Daftar Isi
Selamat datang dalam perjalanan emosional dan inspiratif melalui cerpen Menatap Cahaya Al-Qur’an: Perjalanan Hati Remaja, yang mengisahkan perjuangan Qurratul Aini, seorang gadis desa dari Waringin Lestari, dalam mengejar mimpinya menghafal Al-Qur’an di tengah keterbatasan dan tantangan hidup. Dengan latar pedesaan Jawa Timur yang kaya akan nilai keagamaan dan kehangatan keluarga, cerita ini membawa pembaca pada kisah penuh haru, ketabahan, dan semangat spiritual yang mendalam. Siapkah Anda menyelami setiap bab dari perjalanan hati remaja ini yang penuh makna dan motivasi?
Menatap Cahaya Al-Qur’an
Panggilan dari Dalam Jiwa
Di sebuah kampung kecil bernama Waringin Lestari, yang terletak di pinggiran Jawa Timur, tahun 2024 membawa angin sepoi-sepoi yang membawa aroma tanah dan bunga melati dari kebun tetangga. Di antara deretan rumah-rumah sederhana dengan atap genteng merah, hiduplah seorang remaja bernama Qurratul Aini, yang akrab dipanggil Qurrata oleh keluarganya. Gadis berusia 16 tahun ini memiliki rambut hitam panjang yang selalu disisir rapi dan mata cokelat yang sering memancarkan semangat meski di baliknya tersimpan kekhawatiran yang tak terucapkan. Qurrata adalah anak sulung dari tiga bersaudara, lahir dari pasangan petani sederhana, Harun dan Siti Aminah, yang hidup dari hasil ladang jagung dan beberapa ekor ayam.
Rumah mereka kecil, dengan dinding dari anyaman bambu dan lantai tanah yang selalu disapu bersih oleh Siti Aminah setiap pagi. Di sudut ruangan, sebuah musholla kecil menjadi tempat suci keluarga ini untuk beribadah. Qurrata sering duduk di sana setelah maghrib, mendengarkan ayahnya membaca Al-Qur’an dengan suara merdu yang terdengar lembut namun penuh kekuatan. Harun adalah seorang hafal Al-Qur’an, dan ia selalu mengajarkan anak-anaknya untuk mencintai kitab suci itu sejak kecil. Namun, di tengah kesederhanaan hidup mereka, Qurrata merasa ada panggilan yang lebih dalam dalam hatinya—ia ingin menghafal seluruh Al-Qur’an, sebuah impian yang terdengar mulia namun terasa berat baginya.
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui celah-celah jendela bambu, membangunkan Qurrata dari tidurnya di tikar usang. Ia bangun dengan perasaan campur aduk. Di sekolah menengah atas setempat, SMA Al-Ikhlas, Qurrata adalah siswi kelas dua yang dikenal rajin, tapi ia sering merasa tertekan oleh tuntutan teman-temannya untuk ikut bermain atau mengikuti tren modern yang tak sesuai dengan nilai-nilai yang ia pegang. Teman-temannya, seperti Lutfia dan Zahran, sering mengajaknya ke warung kopi di pinggir desa untuk mendengarkan musik atau sekadar mengobrol, tapi Qurrata lebih memilih menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah, membaca buku-buku agama yang ia pinjam dari ustazahnya, Ummi Salamah.
Setelah membantu ibunya memasak nasi untuk sarapan dan membereskan rumah, Qurrata berjalan kaki menuju sekolah, membawa tas kain yang sudah lusuh dan sebuah Al-Qur’an kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana. Di sepanjang jalan setapak yang dikelilingi sawah hijau, ia sering berhenti sejenak untuk mengulang hafalan surah yang ia pelajari malam sebelumnya. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan, agar tak mengganggu tetangga yang sedang bekerja di ladang. “Bismillahirrahmanirrahim… Qul a‘udzū birabbil-falaq…” katanya berulang-ulang, mencoba memasukkan ayat-ayat itu ke dalam memorinya.
