Daftar Isi
“Kisah Cinta untuk Bunda: Perjuangan Seorang Remaja Meraih Cita-Cita” adalah sebuah cerpen epik yang mengisahkan perjuangan Kaelan Arsyad, seorang remaja dari desa kecil Sukamendung, dalam mengejar mimpinya menjadi dokter demi ibunya yang sakit. Penuh dengan emosi, pengorbanan, dan semangat pantang menyerah, cerita ini tidak hanya menghibur tetapi juga menginspirasi pembaca untuk menghargai kasih sayang keluarga dan tekad meraih cita-cita. Dengan latar tahun 2024, cerpen ini menggambarkan kehidupan pedesaan yang sederhana namun penuh makna, menjadikannya bacaan wajib bagi siapa saja yang mencari kisah penuh makna dan motivasi. Mari selami perjalanan Kaelan yang penuh liku dan pelajaran hidup yang mendalam!
Kisah Cinta untuk Bunda
Awal dari Semua Mimpi
Di sebuah desa kecil bernama Sukamendung, yang terletak di lereng perbukitan hijau di Jawa Barat, tahun 2024 menjadi titik awal dari sebuah kisah yang penuh liku. Desa ini dikenal dengan sawah-sawah yang membentang luas, dikelilingi oleh pohon kelapa yang menjulang tinggi, serta aroma tanah basah setelah hujan yang selalu membawa ketenangan. Di antara rumah-rumah sederhana yang berdinding anyaman bambu, tinggallah seorang remaja bernama Kaelan Arsyad, seorang pemuda berusia 17 tahun dengan mata cokelat tua yang selalu memancarkan semangat, meski hidupnya penuh dengan keterbatasan.
Kaelan bukanlah remaja biasa. Ia memiliki hati yang besar, penuh dengan mimpi yang terlalu luas untuk desa kecilnya. Namun, di balik semangatnya yang membara, ada sebuah beban berat yang ia pikul: tanggung jawab untuk merawat ibunya, Siti Maryam, yang ia panggil dengan penuh kasih sayang, “Bunda.” Maryam adalah seorang janda berusia 45 tahun, yang tubuhnya mulai rapuh akibat penyakit paru-paru kronis yang dideritanya sejak tiga tahun lalu. Penyakit itu membuatnya sering sesak napas, batuk-batuk, dan kadang tak mampu berjalan jauh. Meski begitu, Maryam selalu tersenyum untuk Kaelan, seolah ingin menyembunyikan rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya.
Pagi itu, seperti biasa, Kaelan bangun sebelum matahari terbit. Cahaya fajar yang lembut menyelinap melalui celah-celah jendela bambu di rumah kecil mereka. Ia mengenakan kaus lusuh berwarna abu-abu dan celana pendek yang sudah agak pudar. Dengan hati-hati, ia menyalakan tungku kayu di dapur untuk memasak air. Bau kayu bakar yang terbakar bercampur dengan aroma daun pandan dari teh yang ia seduh untuk Bunda. Setiap pagi, ia memastikan Bunda meminum teh hangat dengan sedikit madu, satu-satunya kemewahan yang bisa ia berikan dari penghasilannya sebagai buruh tani dan penjual gorengan di pasar desa.
“Kael, kamu sudah bangun?” suara Maryam yang lemah terdengar dari kamar kecil di sudut rumah. Kaelan segera berjalan ke arahnya, membawa secawan teh hangat.
“Sudah, Bunda. Ini tehnya, minum dulu, ya,” kata Kaelan sambil tersenyum. Ia membantu Maryam duduk di ranjang kayu yang sudah tua, menyangga punggungnya dengan bantal lusuh. Wajah Maryam pucat, namun matanya penuh dengan kehangatan setiap kali melihat putranya.
“Terima kasih, Nak. Kamu selalu repot untuk Bunda,” ujar Maryam dengan suara pelan, tangannya yang kurus mengelus pipi Kaelan.
“Bunda jangan bilang gitu. Ini tugas Kaelan,” jawab Kaelan sambil menahan perasaan haru. Ia tahu, setiap detik yang ia habiskan bersama Bunda adalah anugerah, karena dokter di puskesmas desa pernah berkata bahwa paru-paru Bunda semakin lemah. Obat-obatan yang dibutuhkan sangat mahal, dan Kaelan hanya mampu membeli obat generik yang sering kali tidak cukup kuat untuk meredakan sesak napas Bunda.
Setelah memastikan Bunda meminum tehnya, Kaelan bergegas ke sawah milik Pak Hasan, tetangga mereka yang baik hati. Pak Hasan adalah seorang petani tua yang sering mempekerjakan Kaelan untuk membantu menyiangi rumput atau memanen padi. Upahnya tidak besar, hanya cukup untuk membeli beras dan beberapa kebutuhan pokok, tapi Kaelan bersyukur atas setiap rupiah yang ia dapatkan. Di sawah, ia bekerja dengan penuh semangat, meski matahari pagi mulai terik dan keringat membasahi keningnya.
Saat istirahat di bawah pohon kelapa, Kaelan sering melamun, menatap langit biru yang luas. Ia bermimpi menjadi dokter, sebuah cita-cita yang terasa begitu jauh dari jangkauannya. Ia ingin menyembuhkan Bunda, ingin melihatnya hidup sehat dan bahagia seperti dulu, saat ayahnya, Zainal, masih ada. Zainal meninggal lima tahun lalu dalam kecelakaan saat bekerja sebagai kuli bangunan di kota. Kepergian ayahnya meninggalkan luka mendalam di hati Kaelan dan Bunda, tapi juga mengajarkan Kaelan untuk menjadi kuat demi ibunya.
“Kael, kamu kok melamun? Ayo, makan dulu!” seru Pak Hasan, menyodorkan sepiring nasi dengan lauk tempe goreng dan sambal terasi. Kaelan tersenyum kecil, menerima piring itu dengan tangan penuh lumpur.
