Daftar Isi
Temukan kisah mendalam dan penuh emosi dalam Pilih Kasih Ibu: Rahasia di Balik Cinta yang Terbelah, sebuah cerpen mengharukan yang menggambarkan perjuangan keluarga Miralith Veyra dan anak-anaknya—Kaelvor, Lysmera, dan Tavira—di desa Lirveth, di mana pilih kasih ibu terhadap anak laki-laki mengguncang ikatan keluarga. Dengan alur cerita yang kaya detail, konflik emosional yang menyentuh, dan perjalanan menuju penyembuhan, cerpen ini menawarkan refleksi tentang cinta, tradisi, dan keadilan. Cocok untuk pembaca yang menyukai narasi keluarga dengan pesan inspiratif!
Pilih Kasih Ibu
Bayang di Balik Kehangatan
Di tahun 2024, di sebuah desa terpencil bernama Lirveth yang dikelilingi oleh ladang padi hijau dan sungai kecil yang berkilauan, hiduplah sebuah keluarga sederhana yang dipimpin oleh seorang ibu bernama Miralith Veyra. Miralith adalah wanita paruh baya dengan rambut hitam yang mulai diselimuti uban, matanya cokelat tua yang penuh cerita, dan tangannya kasar akibat bertahun-tahun bekerja di ladang. Ia adalah janda yang membesarkan tiga anaknya sendirian setelah kehilangan suaminya, Jorveth, dalam kecelakaan tragis di sungai delapan tahun lalu. Anak-anaknya adalah kebanggaan dan beban hidupnya: Kaelvor, anak sulung laki-laki berusia 18 tahun; Lysmera, anak kedua perempuan berusia 16 tahun; dan Tavira, anak bungsu perempuan berusia 14 tahun.
Kaelvor adalah anak pertama, tinggi dengan bahu lebar dan rambut cokelat yang diwarisi dari ayahnya, serta mata tajam yang mencerminkan ambisi. Ia selalu menjadi favorit Miralith, bukan hanya karena ia laki-laki—satu-satunya waris laki-laki dalam keluarga yang menurut tradisi desa dianggap sebagai penyangga masa depan—tapi juga karena ia menyerupai Jorveth dalam sikap dan penampilannya. Miralith sering memberikan perhatian khusus kepadanya: pakaian terbaik dari kain yang ia jahit sendiri, makanan paling lezat disisihkan untuknya, dan nasihat panjang tentang bagaimana menjadi pemimpin keluarga. Lysmera dan Tavira, meski dicintai, sering kali merasa seperti bayangan di belakang kakak mereka.
Malam itu, suasana di rumah bambu kecil mereka tegang. Cahaya lampu minyak temaram menerangi ruangan sederhana yang dipenuhi aroma nasi hangat dan ikan bakar. Miralith duduk di meja kayu tua, menjahit pakaian baru untuk Kaelvor yang akan digunakan saat festival desa minggu depan. Lysmera, dengan rambut panjang cokelat tergerai dan mata cokelat lembut yang sering menyimpan kesedihan, mencuci piring di sudut dapur, sementara Tavira, yang lebih pendiam dengan rambut hitam sebahu dan mata besar penuh rasa ingin tahu, menyapu lantai. Keduanya bekerja tanpa banyak bicara, tapi tatapan mereka sesekali bertemu, saling memahami rasa tidak adil yang tak pernah mereka ungkapkan.
“Kaelvor, datanglah ke sini,” panggil Miralith dengan suara lembut yang jarang ia gunakan untuk anak-anak perempuannya. Kaelvor, yang sedang membaca buku tua milik ayahnya di sudut ruangan, bangkit dan mendekat dengan senyum kecil. Miralith menyodorkan pakaian yang baru selesai dijahit, sebuah tunik biru tua dengan bordir rumit di tepinya. “Ini untukmu. Pastikan kau tampil terbaik di festival. Kau adalah harapan keluarga ini,” katanya, matanya berbinar penuh kebanggaan.