Di kelas, Qurrata duduk di bangku dekat jendela, tempat ia bisa merasakan angin sepoi-sepoi sambil menatap padi yang bergoyang di luar. Ummi Salamah, guru agama yang juga menjadi panutan baginya, sering memuji kecerdasannya dalam memahami makna Al-Qur’an. “Qurrata, kamu punya hati yang tulus. Kalau kamu tekun, kamu bisa jadi hafizah suatu hari nanti,” kata Ummi Salamah suatu hari setelah mengoreksi hafalan Qurrata.
Kata-kata itu menyisakan jejak dalam hati Qurrata. Ia mulai membayangkan dirinya berdiri di depan jemaah, memimpin sholat tarawih dengan hafalan lengkap 30 juz. Tapi bayangan itu segera sirna ketika ia teringat kenyataan hidupnya. Waktu untuk belajar di rumah terbatas karena ia harus membantu ibunya menjahit pakaian pesanan tetangga atau mengurus adik-adiknya, Qomar dan Zahra, yang masih kecil. Ayahnya, Harun, juga sering pulang larut karena harus bekerja ekstra di ladang orang lain untuk menambah penghasilan. “Qurrata, kalau kamu mau hafal Al-Qur’an, kamu harus punya waktu khusus. Tapi kita juga butuh uang untuk makan,” kata Harun suatu malam, dengan nada penuh kelembutan namun juga keprihatinan.
Qurrata mengangguk, tapi di dalam hatinya, ia merasa ada dorongan yang tak bisa ia abaikan. Suatu hari, ia mendengar dari Ummi Salamah tentang sebuah program tahfidz di masjid besar di kota kabupaten, yang menawarkan pelatihan gratis untuk remaja yang ingin menghafal Al-Qur’an. Program itu bernama “Cahaya Hati Tahfidz,” dan pesertanya akan diajarkan oleh para ustaz ternama selama satu tahun penuh. Qurrata langsung tertarik, tapi ia tahu, jarak ke kota adalah hambatan besar. Selain itu, ia harus melewati tes masuk yang ketat, termasuk hafalan minimal satu juz dan wawancara motivasi.
Malam itu, setelah adik-adiknya tertidur, Qurrata duduk di musholla rumah dengan Al-Qur’an terbuka di depannya. Cahaya lampu minyak yang redup membuat matanya perih, tapi ia terus membaca. Ia memulai dari surah Al-Fatihah, mencoba menghafalnya berulang-ulang hingga ia bisa mengucapkannya tanpa melihat teks. Keringat menetes di dahinya, dan sesekali ia berhenti untuk mengusap air mata yang tak sengaja jatuh—bukan karena lelah, tapi karena ia merasa terpanggil oleh keindahan ayat-ayat yang ia baca.
Keesokan harinya, Qurrata memberanikan diri membicarakan impiannya kepada ayahnya. Harun duduk di teras, memandang ke langit yang mulai gelap. “Bapak, aku mau ikut program tahfidz di kota. Aku mau hafal Al-Qur’an,” kata Qurrata dengan suara gemetar.
Harun memandang putrinya dengan ekspresi campur aduk. “Itu impian yang mulia, Nak. Tapi kota jauh, dan kita nggak punya uang untuk ongkos. Belum lagi, siapa yang bantu Ibu di rumah kalau kamu pergi?”
Qurrata menunduk. Ia tahu ayahnya benar, tapi ia juga tak ingin menyerah. “Aku akan coba daftar dulu, Pak. Kalau aku diterima, aku akan cari cara supaya nggak membebani keluarga.”
Harun menghela napas panjang. “Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan. Tapi kamu harus janji, jangan sampai lupa tugasmu sebagai anak. Bapak dan Ibu selalu doain kamu.”