“Terima kasih, Pak. Tadi Kaelan cuma mikir sesuatu,” jawabnya sambil mulai menyantap makanan itu. Pikirannya melayang ke momen-momen kecil bersama Bunda, seperti saat mereka duduk bersama di beranda rumah, menikmati angin malam sambil mendengarkan cerita-cerita Bunda tentang masa muda. Bunda pernah bercita-cita menjadi guru, tapi ia mengorbankan mimpinya demi menikah dengan Zainal dan membesarkan Kaelan. Kini, Kaelan merasa bahwa mimpinya menjadi dokter adalah cara untuk membayar pengorbanan Bunda.
Sore itu, setelah selesai bekerja di sawah, Kaelan bergegas ke pasar desa. Ia membawa keranjang berisi gorengan yang dibuatnya pagi tadi: pisang goreng, tahu isi, dan tempe mendoan. Pasar Sukamendung selalu ramai di sore hari, dengan aroma makanan yang menggoda dan suara pedagang yang saling bersahutan. Kaelan menjajakan gorengannya dengan penuh semangat, memanggil-manggil pembeli dengan suara riang. “Gorengan hangat, Bu! Tahu isi, pisang goreng, cuma seribu perak satu!” serunya.
Di tengah keramaian pasar, Kaelan bertemu dengan sahabatnya, Nayla Zahrani, seorang gadis berusia 16 tahun yang dikenal sebagai anak paling cerdas di sekolah mereka. Nayla memiliki rambut panjang yang selalu dikuncir rapi, dan matanya yang berbinar penuh dengan rasa ingin tahu. Ia sering membantu Kaelan menjajakan gorengan, meski keluarganya tergolong berada dan ia tidak perlu bekerja seperti Kaelan.
“Kael, kok kelihatan capek banget? Kamu istirahat cukup nggak sih?” tanya Nayla sambil membantu Kaelan menyusun gorengan di atas meja kecil.
Kaelan hanya tersenyum tipis. “Biasa aja, Nay. Namanya juga usaha buat Bunda.”
Nayla menghela napas. Ia tahu betul betapa kerasnya Kaelan berjuang untuk ibunya. “Kael, kamu tahu nggak, ada beasiswa ke universitas kedokteran di Bandung. Aku dengar dari Bu Guru Ani. Kamu harus coba daftar!” ujar Nayla dengan antusias.
Mata Kaelan berbinar mendengar kata “beasiswa.” Ia tahu, tanpa beasiswa, mimpinya menjadi dokter hanyalah angan-angan belaka. “Beneran, Nay? Tapi… aku nggak yakin bisa. Nilai-nilai ku biasa aja, lagian aku jarang belajar karena sibuk kerja,” katanya dengan nada ragu.
“Eh, jangan gitu! Kamu pinter, Kael. Aku bantu kamu belajar, oke? Kita kejar bareng!” kata Nayla, tangannya menepuk pundak Kaelan dengan penuh semangat.
Malam itu, setelah pasar sepi dan gorengan habis terjual, Kaelan pulang ke rumah dengan hati penuh harapan. Ia membayangkan dirinya mengenakan jas dokter, memeriksa pasien, dan yang terpenting, menyembuhkan Bunda. Namun, saat ia membuka pintu rumah, ia mendengar suara batuk keras dari kamar Bunda. Jantungnya langsung berdegup kencang. Ia berlari ke kamar dan mendapati Bunda terbaring lemah, wajahnya pucat pasi, dan napasnya tersengal-sengal.
“Bunda! Bunda, tahan sebentar, ya. Kaelan ambilkan obat!” Kaelan panik, tangannya gemetar saat mencari inhaler yang biasa digunakan Bunda untuk meredakan sesak napas. Setelah beberapa menit, napas Bunda mulai stabil, tapi Kaelan tahu, ini bukan pertanda baik. Ia duduk di samping ranjang, memegang tangan Bunda yang dingin, dan berjanji dalam hati: “Bunda, Kaelan akan buat Bunda sembuh. Kaelan janji.”
Malam itu, Kaelan tidak bisa tidur. Ia duduk di beranda rumah, menatap bintang-bintang di langit. Pikirannya penuh dengan mimpi dan ketakutan. Ia ingin meraih cita-citanya, tapi ia juga takut kehilangan Bunda sebelum waktunya tiba. Di tengah keheningan malam, ia berdoa, memohon kekuatan untuk menjalani hari-hari yang penuh perjuangan ini.
Hari-hari berikutnya, Kaelan mulai membagi waktunya antara bekerja, belajar, dan merawat Bunda. Nayla setia membantunya, membawa buku-buku pelajaran ke rumah Kaelan dan mengajarinya matematika, biologi, dan kimia di sela-sela waktu luang. Mereka belajar di bawah lampu minyak, karena listrik di rumah Kaelan sering mati. Meski lelah, Kaelan tidak pernah mengeluh. Setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia mengingat senyum Bunda dan janjinya untuk membuat ibunya bangga.
Namun, di balik semangatnya, ada sebuah rahasia yang Kaelan simpan rapat-rapat. Ia tidak pernah memberitahu Bunda tentang mimpinya menjadi dokter, karena ia takut Bunda akan merasa bersalah atas keterbatasan mereka. Ia juga takut mimpinya itu terlalu besar, terlalu mustahil untuk diraih. Tapi setiap malam, saat Bunda tertidur, Kaelan menulis di buku catatan kecilnya: “Untuk Bunda, aku akan jadi dokter. Aku akan buat Bunda sehat lagi.”
Di desa Sukamendung, kehidupan terus berjalan. Musim panen tiba, dan Kaelan semakin sibuk membantu Pak Hasan di sawah. Ia juga mulai mengumpulkan informasi tentang beasiswa yang disebutkan Nayla. Formulir pendaftaran harus diisi dengan berbagai dokumen, termasuk transkrip nilai dan surat rekomendasi dari sekolah. Kaelan tahu, perjuangannya baru saja dimulai. Ia harus meningkatkan nilainya, yang selama ini pas-pasan karena ia sering bolos untuk bekerja. Ia juga harus mencari cara untuk membayar biaya pendaftaran ujian masuk universitas, yang meski kecil, terasa seperti beban besar bagi keluarganya.
