Daftar Isi
Masuki dunia penuh emosi dan konflik dalam cerpen remaja Cinta Terlarang di Bawah Bulan Purnama, sebuah kisah cinta beda agama yang memikat hati di tengah kehidupan Surabaya pada 2024. Mengikuti perjalanan Zafira dan Elvano, dua remaja yang berjuang melawan larangan keluarga, tekanan sosial, dan perbedaan keyakinan, cerita ini menyajikan perpaduan harapan, kesedihan, dan keberanian yang mendalam. Dengan detail yang kaya dan alur yang menghanyutkan, cerpen ini menawarkan pelajaran berharga tentang cinta sejati—apakah Anda siap menyelami kisah ini?
Cinta Terlarang di Bawah Bulan Purnama
Pertemuan di Tepi Sungai
Surabaya, Oktober 2024. Angin malam membawa aroma tanah basah dari Sungai Kalimas yang mengalir tenang di sisi kota. Lampu-lampu jalanan berkilau di permukaan air, menciptakan pantulan yang seolah menari-nari bersama bayangan pohon-pohon beringin tua di tepi sungai. Di salah satu sudut taman kecil yang sepi, seorang remaja bernama Zafira Qamari duduk di bangku kayu, tangannya memainkan rantai kalung perak yang tergantung di lehernya. Rambut panjangnya yang hitam legam tergerai bebas, diterpa angin, dan matanya yang cokelat tua menatap jauh ke arah horizon, seolah mencari jawaban dari sesuatu yang tak terucap.
Zafira, yang akrab dipanggil Zaf, adalah gadis kelas 11 di sebuah SMA negeri ternama di Surabaya. Ia berasal dari keluarga Muslim yang taat, dengan ayah seorang pedagang kain dan ibu yang aktif di kegiatan masjid. Zaf dikenal sebagai anak yang pendiam namun cerdas, selalu berada di peringkat atas kelasnya. Namun, di balik senyumnya yang lembut, ia menyimpan keraguan tentang masa depannya—terutama soal pernikahan yang sudah direncanakan keluarganya dengan seorang sepupunya, Farhan, yang lebih tua darinya. Zaf tak pernah menyukai Farhan, tapi tekanan keluarga membuatnya tak bisa menolak.
Malam itu, Zaf kabur dari rumah setelah pertengkaran hebat dengan ibunya. “Kamu harus nurut, Zafira! Ini untuk kebaikanmu!” jerit Bu Sari, ibunya, sebelum Zaf mengambil jaket dan berlari keluar. Ia hanya ingin sendirian, menikmati keheningan tepi sungai yang selalu menjadi tempat pelariannya sejak kecil.
Di sisi lain taman, seorang pemuda bernama Elvano Kristianto berjalan perlahan, tangannya memasukkan kedalam saku jaket kulit hitamnya. Rambutnya yang agak panjang dan berantakan menutupi sebagian wajahnya yang tampan, dengan mata hijau yang langka—warisan dari neneknya yang Belanda. Elvano, atau Van, adalah siswa transfer dari Bali yang baru saja pindah ke Surabaya karena ayahnya, seorang pengusaha Kristen, membuka cabang bisnis baru di sini. Van dikenal sebagai anak yang santai dan berbakat dalam musik, sering membawa gitarnya ke mana-mana. Tapi di balik sikapnya yang cool, ia merasa asing di kota baru ini, jauh dari teman-teman dan kehidupan santainya di Bali.
Van sedang mencari tempat untuk berlatih gitar ketika ia melihat Zaf duduk sendirian. Ada sesuatu dalam postur gadis itu—sendu namun anggun—yang membuatnya penasaran. Ia mendekat, tak ingin mengganggu, tapi sebuah angin kencang tiba-tiba menerbangkan selembar kertas dari buku catatan Zaf yang tergeletak di bangku. Kertas itu jatuh tepat di depan Van, dan ia mengambilnya dengan cepat sebelum hujan yang mulai turun membasahinya.
“Maaf, ini milikmu, kan?” kata Van, menyerahkan kertas itu sambil tersenyum kecil.
