Daftar Isi
Selami kisah epik Di Ambang Tsunami: Kisah Jiwa yang Terombang-ambing, sebuah cerita rakyat yang memadukan emosi mendalam, ketegangan, dan misteri laut yang memikat. Mengisahkan perjuangan Sariwulan dan penduduk Desa Kalang Ombak menghadapi amarah laut yang mengancam, cerpen ini menghadirkan petualangan penuh makna tentang keberanian, pengorbanan, dan keseimbangan dengan alam. Dengan latar pesisir Pulau Seram yang memukau dan karakter-karakter unik seperti Nyai Rengganis dan Pak Wiranta, cerita ini akan membawa Anda ke dunia di mana laut berbicara dan manusia belajar mendengar. Siapkah Anda terhanyut dalam gelombang emosi dan rahasia kuno yang tersembunyi di dasar lautan?
Di Ambang Tsunami
Desa di Tepi Laut
Langit pagi di Desa Kalang Ombak masih menyisakan semburat jingga di ufuk timur. Angin laut bertiup lembut, membawa aroma garam dan ikan segar dari perahu-perahu nelayan yang baru pulang dari malam panjang di lautan. Desa kecil di pesisir utara Pulau Seram ini seperti lukisan yang hidup: rumah-rumah panggung dari kayu jati berdiri kokoh di atas pasir putih, atap-atap daun kelapa bergoyang pelan diterpa angin, dan suara debur ombak menjadi irama abadi yang menyapa penduduk setiap hari. Namun, di balik keindahan itu, ada ketenangan yang rapuh, seperti permukaan air yang tenang sebelum badai menerjang.
Sariwulan, seorang gadis berusia sembilan belas tahun dengan mata cokelat tua yang selalu tampak menyimpan rahasia, berdiri di ujung dermaga kayu yang sudah tua. Rambutnya yang panjang dan ikal dibiarkan terurai, ditiup angin hingga menari-nari seperti ombak kecil. Ia memegang keranjang anyaman bambu, penuh dengan ikan-ikan kecil yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Ayahnya, Pak Baruna, adalah salah satu nelayan paling dihormati di desa ini. Namun, pagi ini, perahu ayahnya belum juga terlihat di cakrawala, dan itu membuat jantung Sariwulan berdegup lebih kencang dari biasanya.
“Sari, apa kau masih menunggu ayahmu?” suara lembut namun tegas menyapa dari belakang. Itu adalah Nyai Rengganis, tetua desa yang dikenal sebagai peramal cuaca dan penutur cerita-cerita kuno. Wanita tua itu berjalan dengan tongkat bambu yang sudah usang, wajahnya penuh keriput namun matanya masih tajam, seolah bisa melihat jauh melampaui horizon.
Sariwulan menoleh, tersenyum tipis. “Iya, Nyai. Ayah bilang dia akan pulang sebelum matahari terbit, tapi…” Suaranya terhenti, matanya kembali menatap laut yang berkilau. “Mungkin ombaknya besar semalam.”
Nyai Rengganis mendekat, berdiri di samping Sariwulan. Ia mengangkat wajahnya, menghirup udara pagi dengan dalam. “Laut sedang berbicara, Nak,” katanya pelan, hampir seperti berbisik. “Ada sesuatu yang tak biasa. Angin terasa… gelisah.”
Sariwulan mengerutkan kening. Ia sudah terbiasa dengan ucapan-ucapan Nyai yang penuh teka-teki, tapi pagi ini ada nada dalam suara Nyai yang membuat bulu kuduknya merinding. “Maksud Nyai apa?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
Nyai Rengganis tidak langsung menjawab. Ia menatap laut, matanya menyipit seolah mencoba membaca sesuatu di balik garis cakrawala. “Dulu, kakekku pernah bercerita tentang Laut yang Marah. Katanya, sebelum bencana besar datang, laut akan memberikan tanda-tanda. Burung-burung akan terbang rendah, ikan-ikan menghilang dari perairan dangkal, dan angin… angin akan membawa suara tangisan.”
Sariwulan menelan ludah. Ia ingin tertawa, menganggap cerita itu hanya dongeng tua, tapi ada sesuatu dalam nada Nyai yang membuatnya tak bisa mengabaikannya. “Tapi, Nyai, laut terlihat tenang hari ini.”
“Tenang bukan berarti aman, Sari,” balas Nyai, suaranya kini lebih tegas. “Kau harus belajar mendengar apa yang tak terucap.”
Sariwulan ingin bertanya lebih lanjut, tapi suara teriakan dari arah pantai memecah keheningan. “Perahu! Perahu Baruna!” seseorang berteriak. Jantung Sariwulan melonjak. Ia berlari menuju tepi dermaga, matanya mencari-cari di antara silau air laut. Benar saja, sebuah perahu kecil dengan layar compang-camping perlahan mendekat. Tapi ada yang salah. Perahu itu terlihat miring, seolah-olah muatannya tidak seimbang.
“Ayah!” Sariwulan berteriak, melambai-lambaikan tangannya. Ia berlari menyusuri dermaga, diikuti oleh beberapa warga desa yang mulai berkumpul. Namun, ketika perahu itu semakin dekat, wajah Sariwulan memucat. Hanya ada dua orang di perahu itu: Pak Baruna dan seorang anak laki-laki bernama Lautan, putra sahabat ayahnya. Dimana yang lain? Biasanya, perahu ayahnya membawa setidaknya lima orang.
Perahu akhirnya merapat. Pak Baruna, pria berusia empat puluh tahun dengan kulit legam dan lengan penuh otot, melompat ke dermaga. Wajahnya penuh keringat, matanya merah dan liar. “Sari, bantu Lautan!” teriaknya, suaranya parau.
Sariwulan bergegas mendekat, membantu Lautan yang tampak lemas dan pucat turun dari perahu. Anak laki-laki berusia empat belas tahun itu gemetar, tangannya mencengkeram lengan Sariwulan dengan erat. “Kami… kami diserang ombak besar,” katanya dengan suara tersendat. “Yang lain… mereka…”
“Tenang, Lautan,” Sariwulan memeluk anak itu, mencoba menenangkannya meski hatinya sendiri dipenuhi kecemasan. Ia menoleh ke ayahnya. “Ayah, yang lain di mana?”
Pak Baruna menunduk, tangannya mengepal. “Ombak… ombak itu tak wajar, Sari. Tiba-tiba saja datang, seperti dinding air. Kami kehilangan tiga orang: Pak Salendra, Mas Kerta, dan… dan Jiwanta.”
Nama terakhir itu membuat Sariwulan terhenti. Jiwanta. Sahabatnya sejak kecil, pemuda ceria dengan senyum lebar yang selalu membawa bunga karang untuknya setiap pulang melaut. “Jiwanta…” gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Ia merasa dunia di sekitarnya berputar. “Ayah, apa maksudnya hilang?”