Lysmera berhenti mencuci, tangannya masih terendam air sabun, dan menatap ke arah mereka dengan ekspresi datar. Tavira, yang menyapu di dekat pintu, menunduk lebih dalam, menyembunyikan wajahnya yang memerah. Kaelvor mengangguk, mengucapkan terima kasih dengan nada sopan, tapi ia tidak sepenuhnya nyaman dengan perhatian berlebih itu. Ia tahu adik-adiknya sering merasa tersisih, dan meski ia tidak meminta perlakuan istimewa, ia juga tidak pernah menolaknya—mungkin karena rasa bersalah, mungkin karena ia terbiasa.
Setelah Kaelvor kembali ke sudutnya, Lysmera akhirnya berbicara, suaranya pelan namun penuh nada protes. “Ibu, kenapa aku dan Tavira tidak pernah dapat pakaian baru? Aku sudah pakai gaun yang sama selama dua tahun, dan itu mulai robek di bagian lengan.” Miralith menoleh, alisnya mengerut. “Lysmera, jangan rewel. Kaelvor butuh penampilan baik untuk masa depannya. Kau dan Tavira bisa menunggu. Lagipula, perempuan tidak perlu terlalu menonjol di desa ini.”
Kata-kata itu seperti sengatan bagi Lysmera. Ia menunduk, air mata menggenang di matanya, tapi ia menahannya. Tavira, yang mendengar percakapan itu, melempar sapu ke sudut dengan gerakan kecil namun penuh emosi, lalu berlari ke kamar kecil yang mereka bagikan. Miralith hanya menghela napas, seolah menganggap reaksi anak-anaknya sebagai hal biasa, dan melanjutkan menjahit.
Malam itu, setelah Miralith tertidur, Lysmera dan Tavira duduk di ranjang sederhana mereka, berbisik di bawah selimut. “Aku muak, Lys,” kata Tavira, suaranya gemetar. “Kenapa Ibu selalu memilih Kaelvor? Apa kami tidak cukup baik karena kami perempuan?” Lysmera memeluk adiknya, merasakan getaran tubuhnya. “Aku juga tidak mengerti, Tav. Tapi kita harus kuat. Mungkin suatu hari Ibu akan melihat kami juga.”
Kaelvor, yang mendengar bisikan itu dari ruang sebelah, merasa sesak di dadanya. Ia ingin bicara dengan mereka, tapi apa yang bisa ia katakan? Ia tidak bisa mengubah cara Miralith memandangnya, dan ia takut jika ia menolak perhatian itu, ibunya akan tersinggung. Malam itu, ia memutuskan untuk diam, membiarkan rasa bersalahnya tumbuh di dalam hati.
Hari-hari berikutnya, ketegangan di rumah semakin terasa. Miralith terus memanjakan Kaelvor, membawakan makanan tambahan untuknya saat makan malam, sementara Lysmera dan Tavira hanya mendapatkan sisa. Saat festival tiba, Kaelvor tampil menonjol dengan tunik barunya, menerima pujian dari tetangga, sementara Lysmera dan Tavira hanya berdiri di belakang, mengenakan pakaian lusuh yang membuat mereka merasa seperti pengemis. Miralith tersenyum bangga, tapi tatapan Lysmera dan Tavira penuh luka yang tak terucap.
Suatu malam, setelah festival, Lysmera menemukan buku harian tua milik Jorveth di bawah ranjang ayahnya. Di dalamnya, ia menemukan catatan yang membuat hatinya bergetar: “Miralith, cintailah ketiga anak kita dengan adil. Jangan biarkan gender memisahkan hati kita.” Lysmera menatap halaman itu dengan air mata, merasa ada harapan kecil bahwa ibunya bisa berubah. Ia memutuskan untuk menyimpan buku itu, berencana menunjukkannya pada Miralith suatu hari nanti, meski ia tahu itu akan menjadi pertarungan emosional yang berat.