Zaf menoleh, terkejut. Matanya melebar saat melihat wajah Van, tapi ia segera mengambil kertas itu dan mengangguk singkat. “Terima kasih,” jawabnya, suaranya pelan tapi tegas.
Van duduk di bangku sebelahnya, menjaga jarak sopan. “Aku Van. Baru pindah ke sini. Kamu sering ke sini?”
Zaf ragu sejenak, tapi ada sesuatu dalam nada Van yang membuatnya merasa nyaman. “Aku Zafira. Dan iya, ini tempatku kalau aku butuh… pelarian,” katanya, tersenyum tipis.
Percakapan mereka mengalir perlahan, dari cuaca, Surabaya, hingga musik dan buku. Zaf terkejut saat tahu Van bermain gitar, dan Van tak kalah kaget saat Zaf menyebutkan ia suka menulis puisi. Hujan mulai reda, tapi mereka tetap duduk, saling berbagi cerita tentang hidup mereka. Van bercerita tentang Bali, tentang pantai Kuta yang ia rindukan, dan tentang ayahnya yang kadang terlalu sibuk untuk memperhatikannya. Zaf, meski awalnya tertutup, akhirnya menceritakan sedikit tentang tekanan keluarganya, meski ia tak menyebut rencana pernikahan itu.
Malam itu terasa seperti momen di luar waktu. Van memainkan beberapa akor di gitarnya, dan Zaf ikut bernyanyi dengan suara lembut, lagu lama yang mereka keduanya kenal. Di bawah bulan purnama yang muncul di sela-sela awan, mereka merasa ada ikatan tak terucap yang terbentuk. Sebelum berpisah, Van menawarkan nomor teleponnya, dan Zaf, meski ragu, menuliskannya di buku catatannya.
Hari-hari berikutnya, Zaf dan Van mulai bertemu lagi di tepi Sungai Kalimas, baik sengaja maupun tak sengaja. Mereka duduk di taman, berbagi earphone untuk mendengarkan playlist Van, atau sekadar mengobrol tentang mimpi mereka. Zaf mulai terbuka tentang kecintaannya pada sastra, sementara Van mengajarinya beberapa akor gitar sederhana. Persahabatan mereka tumbuh, tapi di dalam hati Zaf, ada perasaan baru yang mulai muncul—perasaan yang ia tahu dilarang oleh keluarganya.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Suatu hari, saat mereka sedang duduk bersama, Zaf melihat sepupunya, Farhan, berjalan di kejauhan. Panik, ia segera berdiri dan meminta Van untuk pergi. “Aku minta maaf, Van. Aku harus pulang sekarang,” katanya cepat, matanya penuh ketakutan.
Van bingung, tapi ia mengangguk. “Oke, tapi… ada apa, Zaf? Kamu baik-baik aja?”
Zaf tak menjawab, hanya berlari menjauh. Di rumah, ia dihadapkan pada pertanyaan dari Farhan, yang tampak curiga. “Aku lihat kamu sama cowok tadi, Zaf. Siapa dia?” tanya Farhan dengan nada menuduh. Zaf membela diri, tapi di dalam hatinya, ia tahu rahasianya tak akan bisa disembunyikan selamanya.
Malam itu, Zaf menangis di kamarnya, memandangi kalung yang diberikan ibunya sebagai simbol janji pernikahan. Ia tahu bahwa perasaannya pada Van, seorang Kristen, adalah sesuatu yang tak akan pernah diterima keluarganya. Tapi di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan detak jantungnya yang semakin kencang setiap kali Van tersenyum.
Zaf menulis puisi di buku catatannya, puisi tentang cinta yang terlarang di bawah bulan purnama. Di luar, Van duduk di balkon rumahnya, memetik gitar sambil memikirkan Zaf, tak sadar bahwa perjalanan mereka baru saja memasuki babak yang penuh liku.