Dukungan itu memberi Qurrata semangat baru. Ia mulai belajar lebih giat, menghabiskan malam-malamnya untuk menghafal setelah membantu ibunya menyelesaikan pesanan jahit. Teman-temannya di sekolah mulai memperhatikan perubahan Qurrata. Lutfia, gadis ceria yang suka bercanda, suatu hari bertanya, “Qurrata, kamu kok serius banget belajar Al-Qur’an? Nggak capek?”
Qurrata tersenyum kecil. “Capek, tapi aku ngerasa tenang, Lut. Kayak ada cahaya di hati aku.”
Zahran, teman laki-laki yang pendiam, juga ikut mendukung. Ia sering membawakan buku-buku kecil berisi penjelasan tafsir untuk Qurrata, meski ia sendiri tak terlalu tertarik menghafal. “Ini buat kamu, biar hafalanmu lebih paham maknanya,” katanya dengan nada sederhana.
Hari-hari berlalu dengan penuh tantangan. Qurrata sering merasa lelah, terutama ketika ia harus bangun subuh untuk sholat dan mengulang hafalan, lalu membantu ibunya seharian sebelum berangkat sekolah. Tapi setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia mengingat wajah ayahnya yang penuh harap dan suara ibunya yang selalu mendoakannya. Ia juga teringat mimpi buruknya: suatu hari ia melihat dirinya tua dan menyesal karena tak pernah mencoba menghafal Al-Qur’an.
Satu minggu sebelum tes masuk Cahaya Hati Tahfidz, Qurrata menghadapi ujian besar lainnya: ujian akhir semester di sekolah. Ia harus membagi waktunya antara belajar mata pelajaran biasa dan menghafal Al-Qur’an. Malam-malamnya penuh dengan lampu minyak yang berkedip, buku pelajaran yang berserakan, dan Al-Qur’an yang tak pernah ia tinggalkan. Ibunya sering membawakan segelas air hangat, melihat putrinya dengan mata penuh kekaguman. “Qurrata, jangan terlalu dipaksa diri. Kesehatanmu juga penting,” kata Siti Aminah.
“Tapi, Bu, aku nggak mau nyia-nyiain kesempatan ini,” jawab Qurrata, suaranya penuh tekad.
Hari tes tiba. Qurrata berangkat ke kota dengan bus tua yang berderit, membawa Al-Qur’an kecilnya dan hati yang penuh doa. Di masjid tempat tes diadakan, ia melihat ratusan remaja lain, banyak di antara mereka tampak lebih percaya diri dengan pakaian rapi dan buku-buku tebal. Qurrata merasa kecil, tapi ia mengingat nasihat Ummi Salamah: “Yang terpenting adalah niatmu, Qurrata. Allah melihat hati.”
Tes dimulai dengan menghafal satu juz di depan penguji. Qurrata memilih Juz Amma, yang sudah ia pelajari berulang-ulang. Tangannya gemetar saat membuka Al-Qur’an untuk menunjukkan hafalannya, dan suaranya sedikit bergetar di awal. Tapi seiring waktu, ia menemukan ritme, dan ayat-ayat itu mengalir dari mulutnya seperti air yang jernih. Penguji, seorang ustaz tua bernama Habib Idrus, mengangguk pelan, tampak terkesan.
Setelah tes hafalan, ada wawancara. Habib Idrus bertanya, “Mengapa kamu ingin menghafal Al-Qur’an, Qurrata?”
Qurrata menunduk sejenak, lalu menjawab dengan suara yang mulai mantap. “Saya ingin cahaya Al-Qur’an ada di hati saya, Pak. Saya ingin jadi lebih baik, untuk keluarga saya, dan untuk diri saya sendiri. Ayah saya hafal Al-Qur’an, dan saya ingin seperti dia.”
Habib Idrus tersenyum. “Itu niat yang baik. Semoga Allah mudahkan langkahmu.”