Sementara itu, Kaelvor mulai merasa tertekan oleh peran yang diberikan ibunya. Ia ingin membuktikan dirinya bukan hanya sebagai anak laki-laki yang diistimewakan, tapi juga sebagai saudara yang peduli. Ia mulai membantu Lysmera dan Tavira dalam pekerjaan rumah, meski Miralith sering memarahinya karena itu. “Kau tidak perlu melakukan itu, Kaelvor. Itu tugas mereka,” katanya tajam, tapi Kaelvor hanya tersenyum kecil, berusaha menjembatani jurang yang semakin lebar.
Tapi di balik semua itu, Miralith sendiri menyimpan luka yang tak pernah ia ungkapkan. Setiap malam, ia menatap foto Jorveth di dinding, mengingat janji suaminya untuk membesarkan keluarga dengan cinta yang setara. Ia tahu ia gagal, tapi tradisi desa dan ketakutan kehilangan anak laki-lakinya seperti kehilangan Jorveth membuatnya terjebak dalam pola pilih kasih yang ia ciptakan sendiri. Di dalam hatinya, ia menangis, tapi di depan anak-anaknya, ia tetap teguh dengan pilihan yang menyakiti.
Retaknya Hati
Hari-hari di Lirveth berlalu dengan ritme yang sama, namun ketegangan di dalam rumah bambu Miralith semakin membesar seperti awan badai yang menggelinding. Pagi itu, sinar matahari menerobos celah-celah dinding, menerangi ruangan sederhana yang dipenuhi aroma teh jahe yang diseduh Miralith. Kaelvor duduk di meja, menikmati sepiring nasi hangat dengan telur ceplok—hidangan yang selalu disisihkan untuknya—sementara Lysmera dan Tavira hanya mendapat nasi polos dengan sedikit sayuran rebus. Suasana hening, hanya diisi oleh suara sendok yang bergesekan dengan piring.
Lysmera, yang kini mengenakan gaun robek yang ia perbaiki sendiri dengan jahitan kasar, menatap piringnya dengan ekspresi kosong. Tavira, di sampingnya, memainkan nasi dengan sendoknya, matanya sesekali melirik ke arah Kaelvor yang tampak tidak nyaman. “Ibu, bisakah aku dan Tavira juga dapat telur hari ini?” tanya Lysmera akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. Miralith, yang sedang mengaduk teh di kompor tanah liat, berhenti sejenak, lalu menoleh dengan alis mengerut. “Lysmera, jangan minta-minta. Kaelvor butuh energi lebih karena ia akan membantu di sawah hari ini. Kau dan Tavira cukup dengan yang ada.”
Tavira meletakkan sendoknya dengan bunyi kecil, matanya memerah. “Tapi kami juga bekerja, Ibu. Aku membantu mengambil air dari sumur setiap hari, dan Lysmera menjahit untuk tetangga. Mengapa kami tidak pernah cukup baik?” Suaranya bergetar, dan sebelum Miralith bisa menjawab, ia berlari keluar rumah, meninggalkan pintu terbuka lebar. Lysmera menatap ibunya dengan tatapan penuh luka, lalu mengikuti adiknya, meninggalkan Kaelvor dan Miralith dalam keheningan yang mematung.
Miralith menghela napas panjang, tangannya gemetar saat ia meletakkan sendok di meja. “Mereka tidak mengerti,” gumamnya pada dirinya sendiri, tapi ada nada keraguan dalam suaranya. Kaelvor menunduk, merasa bersalah karena diam saja. “Ibu, mungkin mereka benar,” katanya pelan. “Aku tidak ingin mereka merasa seperti ini. Aku bisa berbagi telur dengan mereka.” Miralith menatapnya dengan ekspresi campur aduk—keheranan dan sedikit marah. “Kaelvor, kau anak laki-laki. Tanggung jawabmu lebih besar. Jangan lemah seperti ini,” katanya tegas, tapi matanya menunjukkan tanda-tanda keraguan.