Bayang-Bayang Larangan
November 2024. Surabaya memasuki musim hujan yang lebih deras, dan Sungai Kalimas tampak mengalir lebih cepat, membawa daun-daun kering yang berguguran dari pohon-pohon di sepanjang tepian. Zafira dan Elvano terus bertemu, meski dengan hati-hati. Taman kecil itu menjadi saksi bisu dari pertumbuhan perasaan mereka, dari persahabatan yang perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Tapi setiap langkah mereka diwarnai ketakutan, karena mereka tahu bahwa dunia di sekitar mereka tak akan pernah menerima cinta mereka.
Zaf semakin sering merasa bersalah. Setiap kali ia pulang dari pertemuan dengan Van, ibunya selalu menatapnya dengan curiga. Bu Sari mulai lebih ketat mengawasinya, bahkan melarangnya keluar rumah tanpa pengawalan Farhan. Zaf berusaha menjaga jarak dari Van, tapi pesan-pesan singkat dan pertemuan diam-diam tetap terjadi. Van, yang awalnya tak mengerti, akhirnya mengetahui masalah Zaf setelah ia secara tidak sengaja mendengar percakapan telepon Zaf dengan ibunya suatu malam di taman.
“Kamu harus siap, Zafira. Farhan akan melamarmu bulan depan,” kata Bu Sari di ujung telepon, suaranya tegas. Zaf, yang tak tahu Van mendengarkan, menjawab dengan nada putus asa, “Aku gak mau, Ibu. Aku gak cinta sama dia.”
Van, yang berdiri di balik pohon, merasa dadanya sesak. Ia tahu Zaf berasal dari keluarga yang taat, tapi ia tak menyangka ada tekanan sebesar itu. Setelah Zaf mengakhiri panggilan, Van mendekat dengan hati-hati. “Zaf, apa yang terjadi? Kamu… dipaksa nikah?”
Zaf menatapnya, air matanya jatuh. “Iya, Van. Dan aku… aku gak tahu harus gimana. Keluargaku gak akan pernah terima aku sama orang lain, apalagi… orang yang beda agama.”
Van terdiam, tangannya yang memegang gitar gemetar. Ia ingin menghibur Zaf, tapi ia juga sadar bahwa perbedaan agama mereka adalah dinding besar yang sulit ditembus. “Aku gak peduli apa yang orang bilang, Zaf. Aku suka kamu. Tapi aku gak mau kamu susah,” katanya pelan.
Kata-kata itu membuat Zaf menangis lebih keras. Ia merasa terjebak antara hati dan kewajiban. Mereka berpelukan di bawah hujan yang mulai turun, seolah pelukan itu adalah satu-satunya tempat aman di dunia mereka. Tapi di balik kehangatan itu, ada ketakutan yang mengintai.
Kehidupan Van juga tak kalah rumit. Ayahnya, Pak Kristianto, mulai curiga karena Van sering pulang larut. Suatu hari, Pak Kristianto menemukan pesan dari Zaf di ponsel Van dan marah besar. “Kamu tahu aturan keluarga kita, Van! Gak boleh dekat sama anak Muslim! Ini bisa bikin masalah besar!” bentaknya. Van mencoba membela diri, tapi ayahnya melarangnya keluar rumah tanpa izin, bahkan menyita gitarnya sebagai hukuman.
Di sekolah, Zaf dan Van berusaha bersikap biasa, tapi teman-teman mulai curiga. Seorang teman Zaf, Nadia, melihat mereka berbicara di kantin dan langsung melaporkannya ke Farhan. Farhan, yang sudah lama mencurigai Zaf, mulai menguntitnya. Suatu malam, ia berhasil mengikuti Zaf ke taman dan melihatnya bersama Van. Amarahnya memuncak, dan ia konfrontasi mereka dengan nada tinggi. “Zafira, apa artinya ini? Kamu malu-maluin keluarga kita!”
Zaf membeku, sementara Van melangkah maju untuk melindunginya. “Ini gak ada hubungannya sama kamu, bro. Zaf bebas pilih hidupnya,” kata Van, suaranya tegas meski jantungnya berdegup kencang.
Pertengkaran itu berakhir dengan Farhan menarik Zaf pergi, sementara Van ditinggal sendirian di taman, merasa tak berdaya. Di rumah, Zaf dihukum berhari-hari oleh keluarganya. Ibunya menyita buku catatannya, sementara ayahnya, Pak Hadi, memperingatkannya dengan keras. “Kamu anak kami, Zafira. Kamu gak boleh dekat sama orang seperti dia. Ini dosa!”