Suatu hari, saat Kaelan sedang menjajakan gorengan di pasar, ia bertemu dengan seorang pria tua yang mengenakan kemeja lusuh tapi bersih. Pria itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Wiryo, adalah seorang pensiunan dokter yang kini tinggal di desa tetangga. Ia membeli beberapa pisang goreng dan mulai mengobrol dengan Kaelan.
“Kamu anak yang rajin, ya. Bekerja keras begini setiap hari,” kata Pak Wiryo sambil mengunyah pisang goreng.
Kaelan hanya tersenyum kecil. “Biasa, Pak. Buat keluarga.”
Pak Wiryo menatap Kaelan dengan penuh perhatian. “Kamu punya mimpi, Nak? Anak seusiamu pasti punya sesuatu yang ingin diraih.”
Kaelan ragu sejenak, tapi ada sesuatu dalam tatapan Pak Wiryo yang membuatnya merasa nyaman. “Saya… ingin jadi dokter, Pak. Tapi susah. Saya nggak punya uang untuk sekolah,” akunya dengan suara pelan.
Pak Wiryo tersenyum. “Dokter, ya? Itu cita-cita mulia. Kalau kamu serius, datanglah ke rumahku minggu depan. Aku punya beberapa buku kedokteran dasar yang mungkin bisa membantumu belajar.”
Hati Kaelan berbunga-bunga mendengar tawaran itu. Ia merasa seperti langit telah membuka sedikit celah harapan untuknya. “Terima kasih, Pak! Saya pasti datang!” katanya dengan semangat.
Malam itu, Kaelan pulang ke rumah dengan hati penuh harap. Ia menceritakan pertemuannya dengan Pak Wiryo kepada Nayla, yang langsung antusias. “Kael, ini kesempatan besar! Kita harus manfaatkan!” kata Nayla sambil mengepalkan tangan.
Namun, di tengah kegembiraan itu, Kaelan mendengar suara batuk Bunda dari kamar. Ia bergegas masuk dan mendapati Bunda sedang kesulitan bernapas lagi. Inhaler yang biasa digunakan sudah hampir habis, dan Kaelan tahu, ia harus segera membeli yang baru. Tapi dompetnya kosong, dan upah dari sawah baru akan ia terima minggu depan. Dengan hati berat, ia memutuskan untuk menjual kalung perak peninggalan ayahnya, satu-satunya benda berharga yang mereka miliki.
Esok harinya, Kaelan pergi ke kota dengan sepeda tua, membawa kalung itu ke toko emas. Saat ia menyerahkan kalung itu kepada penjaga toko, air matanya hampir jatuh. Kalung itu adalah pemberian ayahnya untuk Bunda saat mereka baru menikah, dan Kaelan tahu betapa berartinya benda itu bagi ibunya. Tapi ia tidak punya pilihan lain. Uang dari penjualan kalung itu cukup untuk membeli inhaler baru dan beberapa obat untuk Bunda.
Ketika ia kembali ke rumah dan memberikan obat kepada Bunda, Maryam bertanya dengan suara lemah, “Kael, dari mana kamu dapat uang untuk ini? Kamu jangan lakukan yang aneh-aneh, ya.”
Kaelan tersenyum, menyembunyikan kesedihannya. “Jangan khawatir, Bunda. Kaelan cuma kerja lebih keras di sawah. Bunda fokus sembuh aja, ya.”
Malam itu, Kaelan duduk di beranda, menatap langit yang dipenuhi bintang. Ia merasa beban di pundaknya semakin berat, tapi ia juga merasa tekadnya semakin kuat. Ia tahu, perjuangan ini bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk Bunda, untuk cinta yang telah diberikan ibunya sepanjang hidupnya. Dengan buku catatan kecil di tangannya, ia menulis: “Bunda, tunggu Kaelan. Aku akan buktikan bahwa aku bisa.”
Langkah Pertama Menuju Mimpi
Hari-hari di Sukamendung berlalu dengan cepat, namun bagi Kaelan, setiap hari terasa seperti pertarungan. Musim kemarau mulai tiba di pertengahan 2024, membuat sawah-sawah di desa mengering. Pekerjaan di sawah semakin sedikit, dan Kaelan harus mencari cara lain untuk menghasilkan uang. Ia mulai membantu tetangga lain, seperti memperbaiki atap rumah atau mengangkut barang dengan gerobak tua milik Pak Hasan. Meski tubuhnya lelah, semangatnya tidak pernah padam, karena setiap rupiah yang ia dapatkan adalah harapan untuk membeli obat Bunda dan mengejar mimpinya.
Setiap malam, setelah memastikan Bunda tertidur dengan nyenyak, Kaelan belajar bersama Nayla di bawah lampu minyak. Mereka membaca buku-buku pelajaran yang sudah usang, mencatat rumus-rumus matematika dan istilah-istilah biologi di buku catatan Kaelan. Nayla, dengan kesabarannya yang luar biasa, menjelaskan setiap topik dengan penuh semangat, seolah-olah ia juga ikut bermimpi menjadi dokter bersama Kaelan.
“Kael, kamu harus paham konsep fotosintesis ini. ini penting untuk ujian masuk kedokteran,” kata Nayla sambil menunjuk diagram daun yang ia gambar dengan spidol di kertas bekas. Kaelan mengangguk, mencoba fokus meski matanya sudah lelet karena lelah. Ia menulis setiap kata yang Nayla jelaskan, tangannya bergerak cepat untuk mencatat, meski kadang tinta pulpennya meleber karena kertasnya sudah lusuh.
