Daftar Isi
Selamat datang dalam perjalanan penuh emosi dan inspirasi dengan Pertama Kali Masuk SMP: Perjalanan Emosi di Ambang Remaja! Cerpen ini mengisahkan Darmawan Santoso, seorang remaja desa yang memulai petualangan pertamanya di SMP, diwarnai dengan rindu, tantangan, dan harapan. Dengan detail yang mengharukan dan alur yang memikat, cerita ini mengajak Anda merasakan perjuangan seorang anak di tengah keterbatasan hidup. Siap terbawa dalam kisah ini? Mari kita mulai!
Pertama Kali Masuk SMP
Pintu Baru di Tengah Ketakutan
Di sebuah desa terpencil bernama Karanganyar, Jawa Timur, pada tahun 2024, pagi yang cerah menyelinap melalui celah-celah jendela bambu di rumah sederhana milik keluarga Darmawan Santoso. Udara segar bercampur aroma kopi yang diseduh ibunya membawa suasana haru bagi Darmawan, seorang anak laki-laki berusia 13 tahun yang hari ini akan memulai petualangan pertamanya di SMP Negeri Karanganyar 01. Dengan rambut hitam yang sedikit berantakan dan mata cokelat yang penuh rasa ingin tahu namun juga gelisah, Darmawan berdiri di depan cermin kecil yang retak, mencoba merapikan seragam SMP pertamanya yang sedikit longgar di pundaknya.
Seragam itu, berwarna putih-biru yang sudah agak pudar karena bekas pakai kakaknya, menjadi simbol harapan bagi keluarga kecil ini. Ayahnya, Pak Harun, seorang petani yang setiap hari berjuang di kebun kopi, hanya bisa tersenyum tipis sambil mengelus kepala Darmawan. “Jadi anak SMP sekarang, ya, Dan. Belajar baik-baik, biar bisa gantiin Bapak nanti,” ujarnya dengan suara parau, tangannya yang kasar penuh bekas goresan dari cabang pohon. Ibunya, Siti Rahayu, sibuk menyiapkan bekal nasi bungkus dengan lauk tempe bacem dan sayur kangkung, matanya sesekali menyapu air mata yang tak bisa disembunyikan. “Jangan lupa doa, Dan. Ini langkah besar buat kamu,” katanya sambil memeluk anaknya erat.
Darmawan adalah anak tengah dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya, Rizal Pratama, sudah bekerja sebagai buruh di pabrik setelah lulus SMA, sementara adiknya, Aisyah Lestari, masih duduk di bangku SD. Keluarga ini hidup dengan penghasilan yang pas-pasan, mengandalkan hasil kebun kopi dan bantuan tetangga saat musim paceklik. Namun, mereka selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk pendidikan Darmawan, yang dianggap sebagai harapan untuk mengangkat derajat keluarga dari kemiskinan. Hari ini adalah momen yang telah lama dinanti, sekaligus menimbulkan rasa campur aduk di hati anak itu.
Dengan tas ransel tua berbahan kain yang diberi oleh tetangga sebagai hadiah ulang tahun, Darmawan melangkah keluar rumah. Tas itu hanya berisi buku tulis bekas pakai kakaknya, pensil tumpul yang sudah diasah berkali-kali, dan sebuah kotak makan yang retak di sudut. Di tangannya, ia menggenggam erat selembar kertas yang berisi nama dan kelasnya: Kelas 7A. Jalan menuju sekolah tidak terlalu jauh, sekitar tiga kilometer, tapi bagi Darmawan, itu terasa seperti perjalanan menuju dunia yang asing dan penuh teka-teki.
Sepanjang jalan, ia berjalan bersama teman sebaya dari desa, seperti Kurnia Wibowo, anak pemilik toko kelontong di ujung kampung, dan Zahra Amalia, gadis kecil yang selalu membawa buku cerita tua. Mereka berbincang dengan riang tentang harapan di SMP, tapi Darmawan hanya mendengarkan sambil sesekali mengangguk. Di dadanya, ada perasaan aneh: campuran antara kegembiraan karena akhirnya melangkah ke jenjang baru dan ketakutan akan hal-hal yang belum ia pahami. Ia pernah mendengar cerita dari kakaknya tentang guru yang ketat dan teman yang suka menggoda anak baru, dan itu membuatnya gelisah sepanjang perjalanan.