Zaf menangis di kamarnya, merasa dunia menutup pintunya. Tapi di tengah keputusasaannya, ia menemukan sebuah pesan dari Van yang disembunyikan di balik buku pelajarannya: “Aku gak akan nyerah, Zaf. Kita cari jalan bareng.” Pesan itu memberinya sedikit harapan, tapi juga memperdalam dilemanya.
Di sisi lain, Van mulai mencari cara untuk membantu Zaf. Ia menghubungi teman-temannya di Bali yang lebih terbuka terhadap perbedaan, berharap menemukan solusi. Ia juga mulai menulis lagu untuk Zaf, lagu yang penuh dengan perasaan cinta dan harapan, meski ia tahu peluang mereka bersama sangat kecil.
Zaf dan Van bertemu diam-diam di sebuah gang kecil di belakang taman, di bawah hujan deras. Mereka saling berpelukan, menangis, dan berjanji untuk mencari cara melewati larangan ini. Tapi di kejauhan, siluet Farhan terlihat mengintai, menandakan bahwa konflik mereka baru saja dimulai.
Ujian di Tengah Badai
Desember 2024. Surabaya dilanda hujan deras yang tak kunjung reda, seolah langit turut menangisi kisah Zafira Qamari dan Elvano Kristianto. Sungai Kalimas membengkak, airnya meluap hingga menggenangi beberapa jalan di sekitar taman kecil tempat mereka biasa bertemu. Kehidupan mereka kini penuh dengan bayang-bayang larangan, tekanan keluarga, dan perjuangan untuk menjaga cinta yang mereka tahu dilarang. Setiap pertemuan diam-diam menjadi semakin berisiko, tapi hati mereka tak bisa berpaling.
Zafira hidup dalam tekanan yang semakin berat. Setelah kejadian di taman dengan Farhan, keluarganya memperketat pengawasannya. Ia dilarang keluar rumah tanpa pengawalan, buku catatannya disita, dan ia harus menghadiri pengajian tambahan setiap malam untuk “menguatkan imannya,” menurut kata ayahnya, Pak Hadi. Farhan, yang kini menjadi sosok pengawas sekaligus calon suami, sering datang ke rumah, membawa hadiah dan rayuan yang membuat Zaf merasa tercekik. “Kamu akan bahagia sama aku, Zaf. Ini takdir dari keluarga,” kata Farhan suatu hari, tapi matanya penuh kepalsuan yang tak bisa disembunyikan.
Di balik pintu kamarnya, Zaf menangis setiap malam. Ia merasa seperti burung dalam sangkar, tak bisa terbang meski sayapnya masih utuh. Pesan-pesan singkat dari Van menjadi satu-satunya cahaya di kegelapannya. Van mengirimkan puisi pendek yang ia tulis, penuh dengan harapan dan cinta terpendam, seperti: “Di balik hujan, aku cari wajahmu, meski dunia menutup jalan kita.” Zaf membaca pesan itu berulang-ulang, menulis balasan di benaknya, tapi tak berani mengirimnya karena ponselnya sering diperiksa ibunya.
Van, di sisi lain, menghadapi konflik dengan ayahnya yang semakin memanas. Pak Kristianto, seorang Kristen yang taat, menganggap hubungan Van dengan Zaf sebagai noda bagi keluarga. Ia melarang Van keluar rumah tanpa izin, bahkan menyita gitar kesayangannya dan memindahkan Van ke sekolah baru yang lebih ketat. Van merasa terisolasi, tapi ia tak menyerah. Ia mulai menghubungi Zaf melalui teman sekolahnya, Rian, yang menjadi perantara rahasia mereka. Setiap malam, Van menulis lagu baru, menuangkannya ke dalam catatan kecil yang ia sembunyikan di bawah kasurnya, lagu-lagu tentang cinta yang terlarang dan harapan yang rapuh.
