Daftar Isi
Masuki dunia penuh misteri dan emosi dalam novel Persahabatan di Balik Hutan Larangan, sebuah cerpen epik yang menggabungkan petualangan, rahasia, dan ikatan persahabatan yang tak terlupakan. Mengisahkan perjalanan Elsera dan Kael di Hutan Larangan yang misterius, cerita ini membawa pembaca ke dalam labirin emosi, di mana keberanian diuji, rahasia terungkap, dan pengorbanan menjadi harga untuk menemukan Cahaya Abadi. Dengan latar belakang dunia fantasi yang kaya akan detail dan karakter yang hidup, novel ini menawarkan pengalaman membaca yang mendalam dan mengharukan. Siapkah Anda menyelami kisah yang akan mengguncang hati dan jiwa Anda?
Persahabatan di Balik Hutan Larangan
Awal dari Segalanya
Di sebuah desa kecil bernama Liravelle, yang tersembunyi di lembah dikelilingi pegunungan berkabut, hidup seorang gadis bernama Elsera Vionn. Tahun itu adalah masa ketika manusia masih mempercayai dewa-dewa hutan dan roh-roh sungai, kira-kira dua abad sebelum dunia mengenal mesin uap. Liravelle dikenal sebagai tempat yang damai, namun penuh misteri. Di ujung desa, terbentang Hutan Larangan, sebuah tempat yang diyakini sebagai gerbang menuju dunia roh. Tak seorang pun berani memasukinya, kecuali mereka yang putus asa atau nekat.
Elsera, gadis berusia enam belas tahun dengan rambut cokelat keemasan yang selalu diikat dengan pita biru tua, bukanlah tipe yang suka melanggar aturan. Namun, matanya yang berwarna hazel menyimpan rasa ingin tahu yang tak pernah padam. Ia tinggal bersama ibunya, Miralyn, seorang penenun kain yang terkenal di desa. Ayah Elsera telah menghilang sejak ia masih bayi, meninggalkan cerita-cerita samar tentang perjalanannya ke Hutan Larangan untuk mencari “cahaya abadi” yang konon bisa menyembuhkan segala penyakit. Tak ada yang tahu apakah ia masih hidup atau telah menjadi bagian dari legenda desa.
Pagi itu, seperti biasa, Elsera membantu ibunya memintal benang di beranda rumah mereka. Udara pagi terasa sejuk, membawa aroma tanah basah dan bunga liar dari ladang di dekatnya. Di kejauhan, lonceng kuil kecil di tengah desa berdentang pelan, menandakan dimulainya hari. Namun, pikiran Elsera melayang ke tempat lain. Semalam, ia bermimpi tentang seorang anak laki-laki dengan jubah hijau tua, berdiri di tepi Hutan Larangan, memandangnya dengan mata yang penuh rahasia. Mimpi itu terasa begitu nyata, hingga ia masih bisa mengingat hembusan angin yang membawa aroma daun basah dan sesuatu yang… asing.
“Elsera, benangnya jangan terlalu kencang dipintal,” tegur Miralyn lembut, menarik Elsera kembali ke dunia nyata. Wajah ibunya yang lembut namun penuh kerutan halus tampak khawatir. “Kamu melamun lagi. Apa yang ada di pikiranmu?”
Elsera tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Hanya… memikirkan cerita-cerita lama, Ibu. Tentang Hutan Larangan.”
Miralyn menegang. Tangannya yang sedang memintal benang berhenti sejenak. “Jangan memikirkan tempat itu, Elsera. Hutan itu bukan untuk kita. Banyak yang masuk, tapi tak pernah kembali.”
Elsera mengangguk, tapi hatinya berkata lain. Ia tahu ibunya hanya ingin melindunginya, tapi rasa ingin tahunya seperti bara yang terus menyala. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya ada di balik pepohonan raksasa yang menjulang di ujung desa. Apakah ayahnya benar-benar menghilang di sana? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang menunggu untuk ditemukan?
Sore itu, setelah membantu ibunya, Elsera memutuskan untuk berjalan-jalan ke tepi desa. Ia membawa keranjang kecil berisi roti dan sebotol air, berpura-pura ingin memetik bunga liar. Namun, langkahnya membawanya semakin dekat ke Hutan Larangan. Pohon-pohon di sana tampak berbeda dari yang lain—batangnya hitam legam, daunnya hijau tua hampir seperti zamrud, dan kabut tipis selalu menggantung di antara ranting-rantingnya. Desa Liravelle memiliki banyak cerita tentang hutan itu: ada yang bilang roh-roh penjaga tinggal di sana, ada pula yang menyebutkan makhluk-makhluk aneh yang hanya muncul saat bulan purnama.
Elsera berdiri di tepi hutan, memandang kegelapan yang seolah memanggilnya. Angin bertiup pelan, membawa suara seperti bisikan. Ia menggigil, tapi bukan karena dingin. Ada sesuatu di dalam hutan itu, sesuatu yang terasa… hidup. Tiba-tiba, ia mendengar suara ranting patah di belakangnya. Ia berbalik cepat, jantungnya berdegup kencang.
“Siapa di sana?” tanyanya, suaranya sedikit gemetar.