Pak Baruna tidak menjawab langsung. Ia berjalan menuju Nyai Rengganis, yang masih berdiri di ujung dermaga. “Nyai, apa yang kau lihat tadi malam?” tanyanya, suaranya penuh ketegangan. “Kau bilang kau merasakan sesuatu.”
Nyai Rengganis menatap Pak Baruna dengan tatapan yang sulit dibaca. “Aku melihat bayang-bayang di mimpi, Baruna. Laut yang bergolak, ombak yang menelan, dan suara tangisan yang datang dari dalam air. Aku ingin memperingatkanmu, tapi kau sudah berangkat sebelum fajar.”
Warga yang berkumpul mulai berbisik-bisik. Ada yang menyebut kutukan, ada pula yang berbicara tentang roh-roh laut yang murka. Sariwulan, yang masih memeluk Lautan, merasa dadanya sesak. Ia ingin menangis, ingin berteriak, tapi ia tahu itu tak akan mengembalikan Jiwanta atau yang lain. Ia menatap ayahnya, mencari jawaban, mencari harapan.
“Ayah, apa yang terjadi di laut?” tanyanya, suaranya bergetar tapi penuh tekad.
Pak Baruna menghela napas panjang. “Kami sedang menarik jaring, semuanya baik-baik saja. Langit cerah, laut tenang. Tiba-tiba, angin berubah. Ombak datang dari segala arah, seperti… seperti laut hidup dan ingin menelan kami. Kami berusaha melawan, tapi perahu kecil kami tak cukup kuat. Jiwanta… dia mencoba menyelamatkan jaring agar kami tak kehilangan hasil tangkapan. Tapi ombak itu menariknya, Sari. Aku tak bisa menjangkaunya.”
Sariwulan menutup mulutnya dengan tangan, air mata akhirnya jatuh. Ia bisa membayangkan Jiwanta, dengan senyumnya yang penuh semangat, berjuang melawan ombak yang ganas. Ia ingin marah pada laut, pada ayahnya, pada dirinya sendiri karena tak bisa berbuat apa-apa. Tapi di tengah kepedihan itu, ia teringat kata-kata Nyai Rengganis: laut sedang berbicara.
“Apa yang laut coba katakan, Nyai?” tanya Sariwulan, menoleh ke arah wanita tua itu. “Kalau ini tanda, tanda apa?”
Nyai Rengganis menggenggam tongkatnya lebih erat. “Aku belum tahu pasti, Nak. Tapi kita harus mendengarkan. Kita harus mencari tahu sebelum terlambat.”
Hari itu, desa yang biasanya ramai dengan canda tawa nelayan dan anak-anak yang bermain di pantai terasa hening. Kabar tentang hilangnya tiga nelayan menyebar cepat, membawa duka ke setiap rumah. Sariwulan menghabiskan sisa hari itu membantu ibunya, Bu Sasmaya, menyiapkan makanan untuk keluarga nelayan yang kehilangan anggota keluarga. Tapi pikirannya tak pernah lepas dari Jiwanta. Ia teringat malam-malam ketika mereka duduk bersama di bawah pohon kelapa, Jiwanta bercerita tentang mimpinya untuk membangun perahu besar dan menjelajahi lautan jauh. “Kau harus ikut, Sari,” katanya selalu sambil tertawa. “Kau akan jadi navigator terbaik!”
Malam itu, setelah semua orang pulang, Sariwulan duduk di beranda rumah panggung mereka. Ia memandang laut yang kini gelap, hanya diterangi oleh pantulan bulan. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa takut pada laut yang selama ini ia anggap sebagai rumah kedua. Di kejauhan, ia mendengar suara ombak yang lebih keras dari biasanya, seperti bisikan yang tak bisa ia pahami.
“Aku akan cari tahu,” gumamnya pada dirinya sendiri, tangannya mengepal. “Aku akan cari tahu apa yang laut coba katakan.”
Di sudut desa, Nyai Rengganis duduk di depan api unggun kecil, matanya menatap ke arah laut. Di tangannya, ia memegang cangkang kerang besar yang selalu ia bawa. “Kau sedang murka, bukan?” bisiknya pada laut. “Tapi kenapa? Apa yang telah kami lakukan?”
Langit malam tak memberikan jawaban, tapi angin membawa suara samar, seperti tangisan yang datang dari kedalaman laut.
Bisikan dari Kedalaman
Pagi di Desa Kalang Ombak terasa berbeda sejak kejadian tragis yang menimpa perahu Pak Baruna. Langit yang biasanya cerah kini diselimuti awan tipis, seolah-olah alam ikut berduka atas kehilangan tiga nyawa: Pak Salendra, Mas Kerta, dan Jiwanta. Suara ombak yang biasanya menenangkan kini terdengar seperti gumaman penuh rahasia, membuat warga desa berjalan dengan langkah hati-hati, seolah takut mengusik sesuatu yang tak terlihat. Di tengah kesunyian itu, Sariwulan merasa ada beban tak kasat mata yang menekan pundaknya, sebuah dorongan untuk mencari jawaban atas apa yang terjadi di laut.
Hari itu, Sariwulan bangun sebelum fajar. Matanya sembab karena malam sebelumnya ia hampir tak tidur, pikirannya dipenuhi bayangan Jiwanta yang terseret ombak. Ia duduk di beranda rumah panggung, menatap laut yang masih gelap. Di tangannya, ia memegang gelang anyaman tali pandan yang dulu diberikan Jiwanta padanya. Gelang itu sederhana, tapi setiap simpulnya terasa seperti kenangan: tawa mereka saat menangkap kepiting di pantai, cerita-cerita Jiwanta tentang petualangan laut, dan janjinya untuk membawa Sariwulan melihat pulau-pulau jauh. Kini, gelang itu terasa dingin di tangannya, seperti laut yang telah menelannya.
“Sari, kau tak tidur lagi?” suara lembut Bu Sasmaya, ibunya, memecah keheningan. Wanita berusia akhir tiga puluhan itu berdiri di ambang pintu, rambutnya yang mulai dihiasi uban disanggul sederhana. Wajahnya penuh kekhawatiran, tapi ia berusaha tersenyum untuk menghibur putrinya.
“Aku tak bisa tidur, Bu,” jawab Sariwulan pelan, jari-jarinya masih memainkan gelang itu. “Aku… aku merasa laut sedang memanggilku. Aku harus tahu apa yang terjadi dengan Jiwanta dan yang lain.”
Bu Sasmaya mendesah, lalu duduk di samping putrinya. Ia menggenggam tangan Sariwulan dengan erat. “Nak, laut itu luas dan penuh misteri. Kadang, kita harus menerima bahwa ada hal-hal yang tak bisa kita pahami. Ayahmu sudah berusaha mencari mereka kemarin, tapi… tak ada tanda-tanda.”