Suatu hari, Zaf mendapat kesempatan langka untuk keluar rumah. Ia diajak ibunya ke pasar untuk membeli bahan masakan, dan dengan alasan ke toilet, ia berhasil menyelinap ke sebuah warung telepon umum. Di sana, ia menelepon Van dengan jantung berdegup kencang. “Van, aku gak tahan lagi. Keluargaku makin ketat, dan Farhan… aku takut,” katanya, suaranya bergetar.
Van, yang menerima panggilan itu di rumah temannya, merasa dadanya terasa sesak. “Zaf, aku gak mau kamu menderita. Tapi aku juga gak bisa lepas dari kamu. Kita cari jalan, ya? Kita kabur kalau perlu,” jawabnya, meski ia tahu ide itu penuh risiko.
Mereka merencanakan pertemuan diam-diam di sebuah gereja tua yang ditinggalkan di pinggiran Surabaya, tempat yang Van tahu sepi dan tak akan dikunjungi keluarga Zaf. Malam itu, di bawah hujan deras, Zaf berhasil melarikan diri dari rumah dengan alasan mengunjungi teman. Ia berjalan cepat, jaketnya basah kuyup, dan saat sampai di gereja, Van sudah menunggu dengan sebuah payung tua yang ia temukan di gudang.
Pertemuan itu penuh emosi. Mereka berpelukan di tengah reruntuhan gereja, air mata mereka bercampur dengan tetesan hujan. Van memainkan akor sederhana di gitar kecil yang ia pinjam dari Rian, menyanyikan lagu yang ia tulis untuk Zaf. “Di bawah bulan, aku janji padamu, meski dunia menentang, cintaku tak usai,” nyanyiannya lembut, tapi penuh keberanian. Zaf ikut bernyanyi, suaranya pecah oleh tangisan, dan untuk sesaat, mereka merasa dunia hanya milik mereka berdua.
Tapi kebahagiaan itu singkat. Farhan, yang curiga dengan kepergian Zaf, mengikuti jejaknya dengan bantuan temen-temannya. Ia menemukan Zaf dan Van di gereja, dan tanpa ragu, ia menyeret Zaf pulang dengan paksa. “Kamu gila, Zafira! Ini dosa besar!” teriak Farhan, sementara Van mencoba menghalanginya tapi akhirnya dipukul oleh teman Farhan hingga terjatuh. Zaf menangis histeris, memohon Farhan untuk berhenti, tapi ia tak punya kekuatan untuk melawan.
Di rumah, Zaf dihukum berat. Ia dikurung di kamar selama seminggu, tanpa akses ke ponsel atau buku. Ayahnya, yang biasanya kalem, kali ini marah besar. “Kamu gak cuma malu-maluin keluarga, tapi juga agama kita, Zafira! Kamu akan menikah dengan Farhan secepat mungkin!” bentak Pak Hadi. Ibunya menangis, memohon Zaf untuk menurut, tapi di dalam hatinya, Zaf merasa mati.
Van, yang mengalami luka di wajah, pulang dengan hati hancur. Ayahnya, yang mengetahui kejadian itu dari tetangga, memukulinya dan mengancam akan mengirimnya kembali ke Bali jika ia tak berhenti dari “kenakalan” itu. Van menolak, dan untuk pertama kalinya, ia melawan ayahnya. “Aku cinta dia, Pa! Kenapa cinta harus jadi dosa?” teriaknya, sebelum akhirnya dikunci di kamarnya.
Di tengah keputusasaan, Zaf dan Van berkomunikasi melalui Rian, yang menjadi utusan mereka. Mereka merencanakan untuk melarikan diri bersama, menuju Jakarta di mana mereka bisa memulai hidup baru. Zaf menabung secara diam-diam dari uang jajannya, sementara Van mencoba meyakinkan Rian untuk membantu mereka dengan tiket bus. Tapi rencana itu bocor ketika Rian tak sengaja menyebutkan sesuatu di depan temennya yang dekat dengan Farhan.