SMP Negeri Karanganyar 01 tampak megah di mata Darmawan. Bangunan dua lantai dengan dinding krem yang sudah sedikit mengelupas berdiri di tengah kompleks yang luas, dikelilingi lapangan rumput dan pohon-pohon jati. Suara lonceng dan teriakan anak-anak terdengar dari kejauhan, bercampur dengan bunyi sepeda yang melintas. Darmawan berdiri di gerbang, menatap papan nama sekolah dengan huruf-huruf besar yang sulit ia baca sepenuhnya karena matanya berkunang-kunang karena gugup. Kurnia menarik tangannya, “Ayo, Dan! Kita cari kelas bareng!” ujarnya dengan semangat, sementara Zahra hanya tersenyum kecil sambil memegang bukunya erat.
Di dalam kelas, suasana ramai dengan anak-anak yang saling berkenalan dan mencari tempat duduk. Darmawan memilih bangku di sudut, dekat jendela, menatap meja kayu yang penuh goresan dan tinta. Guru wali kelasnya, Pak Agus, seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal, memasuki kelas dengan senyum ramah. “Selamat datang di Kelas 7A, anak-anak. Mulai hari ini, kalian akan memulai perjalanan baru sebagai remaja,” katanya dengan suara dalam. Darmawan merasa sedikit tenang, tapi ketika Pak Agus meminta setiap anak memperkenalkan diri, jantungnya berdetak kencang. Ia tidak terbiasa berbicara di depan orang banyak, dan keringat dingin mulai membasahi tangannya.
Saat gilirannya tiba, Darmawan berdiri dengan ragu, suaranya hampir tenggelam. “Saya… Darmawan Santoso. Saya dari Karanganyar. Saya suka… main di kebun,” katanya pendek, lalu cepat duduk sambil menunduk. Tawa kecil terdengar dari beberapa teman, tapi Pak Agus segera menenangkan suasana. “Bagus, Darmawan. Semua punya hobi, ya. Nanti kita kenal lebih dalam,” ujarnya, membuat Darmawan sedikit lega. Namun, di dalam hatinya, ia merasa malu dan ingin menghilang.
Hari pertama diisi dengan kegiatan sederhana: mengenal jadwal pelajaran, mengisi buku induk, dan mendengarkan sambutan kepala sekolah melalui pengeras suara. Darmawan menikmati saat mengisi buku dengan huruf-huruf yang ia tulis sepelan mungkin, tapi ia juga merasa asing dengan banyaknya aturan yang harus diikuti. Saat istirahat, ia duduk di sudut lapangan, membuka bekal yang dibawanya. Tempe bacem itu terasa hambar di mulutnya, bukan karena rasanya, tapi karena pikirannya melayang ke rumah. Ia rindu ibunya yang selalu menemaninya bermain di kebun, dan ia mulai menyadari bahwa SMP berarti ia harus berpisah dari kebiasaan lama.
Namun, di tengah kerinduannya, Darmawan menemukan teman baru. Seorang anak laki-laki bernama Farhan Rizky, yang dipanggil Han oleh teman-temannya, mendekatinya dengan senyum lebar. Han, dengan rambut pendek dan gigi depan yang sedikit maju, menawarkan sepotong roti yang dibawanya dari rumah. “Makan bareng, ya? Aku lihat kamu sendirian,” katanya ramah. Darmawan mengangguk pelan, menerima roti itu dengan tangan gemetar. Untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa ada yang menerimanya, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa canggung.
Hari pertama berakhir dengan lonceng yang menggema lagi. Darmawan berjalan pulang dengan langkah lelet, tasnya terasa lebih berat meskipun isinya sama. Di perjalanan, ia bertemu Kurnia dan Zahra lagi, dan mereka berbagi cerita tentang pengalaman masing-masing. Namun, di dalam hatinya, Darmawan merasa ada beban baru. Ia tahu, ini baru permulaan, dan banyak hal menantinya di hari-hari berikutnya. Malam itu, saat ia bercerita pada ibunya, air mata ibunya jatuh lagi. “Kamu besar sekarang, Dan. Ibu bangga,” katanya, membuat Darmawan merasa campur aduk antara bahagia dan sedih yang tak bisa ia ungkapkan sepenuhnya.
