Daftar Isi
Temukan kisah mendalam dan penuh emosi dalam cerpen Poligami dan Luka Perpisahan di Desa Terlupakan, yang menggambarkan perjalanan Kencana Wirasena, seorang gadis yang menghadapi luka keluarga akibat poligami di desa Tanah Seribu. Dengan alur yang kaya detail dan sentuhan sedih yang mengharukan, cerita ini mengeksplorasi cinta, pengorbanan, dan kehilangan yang akan membuat Anda terpaku dari awal hingga akhir. Apa yang mendorong perpisahan ini, dan bagaimana Kencana menemukan kekuatan untuk melangkah? Mari kita telusuri bersama!
Poligami dan Luka Perpisahan di Desa Terlupakan
Bayang Dua Hati
Di sebuah desa kecil bernama Tanah Seribu di Jawa Barat, pada tahun 2024, hidup sebuah keluarga yang penuh dengan cerita yang tak biasa. Desa ini terletak di antara sawah-sawah hijau dan bukit-bukit yang terselimuti kabut pagi, tempat di mana tradisi masih kuat mengakar di hati warganya. Di tengah desa itu, berdiri sebuah rumah kayu sederhana milik Keluarga Wirasena, sebuah keluarga yang menjadi perbincangan hangat sekaligus bisik-bisik penuh simpati. Rumah itu dihuni oleh Darmo Wirasena, seorang petani paruh baya yang teguh pendiriannya, serta dua istrinya, Lestari dan Widya, bersama anak-anak mereka yang membawa cerita berbeda di setiap sudut hati.
Darmo adalah pria berusia empat puluh lima tahun dengan wajah keras yang ditempa oleh matahari dan angin desa. Ia menikahi Lestari, wanita lembut berusia empat puluh dua tahun dengan rambut hitam panjang yang selalu diikat rapi, dua puluh tahun lalu. Lestari adalah ibu dari dua anak, yaitu Kencana, gadis delapan belas tahun dengan mata cokelat penuh tanya, dan Bagas, anak laki-laki berusia enam belas tahun yang pendiam namun penuh semangat. Hidup mereka awalnya damai, hingga sepuluh tahun lalu Darmo memutuskan untuk menikahi Widya, seorang janda muda berusia tiga puluh lima tahun yang membawa anak perempuannya, Sariyani, yang kini berusia tiga belas tahun, ke dalam keluarga ini.
Keputusan poligami Darmo bukan tanpa alasan. Lestari, yang pernah mengalami keguguran berulang, tidak bisa lagi memberi Darmo anak setelah Bagas lahir. Widya, dengan kecantikan alami dan sifatnya yang ceria, datang sebagai angin segar bagi Darmo yang merasa kehilangan harapan akan keturunan tambahan. Namun, poligami itu membawa luka yang tak terucapkan. Lestari, meski menerima keputusan suaminya dengan hati yang berat demi menjaga keutuhan keluarga, sering terlihat menyendiri di dapur, menatap jendela dengan mata kosong. Widya, di sisi lain, berusaha keras menyesuaikan diri, tapi sering kali merasa seperti tamu yang tak diundang di rumah itu.
Kencana, putri sulung Lestari, menjadi saksi bisu dari ketegangan ini. Ia sering duduk di beranda rumah, menatap sawah di kejauhan, mencoba memahami mengapa ibunya berubah menjadi wanita yang jarang tersenyum. Bagas, adiknya, lebih memilih menghabiskan waktu di ladang bersama ayahnya, menghindari pertengkaran kecil yang kadang meletus antara Lestari dan Widya. Sariyani, anak Widya, adalah anak yang cerdas namun pendiam, sering menggambar di sudut ruangan, seolah mencari pelarian dari suasana rumah yang penuh tekanan.
Pagi itu, udara Tanah Seribu terasa dingin, dengan embun masih menempel di rumput. Kencana bangun lebih awal, membantu ibunya menyiapkan sarapan—nasi uduk dengan ikan asin yang menjadi favorit keluarga. Di dapur, Lestari bekerja dengan tangan lincah, tapi wajahnya pucat, seolah memikul beban yang tak terlihat. “Ken,” panggil Lestari pelan, “jaga adikmu hari ini. Ayah bilang mau ke kota sama Widya.”
Kencana menatap ibunya, merasakan tusukan kecil di hatinya. “Lagi, Bu? Kenapa nggak ajak aku atau Bagas?”
Lestari menghela napas, matanya menghindari tatapan putrinya. “Ayah punya urusan, Nak. Jangan tanya banyak.”