Qurrata pulang dengan hati berdebar, tak tahu apakah ia lolos atau gagal. Di rumah, ia menceritakan pengalamannya kepada ibunya, yang memeluknya erat. “Doa Ibu selalu sama kamu, Nak. Kalau ini jalannya, Insya Allah akan terbuka,” kata Siti Aminah.
Qurrata yang duduk di musholla, memandang Al-Qur’an di tangannya. Angin malam membawa suara jangkrik, dan di hatinya, ada harapan yang rapuh namun penuh keyakinan. Ia tahu, perjalanan untuk menghafal Al-Qur’an baru saja dimulai, dan ia siap menghadapi apa pun yang datang.
Ujian di Tengah Gelap
Setelah tes masuk Cahaya Hati Tahfidz, Qurrata Elnara kembali ke rutinitasnya di Waringin Lestari, tapi hati dan pikirannya tak pernah tenang. Setiap hari, ia berjalan kaki ke SMA Al-Ikhlas, membantu ibunya menjahit, dan merawat adik-adiknya, Qomar dan Zahra, yang sering rewel karena lapar. Pengumuman hasil tes dijadwalkan seminggu lagi, dan Qurrata merasa seperti berjalan di atas tali tipis yang bisa putus kapan saja. Di dalam dirinya, ada campuran antara harapan dan ketakutan—harapan untuk diterima, dan ketakutan bahwa ia tak akan mampu menjalani program itu.
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui celah jendela, membangunkan Qurrata dari tidurnya yang penuh mimpi buruk. Ia bermimpi gagal tes dan melihat ayahnya menangis karena kecewa. Keringat dingin membasahi dahinya, dan ia segera bangun untuk sholat subuh, berusaha menenangkan hati dengan membaca doa. Setelah itu, ia duduk di musholla dengan Al-Qur’an, mengulang hafalan yang sudah ia kuasai, berharap itu cukup untuk membuatnya diterima.
Di sekolah, Ummi Salamah memperhatikan perubahan pada Qurrata. “Kamu kelihatan tegang, Qurrata. Apa ada yang mengganggu?” tanyanya setelah kelas agama selesai.
Qurrata mengangguk pelan. “Ummi, saya coba daftar tahfidz di kota. Tapi saya takut nggak lolos. Dan kalau lolos, saya nggak tahu gimana caranya ke sana.”
Ummi Salamah tersenyum hangat. “Allah selalu membuka jalan untuk yang berusaha, Qurrata. Kamu sudah punya niat mulia, itu langkah pertama yang besar. Mari kita doa bersama.”
Doa bersama itu memberi Qurrata sedikit ketenangan, tapi hari-hari berikutnya penuh dengan tantangan. Ibunya, Siti Aminah, mulai sakit karena kelelahan menjahit pesanan yang menumpuk. Qurrata harus mengambil alih sebagian pekerjaan ibunya, duduk di mesin jahit tua yang berderit sambil mencoba menghafal ayat-ayat Al-Qur’an di sela-sela tusukan jarum. Jari-jarinya sering terluka, dan matanya perih karena kurang tidur, tapi ia tak pernah mengeluh di depan keluarganya.
Suatu malam, ketika Qurrata sedang membantu ibunya memasak, Siti Aminah tiba-tiba tersenyum lemah. “Qurrata, Ibu dengar dari tetangga, ada yang bilang program tahfidz itu bagus. Tapi Ibu khawatir kalau kamu pergi, siapa yang bantu Ibu di rumah?”
Qurrata berhenti mengaduk sayur di wajan. “Bu, kalau saya diterima, saya akan coba cari cara. Mungkin saya bisa pulang tiap akhir pekan. Saya nggak mau ninggalin Ibu dan adik-adik.”
Siti Aminah mengelus rambut putrinya. “Ibu percaya sama kamu. Tapi jangan lupa kesehatanmu, ya.”