Bayang Rindu di Balik Pelajaran
Beberapa minggu berlalu sejak Darmawan Santoso memulai hari pertamanya di SMP Negeri Karanganyar 01, dan desa itu tampaknya mulai terbiasa dengan kehadiran anak-anak baru yang berbondong-bondong ke sekolah setiap pagi. Musim kemarau 2024 membawa panas terik yang menyengat, membuat jalan setapak menuju sekolah berdebu dan kering. Bagi Darmawan, setiap hari terasa seperti petualangan baru yang penuh dengan emosi, dari kegembiraan kecil hingga rasa takut yang kadang muncul tanpa diduga.
Di kelas 7A, Darmawan mulai terbiasa dengan rutinitas harian: membaca teks sederhana, menghitung pecahan, dan menggambar peta sederhana. Pak Agus, dengan kesabarannya, menjadi figur yang menenangkan bagi Darmawan. Guru itu sering memujinya saat ia berhasil menyelesaikan soal matematika dengan benar, meskipun tulisannya masih agak berantakan. “Bagus, Darmawan. Terus latihan, ya,” ujar Pak Agus sambil tersenyum, membuat Darmawan merasa dihargai untuk pertama kalinya di lingkungan baru ini. Namun, di balik pujian itu, ia sering dilanda rindu yang tak bisa ia sembunyikan.
Setiap kali ia duduk di bangku kayu yang sedikit goyang, pikirannya melayang ke rumah. Ia rindu suara ayahnya yang memanggilnya untuk membantu memetik kopi, rindu aroma masakan ibunya yang selalu menghangatkan, dan rindu tawa kakak dan adiknya yang kadang menggoda tapi penuh kasih sayang. Bekal yang ia bawa setiap hari—nasi dengan tempe atau sayur kangkung—selalu diakhiri dengan rasa hambar, bukan karena rasanya, tapi karena ia merasa ada yang hilang. Ia sering menyelinap ke sudut lapangan saat istirahat, membuka foto keluarga yang terselip di buku tulisnya, dan menatap wajah ibunya dengan mata berkaca-kaca.
Persahabatan dengan Farhan Rizky, atau Han, semakin erat. Han, dengan sifatnya yang ceria, selalu ada di sisinya, baik saat pelajaran maupun saat bermain. Han sering membagi bekalnya—kadang roti, kadang pisang rebus—dengan Darmawan, dan mereka berbagi cerita tentang kehidupan di desa. “Aku dulu takut masuk SMP, Dan. Tapi sekarang seru, kan?” kata Han suatu hari sambil tertawa. Darmawan hanya mengangguk, tapi di hatinya, ia masih merasa ada sesuatu yang belum selesai. Ia ingin pulang, tapi ia juga ingin membuktikan pada keluarganya bahwa ia bisa menjadi anak SMP yang baik.
Suatu hari, kehidupan Darmawan di sekolah diuji. Saat pelajaran seni, seorang anak bernama Gilang Putra—yang dikenal sebagai anak paling nakal di kelas—mulai menggoda Darmawan. “Eh, Darmawan miskin! Tasnya jelek, seragamnya bekas!” ejek Gilang sambil tertawa, diikuti oleh beberapa teman lainnya. Darmawan menunduk, wajahnya memerah karena malu. Ia ingin membalas, tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya. Pak Agus, yang melihat kejadian itu, segera menghampiri. “Gilang, cukup! Kita semua sama di sini. Darmawan punya hak untuk belajar seperti kalian,” katanya tegas. Gilang diam, tapi tatapannya penuh dendam pada Darmawan.
Kejadian itu meninggalkan luka di hati Darmawan. Ia mulai menarik diri, menghindari teman-temannya saat istirahat, dan lebih sering duduk sendirian di sudut kelas. Han mencoba menghibur, “Jangan peduli sama Gilang, Dan. Dia cuma iri karena kamu rajin,” ujarnya sambil memeluk bahu Darmawan. Tapi kata-kata itu tidak cukup menghapus rasa malu dan sedih yang menggerogoti anak itu. Malam itu, saat ia pulang, ia menceritakan kejadian itu pada ibunya. Siti Rahayu memeluknya erat, “Kamu nggak salah apa-apa, Dan. Mereka yang salah kalau ngejek. Kamu anak hebat,” katanya sambil menangis. Pelukan ibunya memberi Darmawan kekuatan, tapi ia tahu, ia harus menghadapi Gilang lagi besok.