Sementara itu, di luar rumah, Lysmera menemukan Tavira duduk di bawah pohon mangga tua di halaman belakang, menangis tersedu. “Tav, jangan begitu,” kata Lysmera, memeluk adiknya. “Kita harus kuat. Aku punya rencana.” Ia mengeluarkan buku harian Jorveth dari balik gaunnya, menunjukkan catatan yang ia temukan. Tavira membaca dengan mata berair, lalu menatap kakaknya. “Kita harus tunjukkan ini pada Ibu. Mungkin ia akan berubah,” katanya, meski suaranya penuh ketidakpastian.
Malam itu, setelah Kaelvor pergi membantu tetangga di sawah, Lysmera dan Tavira mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan Miralith. Mereka masuk ke ruangan ibunya, di mana Miralith sedang menjahit lagi, kali ini untuk memperbaiki pakaian lusuh Lysmera. “Ibu, kami ingin bicara,” kata Lysmera, tangannya gemetar saat ia memegang buku harian itu. Miralith menoleh, alisnya terangkat. “Apa lagi ini?” tanyanya, suaranya sedikit kesal.
Lysmera menyerahkan buku harian itu, membuka halaman dengan catatan Jorveth. Miralith membaca perlahan, matanya melebar seiring setiap kata yang ia serap. Wajahnya memucat, dan tangannya yang memegang buku itu bergetar. “Di mana kau dapatkan ini?” tanyanya, suaranya hampir seperti bisikan. “Dari ranjang Ayah,” jawab Lysmera. “Ibu, Ayah ingin kita dicintai dengan adil. Mengapa kau tidak bisa melihat kami seperti kau melihat Kaelvor?”
Miralith terdiam, matanya dipenuhi air mata yang ia coba tahan. Tavira melangkah maju, suaranya kecil tapi penuh emosi. “Kami juga anakmu, Ibu. Kami ingin merasa dicintai, bukan hanya sebagai penutup.” Untuk pertama kalinya, Miralith tidak memiliki jawaban. Ia menatap buku harian itu, mengingat wajah Jorveth yang tersenyum lembut, dan rasa bersalah mulai merayap di hatinya. Tapi tradisi desa yang mengagungkan anak laki-laki masih mengakar kuat, membuatnya terjebak dalam dilema yang menyiksa.
Keesokan harinya, Miralith mencoba mengubah kebiasaannya. Ia memasak telur untuk ketiga anaknya, meski dengan ekspresi canggung, dan memberikan pakaian yang ia jahit untuk Lysmera dan Tavira—meski kualitasnya tidak sebaik yang untuk Kaelvor. Lysmera dan Tavira tersenyum tipis, merasa ada harapan kecil, tapi mereka tahu perubahan ini tidak akan instan. Kaelvor, yang menyadari usaha ibunya, membantu dengan senang hati, membawa air dan kayu bakar untuk adik-adiknya, mencoba menebus rasa bersalahnya.
Namun, perubahan itu tidak diterima semua orang di desa. Tetangga mulai berbisik, menganggap Miralith lemah karena “merendahkan” status Kaelvor dengan memperhatikan anak perempuannya. Tekanan sosial itu membuat Miralith kembali ke kebiasaan lamanya, meski dengan hati yang semakin berat. Suatu malam, ia duduk sendirian di depan perapian, menatap foto Jorveth, dan menangis diam-diam. “Maafkan aku, Jorveth. Aku tidak tahu bagaimana melakukannya dengan benar,” bisiknya, air matanya jatuh ke lantai.
Lysmera, yang kebetulan mendengar, merasa campur aduk. Ia ingin memeluk ibunya, tapi juga marah karena perubahan yang tak kunjung tuntas. Tavira, yang lebih polos, mulai menjauh dari Miralith, menghabiskan waktu di ladang sendirian. Kaelvor, di sisi lain, semakin tertekan, merasa seperti beban yang memisahkan keluarganya. Ia mulai merencanakan cara untuk membuktikan bahwa ia bisa menjadi saudara yang setara, bukan hanya anak pilihan.