Dukungan ibunya itu membuat Qurrata semakin termotivasi, tapi ia juga merasa beban bertambah. Ia mulai mencari cara untuk meringankan beban keluarganya. Ia mengajak Lutfia dan Zahran untuk membantu menjual kue yang ia buat bersama ibunya, seperti getuk dan cenil, di pasar mingguan. Di bawah terik matahari, Qurrata berdiri di sudut pasar, berteriak dengan suara serak, “Kue enak, murah! Dua ribu satu!” Beberapa orang membeli, dan setelah seharian, ia mengumpulkan Rp50.000—uang kecil yang ia berikan kepada ibunya untuk membeli obat.
Tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Dua hari sebelum pengumuman hasil tes, Harun pulang dari ladang dengan wajah pucat. “Qurrata, ladang kita kemarin kebanjiran. Panen gagal,” katanya dengan suara parau.
Qurrata terdiam. Ia tahu itu berarti penghasilan keluarga akan menurun drastis. “Bapak, kita gimana sekarang?” tanyanya, suaranya gemetar.
Harun menghela napas. “Bapak akan cari kerja tambahan. Tapi kamu jangan khawatir, fokus aja sama tesmu.”
Kata-kata ayahnya tak cukup menghibur. Malam itu, Qurrata duduk di musholla, memandang Al-Qur’an dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa bersalah karena memikirkan mimpinya sendiri di tengah kesulitan keluarganya. Tapi di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan panggilan hati yang terus menggema dalam dirinya.
Hari pengumuman tiba. Qurrata pergi ke masjid bersama Ummi Salamah, yang bersedia mengantarnya dengan sepeda motor tua. Di papan pengumuman, ia mencari namanya dengan jantungan yang hampir berhenti. Ketika ia melihat Qurratul Aini tercantum dalam daftar peserta yang lolos, ia terdiam. Air mata mengalir di pipinya, campuran antara bahagia dan takut. Ia lolos, tapi ia tahu perjuangan sesungguhnya baru akan dimulai.
Ummi Salamah memeluknya. “Alhamdulillah, Qurrata. Ini anugerah dari Allah. Sekarang, siapkan dirimu untuk tahfidz.”
Qurrata pulang dengan hati berdebar, tapi ketika ia tiba di rumah, ia mendapati ibunya terbaring lemah karena demam. Siti Aminah tersenyum tipis. “Qurrata, Ibu dengar kamu lolos. Selamat, Nak.”
“Ibu, saya nggak yakin bisa pergi. Ibu sakit, dan kita butuh uang,” kata Qurrata, suaranya parau.
Siti Aminah menggenggam tangan putrinya. “Pergilah, Nak. Ini kesempatanmu. Ibu akan baik-baik aja dengan doa.”
Keputusan itu membuat Qurrata semakin bingung. Ia ingin mengikuti program tahfidz, tapi ia juga tak bisa meninggalkan keluarganya dalam kesulitan. Malam itu, ia duduk di musholla, membaca Al-Qur’an hingga larut, berdoa memohon petunjuk. Di tengah keheningan, ia merasa ada ketenangan yang aneh, seperti bisikan halus yang mengatakan, “Teruslah berusaha, Qurrata.”
Hari-hari berikutnya, Qurrata mulai mempersiapkan diri untuk pindah ke kota. Ia membantu ibunya menyelesaikan pesanan jahit yang tertunda, mengajak adik-adiknya belajar, dan mencari informasi tentang transportasi murah ke masjid tahfidz. Tapi di balik semangatnya, ada ketakutan yang terus mengintai. Bagaimana jika ia gagal menghafal? Bagaimana jika keluarganya semakin menderita tanpa kehadirannya?
Qurrata yang berdiri di depan musholla rumah, memandang langit yang penuh bintang. Di tangannya, ia memegang Al-Qur’an, dan di hatinya, ada doa yang tak pernah putus. Ia tahu, perjalanan untuk menghafal Al-Qur’an akan penuh ujian, tapi ia siap menghadapinya—untuk dirinya, untuk keluarganya, dan untuk cahaya yang ia cari dalam setiap ayat.