Sariwulan menggeleng, matanya penuh tekad. “Aku tak bisa hanya diam, Bu. Nyai Rengganis bilang laut sedang berbicara. Aku harus mencari tahu apa yang ia coba katakan.”
Bu Sasmaya ingin memprotes, tapi ia tahu sifat keras kepala putrinya. Sariwulan mewarisi semangat ayahnya, sebuah jiwa yang tak pernah menyerah pada tantangan. “Kalau begitu, bicaralah dengan Nyai Rengganis,” katanya akhirnya. “Tapi berjanjilah padaku, kau tak akan pergi ke laut sendirian. Laut sedang tak bersahabat.”
Sariwulan mengangguk, meski di dalam hatinya ia tahu ia tak bisa menjanjikan apa-apa. Setelah membantu ibunya menyiapkan sarapan—nasi goreng dengan ikan teri dan sambal pedas yang menggugah selera—ia bergegas menuju rumah Nyai Rengganis di ujung desa. Rumah panggung kecil itu berdiri di bawah pohon beringin tua, dikelilingi oleh tanaman obat dan cangkang-cangkang kerang yang tersusun rapi di halaman. Bau ramuan herbal dan asap kayu bakar menyapa hidung Sariwulan saat ia mengetuk pintu.
“Masuk, Sari,” suara Nyai terdengar dari dalam, seolah ia sudah tahu siapa yang datang. Sariwulan mendorong pintu kayu yang berderit, lalu melangkah masuk. Di dalam, Nyai Rengganis duduk bersila di atas tikar pandan, di depannya sebuah mangkuk tembaga berisi air laut dan beberapa kerang kecil. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui celah-celah jendela bambu membuat wajah Nyai tampak lebih tua, namun matanya masih penuh kehidupan.
“Nyai, aku perlu tahu lebih banyak,” kata Sariwulan tanpa basa-basi, duduk di depan Nyai. “Tentang laut, tentang tanda-tanda yang Nyai bilang. Aku… aku tak bisa hanya duduk diam sementara Jiwanta dan yang lain hilang.”
Nyai Rengganis menatap Sariwulan lama, seolah menimbang sesuatu. Lalu, ia mengambil cangkang kerang besar dari sampingnya, yang permukaannya dipenuhi ukiran spiral kuno. “Kau yakin ingin tahu, Nak? Laut tak selalu memberikan jawaban yang kita inginkan. Kadang, ia hanya menunjukkan luka.”
“Aku yakin,” jawab Sariwulan, suaranya tegas meski jantungnya berdegup kencang. “Aku harus tahu, Nyai. Untuk Jiwanta. Untuk ayahku. Untuk desa ini.”
Nyai mengangguk pelan, lalu menuangkan air laut dari mangkuk tembaga ke dalam cangkang kerang. Ia mulai mengucapkan mantra pelan dalam bahasa kuno yang tak dimengerti Sariwulan, suaranya seperti nyanyian yang menyatu dengan suara angin di luar. Air di dalam cangkang mulai bergetar, membentuk riak-riak kecil seolah ada sesuatu yang hidup di dalamnya. Nyai menutup mata, tangannya menggenggam cangkang dengan erat.
“Laut sedang gelisah,” katanya setelah beberapa saat, suaranya berat. “Ada sesuatu yang telah kita ganggu, sesuatu yang telah lama tertidur di dasar laut. Aku melihat bayang-bayang… sebuah kuil tua, terbuat dari karang dan batu hitam, terkubur di kedalaman. Ada suara yang memanggil, suara yang penuh amarah dan duka.”
Sariwulan mengerutkan kening. “Kuil? Di laut? Apa itu, Nyai?”
Nyai membuka mata, tatapannya tajam. “Kakekku pernah bercerita tentang Kuil Samudra, sebuah tempat suci yang dibangun oleh leluhur kita ribuan tahun lalu untuk menghormati roh-roh laut. Konon, kuil itu menyimpan rahasia besar, sesuatu yang menjaga keseimbangan antara daratan dan lautan. Tapi kuil itu lenyap setelah bencana besar, dan cerita tentangnya hanya menjadi dongeng. Aku tak pernah percaya itu nyata… sampai sekarang.”
“Apa hubungannya dengan ombak yang menyerang perahu ayahku?” tanya Sariwulan, mencoba mencerna kata-kata Nyai.
“Aku belum tahu pasti,” jawab Nyai. “Tapi tanda-tanda ini… burung-burung yang terbang rendah, ikan-ikan yang menghilang, ombak yang tak wajar… semuanya menunjukkan bahwa sesuatu di laut telah terbangun. Dan itu tak senang.”
Sariwulan merasa bulu kuduknya merinding. Ia teringat mimpi yang ia alami semalam: ia berdiri di tengah laut, air hanya setinggi lutut, tapi di kejauhan ia melihat dinding air raksasa mendekat, dan di dalam air itu ada bayang-bayang sesosok makhluk yang tak ia kenali. Ia ingin menceritakan mimpinya pada Nyai, tapi ia takut itu hanya khayalannya yang dipicu oleh duka.
“Nyai, apa yang bisa kita lakukan?” tanyanya akhirnya. “Kalau laut sedang marah, bagaimana kita menenangkannya?”
Nyai Rengganis menatap cangkang kerang di tangannya, seolah mencari jawaban di dalamnya. “Ada sebuah ritual kuno, disebut Panggilan Ombak. Ritual ini dilakukan untuk berkomunikasi dengan roh-roh laut, meminta maaf atas pelanggaran yang mungkin telah kita lakukan. Tapi ritual ini berbahaya, Sari. Ia membutuhkan seseorang yang berani menghadapi laut, seseorang yang punya ikatan kuat dengan air.”
Sariwulan menelan ludah. “Aku akan melakukannya.”
Nyai menggeleng. “Kau tak bisa melakukannya sendirian, Nak. Kau perlu bantuan. Dan kau perlu menemukan pusaka yang hilang, sesuatu yang dulu digunakan leluhur kita dalam ritual itu: Batu Samudra, sebuah batu karang yang konon menyimpan esensi laut.”
“Di mana batu itu sekarang?” tanya Sariwulan, hatinya dipenuhi campuran takut dan tekad.
Nyai menghela napas. “Tak ada yang tahu pasti. Kakekku bilang batu itu disembunyikan di sebuah gua di Pulau Karang, sebuah pulau kecil tak berpenghuni di utara desa kita. Tapi tak ada yang berani pergi ke sana. Pulau itu dikatakan dikutuk, dikelilingi oleh arus yang kuat dan karang-karang tajam.”
Sariwulan mengepalkan tangan. “Aku akan pergi ke sana, Nyai. Aku harus mencoba.”
Nyai Rengganis menatapnya dengan campuran kagum dan khawatir. “Kau punya hati yang besar, Sari. Tapi kau tak bisa pergi sendirian. Carilah Lautan. Anak itu selamat dari ombak, mungkin laut masih melindunginya. Dan… carilah seseorang yang tahu tentang laut lebih dari siapa pun di desa ini.”