Belajar bukanlah hal yang mudah bagi Kaelan. Sekolahnya, SMA Sukamendung, adalah sekolah kecil dengan fasilitas terbatas. Guru-gurunya sering kali hanya membacakan materi dari buku pegangan tanpa penjelasan mendalam, dan perpustakaannya hanya memiliki beberapa buku usang yang kebanyakan berdebu. Kaelan juga sering ketinggalan pelajaran karena harus bekerja, sehingga nilainya selalu berada di tengah-tengah: tidak terlalu buruk, tapi juga tidak cukup baik untuk bersaing dalam ujian masuk universitas yang ketat. Namun, kehadiran Nayla seperti angin segar. Gadis itu tidak hanya cerdas, tetapi juga penuh semangat, seolah-olah ia percaya bahwa Kaelan bisa mencapai mimpinya, bahkan ketika Kaelan sendiri ragu.
Suatu sore, Kaelan memenuhi janjinya untuk mengunjungi rumah Pak Wiryo di desa tetangga, Cikamuning. Ia mengayuh sepeda tuanya melintasi jalan setapak yang berbatu, melewati sawah-sawah kering dan hutan bambu yang bergoyang ditiup angin. Rumah Pak Wiryo sederhana, tapi terawat, dengan halaman kecil yang penuh dengan tanaman obat seperti kunyit dan jahe. Saat Kaelan tiba, Pak Wiryo menyambutnya dengan senyum hangat dan mengajaknya masuk ke ruang tamu yang penuh dengan buku-buku tua.
“Ini, Nak. Buku-buku yang kujanji,” kata Pak Wiryo sambil menunjuk setumpuk buku kedokteran di meja kayu. Ada buku tentang anatomi manusia, farmakologi dasar, dan bahkan sebuah buku tua tentang penyakit paru-paru. Kaelan memandangi buku-buku itu dengan takjub, seolah-olah ia sedang melihat harta karun.
“Terima kasih banyak, Pak. Ini… ini berarti banget buat saya,” kata Kaelan, suaranya bergetar karena haru. Ia memegang salah satu buku, merasakan tekstur kertas yang sudah menguning. Ia membayangkan dirinya membaca buku-buku ini setiap malam, memahami setiap kata, dan suatu hari nanti menggunakan pengetahuan itu untuk menyembuhkan Bunda.
Pak Wiryo mengangguk. “Tapi ingat, Nak. Menjadi dokter bukan cuma soal pintar. Itu soal hati. Kamu harus punya keberanian untuk menghadapi kegagalan dan kesabaran untuk terus belajar. Kalau kamu serius, aku akan bantu sebisa mungkin.”
Pertemuan dengan Pak Wiryo menjadi titik balik bagi Kaelan. Ia mulai membaca buku-buku itu setiap malam, meski sering kali harus melawan rasa kantuk. Ia belajar tentang paru-paru, tentang bagaimana penyakit seperti yang diderita Bunda bisa merusak alveoli, kantong-kantong udara kecil yang membantu pertukaran oksigen. Ia juga belajar tentang obat-obatan seperti kortikosteroid dan bronkodilator, yang bisa membantu Bunda bernapas lebih lega. Pengetahuan itu membuatnya semakin bersemangat, tapi juga membuatnya semakin sedih, karena ia tahu obat-obatan terbaik untuk Bunda terlalu mahal untuk dibeli.
Sementara itu, kondisi Bunda semakin memburuk. Batuknya kini sering disertai darah, dan Kaelan harus membawanya ke puskesmas lebih sering. Dokter di puskesmas, dr. Susilo, adalah seorang pria tua yang baik hati tapi blak-blakan. “Kaelan, ibumu perlu perawatan intensif di rumah sakit kota. Obat-obatan di sini cuma bisa menahan gejalanya, tapi tidak menyembuhkan,” kata dr. Susilo suatu hari, tatapannya penuh simpati.
Kaelan hanya bisa mengangguk, hatinya terasa seperti diremas. Ia tahu biaya rumah sakit di kota sangat mahal, belum lagi ongkos transportasi dan kebutuhan lain. Tapi ia tidak bisa menyerah. Ia mulai mencari pekerjaan tambahan, seperti membantu membongkar muatan di pasar atau membersihkan kandang ayam milik tetangga. Setiap malam, ia menghitung uang yang terkumpul, tapi jumlahnya selalu jauh dari cukup.
Nayla, yang melihat perjuangan Kaelan, mulai mencari cara untuk membantu. Ia berbicara dengan ayahnya, Pak Ridwan, seorang pedagang kain yang cukup sukses di desa. “Ayah, Kaelan butuh bantuan. Ibunya sakit parah, dan dia berjuang sendirian. Kita bisa bantu, kan?” pinta Nayla suatu malam saat mereka makan malam bersama.
Pak Ridwan, yang dikenal sebagai orang yang dermawan, mengangguk. “Kaelan anak baik. Besok ajak dia ke sini, kita bicarakan apa yang bisa kita bantu.”
Keesokan harinya, Nayla membawa Kaelan ke rumahnya, sebuah rumah besar dengan halaman luas dan pohon mangga yang rindang. Kaelan merasa canggung, karena ia jarang masuk ke rumah orang kaya seperti keluarga Nayla. Tapi Pak Ridwan menyambutnya dengan hangat, bahkan menyediakan teh dan kue pisang untuknya.
“Kaelan, aku dengar ibumu sedang sakit. Aku ingin membantu,” kata Pak Ridwan. “Aku bisa memberikan pinjaman tanpa bunga untuk biaya rumah sakit. Kamu bisa bayar nanti kalau sudah mampu.”
Kaelan terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia tidak terbiasa menerima bantuan, karena ia selalu ingin mandiri. Tapi demi Bunda, ia tahu ia tidak bisa menolak. “Terima kasih, Pak. Saya janji akan bayar secepat mungkin,” katanya dengan suara parau.