Konflik mencapai puncaknya saat festival kedua diadakan. Miralith kembali menyiapkan tunik baru untuk Kaelvor, tapi kali ini Lysmera dan Tavira menolak ikut. “Kami tidak akan datang jika kami tetap diabaikan,” kata Lysmera tegas, diikuti anggukan Tavira. Miralith terkejut, tapi sebelum ia bisa menjawab, Kaelvor berbicara. “Ibu, jika mereka tidak datang, aku juga tidak. Kita keluarga, bukan?” Kata-kata itu membuat Miralith terdiam, dan untuk pertama kalinya, ia merasa dinding di hatinya mulai retak.
Jeritan dari Hati yang Terluka
Pagi di Lirveth menyambut dengan udara segar yang membawa aroma tanah basah setelah hujan semalaman. Rumah bambu Miralith Veyra berdiri tenang di tepi ladang, namun di dalamnya, ketegangan yang memuncak dari festival sebelumnya masih terasa seperti bayangan yang tak bisa dihapus. Cahaya matahari menyelinap melalui celah-celah dinding, menerangi wajah Miralith yang tampak pucat saat ia menatap tiga anaknya—Kaelvor, Lysmera, dan Tavira—dari kejauhan. Setelah pertentangan terbuka di malam festival, suasana di antara mereka menjadi dingin, seperti musim kemarau yang mengeringkan sungai kecil desa.
Miralith duduk di meja kayu tua, tangannya memegang jarum dan benang, tapi pikirannya jauh. Buku harian Jorveth, yang kini tersimpan di laci meja, terus menghantuinya. Kata-kata suaminya, “Cintailah ketiga anak kita dengan adil,” bergema di benaknya setiap malam, menyiksanya dengan rasa bersalah yang semakin dalam. Ia tahu Lysmera dan Tavira merasa tersisih, dan Kaelvor mulai menunjukkan tanda-tanda pemberontakan halus dengan menolak perhatian berlebihnya. Tapi tradisi desa yang mengagungkan anak laki-laki sebagai tulang punggung keluarga masih mengakar kuat dalam pikirannya, membuatnya terjebak dalam dilema yang menyiksa.
Di sudut ruangan, Kaelvor sedang mengasah pisau kecil yang ia gunakan untuk memotong kayu, wajahnya serius namun penuh keraguan. Lysmera, dengan gaun robek yang ia perbaiki sendiri, duduk di ambang pintu, menatap ladang padi yang bergoyang tertiup angin, sementara Tavira berdiri di dekat sumur, mengambil air dengan gerakan mekanis, matanya kosong. Ketiganya, meski bersama, terasa terpisah oleh dinding emosi yang tak terucap.
“Ibu, aku akan ke sawah membantu Pak Renthis hari ini,” kata Kaelvor, memecah keheningan. Suaranya datar, tapi ada nada ketegasan yang baru. Miralith mengangguk, tapi sebelum ia bisa menjawab, Lysmera berbicara. “Dan kami? Apa yang harus kami lakukan selain membersihkan rumah dan menjahit pakaianmu, Kaelvor?” Nada sarkastiknya membuat Miralith menoleh tajam. “Lysmera, cukup! Jangan memulai lagi,” katanya, suaranya meninggi.
Tavira meletakkan ember air dengan bunyi keras, air tumpah ke tanah. “Tidak adil, Ibu! Kami juga ingin punya waktu untuk diri kami sendiri, bukan hanya bekerja untuk Kaelvor!” jeritnya, matanya memerah. Miralith berdiri, wajahnya memucat. “Kalian tidak mengerti! Kaelvor adalah harapan kami. Kalian perempuan, kalian akan menikah dan pergi. Ia yang akan tetap di sini!” kata-kata itu keluar dengan cepat, tapi segera disesali saat ia melihat ekspresi anak-anaknya.