Di hari-hari berikutnya, Darmawan mencoba membuktikan dirinya. Ia belajar lebih giat, menulis catatan dengan rapi, dan bahkan berani mengangkat tangan saat Pak Agus bertanya. Perlahan, ia mulai mendapatkan pujian dari guru, dan beberapa teman lain mulai mendekatinya. Tapi Gilang tidak berhenti. Suatu hari, saat Darmawan sedang menggambar di lapangan, Gilang datang lagi, kali ini dengan sekelompok teman. “Miskin, bikin gambar jelek!” ejeknya sambil merebut kertas gambar Darmawan dan merobeknya. Darmawan menangis, merasa tak berdaya, hingga Han datang dan mendorong Gilang. “Sudah, Gilang! Jangan ganggu Dan lagi!” teriak Han, membuat Gilang dan teman-temannya pergi dengan marah.
Kejadian itu menjadi titik balik. Pak Agus memanggil Darmawan, Han, dan Gilang ke depan kelas keesokan harinya. Dengan sabar, ia menjelaskan pentingnya persahabatan dan saling menghormati. “Kalian semua punya kekuatan sendiri. Gunakan untuk membantu, bukan menyakiti,” katanya. Gilang meminta maaf dengan ragu, dan Darmawan, meskipun masih terluka, menerima permintaan maaf itu dengan anggukan kecil. Dari situ, hubungan di kelas mulai membaik, dan Darmawan merasa sedikit lebih diterima.
Namun, di balik kemajuan itu, Darmawan masih menghadapi tantangan lain. Uang saku yang diberikan ibunya hanya cukup untuk membeli pensil baru, dan ia sering melihat teman-temannya membeli jajanan di kantin. Ia iri, tapi ia tahu keluarganya sedang berjuang. Suatu hari, ia pulang dengan tangan kosong setelah pensilnya patah dan ia tidak punya uang cadangan. Ibunya, dengan wajah penuh kasih, memberikan pensil cadangan yang sudah dipotong pendek dari stok kakaknya. “Ini cukup, Dan. Yang penting kamu belajar,” katanya, membuat Darmawan menangis dalam pelukannya.
Darmawan berdiri di halaman rumah, menatap langit senja yang mulai merona. Ia tahu, perjalanan SMP-nya baru dimulai, dan banyak ujian menantinya. Tapi dengan dukungan keluarga dan persahabatan baru dengan Han, ia mulai merasa bahwa ia bisa menghadapi apa pun, meskipun hatinya masih dipenuhi rindu dan sedih yang tak bisa ia ungkapkan sepenuhnya.
Ujian di Balik Buku dan Hujan
Musim hujan kembali melanda Karanganyar pada akhir 2024, dan jalan setapak menuju SMP Negeri Karanganyar 01 sering kali licin serta berlumpur. Bagi Darmawan Santoso, remaja 13 tahun yang kini telah dua bulan menjadi murid kelas 7A, hujan membawa tantangan baru sekaligus kenangan yang mendalam. Setiap pagi, ia berjalan bersama Farhan Rizky—teman setianya—dan Zahra Amalia, melewati kebun kopi yang dipenuhi genangan air dan rumah-rumah kayu yang berdiri tegak di tepi jalan. Tas ransel tuanya yang sudah lusuh kini lebih berat, penuh dengan buku-buku yang mulai basah di ujung-ujungnya, tapi Darmawan tetap melangkah dengan tekad kecil di hatinya.
Di kelas, suasana semakin ramai seiring anak-anak mulai terbiasa dengan rutinitas SMP. Pak Agus, dengan kesabarannya yang tak pernah habis, kini mengenalkan pelajaran baru seperti membaca puisi dan menghitung aljabar sederhana. Darmawan menikmati saat-saat itu, terutama ketika ia berhasil membaca puisi karya Chairil Anwar dengan lancar, membuat Pak Agus mengangguk puas. “Bagus sekali, Darmawan! Terus latih ekspresimu,” pujinya, dan itu menjadi dorongan kecil bagi Darmawan untuk belajar lebih giat. Namun, di balik pujian itu, ada beban yang tak terucap: ia tahu buku dan alat tulisnya terbatas, dan ia sering harus berbagi pensil dengan Han saat ujungnya patah.