Hati Kencana bergetar. Ia tahu “urusan” itu sering kali berarti Darmo dan Widya pergi bersama, meninggalkan Lestari sendirian di rumah. Ketika Darmo dan Widya akhirnya keluar rumah dengan pakaian rapi—Darmo dengan kemeja kotak-kotak dan Widya dengan kain batik yang baru—Kencana hanya bisa menunduk, merasa ada sesuatu yang salah. Widya tersenyum kecil padanya, tapi senyum itu terasa hambar, seolah ia juga merasa bersalah.
Hari itu berlalu dengan sunyi. Lestari duduk di beranda, menjahit pakaian lama Bagas, sementara Kencana membantu Sariyani mengerjakan PR sekolah. Bagas pergi ke ladang, menghindari suasana tegang di rumah. Malam tiba, tetapi Darmo dan Widya belum kembali. Lestari mulai gelisah, berjalan mondar-mandir di ruang tamu, memandang jam dinding yang bergerak lambat. Kencana mendekatinya, memegang tangan ibunya yang dingin. “Bu, nggak apa-apa. Mungkin Ayah lagi sibuk.”
Tapi Lestari hanya menggeleng, air mata mulai mengalir. “Aku tahu, Ken. Aku tahu dia nggak akan balik.”
Kata-kata itu seperti petir bagi Kencana. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi pintu terbuka, dan Darmo masuk dengan wajah pucat, sendirian. “Di mana Widya, Pak?” tanya Kencana, suaranya bergetar.
Darmo menunduk, suaranya parau. “Dia… dia pergi. Bilang nggak tahan lagi sama hidup begini. Dia ambil Sariyani dan pergi ke kota.”
Ruangan itu menjadi sunyi. Lestari menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak tangis, sementara Kencana merasa dunia di sekitarnya runtuh. Poligami yang selama ini mereka jalani ternyata menyimpan luka yang terlalu dalam, dan kepergian Widya menjadi bukti bahwa cinta dan pengorbanan tidak selalu bisa menyatukan.
Malam itu, Kencana duduk di kamarnya, menatap langit gelap melalui jendela. Ia merasa kehilangan—bukan hanya Widya dan Sariyani, tetapi juga bagian dari keluarganya yang kini hancur. Dalam hati, ia berjanji untuk mencari tahu kebenaran di balik kepergian itu, meski ia tahu itu akan membawa lebih banyak air mata.
Jejak yang Hilang
Setelah kepergian Widya dan Sariyani, suasana di rumah Keluarga Wirasena menjadi semakin hampa. Tahun 2024 di Tanah Seribu terasa lebih dingin, seolah langit turut berduka atas perpisahan yang menyisakan luka. Darmo Wirasena tampak tua dalam semalam, rambutnya yang hitam mulai bercampur uban, dan matanya kosong setiap kali ia duduk di beranda, menatap sawah yang dulu ia garap dengan semangat. Lestari, meski lega karena tidak lagi berbagi suami, tetap terlihat rapuh, sering duduk di sudut rumah sambil memandangi foto keluarga lama yang kini hanya menyisakan tiga wajah—dia, Darmo, dan Kencana—dengan Bagas yang masih kecil di pangkuannya.
Kencana, yang kini menjadi tulang punggung emosional keluarga, merasa beban bertambah berat. Ia sering terjaga di malam hari, memikirkan Sariyani, adik tirinya yang tiba-tiba lenyap dari hidupnya. Meski hubungan mereka tidak selalu harmonis—Sariyani sering merasa canggung sebagai anak tiri—Kencana tetap menyayanginya. Bagas, adiknya, mulai menarik diri, menghabiskan lebih banyak waktu di ladang atau di sungai, menghindari percakapan tentang kepergian Widya. Rumah itu kini terasa seperti cangkang kosong, penuh dengan kenangan yang menyakitkan.
Suatu hari, Kencana menemukan sebuah amplop tua di laci meja ibunya, terselip di antara kain perca yang biasa dijahit Lestari. Amplop itu lusuh, dengan tulisan tangan Widya di bagian depan: “Untuk Kencana, jika aku pergi.” Dengan jantung berdegup kencang, Kencana membukanya dan menemukan surat yang ditulis dengan tinta hitam yang sedikit luntur. Surat itu berbunyi:
“Kencana,
Maafkan aku. Aku tahu aku masuk ke hidup kalian dengan membawa luka. Aku mencintai ayahmu, tapi aku nggak tahan lagi sama tatapan ibumu, sama perasaan bersalah setiap hari. Aku ambil Sariyani karena dia butuh ibunya. Kami pergi ke kota—cari hidup baru. Jangan cari aku, tapi jika suatu hari kau butuh tahu kenapa, datanglah ke pasar Senin di Bandung. Aku tinggalkan petunjuk di sana. Maafkan aku, Kencana.