Sariwulan mengangguk, pikirannya sudah berlari cepat. Ia tahu siapa yang dimaksud Nyai: Pak Wiranta, seorang nelayan tua yang kini hidup menyendiri di pinggir desa. Konon, ia pernah selamat dari badai besar yang menenggelamkan seluruh armada nelayan tiga puluh tahun lalu. Warga desa menyebutnya “Manusia Laut” karena ia seolah punya ikatan aneh dengan ombak dan angin. Tapi Pak Wiranta dikenal pendiam dan sulit didekati, sering kali menolak berbicara dengan siapa pun.
Setelah meninggalkan rumah Nyai Rengganis, Sariwulan berjalan menuju rumah Lautan. Anak laki-laki itu tinggal bersama kakaknya, Mbak Salira, sejak kehilangan ayahnya dalam kecelakaan melaut dua tahun lalu. Ketika Sariwulan tiba, ia mendapati Lautan sedang duduk di beranda, menatap kosong ke arah laut. Wajahnya masih pucat, tapi matanya menunjukkan semangat yang belum padam.
“Lautan, aku butuh bantuanmu,” kata Sariwulan, duduk di sampingnya. “Aku akan pergi ke Pulau Karang untuk mencari Batu Samudra. Nyai bilang itu mungkin satu-satunya cara untuk menenangkan laut.”
Lautan menoleh, matanya melebar. “Pulau Karang? Sari, kau tahu pulau itu berbahaya. Ayahku pernah bilang arus di sana bisa menarik perahu ke dasar laut.”
“Aku tahu,” jawab Sariwulan. “Tapi kita tak punya pilihan. Jiwanta… dia mungkin masih di luar sana. Dan kalau laut benar-benar marah, desa kita bisa jadi yang berikutnya.”
Lautan menunduk, tangannya gemetar. “Aku takut, Sari. Ombak itu… aku masih bisa mendengar suaranya di kepalaku. Tapi… kalau kau yakin, aku ikut.”
Sariwulan tersenyum kecil, merasa sedikit lega. “Terima kasih, Lautan. Sekarang, kita harus cari Pak Wiranta.”
Mereka berjalan menyusuri pantai menuju gubuk kecil Pak Wiranta, yang berdiri di antara batu-batu besar di tepi tebing. Gubuk itu tampak reyot, dindingnya penuh lumut dan atapnya hampir roboh. Saat mereka mendekat, mereka mendengar suara dengungan pelan, seperti nyanyian tanpa kata. Pak Wiranta duduk di depan gubuk, mengukir sepotong kayu dengan pisau kecil. Rambutnya yang putih panjang dibiarkan terurai, dan matanya yang dalam seolah menyimpan rahasia laut.
“Pak Wiranta,” sapa Sariwulan hati-hati. “Kami butuh bantuan Bapak.”
Pria tua itu tak langsung menjawab. Ia terus mengukir, seolah tak mendengar. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara tanpa menoleh. “Laut sedang marah, bukan? Kalian anak-anak tak seharusnya ikut campur.”
Sariwulan melangkah lebih dekat. “Kami tak punya pilihan, Pak. Nyai Rengganis bilang ada ritual yang bisa menenangkan laut, tapi kami perlu Batu Samudra. Dan kami perlu seseorang yang tahu jalan ke Pulau Karang.”
Pak Wiranta akhirnya menoleh, matanya menatap Sariwulan dengan tajam. “Kau tahu berapa banyak nyawa yang diambil laut dari mereka yang terlalu berani? Aku kehilangan semua temanku di badai tiga puluh tahun lalu. Aku satu-satunya yang selamat, dan itu bukan karena aku hebat. Itu karena laut memilihku.”
“Maka Bapak tahu apa yang kami hadapi,” balas Sariwulan, suaranya penuh tekad. “Tolong, Pak. Desa ini dalam bahaya. Jiwanta… dia sahabatku. Aku tak bisa kehilangan lebih banyak orang.”
Pak Wiranta menatap Sariwulan lama, lalu beralih ke Lautan. “Dan kau, anak? Kau yang selamat dari ombak itu. Apa kau punya keberanian untuk kembali ke laut?”
Lautan menelan ludah, tapi ia mengangguk. “Aku takut, Pak. Tapi aku tak ingin desa ini hilang seperti ayahku.”
Pria tua itu mendesah, lalu berdiri. “Baiklah. Aku akan bantu kalian. Tapi dengar ini: laut tak bisa dilawan. Kalian harus menghormatinya, mendengarkannya. Besok pagi, kita berangkat ke Pulau Karang. Siapkan hati kalian.”
Malam itu, Sariwulan tak bisa tidur. Ia duduk di tepi ranjang, memandang gelang anyaman di tangannya. Di luar, suara ombak terdengar semakin keras, seperti panggilan yang tak bisa ia abaikan. Ia tahu perjalanan ke Pulau Karang akan berbahaya, tapi di dalam hatinya, ia merasa Jiwanta masih di luar sana, menunggu. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa laut bukan hanya musuh, tapi juga kunci untuk menemukan jawaban.
Perjalanan ke Pulau Karang
Langit pagi di Desa Kalang Ombak diselimuti kabut tipis, membuat udara terasa lembap dan berat. Suara ombak yang menghempas karang di kejauhan terdengar seperti detak jantung raksasa, seolah laut sendiri sedang bersiap untuk sesuatu yang besar. Sariwulan berdiri di tepi dermaga, memandang perahu kecil yang akan membawa mereka ke Pulau Karang. Perahu itu milik Pak Wiranta, sebuah perahu kayu sederhana dengan layar kain yang sudah usang, namun kokoh seperti semangat pemiliknya. Di sampingnya, Lautan memeriksa tali-tali dan jaring, tangannya masih sedikit gemetar meski ia berusaha menyembunyikan ketakutannya. Pak Wiranta, dengan rambut putihnya yang diikat ke belakang, sedang memeriksa kompas tua yang selalu ia bawa, matanya menyipit menatap cakrawala.
Sariwulan menggenggam gelang anyaman tali pandan di pergelangan tangannya, kenangan tentang Jiwanta yang seperti menempel di kulitnya. Malam sebelumnya, ia bermimpi lagi: Jiwanta berdiri di tengah laut yang tenang, tangannya terulur ke arahnya, tapi setiap kali ia mencoba mendekat, ombak besar muncul dan menelannya. Mimpi itu membuatnya terbangun dengan jantung berdegup kencang, dan tekadnya untuk menemukan Batu Samudra semakin kuat. Ia tahu perjalanan ini bukan hanya tentang menenangkan laut, tapi juga tentang mencari jawaban atas apa yang telah merenggut sahabatnya.