Rindu pada keluarga tetap menjadi bayang di hati Darmawan. Setiap kali ia duduk di bangku kayu yang goyang, pikirannya melayang ke rumah. Ia ingat ayahnya, Pak Harun, yang kini sering pulang larut karena musim hujan membuat pekerjaan di kebun lebih berat, dan ibunya, Siti Rahayu, yang kadang hanya bisa memberikan nasi tanpa lauk karena stok tempe habis. Darmawan sering menyelinap ke sudut lapangan saat istirahat, membuka foto keluarga yang sudah mulai robek di tepian, dan berbicara dalam hati pada ibunya. “Aku mau jadi pintar, Bu, biar Bapak nggak capek lagi,” gumamnya, sementara air mata kecil mengalir di pipinya.
Persahabatan dengan Han semakin erat. Han, dengan senyumnya yang lebar dan gigi majunya yang khas, selalu ada untuk menghibur Darmawan. Suatu hari, saat hujan deras mengguyur sekolah dan anak-anak harus berteduh di kelas, Han mengajak Darmawan bermain kertas lipat. Mereka membuat burung-burung kertas dari sisa kertas latihan, lalu melepaskannya di genangan air di halaman saat hujan reda. “Ini burung kita, Dan! Nanti kita terbang jauh!” kata Han sambil tertawa, membuat Darmawan ikut tersenyum. Momen itu menjadi salah satu kenangan terindah Darmawan di SMP, meskipun sederhana.
Namun, tidak semua hari berjalan mulus. Gilang Putra, anak nakal yang pernah menggoda Darmawan, kembali menunjukkan sikapnya yang menyebalkan. Suatu pagi, saat Darmawan sedang menggambar peta Indonesia di buku tulisnya, Gilang merebut kertas itu dan mencoret-coretnya dengan pena. “Gambar miskin! Jelek!” ejeknya sambil tertawa, diikuti oleh beberapa teman yang ikut menyanyi. Darmawan menunduk, merasa malu dan marah sekaligus. Ia ingin melawan, tapi tangannya gemetar, dan kata-kata terasa hilang. Han, yang melihat kejadian itu, segera menghampiri dan mendorong Gilang. “Sudah, Gilang! Jangan ganggu lagi!” teriaknya, tapi kali ini Gilang tidak mundur begitu saja.
Kejadian itu berujung pada perkelahian kecil di halaman sekolah. Darmawan, yang biasanya pendiam, terpancing emosinya dan mendorong Gilang balik, membuat keduanya jatuh ke lumpur. Anak-anak lain berteriak, dan Pak Agus segera datang, memisahkan mereka dengan wajah penuh kekecewaan. “Darmawan, Han, Gilang, ikut saya ke ruang guru sekarang!” perintahnya tegas. Di ruang guru, Pak Agus duduk mereka berhadapan, menjelaskan pentingnya menyelesaikan konflik dengan damai. “Kalian semua teman sekelas. Kalau ada masalah, bicara, jangan pakai tangan,” katanya. Gilang meminta maaf dengan ragu, dan Darmawan, meskipun masih kesal, menerimanya demi menjaga kedamaian.
Namun, kejadian itu meninggalkan bekas di hati Darmawan. Ia mulai merasa bahwa SMP bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat di mana ia harus menghadapi ujian emosi. Malam itu, ia pulang dengan baju penuh lumpur, dan ibunya memeluknya erat sambil menangis. “Kenapa kamu bertengkar, Dan? Ibu nggak mau kamu sakit hati,” katanya. Darmawan menangis di pelukan ibunya, merasa bersalah karena membuat ibunya khawatir. “Aku cuma mau dilupain, Bu,” jawabnya pelan, dan Siti Rahayu hanya bisa mengelus rambutnya, berjanji akan selalu mendukungnya.
Di hari-hari berikutnya, Darmawan mencoba membuktikan dirinya. Ia belajar lebih giat, membantu Han saat pelajaran IPA, dan bahkan berani mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan Pak Agus. Perlahan, ia mulai diterima oleh teman-teman lain, termasuk beberapa yang awalnya mengikuti ejekan Gilang. Gilang sendiri tampak berubah sedikit; ia kadang menyapa Darmawan dengan anggukan kecil, meskipun belum ada permintaan maaf lisan lagi. Darmawan menganggap itu sebagai langkah kecil menuju perdamaian.
Tantangan lain datang dari rumah. Suatu hari, Pak Harun pulang dengan wajah pucat, memberitahu bahwa kebun kopi mereka rusak karena banjir. “Uang sekolah Darmawan susah dibayar bulan ini,” katanya pada Siti Rahayu dengan suara berat. Darmawan, yang mendengar dari balik dinding bambu, merasa dadanya sesak. Ia tahu betapa sulitnya keluarganya, dan ia mulai berpikir untuk membantu dengan cara apa pun. Keesokan harinya, ia membawa beberapa biji kopi kering dari kebun, berniat menjualnya di pasar, tapi ibunya menahannya. “Kamu fokus sekolah, Dan. Ibu sama Bapak yang cari jalan,” katanya, meskipun matanya penuh kekhawatiran.