Widya.”
Kencana membaca surat itu berulang-ulang, air matanya jatuh di atas kertas. Ia merasa campur aduk—marah pada Widya yang pergi tanpa pamit, sedih karena kehilangan Sariyani, dan bingung dengan petunjuk yang ditinggalkan. Ia menyimpan surat itu di saku bajunya, bertekad untuk mencari tahu lebih banyak. Malam itu, ia mendekati ibunya yang sedang duduk di beranda, menjahit dengan tangan gemetar.
“Bu,” panggil Kencana pelan, “Aku nemu surat dari Widya. Dia bilang pergi ke Bandung. Apa Ibu tahu sesuatu?”
Lestari menunduk, tangannya berhenti bergerak. “Aku tahu dia nggak bahagia, Ken. Tapi aku nggak nyangka dia pergi begitu. Ayahmu… dia terlalu keras kepala. Poligami ini merusak kita semua.”
Kencana memeluk ibunya, merasa air mata ibunya membasahi pundaknya. “Aku mau cari mereka, Bu. Aku harus tahu kenapa.”
Lestari menggeleng, tapi tidak melarang. “Hati-hati, Nak. Jangan biarkan luka ini bikin kamu tersesat.”
Keesokan harinya, Kencana memutuskan untuk pergi ke Bandung, membawa sedikit uang tabungannya dan surat itu sebagai panduan. Ia meminta Bagas untuk menjaga ibu dan ayahnya, meski adiknya hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Perjalanan menuju Bandung memakan waktu seharian, naik angkot tua yang berderit-derit di jalan desa yang rusak. Ketika sampai di pasar Senin, Kencana merasa kewalahan dengan keramaian— pedagang berteriak menawarkan barang, aroma makanan bercampur dengan asap knalpot.
Ia berjalan perlahan, mencari petunjuk yang disebut Widya. Di sudut pasar, ia melihat sebuah kios kecil yang menjual kain batik, dan di meja kios itu ada sebuah kotak kayu dengan ukiran sederhana. Di dalam kotak, terselip sebuah kartu kecil dengan tulisan tangan Widya: “Cari rumah tua di Jalan Cendana. Tanyakan pada Pak Joko.” Kencana merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tahu ini adalah langkah pertama menuju kebenaran, tapi ia juga takut akan apa yang akan ditemukannya.
Malam itu, Kencana menginap di sebuah losmen murah, memandang langit kota yang penuh lampu. Dalam tidurnya, ia bermimpi tentang Widya dan Sariyani, berdiri di kejauhan, menatapnya dengan mata penuh penyesalan. Ketika ia terbangun, ia merasa lebih yakin—ia harus melanjutkan pencariannya, meski itu berarti menghadapi luka yang lebih dalam dari poligami yang menghancurkan keluarganya.
Bayang di Jalan Cendana
Pagi di Bandung menyambut Kencana Wirasena dengan udara segar yang bercampur aroma kopi dari warung-warung kecil di sekitar pasar Senin. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, dan sinar matahari mulai menyelinap di antara gedung-gedung tua yang berdiri kokoh di sepanjang jalan. Kencana, dengan tas kain lusuh di bahu dan kartu petunjuk dari Widya di tangan, merasa campur aduk—antara harap dan takut. Perjalanan dari Tanah Seribu kemarin telah menguras tenaganya, tapi semangatnya untuk menemukan Widya dan Sariyani tetap membara. Kartu itu menyebutkan “rumah tua di Jalan Cendana” dan nama “Pak Joko,” dan itu adalah satu-satunya petunjuk yang ia miliki.
Kencana bertanya pada beberapa pedagang di pasar tentang Jalan Cendana, dan setelah beberapa kali tersesat, ia akhirnya sampai di sebuah gang sempit yang dipenuhi pohon-pohon rindang. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tampak tua, dengan cat yang mengelupas dan genteng yang retak, namun ada pesona tersendiri dalam kesederhanaannya. Ia berjalan perlahan, memeriksa setiap rumah, hingga ia menemukan sebuah rumah kayu dengan pintu depan yang sedikit terbuka. Di depan rumah, seorang pria tua berusia sekitar enam puluh tahun sedang duduk di kursi bambu, merokok pipa kayu. Wajahnya penuh kerutan, tapi matanya tajam, seolah bisa membaca pikiran.
“Permen, Pak?” tanya Kencana dengan ragu, mengutip kata-kata dari kartu itu sebagai kode.