Cahaya di Tengah Badai
Hari pertama Qurratul Aini, yang akrab dipanggil Qurrata, memulai program Cahaya Hati Tahfidz di masjid besar di kota kabupaten tiba dengan hati yang penuh gejolak. Tanggal 10 Agustus 2024, langit kota tampak abu-abu, seolah mencerminkan kekhawatiran yang menggerogoti jiwa gadis 16 tahun itu. Setelah perjalanan panjang dengan bus tua yang berderit dari Waringin Lestari, Qurrata tiba di masjid Al-Hidayah dengan tas kain lusuh di punggungnya, berisi Al-Qur’an kecil, pakaian sederhana, dan beberapa helai kue yang dibuat ibunya, Siti Aminah, sebagai bekal. Ia berdiri di halaman masjid yang luas, memandang bangunan megah dengan kubah hijau yang menjulang, merasa seperti anak desa yang tersesat di dunia asing.
Program tahfidz itu menampung puluhan remaja dari berbagai daerah, dan Qurrata langsung merasa berbeda. Banyak di antara mereka mengenakan pakaian rapi, membawa buku-buku tebal, dan tampak percaya diri saat berinteraksi dengan ustaz-ustazah. Qurrata, dengan seragam SMP yang sudah ia pakai ulang karena tak punya baju baru, merasa kecil di antara mereka. Tapi ia mengingat nasihat Ummi Salamah: “Yang terpenting adalah niatmu, Qurrata.” Dengan hati yang bergetar, ia melangkah masuk, siap menghadapi hari pertamanya.
Ustaz Habib Idrus, penguji yang ditemuinya saat tes masuk, menjadi pengasuh utama program itu. Pria tua berjenggot putih itu menyapa peserta dengan suara lembut namun penuh otoritas. “Kalian semua di sini untuk mencari cahaya Al-Qur’an. Tapi ingat, jalan ini penuh ujian. Kalian harus tekun, sabar, dan tawakal,” katanya dalam sambutan pembukaan. Qurrata mendengarkan dengan penuh perhatian, mencatat setiap kata dalam hatinya.
Hari pertama diisi dengan pengenalan jadwal. Qurrata akan belajar menghafal dua halaman setiap hari, mengulang hafalan lama, memahami tafsir, dan mengikuti sholat berjamaah lima waktu. Waktunya sangat ketat, dari subuh hingga isya, dengan jeda singkat untuk makan dan istirahat. Kamar asrama yang ia tempati bersama lima gadis lain terasa sempit, dengan kasur tipis dan bau lembap yang menyengat. Tapi Qurrata tak peduli. Ia merasa ini adalah langkah pertama menuju mimpinya.
Namun, tantangan segera datang. Hafalan dua halaman sehari terasa berat baginya, terutama karena ia harus membagi konsentrasinya dengan kerinduan pada keluarganya. Setiap malam, ia menelepon ibunya dengan ponsel pinjaman teman asrama, mendengar suara Siti Aminah yang lemah karena demam yang belum sembuh. “Qurrata, Ibu baik-baik aja. Fokus aja sama hafalanmu,” kata ibunya, tapi Qurrata tahu ibunya menyembunyikan penderitaan.
Di asrama, Qurrata bertemu dengan teman-teman baru, seperti Aisyah dari kota dan Nadira dari desa lain. Aisyah, gadis berwajah cantik dengan gaya bicara cepat, sering mengolok-olok Qurrata karena aksen desanya. “Kamu ngapain sih bawa Al-Qur’an lusuh gitu? Belum ganti yang baru?” canda Aisyah suatu malam, membuat Qurrata malu. Nadira, yang pendiam, justru menjadi sahabatnya. “Jangan peduliin dia, Qurrata. Fokus aja sama tujuanmu,” bisik Nadira, memberi semangat.