Konflik mencapai puncaknya saat Farhan membawa keluarga Zaf ke gereja tua untuk “mengusir setan” dari Zaf, menurut keyakinannya. Zaf, yang dipaksa ikut, menangis dan memohon untuk dilepaskan, tapi ia tak didengar. Van, yang mendengar kabar ini dari Rian, bergegas ke gereja dengan luka di wajahnya yang belum sembuh. Ia bertemu Zaf di luar, tapi sebelum mereka bisa bicara, keluarga Zaf dan Farhan muncul, membawa kerumunan kecil yang mulai menghakimi mereka.
Zaf dan Van berdiri berhadapan dengan keluarga dan kerumunan, hujan turun deras di sekitar mereka. Zaf memegang tangan Van, menatapnya dengan mata penuh cinta dan ketakutan. “Aku gak peduli apa yang mereka bilang, Van. Aku cinta kamu,” bisiknya. Van mengangguk, air matanya bercampur hujan. “Aku juga, Zaf. Kita cari jalan, apa pun risikonya.” Di kejauhan, suara sirene polisi terdengar, menandakan bahwa babak baru dalam perjuangan mereka baru saja dimulai.
Cahaya di Ujung Gelap
Januari 2025. Hujan di Surabaya mulai reda, meninggalkan udara yang dingin dan jalanan yang masih basah. Zafira dan Elvano kini berdiri di persimpangan hidup mereka, di mana cinta dan keyakinan bertabrakan dengan keras. Kejadian di gereja tua meninggalkan luka mendalam, tapi juga membuka jalan bagi mereka untuk menghadapi kenyataan dengan keberanian yang tak pernah mereka miliki sebelumnya.
Setelah kejadian itu, Zaf dibawa pulang dan dikurung di rumah selama berminggu-minggu. Keluarganya memutuskan untuk mempercepat pernikahan dengan Farhan, yang dijadwalkan pada akhir bulan. Zaf tak diberi kesempatan untuk bicara, bahkan ibunya, yang biasanya penyayang, kini menjauh darinya. “Ini untuk kebaikanmu, Zafira. Kamu akan mengerti nanti,” kata Bu Sari dengan suara datar, tapi matanya penuh penyesalan. Zaf menangis setiap malam, menulis surat untuk Van di kertas kecil yang ia sembunyikan di bawah kasur, surat-surat yang tak pernah ia kirim.
Van, di sisi lain, diusir dari rumah oleh ayahnya setelah pertengkaran hebat. Dengan bantuan Rian, ia tinggal sementara di sebuah kost murah di pinggiran Surabaya. Ia bekerja paruh waktu di kafe kecil, menggunakan tip yang ia dapat untuk menyimpan uang. Van tak menyerah; ia terus mencari cara untuk menghubungi Zaf, bahkan menyusup ke sekitar rumah Zaf untuk meninggalkan pesan di bawah batu di taman belakang—tempat rahasia yang mereka sepakati sebelumnya.
Suatu malam, Zaf berhasil menyelinap keluar rumah saat keluarganya tertidur. Ia menemukan pesan Van: “Aku menunggumu di stasiun kereta, pukul 5 pagi. Kita pergi ke Jakarta. Jangan takut, aku di sini.” Zaf menangis membaca pesan itu, tapi ia tahu ini adalah kesempatan terakhirnya. Dengan hati bergetar, ia mengemas beberapa pakaian dan uang tabungannya, lalu berjalan menuju stasiun di tengah kegelapan.
Di stasiun, Van menunggu dengan wajah pucat dan mata cekung karena kurang tidur. Saat Zaf tiba, mereka berpelukan erat, air mata mereka bercampur dengan udara dingin pagi. “Aku takut, Van. Tapi aku gak bisa hidup tanpa kamu,” kata Zaf, suaranya parau. Van mengusap air matanya, “Aku juga, Zaf. Kita akan cari jalan bareng, apa pun yang terjadi.”
Mereka naik kereta menuju Jakarta, meninggalkan Surabaya dengan hati yang penuh harap dan ketakutan. Di perjalanan, Zaf menceritakan segala tekanan yang ia hadapi, sementara Van berbagi rencananya untuk bekerja dan mencari tempat tinggal sementara. Mereka tahu hidup di Jakarta tak akan mudah, terutama dengan status mereka sebagai pelarian, tapi cinta mereka memberi mereka kekuatan.