Dengan bantuan Pak Ridwan, Kaelan akhirnya bisa membawa Bunda ke rumah sakit di kota. Perjalanan ke sana penuh dengan kecemasan. Kaelan duduk di samping Bunda di dalam bus tua yang bergoyang-goyang, memegang tangannya yang dingin. Bunda tersenyum lemah, seolah ingin meyakinkan Kaelan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi Kaelan bisa melihat ketakutan di matanya, dan itu membuat hatinya semakin teriris.
Di rumah sakit, Bunda menjalani serangkaian pemeriksaan. Dokter di sana, dr. Anita, seorang spesialis paru-paru, menjelaskan bahwa penyakit Bunda sudah memasuki tahap lanjut. “Kami bisa memberikan terapi oksigen dan obat-obatan yang lebih kuat, tapi ini bukan penyembuhan total. Kalian harus bersiap untuk kemungkinan terburuk,” kata dr. Anita dengan nada hati-hati.
Kaelan merasa dunianya runtuh mendengar kata-kata itu. Ia menolak untuk percaya bahwa Bunda tidak bisa disembuhkan. “Dok, pasti ada cara, kan? Saya akan lakukan apa saja untuk Bunda,” katanya, suaranya gemetar.
Dr. Anita mengangguk pelan. “Kami akan lakukan yang terbaik. Tapi kamu juga harus kuat, Kaelan. Ibumu sangat bangga padamu.”
Setelah Bunda dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, kondisinya sedikit membaik. Ia bisa bernapas lebih lega, dan warna di wajahnya mulai kembali. Kaelan merasa lega, tapi ia tahu perjuangan ini belum selesai. Biaya rumah sakit terus bertambah, dan ia harus bekerja lebih keras untuk melunasi pinjaman Pak Ridwan.
Kembali di Sukamendung, Kaelan melanjutkan rutinitasnya: bekerja di sawah, menjajakan gorengan, dan belajar di malam hari. Ia juga mulai mengikuti bimbingan belajar gratis yang diadakan oleh Pak Wiryo, yang ternyata adalah seorang mentor yang luar biasa. Pak Wiryo tidak hanya mengajarkan Kaelan tentang kedokteran, tetapi juga tentang kehidupan. “Nak, menjadi dokter itu soal melayani. Kamu harus ingat, setiap pasien adalah manusia dengan cerita mereka sendiri,” kata Pak Wiryo suatu malam, saat mereka duduk di beranda rumahnya, ditemani suara jangkrik.
Kaelan mengangguk, mencatat setiap kata Pak Wiryo di buku kecilnya. Ia mulai memahami bahwa mimpinya bukan hanya tentang menyembuhkan Bunda, tapi juga tentang membantu orang lain yang menderita seperti Bunda. Ia ingin menjadi dokter yang tidak hanya pintar, tetapi juga penuh kasih sayang, seperti yang selalu dicontohkan Bunda dalam hidupnya.
Namun, di tengah semua usahanya, Kaelan mulai merasa lelah. Tubuhnya kurus karena sering melewatkan makan demi menghemat uang, dan matanya merah karena kurang tidur. Nayla, yang selalu setia di sisinya, mulai khawatir. “Kael, kamu nggak bisa terus begini. Kamu harus jaga kesehatanmu juga,” katanya suatu sore, saat mereka duduk di bawah pohon kelapa di tepi sawah.
Kaelan hanya tersenyum lemah. “Nay, aku nggak apa-apa. Ini semua buat Bunda. Kalau aku menyerah sekarang, aku nggak akan pernah jadi dokter.”
Nayla memeluknya, air matanya jatuh. “Kael, kamu nggak sendirian. Aku di sini. Kita akan wujudkan mimpimu bareng.”
Malam itu, Kaelan kembali menulis di buku catatannya: “Bunda, aku nggak akan menyerah. Aku akan buat Bunda bangga, meski harus melewati seribu rintangan.”
Hari-hari berlalu, dan Kaelan terus berjuang. Ia mulai melihat hasil dari kerja kerasnya: nilainya di sekolah mulai membaik, dan ia berhasil mengumpulkan cukup uang untuk membayar sebagian pinjaman Pak Ridwan. Tapi di balik semua itu, ia tahu waktu Bunda semakin terbatas. Setiap kali ia melihat Bunda tersenyum, ia merasa campur aduk antara harapan dan ketakutan. Ia ingin Bunda melihatnya menjadi dokter, tapi ia juga takut kehilangan waktu bersamanya.
Kaelan berdiri di beranda rumahnya, menatap langit malam yang penuh bintang. Ia memegang buku catatan kecilnya, menuliskan satu kalimat lagi: “Bunda, aku akan berjuang sampai akhir, karena cinta untukmu lebih besar dari segalanya.”
Badai di Tengah Perjuangan
Musim kemarau di Sukamendung tahun 2024 semakin terasa menyengat. Sawah-sawah yang dulu hijau kini menguning, retak-retak akibat kekeringan yang berkepanjangan. Angin membawa debu yang beterbangan, membuat udara terasa berat dan pengap. Bagi Kaelan Arsyad, remaja berusia 17 tahun yang tengah berjuang mengejar mimpinya menjadi dokter, musim kemarau ini bukan hanya tantangan alam, tetapi juga ujian bagi hatinya yang penuh tekad. Setiap hari, ia bangun dengan semangat yang sama: untuk Bunda, Siti Maryam, ibunya yang semakin lemah karena penyakit paru-paru kronis, dan untuk cita-citanya yang kini terasa sedikit lebih dekat, namun tetap penuh rintangan.
Hari itu, Kaelan bangun sebelum fajar, seperti biasa. Cahaya bulan yang samar menyelinap melalui celah-celah dinding bambu rumah mereka, menerangi wajahnya yang penuh keringat meski malam masih dingin. Ia menyalakan lampu min berbeda dari biasanya, karena listrik di desa sering mati, dan mulai menyiapkan sarapan sederhana: nasi dingin dari kemarin dengan lauk tempe goreng yang ia buat sendiri. Ia juga menyeduh teh pandan untuk Bunda, dengan sedikit madu yang ia beli dari pasar dengan upah buruh taninya. Bau pandan yang harum memenuhi dapur kecil mereka, memberikan sedikit kehangatan di tengah kesederhanaan hidup mereka.