Hari-hari berlalu dengan penuh tekanan. Qurrata bangun sebelum subuh untuk mengulang hafalan, tapi sering kali ia lupa ayat-ayat karena kurang tidur. Ustaz Habib Idrus, yang ketat dalam mengoreksi, sering menggelengkan kepala saat Qurrata salah membaca tajwid. “Qurrata, kamu harus lebih teliti. Al-Qur’an ini bukan mainan,” katanya dengan nada tegas. Qurrata menangis diam-diam di sudut kamar, merasa gagal. Tapi ia mengingat ayahnya, Harun, yang selalu mengatakan, “Kesalahan adalah guru terbaik.”
Di tengah kesulitan, Qurrata mendapat kabar buruk dari rumah. Harun menelepon, mengatakan bahwa ladang mereka rusak parah karena banjir susulan, dan Siti Aminah harus dirawat di puskesmas karena infeksi. Qurrata ingin pulang, tapi ustazah pengasuh, Ummi Fatimah, menahannya. “Kamu pulang sekarang, siapa yang bantu Ibu kamu nanti? Tetap di sini, dan doakan yang terbaik,” nasihatnya. Qurrata menelan air mata, merasa seperti terjebak antara kewajiban kepada keluarga dan mimpinya.
Untuk meringankan beban, Qurrata mulai membantu teman-teman asramanya menjahit pakaian sederhana, mengingat keterampilannya dari ibunya. Ia menjual hasil jahitannya ke pedagang lokal, mengumpulkan uang untuk mengirim ke rumah. Setiap sen yang ia hasilkan dirasa berharga, meski jari-jarinya penuh luka dari tusukan jarum. Nadira sering membantunya, dan keduanya menjadi seperti saudara.
Suatu hari, Qurrata mendapat kesempatan mengikuti lomba hafalan antar-asrama. Ia ragu-ragu, tapi Nadira mendorongnya. “Kamu bisa, Qurrata. Aku yakin.” Dengan latihan keras selama seminggu, Qurrata menghafal lima surah pendek dari Juz Amma. Di hari lomba, ia berdiri di depan juri dengan tangan gemetar, tapi suaranya mulai mantap saat ia membaca. Penonton terdiam, dan ustazah Ummi Fatimah tersenyum bangga. Qurrata tak menang, tapi ia mendapat penghargaan khusus atas “usaha luar biasa,” yang memberinya semangat baru.
Namun, badai belum usai. Siti Aminah jatuh sakit parah, dan Harun meminta Qurrata pulang sementara. Qurrata meminta izin kepada ustaz, dan selama seminggu di rumah, ia merawat ibunya sambil mengulang hafalan. Di sela-sela kesibukan, ia duduk di samping ranjang ibunya, membaca Al-Qur’an dengan suara pelan. Siti Aminah tersenyum lemah. “Qurrata, suaramu bikin Ibu tenang. Teruskan, Nak.”
Setelah ibunya stabil, Qurrata kembali ke tahfidz dengan hati yang lebih kuat. Ia belajar dari kesulitan, dan hafalannya mulai membaik. Ustaz Habib Idrus akhirnya memujinya, “Qurrata, kamu punya kemajuan. Teruslah istiqamah.” Kata-kata itu seperti obat bagi luka batinnya.
Bab ini ditutup dengan Qurrata yang berdiri di halaman masjid saat senja, memandang langit yang mulai gelap. Di tangannya, Al-Qur’an terbuka, dan di hatinya, ada cahaya yang perlahan menyala. Ia tahu, ujian belum selesai, tapi ia siap melangkah lebih jauh.
Cahaya yang Abadi
Setelah enam bulan di program Cahaya Hati Tahfidz, Qurrata Elnara merasa seperti telah melewati badai panjang. Tahun 2024 hampir berakhir, dan ia telah menghafal sepuluh juz dengan penuh perjuangan. Di masjid Al-Hidayah, ia kini dikenal sebagai salah satu murid yang tekun, meski awalnya dianggap lemah. Tapi perjalanan menuju 30 juz masih panjang, dan Qurrata tahu, ini adalah ujian terbesar dalam hidupnya.