Di Jakarta, mereka tinggal di sebuah kontrakan kecil di daerah Tanah Abang, bekerja keras untuk bertahan. Zaf bekerja sebagai penulis lepas untuk majalah online, menggunakan bakatnya dalam puisi, sementara Van bermain musik di jalanan untuk mendapatkan uang. Mereka hidup sederhana, tapi setiap malam, mereka duduk bersama, membaca puisi dan bermain gitar, mengingatkan diri mereka akan alasan mereka melawan dunia.
Namun, masa lalu tak bisa dihindari. Keluarga Zaf melaporkan kepergiannya ke polisi, dan Farhan, yang tak bisa menerima kekalahan, menyewa detektif untuk mencarinya. Suatu hari, polisi menemukan jejak Zaf di Jakarta, dan sebuah surat perintah penangkapan dikeluarkan atas nama “pelarian dari tanggung jawab keluarga.” Van dan Zaf harus berpindah lagi, kali ini ke sebuah desa kecil di Jawa Barat, di mana mereka berharap bisa bersembunyi.
Di desa itu, mereka mulai membangun hidup baru. Zaf mengajar anak-anak desa membaca dan menulis, sementara Van memperbaiki alat musik tua milik warga untuk mendapatkan penghasilan. Cinta mereka tumbuh lebih dalam, dan mereka mulai belajar tentang keyakinan masing-masing dengan penuh hormat. Zaf mengajak Van membaca Al-Qur’an, sementara Van mengenalkan Zaf pada doa-doa Kristen yang ia pelajari dari ibunya. Mereka tak mencoba mengubah satu sama lain, tapi saling mendukung untuk menemukan jalan damai dalam hati mereka.
Suatu hari, sebuah surat dari Surabaya tiba, dikirim oleh ibu Zaf. Dalam surat itu, Bu Sari meminta maaf atas tekanannya dan mengaku menyesal telah memaksa Zaf. “Aku cuma ingin melindungimu, tapi aku salah. Kalau kamu bahagia, aku rela menerimamu apa adanya,” tulisnya. Zaf menangis membaca surat itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan untuk rekonsiliasi.
Van dan Zaf memutuskan untuk kembali ke Surabaya, menghadapi keluarga dengan keberanian. Mereka bertemu dengan Bu Sari dan Pak Hadi, yang akhirnya menerima Van setelah melihat perjuangan dan cinta mereka. Farhan, yang kini sadar akan kesalahannya, meminta maaf dan mundur dari kehidupan Zaf. Ayah Van, meski masih ragu, akhirnya mengunjungi mereka dan memberi restu setelah melihat perubahan putranya.
Zaf dan Van berdiri di tepi Sungai Kalimas, di bawah bulan purnama yang sama seperti saat mereka pertama bertemu. Mereka saling memandang, tangan mereka terjalin erat. “Kita udah lewatin badai terbesar, Van,” kata Zaf, tersenyum. Van mengangguk, “Dan kita bakal hadapin apa pun bareng, Zaf. Cinta kita lebih kuat dari larangan.” Di kejauhan, suara anak-anak bermain terdengar, menandakan awal baru yang penuh harap untuk mereka.
Cinta Terlarang di Bawah Bulan Purnama bukan sekadar cerita cinta remaja, melainkan refleksi kuat tentang perjuangan, pengorbanan, dan kekuatan cinta yang mampu mengatasi batasan. Kisah Zafira dan Elvano mengajarkan kita bahwa meski dunia penuh rintangan, harapan dan keberanian bisa membuka jalan menuju kebahagiaan. Jangan lewatkan kesempatan untuk membaca karya ini dan rasakan setiap detak emosi yang ditawarkannya—sebuah cerita yang akan terus hidup di hati Anda!
Terima kasih telah menjelajahi ulasan Cinta Terlarang di Bawah Bulan Purnama! Semoga cerita ini menginspirasi Anda dan membawa makna baru dalam hidup. Bagikan pengalaman membaca Anda dengan teman-teman, dan sampai bertemu lagi di artikel menarik berikutnya!