“Bunda, sudah bangun?” panggil Kaelan pelan sambil membawa secawan teh ke kamar Bunda. Maryam, yang kini semakin kurus dan pucat, mencoba duduk di ranjang kayu yang sudah tua. Matanya yang dulu berbinar kini terlihat sayu, namun senyumnya tetap hangat, seolah ingin meyakinkan Kaelan bahwa ia baik-baik saja.
“Terima kasih, Kael. Kamu selalu repot untuk Bunda,” kata Maryam dengan suara lemah, tangannya yang gemetar meraih cawan teh itu. Kaelan membantu menyangga cawan itu, hatinya terasa perih melihat ibunya yang semakin rapuh. Ia tahu, waktu Bunda tidak banyak lagi, dan setiap detik bersamanya adalah harta yang tak ternilai.
Setelah memastikan Bunda meminum tehnya, Kaelan bergegas ke sawah Pak Hasan. Meski musim kemarau membuat pekerjaan di sawah berkurang, Pak Hasan masih mempekerjakannya untuk membersihkan saluran irigasi yang tersumbat. Upahnya kecil, tapi Kaelan bersyukur atas setiap rupiah yang ia dapatkan. Di bawah terik matahari, ia menggali tanah dengan cangkul, keringat membasahi kaus lusuhnya. Pikirannya melayang ke mimpinya: beasiswa ke universitas kedokteran di Bandung yang disebutkan Nayla. Ia tahu, untuk mendapatkannya, ia harus meningkatkan nilainya dan lulus ujian masuk yang terkenal sulit.
Di sela-sela istirahat, Kaelan duduk di bawah pohon kelapa, memandang langit yang biru tanpa awan. Ia mengeluarkan buku catatan kecilnya, tempat ia menuliskan mimpi-mimpinya dan janjinya untuk Bunda. Dengan pensil tumpul, ia menulis: “Bunda, aku harus lulus ujian. Aku harus jadi dokter. Untukmu.” Tulisan itu sederhana, tapi penuh makna, seperti nyala api kecil yang terus menyala di hatinya.
Sore itu, setelah selesai bekerja, Kaelan menjajakan gorengan di pasar desa. Bau pisang goreng dan tahu isi bercampur dengan hiruk-pikuk pasar yang ramai. Ia memanggil-manggil pembeli dengan suara riang, meski hatinya sering kali berat. Di pasar, ia bertemu Nayla Zahrani, sahabatnya yang setia. Nayla datang dengan buku-buku pelajaran dan semangat yang tak pernah pudar. “Kael, aku bawa soal-soal latihan untuk ujian masuk! Nanti malam kita belajar bareng, ya?” kata Nayla, matanya berbinar penuh harap.
Kaelan tersenyum, meski tubuhnya terasa lelah. “Makasih, Nay. Kamu selalu bantu aku. Aku nggak tahu apa jadinya tanpa kamu.”
Nayla hanya tertawa kecil. “Jangan gitu, Kael. Kamu kuat. Aku cuma bantu nyalain apinya.”
Malam itu, setelah pasar sepi, Kaelan dan Nayla belajar di beranda rumah Kaelan, ditemani lampu minyak yang cahayanya redup. Mereka membahas soal-soal biologi tentang sistem pernapasan, yang membuat Kaelan teringat pada penyakit Bunda. Setiap kali ia mempelajari tentang paru-paru, hatinya terasa perih, tapi juga semakin bersemangat untuk menjadi dokter. Ia ingin memahami setiap detail tentang penyakit yang merenggut kesehatan Bunda, berharap suatu hari ia bisa menemukan cara untuk menyembuhkannya.
Namun, di tengah semangatnya, sebuah badai datang tanpa diduga. Suatu malam, saat Kaelan sedang belajar, ia mendengar suara batuk keras dari kamar Bunda. Ia bergegas masuk dan mendapati Bunda terbaring lemah, wajahnya pucat pasi, dan napasnya tersengal-sengal. Darah mengalir dari sudut bibirnya, membuat Kaelan panik. “Bunda! Tahan, ya, Kaelan ambilkan inhaler!” katanya dengan suara gemetar, tangannya mencari-cari inhaler di laci kecil.
Setelah beberapa menit, napas Bunda sedikit membaik, tapi Kaelan tahu ini bukan pertanda baik. Ia memutuskan untuk membawa Bunda ke puskesmas keesokan harinya, meski ia tahu biaya pengobatan akan semakin membebani. Di puskesmas, dr. Susilo memeriksa Bunda dengan wajah serius. “Kaelan, ibumu perlu dirujuk ke rumah sakit kota lagi. Kondisinya semakin memburuk. Kalau dibiarkan, ini bisa berbahaya,” katanya dengan nada hati-hati.
Kaelan merasa dunia berputar. Ia tahu biaya rumah sakit di kota sangat mahal, dan pinjaman dari Pak Ridwan belum lunas. Tapi ia tidak bisa menyerah. Dengan hati berat, ia memutuskan untuk menjual sepeda tuanya, satu-satunya alat transportasi yang ia miliki. Sepeda itu adalah hadiah dari ayahnya, Zainal, sebelum meninggal, dan menjualnya terasa seperti kehilangan bagian dari kenangan ayahnya. Tapi demi Bunda, ia rela.
Keesokan harinya, Kaelan pergi ke kota dengan berjalan kaki, membawa sepeda itu ke toko barang bekas. Saat ia menyerahkan sepeda itu, air matanya jatuh. “Maaf, Ayah. Kaelan nggak punya pilihan lain,” gumamnya pelan. Uang dari penjualan sepeda itu cukup untuk membawa Bunda ke rumah sakit, tapi Kaelan tahu, ia harus bekerja lebih keras lagi untuk melunasi semua utangnya.