Lysmera menatap ibunya dengan mata penuh luka. “Jadi kami tidak berarti apa-apa kecuali untuk pergi? Apa yang kau pikirkan tentang perasaan kami, Ibu?” Suaranya bergetar, dan sebelum Miralith bisa menjawab, ia berbalik dan berlari ke ladang, meninggalkan Tavira yang menangis di belakang. Kaelvor melempar pisau ke meja dengan geram, lalu mengikuti Lysmera, meninggalkan Miralith sendirian dengan hening yang menusuk.
Miralith ambruk ke kursi, tangannya menutup wajahnya. Air mata mengalir di pipinya, pertama kali ia menangis sejak kematian Jorveth. Ia mengambil buku harian itu, membukanya dengan gemetar, dan membaca lagi kata-kata suaminya. “Maafkan aku, Jorveth,” bisiknya, suaranya penuh penyesalan. Ia tahu ia harus bertindak, tapi ketakutan akan penolakan dari desa membuatnya ragu.
Sementara itu, di ladang, Lysmera duduk di bawah pohon pisang tua, menangis tersedu. Kaelvor mendekat, duduk di sampingnya dengan ekspresi penuh rasa bersalah. “Aku minta maaf, Lys. Aku tidak pernah ingin ini terjadi,” katanya pelan. Lysmera menatapnya, air matanya masih mengalir. “Bukan salahmu, Kael. Tapi aku lelah. Aku ingin Ibu melihat kami seperti dia melihatmu.” Kaelvor mengangguk, merasa beban di pundaknya semakin berat. “Aku akan bicara dengannya. Kita harus mengubah ini bersama.”
Malam itu, Kaelvor, Lysmera, dan Tavira berkumpul di ruang tengah, menghadap Miralith yang tampak lelah. “Ibu, kita perlu bicara,” kata Kaelvor, suaranya tegas. Miralith menatap ketiga anaknya, hatinya bergetar. Lysmera mengambil buku harian itu dari laci, menyerahkannya kembali pada ibunya. “Baca lagi, Ibu. Ini yang Ayah inginkan,” katanya. Miralith membaca dengan mata berair, dan untuk pertama kalinya, ia merasa dinding di hatinya runtuh.
“Aku salah,” akunya akhirnya, suaranya pecah. “Aku terjebak dalam tradisi dan ketakutan kehilangan kalian seperti aku kehilangan Jorveth. Tapi kalian semua adalah anakku, dan aku akan mencoba mengubah ini.” Janji itu sederhana, tapi penuh makna. Kaelvor mengangguk, Lysmera tersenyum tipis, dan Tavira memeluk ibunya, air mata mereka bercampur dalam pelukan yang pertama kali terasa tulus.
Namun, perubahan tidak datang mudah. Hari berikutnya, Miralith mencoba membagi tugas dan perhatian secara adil—menjahit gaun baru untuk Lysmera dan Tavira, dan memasak makanan yang sama untuk ketiganya. Tapi desa mulai berbisik. Tetangga seperti Nyonya Velith datang, mengomel, “Miralith, kau melemahkan Kaelvor dengan memperlakukan perempuan seperti raja. Ini melanggar adat!” Tekanan itu membuat Miralith ragu, tapi tatapan anak-anaknya memberinya kekuatan untuk bertahan.
Konflik mencapai puncak saat pertemuan desa diadakan. Miralith, didukung Kaelvor, Lysmera, dan Tavira, berdiri di depan warga, menyatakan niatnya untuk mengubah pandangan tradisional. “Anak-anakku sama berharganya, laki-laki maupun perempuan,” katanya, suaranya gemetar tapi penuh keyakinan. Banyak yang protes, tapi beberapa, termasuk Pak Renthis, mendukungnya, membuka celah harapan.