Di tengah kesulitan itu, Darmawan menemukan harapan kecil. Suatu sore, Pak Agus mengumumkan bahwa akan ada lomba membaca puisi untuk Hari Sumpah Pemuda. “Kalau menang, ada hadiah buku dan alat tulis,” katanya, membuat mata Darmawan berbinar. Ia memutuskan untuk ikut, menghabiskan malam-malamnya membaca puisi dan melatih ekspresinya di depan cermin, meskipun hanya dengan penerangan lampu minyak. Han membantu dengan memberikan saran, dan Zahra memberikan buku ceritanya sebagai “jimat keberuntungan”. Darmawan merasa, ini kesempatan untuk membuktikan dirinya, baik untuk keluarganya maupun dirinya sendiri.
Darmawan berdiri di halaman sekolah, menatap puisi yang sudah ia tulis ulang dengan rapi. Hujan baru saja reda, dan udara terasa segar. Ia tahu, perjalanan SMP-nya penuh dengan ujian, tapi ia juga mulai merasa bahwa ia punya kekuatan untuk menghadapinya. Dengan dukungan Han, Zahra, dan keluarganya, ia siap menghadapi hari esok, meskipun hatinya masih dipenuhi rindu dan ketakutan yang belum sepenuhnya hilang.
Kemenangan di Balik Air Mata
Desember 2024 membawa udara dingin ke Karanganyar, dan pohon-pohon jati di sekitar desa tampak bergoyang pelan ditiup angin musim. Bagi Darmawan Santoso, bulan ini menjadi puncak dari perjuangan kecilnya di SMP Negeri Karanganyar 01. Lomba membaca puisi yang diumumkan Pak Agus semakin dekat, dan Darmawan menghabiskan setiap malam dengan hati-hati menyempurnakan penampilannya. Puisi yang ia pilih, “Aku” karya Chairil Anwar, menggambarkan semangat juang yang ia rasakan dalam dirinya, dan ia berlatih berulang-ulang di depan ibunya, meskipun suaranya masih agak gemetar.
Di kelas, suasana semakin hangat seiring Hari Sumpah Pemuda mendekat. Anak-anak berlatih menyanyikan lagu “Garuda Pancasila” dan membuat dekorasi dari kertas warna yang disediakan sekolah. Darmawan, bersama Han dan Zahra, membantu membuat bunga-bunga kertas untuk menghias kelas, meskipun tangannya sering belepotan lem. Pak Agus memuji kerja keras mereka, “Kalian hebat, ya. Ini bakal jadi kelas paling indah!” katanya, membuat Darmawan tersenyum lebar untuk pertama kalinya dalam beberapa hari.
Namun, di balik semangat itu, Darmawan menghadapi tekanan besar. Uang sekolah bulan ini masih belum terbayar karena kebun kopi ayahnya belum pulih sepenuhnya. Suatu malam, ia mendengar ayah dan ibunya berdebat di dapur. “Kalau Darmawan nggak sekolah, bagaimana nasibnya, Har?” tanya Siti Rahayu dengan suara gemetar. Pak Harun hanya diam, tangannya meremas kain lusuh di tangannya. Darmawan, yang menyelinap di balik pintu, merasa hatinya hancur. Ia ingin membantu, tapi ia tahu usahanya menjual biji kopi dilarang ibunya. Malam itu, ia menangis di kasur, berjanji pada dirinya sendiri untuk menang dalam lomba agar bisa meringankan beban keluarganya.
Hari lomba tiba dengan langit yang cerah. Darmawan membawa puisi dan catatannya dengan tangan gemetar, ditemani Han yang membawa “jimat keberuntungan” Zahra—buku cerita tua itu. Di halaman sekolah, panggung kecil dipenuhi peserta lain, dan Darmawan merasa penampilannya sederhana dibandingkan teman-temannya yang lebih percaya diri. Gilang, yang juga ikut lomba, menyindir, “Darmawan cuma baca puisi kampung, jelek!” tapi Han segera membela, “Lebih bagus daripada ocehan kamu, Gilang!” Darmawan hanya tersenyum kecil, fokus pada puisi yang ia pegang.