“Kalian siap?” suara serak Pak Wiranta memecah keheningan. Ia berdiri di ujung perahu, tangannya memegang kemudi dengan mantap. “Laut pagi ini terlihat tenang, tapi jangan tertipu. Pulau Karang bukan tempat yang ramah.”
Sariwulan mengangguk, meski dadanya terasa sesak. “Kami siap, Pak. Apa yang harus kami lakukan?”
“Pegang tali layar, Sari,” jawab Pak Wiranta. “Lautan, kau awasi arus. Kalau air mulai berputar atau karang terlihat terlalu dekat, beri tahu aku secepatnya. Dan yang terpenting, dengarkan laut. Kalian akan tahu apa maksudku nanti.”
Mereka naik ke perahu, dan dengan gerakan terlatih, Pak Wiranta mendorong perahu menjauh dari dermaga. Angin pagi mulai bertiup, menggembungkan layar yang compang-camping itu. Sariwulan merasakan getaran kayu di bawah kakinya, aroma garam dan lumut laut memenuhi hidungnya. Ia menoleh ke arah desa yang semakin mengecil di kejauhan, melihat siluet rumah panggung dan pohon kelapa yang bergoyang pelan. Di tepi pantai, ia melihat Bu Sasmaya berdiri, mengangkat tangan sebagai tanda doa. Sariwulan membalas dengan lambaian kecil, berjanji dalam hati bahwa ia akan kembali.
Perjalanan menuju Pulau Karang memakan waktu beberapa jam, dan laut di sekitar mereka berubah dari tenang menjadi gelisah. Ombak kecil mulai muncul, menggoyang perahu dengan ritme yang tak menentu. Sariwulan memperhatikan burung-burung camar yang terbang rendah, hampir menyentuh permukaan air, sebuah tanda yang dulu diperingatkan Nyai Rengganis. Ia menoleh ke Lautan, yang duduk di dekat haluan, matanya tajam mengamati air di depan mereka.
“Lautan, kau baik-baik saja?” tanya Sariwulan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara angin.
Lautan mengangguk, tapi wajahnya pucat. “Aku baik, Sari. Tapi… airnya terasa aneh. Lihat, ada riak-riak kecil di sana.” Ia menunjuk ke arah sekelompok riak yang berputar-putar, seperti pusaran kecil di permukaan laut.
Pak Wiranta mendengarnya dan segera memutar kemudi. “Itu arus bawah,” katanya tegas. “Jauhi riak itu. Kalau kita tersedot, perahu ini tak akan bertahan.”
Sariwulan merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ia memegang tali layar lebih erat, mencoba fokus pada tugasnya meski pikirannya dipenuhi ketakutan. Ia teringat kata-kata Nyai Rengganis tentang Kuil Samudra, sebuah tempat suci yang konon menyimpan rahasia laut. Apakah Batu Samudra benar-benar ada? Dan jika ya, apakah itu cukup untuk menenangkan laut yang semakin murka?
Setelah beberapa jam, sebuah pulau kecil mulai terlihat di cakrawala. Pulau Karang tak seperti pulau-pulau lain di sekitar Desa Kalang Ombak. Daratannya didominasi oleh tebing-tebing karang hitam yang menjulang tajam, seolah menantang siapa pun yang berani mendekat. Pohon-pohon di pulau itu jarang, hanya beberapa kelapa yang tumbuh miring karena terpaan angin laut yang kencang. Di sekitar pulau, air laut berwarna biru tua, hampir hitam, dan ombak menghantam karang dengan kekuatan yang membuat perahu mereka bergoyang hebat.
“Ini dia,” gumam Pak Wiranta, matanya menyipit. “Kita harus berhati-hati. Arus di sekitar pulau ini tak bisa diprediksi, dan karang-karang itu bisa merobek perahu kita dalam sekejap.”
Sariwulan menatap pulau itu, merasakan campuran kagum dan takut. “Di mana gua yang Nyai maksud, Pak?” tanyanya.
Pak Wiranta menunjuk ke arah sebuah celah di tebing karang, hampir tersembunyi di antara batu-batu besar. “Di sana. Tapi kita harus mendarat di sisi timur pulau, di mana ombaknya lebih tenang. Kalau kita salah memilih jalur, kita akan hancur sebelum sampai.”
Mereka mengarahkan perahu menuju sisi timur, berjuang melawan arus yang semakin kuat. Sariwulan merasakan keringat membasahi dahinya, meski angin laut terasa dingin. Lautan, yang biasanya ceria, kini diam, tangannya mencengkeram sisi perahu dengan erat. Setiap kali ombak besar menggoyang perahu, ia menutup mata, seolah teringat malam ketika ombak menelan ayahnya dan Jiwanta.
Setelah perjuangan yang terasa seperti berjam-jam, mereka akhirnya berhasil mendarat di sebuah teluk kecil yang dikelilingi karang. Pasir di pantai ini kasar, bercampur dengan pecahan karang dan kerang yang hancur. Sariwulan melompat dari perahu, kakinya tenggelam sedikit di pasir basah. Ia membantu Lautan turun, lalu mereka bersama-sama menarik perahu ke daratan agar tidak terseret arus.
“Gua itu ada di atas tebing,” kata Pak Wiranta, menunjuk ke arah celah di karang yang kini terlihat lebih jelas. “Tapi jalannya curam dan licin. Kalian harus hati-hati. Dan… bawa ini.” Ia menyerahkan sebuah lentera tua berbahan kuningan, di dalamnya sebuah lilin kecil yang sudah meleleh separuh. “Di dalam gua, gelapnya seperti malam tanpa bulan. Jangan sampai kau tersesat.”
Sariwulan mengambil lentera itu, tangannya sedikit gemetar. “Bapak tidak ikut ke gua?” tanyanya.
Pak Wiranta menggeleng. “Aku akan menjaga perahu. Kalau arus berubah, kita harus siap pergi secepatnya. Dan… aku merasa laut ingin kalian yang masuk ke sana, bukan aku.”
Sariwulan ingin bertanya apa maksudnya, tapi ia tahu waktu mereka terbatas. Ia menoleh ke Lautan, yang kini memegang seutas tali dan sebuah pisau kecil yang diberikan Pak Wiranta. “Ayo, Lautan. Kita harus cepat.”
Mereka mulai memanjat tebing, kaki mereka berhati-hati melangkah di atas batu-batu yang licin karena lumut dan air laut. Angin bertiup kencang, membawa suara ombak yang seperti raungan di telinga mereka. Sariwulan merasakan jantungnya berdegup kencang, tapi ia terus maju, didorong oleh bayangan Jiwanta dan tekad untuk menyelamatkan desanya. Lautan mengikuti di belakang, napasnya tersengal tapi ia tak mengeluh.