Di rumah, Lysmera dan Tavira mulai merasa dihargai. Kaelvor, meski kehilangan status istimewa, merasa lega karena beban itu berkurang. Tapi Miralith masih berjuang dengan rasa bersalah lama, sering menatap foto Jorveth dengan air mata, berjanji untuk menjadi ibu yang lebih baik. Perubahan itu lambat, tapi langkah pertama telah diambil, dan keluarga itu mulai menyembuhkan luka yang dalam.
Cahaya di Ujung Luka
Musim hujan di Lirveth membawa udara dingin yang menusuk, tapi di dalam rumah bambu Miralith Veyra, ada kehangatan baru yang mulai tumbuh. Bulan-bulan setelah pertemuan desa telah mengubah dinamika keluarga mereka, meski luka lama masih terasa di setiap sudut hati. Pagi itu, sinar matahari menerobos kabut tipis, menerangi meja kayu tempat Miralith menyiapkan sarapan—nasi hangat dengan telur dan sayuran untuk ketiga anaknya, Kaelvor, Lysmera, dan Tavira. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, piring mereka sama, tanpa perbedaan yang menyakitkan.
Kaelvor, kini berusia 19 tahun, duduk dengan tunik sederhana yang ia pilih sendiri, membantu Tavira menuang teh ke cangkir. Lysmera, yang baru saja menyelesaikan gaun barunya dengan bantuan Miralith, tersenyum tipis sambil mengaduk nasi. Tavira, yang semakin percaya diri, bercanda dengan Kaelvor, menciptakan tawa ringan yang jarang terdengar sebelumnya. Miralith menatap mereka dari dapur, matanya lembut namun masih membawa bayang-bayang penyesalan.
Perubahan itu tidak datang tanpa tantangan. Setelah pidato di pertemuan desa, banyak warga menjauh dari Miralith, menganggapnya memberontak terhadap tradisi. Nyonya Velith bahkan menyebarkan rumor bahwa Miralith “mengutuk” keluarganya dengan mengabaikan peran Kaelvor sebagai pewaris laki-laki. Tekanan itu membuat Miralith sering terjaga malam, menatap foto Jorveth dengan air mata, memohon pengampunan. Tapi dukungan dari Pak Renthis dan beberapa tetangga lain, yang mulai melihat nilai dalam kesetaraan, memberinya kekuatan untuk bertahan.
Di ladang, Kaelvor bekerja sama dengan Lysmera dan Tavira, membagi tugas tanpa membedakan gender. Lysmera, yang kini sering membantu tetangga menjahit, mulai mendapatkan penghargaan sendiri, sementara Tavira belajar berenang di sungai, sesuatu yang dulu dilarang Miralith karena dianggap “tidak pantas” untuk perempuan. Kaelvor, meski kehilangan status istimewa, merasa bebas dari beban yang ia benci, dan ia mulai menjalin ikatan yang lebih erat dengan adik-adiknya.
Suatu hari, saat hujan deras mengguyur desa, sebuah banjir kecil melanda Lirveth, merusak sebagian ladang dan rumah. Miralith, Kaelvor, Lysmera, dan Tavira bekerja bersama untuk menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan—mengangkut karung beras, memperbaiki atap bocor, dan membantu tetangga. Dalam kekacauan itu, Miralith tersandung dan jatuh, kakinya terluka parah. Kaelvor ingin membawanya ke dalam, tapi Lysmera bersikeras memimpin, sementara Tavira berlari mencari bantuan. Untuk pertama kalinya, Miralith melihat ketiga anaknya bekerja sebagai satu tim, dan hatinya dipenuhi kebanggaan yang tulus.
Setelah banjir surut, desa mulai berganti pandangan. Pak Renthis, yang menyaksikan kerja sama keluarga Miralith, berbicara di pertemuan berikutnya, mendesak warga untuk menerima perubahan. “Mereka menunjukkan kekuatan keluarga, bukan kelemahan,” katanya, dan perlahan, beberapa warga mulai mendukung. Miralith, yang kini berjalan dengan tongkat karena cedera, merasa beban tradisi lama mulai terlepas dari pundaknya.