Di asrama, hubungannya dengan Aisyah membaik setelah ia membantu Aisyah menghafal surah yang sulit. “Maaf ya, Qurrata, aku dulu suka nyebelin kamu,” kata Aisyah suatu malam, membuat Qurrata tersenyum. Nadira tetap menjadi sahabat setianya, sering mengingatkannya untuk istirahat. “Kamu keras kepala, tapi aku suka sama semangatmu,” kata Nadira sambil tertawa.
Hafalan Qurrata semakin lancar, tapi ia sering mendapat tantangan baru. Ustaz Habib Idrus meningkatkan targetnya menjadi tiga halaman sehari, dan Qurrata harus bangun lebih awal untuk mengulang. Malam-malamnya diisi dengan membaca tafsir bersama teman-teman, mencoba memahami makna setiap ayat. Ia sering menangis saat membaca surah tentang kesabaran, merasa ayat-ayat itu berbicara langsung kepadanya.
Di rumah, kondisi Siti Aminah membaik berkat bantuan yayasan yang mendukung program tahfidz. Harun juga mulai pulih dari tekanan ekonomi setelah mendapat pekerjaan tambahan dari tetangga. Qurrata pulang tiap akhir pekan, membawa semangat baru untuk keluarganya. Ia mengajarkan Qomar dan Zahra membaca Al-Qur’an, dan keluarga itu kembali rukun.
Suatu hari, Qurrata mendapat tawaran mengikuti lomba hafalan tingkat nasional. Ia ragu, tapi ustazah Ummi Fatimah meyakinkannya. “Ini kesempatanmu membuktikan diri, Qurrata.” Dengan latihan keras, ia menghafal hingga 15 juz. Di hari lomba, ia berdiri di panggung dengan hati berdebar, membaca dengan tajwid yang sempurna. Ia tak menang, tapi penghargaan “hafal terbaik” membuatnya bangga.
Tahun berlalu, dan di bulan Desember 2024, Qurrata menyelesaikan hafalan 30 juz. Upacara kelulusan diadakan di masjid, dan ia dipanggil ke depan sebagai salah satu hafizah muda. Harun dan Siti Aminah hadir, menangis haru melihat putri mereka berdiri dengan Al-Qur’an di tangan. “Kamu bikin Bapak bangga, Qurrata,” kata Harun, memeluknya erat.
Qurrata kembali ke Waringin Lestari sebagai hafizah, mengajar anak-anak desa membaca Al-Qur’an. Hidupnya kini penuh cahaya, meski ia tahu tantangan baru akan datang. Ia duduk di musholla rumah, memandang Al-Qur’an, dan berdoa, “Terima kasih, Allah, atas cahaya ini.”
Menatap Cahaya Al-Qur’an: Perjalanan Hati Remaja bukan hanya sekadar cerita, tetapi juga pelajaran hidup tentang kekuatan niat, pengorbanan, dan cinta terhadap Al-Qur’an yang mampu mengubah nasib. Kisah Qurratul Aini mengajak kita untuk merenung dan terinspirasi, membuktikan bahwa dengan usaha dan doa, cahaya ilahi dapat menyinari setiap langkah. Jangan lewatkan kesempatan untuk membaca setiap detail cerpen ini dan temukan semangat baru untuk memperdalam hubungan Anda dengan Al-Qur’an!
Terima kasih telah menikmati kisah inspiratif Menatap Cahaya Al-Qur’an: Perjalanan Hati Remaja. Semoga cerita ini membawa keberkahan dan motivasi dalam hidup Anda. Bagikan artikel ini kepada teman-teman Anda, dan mari kita bersama-sama mengejar cahaya ilahi. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan teruslah belajar serta berdoa!