Setelah perjuangan yang melelahkan, mereka sampai di mulut gua. Celah itu lebih besar dari yang terlihat dari bawah, cukup lebar untuk dilewati dua orang berdampingan. Udara di dalam terasa dingin dan lembap, bercampur dengan bau garam dan sesuatu yang lain—sesuatu yang asing, seperti bau logam dan tanah basah. Sariwulan menyalakan lentera, cahaya kuningnya menerangi dinding gua yang dipenuhi ukiran spiral dan gambar-gambar aneh: ikan raksasa, ombak yang menjulang, dan sosok-sosok manusia yang seolah berdoa pada laut.
“Ini… menyeramkan,” gumam Lautan, suaranya bergema di dinding gua.
Sariwulan mengangguk, tapi ia melangkah masuk, lentera di tangan kanannya dan gelang anyaman di tangan kirinya. “Kita harus terus maju. Batu Samudra ada di sini, aku bisa merasakannya.”
Gua itu semakin dalam, jalannya menurun tajam dan berliku-liku. Dinding-dindingnya basah, air menetes dari langit-langit, menciptakan suara tetesan yang seperti irama pelan. Semakin dalam mereka masuk, semakin kuat Sariwulan merasakan sesuatu—seperti bisikan di telinganya, bukan suara manusia, tapi lebih seperti getaran yang berasal dari dalam dirinya. Ia menoleh ke Lautan, yang tampak gelisah.
“Kau dengar itu?” tanya Lautan, matanya melebar. “Seperti… suara orang bernyanyi, tapi dari dalam air.”
Sariwulan mengangguk. Ia juga mendengarnya, sebuah nyanyian pelan yang terdengar sedih, seperti tangisan yang terbawa angin. “Itu mungkin roh-roh laut yang Nyai ceritakan,” katanya, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Kita harus tetap fokus.”
Setelah berjalan selama yang terasa seperti berjam-jam, mereka sampai di sebuah ruangan besar di dalam gua. Dindingnya dipenuhi lumut bercahaya yang memancarkan sinar hijau pucat, membuat ruangan itu terlihat seperti berada di dasar laut. Di tengah ruangan, ada sebuah altar batu yang diukir dengan pola ombak dan ikan. Di atas altar itu, terletak sebuah batu besar berwarna biru tua, seukuran kepala manusia, permukaannya berkilau seperti mutiara dan dipenuhi urat-urat putih yang berpulsasi pelan.
“Itu… Batu Samudra,” bisik Sariwulan, napasnya tersengal. Ia melangkah mendekat, lentera di tangannya gemetar. Batu itu seolah memancarkan energi, membuat udara di sekitarnya terasa berat. Tapi ketika ia hendak menyentuhnya, sebuah suara keras bergema di dalam gua, seperti gemuruh ombak yang menghantam karang.
“Siapa yang berani mengusik kuil ini?” suara itu dalam, bukan manusiawi, dan seolah datang dari segala arah. Sariwulan dan Lautan terhenti, tubuh mereka membeku. Lentera di tangan Sariwulan hampir jatuh, tapi ia memegangnya erat.
“Kami… kami datang untuk meminta maaf,” kata Sariwulan, suaranya bergetar tapi ia berusaha tegas. “Laut sedang marah, dan kami ingin menenangkannya. Kami mencari Batu Samudra untuk melakukan ritual Panggilan Ombak.”
Suara itu terdiam sejenak, lalu bergema lagi, kali ini lebih lembut tapi tetap penuh wibawa. “Kalian manusia selalu mengambil dari laut tanpa memberi. Kalian telah melanggar keseimbangan. Batu ini bukan milik kalian untuk diambil sesuka hati.”
Sariwulan menelan ludah, hatinya dipenuhi ketakutan tapi juga tekad. “Kami tahu kami salah. Tapi kami ingin memperbaikinya. Tolong, beri tahu kami apa yang harus kami lakukan.”
Sebuah bayang-bayang muncul di depan altar, samar seperti asap tapi berbentuk seperti sosok manusia dengan rambut yang mengalir seperti air. “Kalian harus membuktikan bahwa hati kalian tulus,” kata bayang-bayang itu. “Laut telah kehilangan banyak, dan ia menuntut pengorbanan. Apakah kalian siap membayar harganya?”
Sariwulan menatap Lautan, yang kini gemetar tapi mengangguk pelan. Ia kembali menatap bayang-bayang itu, tangannya menggenggam gelang anyaman Jiwanta. “Kami siap,” katanya, suaranya penuh tekad. “Apa pun harganya, kami akan membayarnya untuk menyelamatkan desa kami.”
Bayang-bayang itu menghilang, dan batu di atas altar berpulsasi lebih kuat. Tapi sebelum Sariwulan bisa menyentuhnya, gua itu berguncang hebat, seperti gempa kecil. Air mulai mengalir dari dinding-dinding, dan suara ombak dari luar terdengar semakin keras. Sariwulan tahu mereka harus bergerak cepat, atau mereka akan terperangkap di dalam gua yang mulai dipenuhi air laut.
Panggilan Ombak
Gua di Pulau Karang berguncang hebat, dinding-dindingnya bergetar seolah ingin runtuh. Air laut mulai mengalir deras dari celah-celah batu, membentuk genangan yang cepat naik hingga seankle Sariwulan dan Lautan. Cahaya hijau pucat dari lumut di dinding gua berkedip-kedip, seolah-olah mengikuti irama gemuruh ombak yang kini terdengar seperti raungan makhluk raksasa di luar. Batu Samudra di atas altar batu masih berpulsasi dengan urat-urat putih yang menyala lembut, tetapi suara bayang-bayang misterius itu masih bergema di kepala Sariwulan: Laut menuntut pengorbanan. Apakah kalian siap membayar harganya?
Sariwulan menatap Batu Samudra, jantungnya berdegup kencang. Air sudah mencapai betisnya, dan getaran gua semakin kuat. “Lautan, kita harus ambil batu itu sekarang!” teriaknya, suaranya nyaris tenggelam oleh suara air yang mengalir deras.
Lautan, yang wajahnya pucat dan matanya melebar karena ketakutan, mengangguk cepat. “Tapi bagaimana, Sari? Gua ini akan runtuh!” Ia memegang pisau kecilnya dengan tangan gemetar, seolah itu bisa melindunginya dari air yang semakin ganas.
Sariwulan melangkah mendekati altar, air laut yang dingin menggigit kulitnya. Ia mengulurkan tangan ke arah Batu Samudra, tapi sebelum jarinya menyentuh permukaannya, sebuah gelombang kecil menghantam kakinya, membuatnya tersandung. Lentera kuningan di tangannya jatuh ke air, apinya padam seketika, meninggalkan mereka dalam cahaya hijau samar yang semakin redup. “Tidak!” serunya, panik. Tapi ia segera bangkit, meraih batu itu dengan kedua tangan.
