langit Senja memberi mereka secercah harapan, tapi dana yang terkumpul masih jauh dari cukup untuk operasi ayah Shera. Kai, di sisi lain, masih bergulat dengan keputusannya untuk bertemu ayahnya. Persahabatan mereka, yang dulu kuat seperti batu karang, kini mulai retak di bawah tekanan hidup.
Kai akhirnya memutuskan untuk menemui ayahnya di rumah sakit. Di sana, Pak Raditya menceritakan kebenaran yang selama ini disembunyikan: ia meninggalkan keluarga karena terlilit utang judi, tapi kini ia telah berubah dan ingin menebus kesalahannya. Ia menawarkan tabungan yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun untuk membantu Kai dan ibunya. Kai, yang awalnya menolak, akhirnya menerima bantuan itu—bukan untuk dirinya, tapi untuk Shera. Ia tahu bahwa uang itu bisa membantu biaya operasi ayah Shera.
Sementara itu, Shera mulai kehilangan harapan. Ayahnya semakin lemah, dan dokter mengatakan bahwa operasi harus dilakukan dalam hitungan hari. Shera menghabiskan malam-malamnya di rumah sakit, duduk di samping ayahnya, membaca novel-novel klasik untuk menghibur. Tapi di dalam hatinya, ia merasa dunia sedang runtuh. Ia bahkan mulai berpikir untuk menyerah pada mimpinya menjadi penulis, berencana mencari pekerjaan penuh waktu setelah lulus SMA.
Kai, yang tak tahan melihat Shera menderita, membuat keputusan berani. Ia menggunakan uang dari ayahnya untuk membayar sebagian biaya operasi, tapi ia tak memberitahu Shera sumber uang itu. Ia hanya bilang bahwa ia mendapat bantuan dari “seseorang”. Operasi ayah Shera akhirnya dilakukan, dan meski hasilnya belum pasti, ada harapan bahwa ia akan pulih.
Namun, kebenaran tak bisa disembunyikan selamanya. Shera, yang curiga dengan asal-usul uang itu, memaksa Kai�
Kai untuk mengaku. Kai akhirnya menceritakan semuanya, termasuk tentang ayahnya dan rasa bersalahnya karena menerima bantuan dari seseorang yang pernah menyakiti keluarganya. Shera, meski awalnya terkejut, memaafkan Kai, mengatakan bahwa ia mengerti keputusan sulit yang Kai buat demi menyelamatkan ayahnya. “Kamu gak perlu merasa bersalah, Kai. Kita partner in crime, kan? Kita saling jaga,” katanya dengan senyum yang penuh pengertian.
Momen ini menjadi titik balik bagi mereka. Kai dan Shera kembali bekerja pada Best Partner in Crime dengan semangat baru. Mereka menghabiskan malam-malam di Langit Senja, menulis dan menggambar hingga larut, mengisi halaman-halaman novel grafis mereka dengan cerita tentang Arga dan Lintang yang kini menemukan harapan di tengah keputusasaan. Setiap puisi Kai menjadi lebih terang, penuh dengan metafora tentang matahari yang muncul setelah hujan. Sketsa-sketas Shera pun menjadi lebih hidup, dengan warna-warna cerah yang mencerminkan semangat baru mereka.
Di tengah proses ini, Kai mulai membuka diri tentang Kirana. Ia menceritakan kepada Shera tentang malam kecelakaan itu, tentang bagaimana ia merasa bersalah karena ia seharusnya ada di mobil bersama Kirana malam itu, tapi ia memilih untuk tinggal di rumah untuk mengerjakan tugas sekolah. “Aku selalu mikir, kalo aku ada di sana, mungkin aku bisa nyanyi lagu favoritnya, terus dia gak bakal ngantuk di jalan,” katanya, suaranya pecah.
Shera memegang tangannya erat. “Kai, itu bukan salahmu. Kirana pasti ingin kamu hidup bahagia, bukan nyalahin diri sendiri.”
Kata-kata Shera seperti balsem bagi luka Kai. Untuk pertama kalinya, ia merasa beban di dadanya sedikit berkurang. Ia mulai menulis puisi tentang pengampunan, tentang bagaimana hujan bisa membersihkan luka lama, dan Shera menggambar panel-panel yang menggambarkan Arga dan Lintang berjalan di bawah langit cerah, tangan mereka saling bergandengan.
Sementara itu, ayah Shera mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Operasi itu berhasil, meski ia masih harus menjalani dialisis dan perawatan jangka panjang. Bu Wulan, ibunya Shera, mulai tersenyum lagi, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, rumah kecil mereka di pinggiran Jakarta terasa hangat kembali. Shera, yang sempat ingin menyerah pada mimpinya, kini kembali bersemangat. Ia mulai menggambar dengan penuh gairah, mencurahkan semua emosinya ke dalam panel-panel Best Partner in Crime.