Di rumah sakit, Bunda dirawat di ruang perawatan intensif. Kaelan duduk di samping ranjangnya, memegang tangannya yang dingin. Ia berbicara pelan, menceritakan hari-harinya, tentang sawah, pasar, dan buku-buku yang ia baca bersama Nayla. Ia tidak ingin Bunda merasa sendirian, meski hatinya sendiri penuh ketakutan. “Bunda, Kaelan janji, aku akan jadi dokter. Bunda harus sembuh, ya, supaya bisa lihat Kaelan pake jas dokter,” katanya, suaranya parau.
Maryam tersenyum lemah. “Kael, Bunda sudah bangga sama kamu. Kamu anak yang kuat. Jangan pernah menyerah, ya.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Kaelan. Ia ingin menangis, tapi ia menahan diri, karena ia tahu Bunda membutuhkan kekuatannya. Setelah beberapa hari, kondisi Bunda sedikit membaik, dan ia diizinkan pulang dengan syarat menjalani terapi oksigen di rumah. Kaelan harus menyewa tabung oksigen, yang menambah beban keuangannya. Tapi ia tidak mengeluh. Setiap kali ia melihat Bunda bernapas lebih lega, ia merasa semua pengorbanannya sepadan.
Kembali di Sukamendung, Kaelan melanjutkan perjuangannya. Ia mulai mengikuti ujian-ujian sekolah dengan lebih serius, berkat bantuan Nayla dan buku-buku dari Pak Wiryo. Nilainya mulai membaik, dan ia mulai percaya bahwa beasiswa itu bukan lagi mimpi yang mustahil. Namun, di tengah semua itu, ia juga harus menghadapi cemoohan dari beberapa teman sekelasnya, seperti Rudi, anak seorang petani kaya yang sering meremehkan Kaelan.
“Kaelan, ngapain sih belajar mati-matian? Orang miskin kayak kamu mana mungkin masuk kedokteran. Mending kerja di sawah aja,” kata Rudi suatu hari di kantin sekolah, disusul tawa teman-temannya.
Kaelan mengepalkan tangan, tapi ia tidak membalas. Ia hanya tersenyum kecil dan berkata, “Kamu boleh bilang apa saja, Rudi. Tapi aku nggak akan menyerah.” Ia berjalan pergi, meninggalkan Rudi yang terdiam. Di dalam hati, ia berjanji untuk membuktikan bahwa anak desa seperti dia juga bisa meraih mimpinya.
Malam itu, Kaelan kembali belajar bersama Nayla. Mereka duduk di bawah lampu minyak, membahas soal-soal kimia yang rumit. Di tengah pelajaran, Nayla tiba-tiba bertanya, “Kael, kamu pernah nggak mikir buat ceritain ke Bunda tentang mimpimu jadi dokter?”
Kaelan terdiam. Ia belum pernah menceritakan mimpinya kepada Bunda, karena ia takut Bunda akan merasa bersalah atas keterbatasan mereka. “Belum, Nay. Aku takut Bunda sedih. Dia sudah cukup menderita,” katanya pelan.
Nayla mengangguk, tapi matanya penuh tekad. “Kael, Bunda perlu tahu. Itu bisa jadi penyemangat buat dia. Ceritain, Kael. Biar dia tahu betapa hebatnya anaknya.”
Keesokan harinya, Kaelan memutuskan untuk mengikuti saran Nayla. Setelah menyiapkan teh untuk Bunda, ia duduk di samping ranjangnya dan mulai berbicara. “Bunda, Kaelan mau cerita sesuatu. Kaelan… ingin jadi dokter. Kaelan ingin sembuhin Bunda, ingin bantu orang-orang yang sakit. Kaelan sedang berjuang buat dapet beasiswa ke universitas kedokteran.”
Maryam menatap Kaelan dengan mata berkaca-kaca. Tangannya yang lemah mengelus pipi Kaelan. “Kael, Bunda nggak tahu kata-kata apa lagi untuk bilang betapa bangganya Bunda sama kamu. Kejar mimpimu, Nak. Bunda akan selalu doain kamu.”
Momen itu menjadi titik balik bagi Kaelan. Ia merasa bebannya sedikit lebih ringan, karena ia tahu Bunda mendukung mimpinya. Ia kembali menulis di buku catatannya: “Bunda, terima kasih atas segalanya. Aku akan buktikan bahwa cinta kita lebih kuat dari segala rintangan.”
Namun, badai belum berakhir. Beberapa hari kemudian, Kaelan mendapat kabar bahwa ujian masuk universitas akan diadakan lebih cepat dari yang ia kira. Ia hanya punya waktu dua bulan untuk mempersiapkan diri, dan ia tahu ia harus belajar lebih keras lagi. Di saat yang sama, biaya tabung oksigen untuk Bunda semakin membebani, dan ia harus mencari pekerjaan tambahan. Ia mulai membantu Pak Wiryo meracik obat-obatan herbal untuk dijual, meski upahnya kecil.
Di tengah tekanan itu, Kaelan mulai merasa putus asa. Ada malam-malam ketika ia duduk sendirian di beranda, menatap langit dan bertanya-tanya apakah ia cukup kuat untuk menjalani semua ini. Tapi setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia mengingat senyum Bunda dan janjinya untuk membuat ibunya bangga.
Kaelan berdiri di tepi sawah, memandang matahari terbenam yang memerah. Ia memegang buku catatannya, menuliskan satu kalimat lagi: “Bunda, badai ini akan berlalu. Aku akan buktikan bahwa aku bisa.”