Saat jarinya menyentuh Batu Samudra, sebuah getaran hangat mengalir melalui tubuhnya, seperti arus listrik yang lembut namun kuat. Gambar-gambar aneh muncul di benaknya: kuil karang yang megah di dasar laut, patung-patung batu yang menyerupai manusia dan ikan, dan ombak raksasa yang menghancurkan segalanya. Di tengah visi itu, ia melihat Jiwanta, berdiri di tengah laut dengan wajah penuh duka, tangannya terulur seolah meminta pertolongan. “Jiwanta!” seru Sariwulan tanpa sadar, air mata bercampur dengan air laut di wajahnya.
“Sari, cepat!” teriak Lautan, menarik lengannya. Air sudah setinggi pinggang mereka, dan batu-batu kecil mulai berjatuhan dari langit-langit gua. “Kita harus keluar sekarang!”
Sariwulan menggenggam Batu Samudra erat-erat, meski beratnya membuat lengannya sakit. “Ayo!” Ia berbalik, dan bersama Lautan, mereka berlari menuju mulut gua, melawan arus air yang semakin kuat. Jalur yang mereka lalui tadi kini dipenuhi air, licin dan berbahaya. Beberapa kali Sariwulan hampir jatuh, tapi Lautan menahannya, tangannya kecil namun kuat. Suara gemuruh ombak dari luar semakin keras, seolah laut sendiri sedang berteriak marah.
Ketika mereka akhirnya mencapai mulut gua, angin kencang menyambut mereka, membawa butir-butir air laut yang menyakitkan di kulit. Langit di atas Pulau Karang kini gelap, awan hitam bergulung-gulung seperti asap raksasa. Pak Wiranta berdiri di dekat perahu, tangannya memegang tali dengan erat agar perahu tidak terseret ombak. “Cepat, naik!” teriaknya, suaranya nyaris hilang di tengah deru angin.
Sariwulan dan Lautan berlari menuruni tebing, kaki mereka tergelincir di batu-batu licin. Ketika mereka sampai di pantai, sebuah ombak besar menghantam karang di dekat mereka, menyemprotkan air hingga membasahi seluruh tubuh mereka. Sariwulan memeluk Batu Samudra ke dadanya, tak peduli betapa beratnya. “Kami dapat batunya, Pak!” serunya saat mereka melompat ke perahu.
Pak Wiranta tidak membuang waktu. Dengan gerakan cepat, ia mendorong perahu ke laut, melawan ombak yang semakin ganas. “Pegang kuat-kuat!” perintahnya, tangannya memutar kemudi dengan kekuatan yang mengejutkan untuk pria seusianya. Layar perahu berkibar liar, hampir robek oleh angin. Sariwulan dan Lautan berpegangan pada sisi perahu, tubuh mereka bergoyang setiap kali ombak menghantam.
“Laut ini seperti hidup!” teriak Lautan, matanya penuh ketakutan. “Apa yang kita lakukan salah, Sari?”
Sariwulan tidak menjawab langsung. Ia memandang Batu Samudra di pangkuannya, urat-urat putihnya masih berpulsasi, seolah batu itu memiliki detak jantung sendiri. “Kita harus lakukan ritual Panggilan Ombak,” katanya, suaranya penuh tekad meski napasnya tersengal. “Nyai bilang ini satu-satunya cara.”
Pak Wiranta menoleh sekilas, wajahnya tegang. “Kalian yakin? Ritual itu tak pernah dilakukan selama ratusan tahun. Dan laut… laut sedang murka. Kalau kita gagal, kita semua akan jadi korban.”
“Aku yakin, Pak,” jawab Sariwulan, matanya berkilat. “Aku melihat Jiwanta dalam visiku. Dia masih di luar sana, entah bagaimana. Aku harus mencoba.”
Perjalanan kembali ke Desa Kalang Ombak terasa seperti perang melawan alam. Ombak menghantam perahu dari segala arah, air laut membanjiri dek hingga mereka harus terus membuangnya dengan ember kecil. Langit semakin gelap, petir menyambar di kejauhan, dan angin membawa suara seperti tangisan panjang yang membuat bulu kuduk Sariwulan merinding. Tapi di tengah kekacauan itu, Batu Samudra di tangannya terasa hangat, seperti menawarkan secercah harapan.
Ketika mereka akhirnya melihat garis pantai Desa Kalang Ombak, hujan mulai turun deras, membuat pandangan mereka buram. Warga desa sudah berkumpul di pantai, wajah mereka penuh kekhawatiran. Nyai Rengganis berdiri di depan, jubah kainnya berkibar ditiup angin, tongkat bambunya mencengkeram pasir. Bu Sasmaya berlari ke tepi air, tangannya menutup mulut saat melihat perahu kecil itu berjuang melawan ombak.
“Mereka kembali!” teriak seseorang, dan sorak sorai kecil terdengar di tengah deru badai. Tapi kegembiraan itu cepat memudar ketika sebuah ombak raksasa muncul di cakrawala, seperti dinding air yang bergerak cepat menuju desa.
“Sariwulan! Cepat!” teriak Nyai Rengganis, suaranya penuh urgensi. “Kalian harus lakukan ritual sekarang!”
Perahu akhirnya merapat, dan Sariwulan melompat ke pantai, memeluk Batu Samudra dengan erat. Lautan dan Pak Wiranta mengikuti, tubuh mereka basah kuyup dan lelah. Nyai Rengganis bergegas mendekat, matanya melebar saat melihat batu di tangan Sariwulan. “Kau berhasil, Nak,” katanya, suaranya penuh kagum. “Sekarang, ikut aku ke Batu Suci!”
Batu Suci adalah sebuah batu besar di tepi desa, tempat leluhur mereka dulu melakukan ritual untuk menghormati laut. Batu itu berdiri di tengah lingkaran pasir yang dikelilingi cangkang-cangkang kerang, permukaannya dipenuhi ukiran spiral seperti yang ada di gua. Hujan semakin deras, dan ombak besar itu semakin mendekat, kini terlihat seperti gunung air yang siap menelan desa.
Nyai Rengganis memimpin mereka ke Batu Suci, tangannya menggenggam cangkang kerang besar yang selalu ia bawa. “Sariwulan, letakkan Batu Samudra di tengah lingkaran,” perintahnya. “Lautan, berdiri di sampingnya. Kalian berdua yang dipilih laut, kalian yang harus memanggilnya.”
Sariwulan melakukan seperti yang diperintahkan, meletakkan Batu Samudra di tengah lingkaran pasir. Batu itu bersinar lebih terang di bawah hujan, urat-urat putihnya berpulsasi seperti denyut nadi. Nyai mulai mengucapkan mantra dalam bahasa kuno, suaranya keras dan penuh kekuatan meski angin dan hujan berusaha menenggelamkannya. Warga desa berkumpul di sekitar, beberapa berdoa, beberapa menangis, semua menatap ombak raksasa yang kini hanya beberapa menit lagi dari pantai.