Pria tua itu menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Masuklah, anak muda. Aku Pak Joko. Aku tahu kamu cari seseorang.”
Kencana masuk ke dalam rumah, yang ternyata lebih luas dari yang ia kira, dengan perabot sederhana dan aroma kayu bakar yang hangat. Pak Joko menawarinya kursi, lalu duduk di hadapannya, meniup asap pipanya. “Widya bilang ada anak desa yang mungkin datang. Katanya, kamu anak perempuan tertua Darmo, ya?”
Kencana mengangguk, jantungnya berdegup kencang. “Iya, Pak. Dia sama Sariyani pergi tanpa pamit. Aku cuma mau tahu kenapa, dan apa mereka baik-baik saja.”
Pak Joko menghela napas panjang, matanya menatap ke kejauhan. “Widya datang ke sini dua minggu lalu, bawa Sariyani. Dia bilang nggak tahan lagi sama poligami itu. Dia merasa seperti bayangan di rumahmu, nggak pernah diterima sepenuhnya. Aku bantu dia cari tempat tinggal—sebuah rumah kontrakan di ujung gang ini. Tapi kemarin, dia bilang mau pergi lagi, ke tempat yang lebih jauh. Bilang nggak mau ketemu siapa pun dari desa.”
Kencana terdiam, merasa air mata mengumpul di matanya. Ia ingin marah pada Widya, tapi juga merasa bersalah karena mungkin keluarganya tidak cukup ramah. “Dia tinggalkan apa-apa buat aku, Pak?”
Pak Joko bangkit, lalu mengambil sebuah kotak kecil dari laci meja. Di dalamnya, ada surat lain dan sebuah kalung sederhana dengan liontin berbentuk bunga. Surat itu ditulis dengan tangan gemetar Widya: “Kencana, aku pergi ke Surabaya. Ini kalung ibumu yang pernah aku pinjem. Maafkan aku atas semua ini. Jaga keluargamu. Widya.” Kencana memegang kalung itu, mengenali pola bunga yang pernah ia lihat di leher ibunya, Lestari, sebelum Widya datang.
Malam itu, Kencana menginap di rumah Pak Joko, memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Ia menulis surat untuk ibunya, menjelaskan situasinya, dan meminta Pak Joko mengirimkannya ke Tanah Seribu. Perjalanan ke Surabaya memakan waktu dua hari, naik bus tua yang penuh dengan penumpang berisik. Ketika sampai, ia merasa lelah, tapi tekadnya tetap kuat. Ia bertanya di terminal bus tentang Widya, menunjukkan deskripsi wajahnya, hingga seorang pedagang makanan kecil mengenalinya. “Iya, ada wanita sama anak perempuan tinggal di dekat pasar Kranggan. Tapi kemarin aku denger mereka pindah lagi,” kata pedagang itu.
Kencana berjalan ke arah pasar Kranggan, sebuah tempat ramai dengan aroma ikan asin dan sayuran segar. Di sebuah gang sempit, ia menemukan rumah kontrakan yang kosong, dengan jejak-jejak kepergian—sebuah boneka kecil Sariyani yang tergeletak di lantai. Hatinya hancur melihat itu, merasa kehilangan semakin dalam. Ia duduk di ambang pintu, menangis, memegang kalung itu erat-erat. Dalam tidurnya, ia melihat Widya dan Sariyani berdiri di kejauhan, menatapnya dengan mata penuh penyesalan, sebelum lenyap dalam kabut.
Keesokan harinya, Kencana memutuskan untuk kembali ke Tanah Seribu, membawa kalung itu sebagai bukti perjalanannya. Ia tahu ia tidak akan menemukan Widya dan Sariyani, tapi ia juga tahu bahwa poligami ini telah meninggalkan luka yang tak bisa disembuhkan dengan mudah.
Luka yang Tetap Ada
Kembali ke Tanah Seribu setelah perjalanan panjang ke Bandung dan Surabaya, Kencana Wirasena merasa seperti orang yang berbeda. Udara desa yang dulu terasa hangat kini terasa dingin, dan rumah kayu Keluarga Wirasena tampak lebih tua, lebih rapuh. Ia tiba di sore hari, membawa kalung milik ibunya yang ditinggalkan Widya, serta hati yang penuh dengan luka dan kelelahan. Darmo, Lestari, dan Bagas menunggunya di beranda, wajah mereka penuh pertanyaan dan kekhawatiran.
“Ken, kamu baik-baik saja?” tanya Lestari, suaranya lembut tapi penuh rasa bersalah. Ia memeluk putrinya erat, seolah takut kehilangan lagi.