Cahaya di Ujung Perjuangan
Dua bulan berlalu dengan cepat, dan hari ujian masuk universitas tiba. Kaelan berdiri di depan gedung sekolah di kota, tempat ujian diadakan. Ia mengenakan baju seragam yang sudah agak pudar, tapi wajahnya penuh tekad. Di tangannya, ia memegang pensil dan buku catatan kecilnya, yang kini penuh dengan catatan-catatan dan doa untuk Bunda. Nayla berdiri di sisinya, memberikan senyum penuh semangat. “Kael, kamu bisa. Aku percaya sama kamu,” katanya sambil menepuk pundaknya.
Ujian itu berlangsung selama tiga hari, dan setiap hari terasa seperti pertarungan. Soal-soal matematika, biologi, dan kimia yang rumit membuat Kaelan berkeringat dingin, tapi ia terus mengingat janjinya kepada Bunda. Setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia membayangkan wajah Bunda yang tersenyum, dan itu memberinya kekuatan untuk terus menulis.
Setelah ujian selesai, Kaelan kembali ke Sukamendung dengan hati penuh harap dan cemas. Ia tahu hasil ujian akan diumumkan dalam sebulan, dan selama waktu itu, ia harus tetap bekerja untuk membiayai pengobatan Bunda. Kondisi Bunda kini naik-turun; ada hari-hari ketika ia bisa duduk di beranda dan mengobrol dengan Kaelan, tapi ada juga hari-hari ketika ia hanya bisa terbaring lemah, bergantung pada tabung oksigen.
Suatu malam, saat Kaelan duduk di samping Bunda, Maryam memegang tangannya dan berkata, “Kael, apa pun hasilnya, Bunda sudah bangga sama kamu. Kamu sudah berjuang lebih keras dari siapa pun yang Bunda tahu.”
Kaelan menahan air mata. “Bunda, Kaelan belum selesai berjuang. Kaelan mau Bunda lihat Kaelan jadi dokter.”
Sebulan kemudian, hari pengumuman tiba. Kaelan pergi ke kota bersama Nayla untuk memeriksa hasil ujian di kantor pos, tempat pengumuman beasiswa dipajang. Jantungnya berdegup kencang saat ia mencari namanya di daftar panjang itu. Matanya membaca setiap baris dengan cermat, hingga akhirnya ia melihatnya: “Kaelan Arsyad – Lulus Beasiswa Kedokteran Universitas Padjadjaran.”
Kaelan terdiam, air matanya mengalir tanpa suara. Nayla memeluknya, menangis bahagia. “Kael, kamu berhasil! Kamu lulus!” serunya.
Malam itu, Kaelan pulang ke rumah dengan hati penuh sukacita. Ia duduk di samping Bunda dan menceritakan kabar baik itu. “Bunda, Kaelan lulus! Kaelan dapat beasiswa! Kaelan akan jadi dokter!” katanya dengan suara bergetar.
Maryam menangis, tangannya memeluk Kaelan dengan erat. “Kael, Bunda tahu kamu bisa. Bunda selalu percaya sama kamu.”
Namun, di tengah kebahagiaan itu, kesehatan Bunda tiba-tiba memburuk. Malam itu, ia mengalami serangan sesak napas yang lebih parah dari sebelumnya. Kaelan panik, berlari ke rumah Pak Hasan untuk meminta bantuan. Mereka membawa Bunda ke rumah sakit dengan mobil pinjaman, tapi di perjalanan, Bunda memegang tangan Kaelan dan berkata, “Kael, Bunda bangga. Jangan pernah menyerah, ya.”
Saat tiba di rumah sakit, dokter berusaha sekuat tenaga, tapi kondisi Bunda sudah terlalu lemah. Malam itu, di bawah lampu ruang perawatan intensif, Bunda menghembuskan napas terakhirnya dengan senyum kecil di wajahnya. Kaelan memeluk tubuh Bunda, menangis tersedu-sedu. “Bunda, maafkan Kaelan. Kaelan belum sempat sembuhin Bunda,” katanya, suaranya penuh penyesalan.
Tapi di tengah kesedihan itu, Kaelan merasa ada kekuatan baru di hatinya. Ia tahu Bunda ingin ia terus berjuang. Beberapa hari setelah pemakaman Bunda, Kaelan berdiri di makamnya, memegang buku catatan kecilnya. “Bunda, Kaelan akan jadi dokter. Kaelan akan bantu orang-orang yang sakit, seperti yang Bunda ajarkan. Kaelan janji.”
Tahun-tahun berikutnya, Kaelan menjalani kuliah kedokteran dengan penuh dedikasi. Ia belajar dengan giat, didukung oleh Nayla dan Pak Wiryo, yang menjadi keluarga barunya. Ia juga membayar lunas pinjaman Pak Ridwan dengan bekerja paruh waktu di kota. Setiap malam, ia menulis di buku catatannya, menceritakan perjalanannya kepada Bunda, seolah-olah Bunda masih ada di sisinya.
Kaelan berdiri di depan rumah sakit tempat ia magang, mengenakan jas dokter yang ia impikan sejak lama. Ia memandang langit, tersenyum, dan berkata dalam hati, “Bunda, Kaelan berhasil. Ini untukmu.”
“Kisah Cinta untuk Bunda: Perjuangan Seorang Remaja Meraih Cita-Cita” bukan sekadar cerita, melainkan cerminan kekuatan cinta seorang anak kepada ibunya dan tekad untuk mengatasi segala rintangan demi mimpi yang mulia. Cerpen ini mengajarkan kita bahwa pengorbanan, ketekunan, dan cinta keluarga adalah pendorong terbesar dalam hidup. Jangan lewatkan kisah inspiratif ini yang akan membuat Anda menangis, tersenyum, dan termotivasi untuk mengejar impian Anda sendiri, apa pun tantangannya.
Terima kasih telah menyimak ulasan tentang “Kisah Cinta untuk Bunda: Perjuangan Seorang Remaja Meraih Cita-Cita”. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk terus berjuang dan menghargai orang-orang tersayang dalam hidup Anda. Sampai jumpa di artikel berikutnya, tetaplah membaca dan temukan lebih banyak cerita yang menyentuh hati!