Namun, luka emosional tidak hilang begitu saja. Suatu malam, Miralith mengumpulkan ketiga anaknya di depan perapian. Ia mengambil buku harian Jorveth, membukanya, dan membacakan catatan itu dengan suara yang bergetar. “Aku minta maaf,” katanya setelah selesai. “Aku terjebak dalam kesedihan dan tradisi, dan aku melukai kalian. Tapi kalian telah mengajarkanku cinta sejati. Aku janji akan menjadi ibu yang lebih baik.” Air mata mengalir di wajahnya, dan ketiga anaknya memeluknya, menyembuhkan luka yang telah lama terpendam.
Hari-hari berikutnya, Miralith mulai mengajarkan Kaelvor cara menjahit, sementara Lysmera dan Tavira belajar bertani dari tetangga. Mereka membangun rutinitas baru, di mana setiap anak memiliki peran yang dihargai. Kaelvor bahkan mengusulkan untuk menjual hasil kerajinan Lysmera di pasar desa, yang membawa pendapatan tambahan untuk keluarga. Tavira, yang kini lebih percaya diri, mulai mengajar anak-anak tetangga berenang, menciptakan komunitas kecil yang mendukung.
Suatu sore, saat mereka duduk di tepi sungai, Miralith menceritakan kenangan tentang Jorveth—bagaimana ia selalu bermain dengan ketiga anaknya tanpa membedakan, dan bagaimana ia ingin mereka tumbuh dengan cinta yang setara. “Ayah kalian akan bangga,” katanya, matanya berbinar. Kaelvor tersenyum, Lysmera memegang tangan ibunya, dan Tavira bersandar di pundaknya, menciptakan momen damai yang langka.
Tapi kehidupan tidak selalu mulus. Seorang tetangga, yang masih menentang perubahan, mencoba memaksa Kaelvor kembali ke peran tradisional dengan menawarkan pekerjaan eksklusif untuknya. Kaelvor menolak, memilih tetap mendampingi adik-adiknya, dan itu memicu perdebatan sengit di desa. Miralith, meski lelah, berdiri di sisi anak-anaknya, menyatakan bahwa keluarganya adalah satu kesatuan. Perlahan, dukungan tumbuh, dan tradisi lama mulai memudar, digantikan oleh nilai baru yang lebih inklusif.
Tahun berlalu, dan Lirveth berubah. Miralith, meski masih membawa luka, menjadi figur yang dihormati karena keberaniannya mengubah cara pandang. Kaelvor menikah dengan gadis desa yang mendukung kesetaraan, Lysmera membuka usaha jahit yang sukses, dan Tavira menjadi guru renang pertama perempuan di desa. Keluarga itu tetap erat, dan setiap malam, mereka duduk bersama, mengenang Jorveth dengan tawa dan cerita, menjadikan cintanya sebagai cahaya yang menyembuhkan luka masa lalu.
Pilih Kasih Ibu: Rahasia di Balik Cinta yang Terbelah adalah kisah yang membawa pembaca pada perjalanan emosional, mengungkap kekuatan pengampunan dan transformasi dalam menghadapi tradisi yang menyakiti. Kisah Miralith dan anak-anaknya menginspirasi untuk menghargai setiap anggota keluarga dengan cinta yang setara, menawarkan harapan bahwa luka masa lalu dapat disembuhkan melalui keberanian dan kebersamaan. Jangan lewatkan cerpen ini untuk merenungkan makna keluarga sejati!
Terima kasih telah menyelami ulasan Pilih Kasih Ibu: Rahasia di Balik Cinta yang Terbelah! Semoga cerita ini membawa inspirasi dan kehangatan ke dalam hati Anda. Sampai jumpa di petualangan literatur berikutnya, dan tetaplah menjaga cinta dalam keluarga Anda!