Kencana mengangguk, tapi matanya kosong. Ia mengeluarkan kalung itu dari tasnya, menyerahkannya pada ibunya. “Ini dari Widya, Bu. Dia tinggalin buat Ibu. Aku nggak ketemu dia sama Sariyani. Mereka pergi lagi ke tempat yang nggak aku tahu.”
Darmo menunduk, tangannya gemetar memegang cangkir teh. “Aku salah, Ken. Aku pikir poligami bisa bikin keluarga ini lengkap. Tapi aku cuma bikin luka.”
Kencana duduk di kursi bambu, menceritakan perjalanannya—dari petunjuk di pasar Senin, pertemuan dengan Pak Joko, hingga jejak yang hilang di Surabaya. Ia menangis saat mengingat boneka Sariyani yang ditinggalkan, merasa kehilangan adik tirinya yang tak pernah benar-benar dekat dengannya. Lestari memeluknya lagi, air mata ibunya membasahi pundaknya. “Maafkan Ibu, Ken. Aku terlalu diam, terlalu sakit hati, sampai nggak lihat kamu juga terluka.”
Bagas, yang selama ini pendiam, akhirnya bicara. “Aku juga salah, Kak. Aku cuma lari, nggak bantu apa-apa. Maafin aku.”
Malam itu, keluarga itu duduk bersama, mencoba menyatukan potongan-potongan hati yang hancur. Darmo mengakui kesalahannya, berjanji untuk tidak lagi memikirkan poligami, dan meminta maaf pada Lestari yang selama ini menahan air mata. Lestari, meski masih terluka, menerima permintaan maaf itu, tapi ia tahu bekas luka itu akan tetap ada. Kencana, dengan hati yang berat, memutuskan untuk menjadi penutup luka keluarga, meski ia sendiri belum sembuh dari kehilangan Sariyani.
Hari-hari berikutnya, Tanah Seribu kembali damai, tapi suasana rumah Wirasena tidak lagi sama. Kencana sering duduk di beranda, menatap sawah, memikirkan Widya dan Sariyani yang kini jauh. Ia menulis surat untuk mereka, meski tahu surat itu mungkin tak pernah sampai, hanya sebagai cara untuk melepaskan rasa sakitnya. Bagas mulai membantu ayahnya di ladang lagi, mencoba membangun kembali hubungan yang sempat renggang. Lestari, perlahan-lahan, mulai tersenyum lagi, meski senyumnya penuh kenangan.
Suatu hari, sebuah surat misterius tiba di rumah, tanpa nama pengirim. Di dalamnya, ada foto Sariyani yang tersenyum di depan sebuah pasar, dengan catatan singkat: “Kami baik-baik saja. Terima kasih, Kencana.” Kencana menangis membaca itu, merasa lega sekaligus sedih. Ia tahu ia tidak akan pernah bertemu mereka lagi, tapi setidaknya ia bisa menutup satu bab luka dalam hidupnya.
Tahun berlalu, dan Keluarga Wirasena belajar hidup dengan luka poligami itu. Kencana tumbuh menjadi wanita kuat, menikah dan membangun keluarganya sendiri, tapi ia selalu menyimpan kalung ibunya sebagai pengingat akan perjalanan panjangnya. Darmo dan Lestari menua bersama, saling menyokong meski bekas luka tetap terasa. Poligami yang pernah mereka jalani menjadi pelajaran pahit, mengajarkan mereka bahwa cinta sejati tidak selalu tentang memiliki, tapi tentang melepaskan dengan hati yang tulus.
Di malam yang tenang, Kencana sering berdiri di beranda, menatap langit berbintang, mengenang Widya dan Sariyani yang kini hanya bayangan di hatinya. Luka itu tetap ada, tapi ia belajar menerimanya, menjadikannya bagian dari dirinya yang lebih kuat.
Cerpen Poligami dan Luka Perpisahan di Desa Terlupakan adalah refleksi mendalam tentang dampak poligami yang membawa luka mendalam namun juga kekuatan untuk bangkit. Dengan narasi yang memikat dan karakter yang relatable, kisah ini mengajarkan nilai pengampunan dan ketahanan hati. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan emosi yang kuat dari cerita ini dan temukan inspirasi dalam setiap halamannya!
Terima kasih telah menyelami ulasan tentang Poligami dan Luka Perpisahan di Desa Terlupakan. Semoga cerita ini membawa Anda pada perenungan yang bermakna. Sampai jumpa di artikel menarik berikutnya, dan terus nikmati petualangan membaca yang menyentuh jiwa!