Pada akhir Januari, mereka akhirnya menyelesaikan naskah lengkap novel grafis mereka. Dengan jantungan, mereka mengirimkannya ke Cahaya Kertas. Seminggu kemudian, mereka mendapat kabar yang tak pernah mereka bayangkan: penerbit itu ingin menerbitkan karya mereka, bahkan menawarkan kontrak untuk seri lanjutan. Editor mereka, seorang wanita muda bernama Mbak Dara, memuji cara mereka menangkap emosi remaja Jakarta dengan begitu autentik. “Kalian punya sesuatu yang spesial di sini,” katanya dalam sebuah pertemuan di kantor penerbit. “Ini bukan cuma cerita, ini hidup.”
Malam setelah kabar itu, Kai dan Shera merayakannya di Langit Senja. Mereka memesan pisang goreng dan kopi seperti biasa, tapi kali ini mereka juga memesan sebotol soda untuk bersulang. Di bawah lampu-lampu gantung kafe, mereka mengangkat gelas, tersenyum lebar. “Buat kita, partner in crime,” kata Shera, matanya berkilau.
“Buat kita, dan buat semua mimpi yang gak kita lepas,” jawab Kai.
Namun, cerita mereka tak berhenti di situ. Kai akhirnya memutuskan untuk bertemu ayahnya lagi, kali ini dengan hati yang lebih terbuka. Dalam pertemuan yang penuh emosi, ia mendengarkan penjelasan ayahnya tentang tahun-tahun yang hilang, tentang bagaimana ia berjuang melawan kecanduan judi dan membangun kembali hidupnya. Kai tak langsung memaafkan sepenuhnya, tapi ia mulai melihat ayahnya sebagai manusia, bukan hanya sebagai bayang-bayang masa lalu. “Aku cuma pengen kamu tahu, aku bangga sama kamu, Kai,” kata Pak Raditya, suaranya gemetar. Kai hanya mengangguk, tapi di dalam hatinya, ia merasa langkah kecil ini adalah awal dari sesuatu yang baru.
Shera, di sisi lain, mulai membantu ibunya dengan mengambil lebih banyak pekerjaan lepas sebagai ilustrator, menggunakan koneksi dari pameran mereka. Ia juga mulai mengajar anak-anak di lingkungannya cara menggambar, menemukan kebahagiaan dalam berbagi bakatnya. Ayahnya, meski masih lemah, sering duduk di sampingnya saat ia menggambar, tersenyum bangga melihat putrinya yang tak pernah menyerah.
Di akhir bab, Kai dan Shera berdiri di jembatan tua di Kota Tua, tempat mereka pernah berhenti saat petualangan malam mereka. Langit Jakarta cerah malam itu, dengan bintang-bintang yang berkedip di atas Sungai Ciliwung. Mereka memegang salinan cetak pertama Best Partner in Crime, yang baru saja tiba dari penerbit. Sampulnya menampilkan sketsa Shera tentang Arga dan Lintang di bawah payung, dengan puisi Kai yang bertuliskan: “Di bawah hujan, kita menemukan rumah.”
Mereka saling memandang, tersenyum, dan tahu bahwa meski hidup masih akan membawa badai, mereka akan selalu punya satu sama lain. “Partner in crime, selamanya?” tanya Shera, mengulurkan tangannya.
Kai menggenggamnya erat. “Selamanya.”
Cerita mereka, seperti novel grafis mereka, tak berakhir di sini. Ini adalah awal dari petualangan baru, di mana mereka akan terus menulis, menggambar, dan menghadapi dunia bersama, di bawah langit Jakarta yang selalu penuh kejutan.
Best Partner in Crime: Petualangan Dua Hati di Bawah Langit Jakarta adalah lebih dari sekadar cerpen; ini adalah cerminan jiwa remaja yang penuh harapan, luka, dan keberanian untuk bangkit. Kisah Kai dan Shera mengajarkan kita bahwa di tengah hujan deras kehidupan, persahabatan sejati bisa menjadi payung yang melindungi. Jangan lewatkan novel grafis ini yang menggabungkan puisi, seni, dan emosi dalam setiap halamannya—sebuah karya yang akan meninggalkan jejak di hati Anda.
Terima kasih telah menyimak ulasan tentang Best Partner in Crime: Petualangan Dua Hati di Bawah Langit Jakarta! Semoga artikel ini menginspirasi Anda untuk menyelami kisah emosional Kai dan Shera. Sampai jumpa di petualangan literatur berikutnya, dan jangan lupa bagikan artikel ini kepada teman-teman Anda yang menyukai cerita penuh makna!