Penilaian dilakukan oleh Pak Agus dan dua guru lain. Darmawan menatap catatannya dengan cemas, berdoa agar usahanya diakui. Saat gilirannya tiba, ia naik ke panggung dengan langkah pelan, suaranya awalnya kecil tapi perlahan menguat seiring ia membacakan puisi dengan perasaan. “Aku ini binatang jalang… yang mengangkang di atas kekacauan…” katanya, dan suasana menjadi hening. Saat selesai, tepuk tangan menggema, dan Darmawan turun dengan mata berkaca-kaca. Han memeluknya, “Keren, Dan!”
Penantian hasil terasa panjang. Darmawan duduk di bangku, memandangi buku catatannya, berdoa agar usaha mereka diakui. Saat pengumuman tiba, nama-nama dipanggil satu per satu. Ketika Pak Agus berkata, “Juara kedua, Darmawan Santoso!” seluruh kelas bertepuk tangan. Darmawan berdiri dengan mata berkaca-kaca, menerima hadiah buku dan pensil warna baru. Ia menatap ibunya yang hadir di belakang, dan Siti Rahayu menangis haru sambil mengangguk bangga.
Kemenangan itu membawa perubahan. Hadiah buku dan pensil warna menjadi alat baru Darmawan untuk belajar, dan ia membagikan beberapa pensil dengan Han dan Zahra sebagai tanda terima kasih. Di rumah, Pak Harun memeluknya erat, “Kamu hebat, Nak. Ini bantu kita bangkit,” katanya, sementara Siti Rahayu menyiapkan makan malam istimewa—nasi dengan ayam kampung yang disimpan untuk momen spesial. Darmawan merasa, untuk pertama kalinya, ia bisa memberikan sesuatu pada keluarganya.
Namun, kebahagiaan itu diuji lagi. Suatu hari, Darmawan pulang dan menemukan ibunya duduk di lantai dengan wajah pucat. “Bapak jatuh di kebun, Dan. Punggungnya cedera,” katanya dengan suara bergetar. Darmawan berlari ke kamar ayahnya, melihat Pak Harun meringis kesakitan. Ia merasa tak berdaya, tapi ia ingat kemenangan lomba itu. Dengan tekad baru, ia meminta ibunya membawa ayah ke puskesmas, menawarkan hadiah uang kecil dari lomba untuk biaya. Siti Rahayu menolak, tapi Darmawan bersikeras, “Ini buat Bapak, Bu. Aku mau bantu.”
Ayahnya akhirnya dirawat, dan punggung Pak Harun mulai membaik setelah beberapa hari. Darmawan sering mengunjungi ayahnya di ranjang, membacakan puisi yang ia pelajari di sekolah. “Kamu guru kecilku sekarang,” kata Pak Harun dengan senyum lelet, membuat Darmawan tersenyum bangga. Di sekolah, ia juga mulai lebih percaya diri, berani berbicara di depan kelas, dan bahkan membantu Gilang saat pelajaran matematika, menandai awal perdamaian di antara mereka.
Darmawan berdiri di halaman rumah, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Ia memegang buku hadiahnya, merasa bahwa perjuangannya di SMP telah membawanya lebih jauh dari yang ia bayangkan. Rindu pada keluarga masih ada, tapi kini bercampur dengan harapan dan kebanggaan. Dengan dukungan keluarga dan teman-teman, Darmawan tahu bahwa ia siap menghadapi tahun-tahun SMP berikutnya, langkah demi langkah, dengan hati yang lebih kuat.
Pertama Kali Masuk SMP: Perjalanan Emosi di Ambang Remaja adalah lebih dari sekadar cerita; ini adalah cerminan keberanian dan ketabahan seorang remaja desa yang menghadapi ujian dengan hati terbuka. Kisah Darmawan mengajarkan kita tentang nilai pendidikan, persahabatan, dan kekuatan keluarga, menunjukkan bahwa setiap langkah kecil dapat membawa cahaya harapan. Jangan lewatkan cerita menyentuh ini yang akan menginspirasi Anda untuk menghargai perjalanan hidup!
Terima kasih telah menyelami kisah inspiratif Darmawan! Kami harap cerita ini meninggalkan kesan mendalam di hati Anda. Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar dan kunjungi kembali untuk lebih banyak cerita menarik. Sampai jumpa di petualangan berikutnya!