“Sariwulan, Lautan, ulangi kata-kataku!” seru Nyai. “Panggil laut dengan hati kalian. Tunjukkan bahwa kalian tulus!”
Sariwulan menutup mata, tangannya menggenggam gelang anyaman Jiwanta. Ia mengulangi mantra Nyai, suaranya gemetar tapi penuh tekad. “Wahai roh-roh laut, dengarkan kami! Kami meminta maaf atas pelanggaran kami. Kami menawarkan hati kami untuk keseimbangan yang telah rusak. Kembalikan kedamaianmu kepada kami!”
Lautan mengikuti, suaranya lebih pelan tapi tak kalah tulus. “Kami mohon, jangan ambil desa kami. Kami akan menghormatimu, selamanya!”
Batu Samudra mulai bergetar, cahayanya semakin terang hingga menyilaukan. Angin berhenti sejenak, dan hujan terasa lebih ringan. Tapi ombak raksasa itu masih mendekat, kini begitu dekat hingga bayangannya menutupi desa. Sariwulan merasakan air mata mengalir di pipinya, tapi ia terus mengucapkan mantra, memikirkan Jiwanta, ayahnya, ibunya, dan semua orang yang ia cintai.
Tiba-tiba, sebuah suara lembut namun kuat bergema, bukan dari Nyai atau siapa pun di sekitar, melainkan dari dalam Batu Samudra. “Kalian telah menunjukkan keberanian dan ketulusan,” kata suara itu, sama seperti bayang-bayang di gua. “Tapi laut membutuhkan pengorbanan. Satu jiwa untuk menenangkan amarahnya.”
Sariwulan membuka mata, jantungnya terhenti. “Pengorbanan?” bisiknya, suaranya penuh ketakutan. Ia menoleh ke Nyai, yang wajahnya kini penuh duka.
“Itu harga yang diminta laut,” kata Nyai pelan. “Seseorang harus menyerahkan dirinya untuk menyeimbangkan kembali.”
Sebelum siapa pun bisa bereaksi, Lautan melangkah maju, tangannya gemetar tapi matanya penuh tekad. “Aku akan melakukannya,” katanya, suaranya nyaris tak terdengar di tengah deru ombak. “Aku selamat dari ombak itu, mungkin ini takdirku.”
“Tidak!” seru Sariwulan, menarik lengan Lautan. “Kau tidak bisa! Kita akan cari cara lain!”
“Tapi tidak ada waktu, Sari!” balas Lautan, matanya berkaca-kaca. “Ombak itu akan menghancurkan desa. Aku… aku ingin ayahku bangga padaku.”
Sebelum Sariwulan bisa memprotes lebih lanjut, sebuah cahaya terang keluar dari Batu Samudra, membungkus Lautan. Tubuhnya seolah melayang sejenak, lalu sebuah bayang-bayang muncul di depannya—bayang-bayang Jiwanta. Sariwulan tersentak, air mata mengalir deras. “Jiwanta!” serunya.
Bayang-bayang Jiwanta tersenyum tipis, tangannya terulur ke arah Lautan. “Kau sudah berbuat cukup, adikku,” katanya, suaranya lembut seperti angin. “Laut tidak menginginkanmu. Ia menginginkanku.”
Sariwulan menangis tersedu, mencoba meraih bayang-bayang itu, tapi tangannya hanya menyentuh udara. “Jiwanta, kau masih hidup? Di mana kau?”
“Aku di antara laut dan langit,” jawab Jiwanta, matanya penuh kedamaian. “Aku memilih untuk tinggal agar desa ini selamat. Sari, jaga gelang itu untukku. Dan… hidup bahagia.”
Cahaya dari Batu Samudra memuncak, dan bayang-bayang Jiwanta menghilang, membawa serta gemuruh ombak. Ombak raksasa itu tiba-tiba berhenti, seperti ditahan oleh tangan tak kasat mata, lalu perlahan surut kembali ke laut. Langit mulai cerah, hujan reda, dan angin menjadi lembut. Warga desa terdiam, beberapa jatuh berlutut, menangis karena lega dan duka bercampur.
Sariwulan jatuh ke pasir, memeluk Batu Samudra yang kini tidak lagi berpulsasi. Ia menangis, merasakan kehilangan Jiwanta yang kini terasa nyata. Lautan memeluknya, air mata mengalir di wajahnya. “Dia menyelamatkan kita, Sari,” bisiknya. “Dia menyelamatkan kita semua.”
Nyai Rengganis mendekat, tangannya lembut menyentuh pundak Sariwulan. “Laut telah menerima pengorbanannya,” katanya pelan. “Keseimbangan telah kembali. Tapi kita harus belajar dari ini, Nak. Kita harus menghormati laut, selalu.”
Malam itu, desa mengadakan upacara kecil di tepi pantai untuk menghormati Jiwanta, Pak Salendra, dan Mas Kerta. Mereka menyalakan lentera-lentera kertas yang diletakkan di air, membiarkannya mengapung menuju cakrawala. Sariwulan berdiri di tepi air, memandang lentera yang membawa nama Jiwanta. Gelang anyaman di tangannya terasa hangat, seperti menyimpan sepotong jiwa sahabatnya.
“Laut akan selalu berbicara,” kata Nyai Rengganis, berdiri di sampingnya. “Dan kita harus belajar mendengar.”
Sariwulan mengangguk, air mata mengalir pelan. “Aku akan mendengar, Nyai. Untuk Jiwanta.”
Di kejauhan, laut kini tenang, ombaknya lembut seperti lagu pengantar tidur. Tapi di balik ketenangan itu, Sariwulan tahu laut akan selalu menyimpan rahasia, menunggu mereka yang berani mendengarkan.
Di Ambang Tsunami: Kisah Jiwa yang Terombang-ambing bukan sekadar cerita rakyat, melainkan sebuah pengingat akan kekuatan alam dan pentingnya menghormati keseimbangan yang rapuh antara manusia dan laut. Dengan alur yang mendebarkan dan emosi yang mengguncang, cerpen ini mengajak kita merenung tentang pengorbanan, keberanian, dan hubungan mendalam dengan lingkungan sekitar. Jangan lewatkan kisah ini yang tidak hanya menghibur, tetapi juga meninggalkan pesan abadi tentang harmoni dengan alam. Ayo, jelajahi cerita ini dan temukan bagaimana Sariwulan menghadapi gelombang takdir untuk menyelamatkan desanya!
Terima kasih telah menyusuri kisah Di Ambang Tsunami: Kisah Jiwa yang Terombang-ambing bersama kami. Semoga cerita ini menginspirasi Anda untuk lebih mendengar suara alam dan menghargai setiap petualangan hidup. Sampai jumpa di kisah menarik berikutnya, dan jangan lupa bagikan artikel ini kepada teman-teman Anda yang menyukai cerita penuh makna!