Dari balik semak, muncul seorang anak laki-laki yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Ia tampak seumuran dengan Elsera, dengan rambut hitam acak-acakan dan mata abu-abu yang tajam seperti mata elang. Jubah hijau tua yang dikenakannya tampak usang, namun ada sesuatu di caranya berdiri—penuh percaya diri, namun waspada—yang membuat Elsera merasa ia bukan orang biasa.
“Maaf kalau aku membuatmu takut,” katanya, suaranya tenang tapi ada nada main-main di dalamnya. “Aku cuma… lewat.”
“Lewat?” Elsera mengerutkan kening. “Tak ada yang ‘lewat’ di dekat Hutan Larangan. Kamu dari mana? Aku tak pernah melihatmu di Liravelle.”
Anak laki-laki itu tersenyum miring, seolah menyimpan rahasia. “Namaku Kael Dravyn. Dan katakan saja aku… pengembara. Aku tak tinggal di satu tempat terlalu lama.”
Elsera memandangnya curiga. “Pengembara? Di usia seperti kita? Dan kenapa kamu ada di sini, di tempat yang semua orang hindari?”
Kael mengangkat bahu, tapi matanya tak lepas dari Elsera. “Mungkin aku sama seperti kamu. Penasaran.”
Kata-kata itu membuat Elsera terdiam. Bagaimana ia tahu apa yang ada di pikirannya? Sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, Kael melangkah mendekati tepi hutan, memandang ke dalam kegelapan dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kamu pernah mendengar cerita tentang Cahaya Abadi?” tanyanya tiba-tiba.
Elsera menahan napas. “Kamu tahu tentang itu?”
Kael mengangguk pelan. “Konon, cahaya itu tersembunyi di jantung Hutan Larangan. Katanya, siapa pun yang menemukannya bisa mendapatkan apa yang paling mereka inginkan. Tapi harganya… besar.”
Elsera merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Cerita tentang Cahaya Abadi adalah sesuatu yang selalu ia dengar dari ayahnya, meski hanya melalui cerita ibunya. “Apa harganya?” tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Kael memandangnya, matanya penuh misteri. “Itu tergantung pada apa yang kamu cari. Tapi satu hal yang pasti—hutan ini tak pernah memberikan sesuatu tanpa mengambil sesuatu sebagai ganti.”
Sebelum Elsera bisa menjawab, suara lonceng kuil terdengar dari kejauhan, menandakan malam mulai turun. Kael melangkah mundur, seolah bersiap pergi. “Aku harus pergi sekarang. Tapi… kita akan bertemu lagi, Elsera.”
“Tunggu!” Elsera memanggil. “Bagaimana kamu tahu namaku?”
Kael hanya tersenyum, lalu menghilang di balik semak-semak, meninggalkan Elsera dengan sejuta pertanyaan. Malam itu, saat ia berbaring di tempat tidurnya, ia tak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh Kael, Hutan Larangan, dan Cahaya Abadi. Ada sesuatu yang dimulai hari ini, sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Hari-hari berikutnya, Elsera tak bisa berhenti memikirkan pertemuannya dengan Kael. Ia sering pergi ke tepi hutan, berharap bertemu lagi dengan anak laki-laki misterius itu, tapi Kael seperti lenyap ditelan bumi. Desa Liravelle tetap berjalan seperti biasa—para petani menggarap ladang, para pedagang berteriak menawarkan dagangan, dan anak-anak bermain di tepi sungai. Tapi bagi Elsera, dunia terasa berbeda. Ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang tertinggal di tepi hutan itu, menunggu untuk dipanggil.
Suatu malam, saat bulan purnama menerangi langit, Elsera tak tahan lagi. Ia menyelipkan pisau kecil dan lentera ke dalam mantelnya, lalu diam-diam keluar dari rumah. Langkahnya membawanya ke Hutan Larangan. Ia tak tahu apa yang ia cari, tapi ia merasa harus pergi. Di tepi hutan, ia menyalakan lentera, cahayanya gemetar di tangannya. Kabut tampak lebih tebal dari biasanya, dan suara-suara aneh—seperti bisikan atau tawa pelan—terdengar dari dalam hutan.
“Elsera,” sebuah suara memanggil, membuatnya tersentak. Ia berbalik, dan di sana berdiri Kael, matanya memantulkan cahaya bulan. “Aku tahu kamu akan datang.”
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Elsera, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Kael melangkah mendekat, suaranya rendah. “Aku akan masuk ke hutan. Dan aku pikir… kamu ingin ikut.”
Elsera menatapnya, jantungnya berdegup kencang. Ini adalah momen yang akan mengubah segalanya. Ia bisa pulang sekarang, kembali ke kehidupan yang aman bersama ibunya. Atau ia bisa melangkah ke dalam kegelapan, mengejar jawaban yang selama ini menghantuinya.
Tanpa berkata apa-apa, ia mengangguk. Kael tersenyum, lalu mengulurkan tangannya. “Ayo, Elsera. Petualangan kita dimulai sekarang.”
Mereka melangkah ke dalam Hutan Larangan, lentera Elsera menjadi satu-satunya cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti mereka. Pohon-pohon raksasa menjulang di atas mereka, ranting-rantingnya seperti tangan-tangan yang siap menjangkau. Suara langkah mereka teredam oleh lumut tebal di bawah kaki mereka. Elsera merasa takut, tapi juga bersemangat. Di sampingnya, Kael berjalan dengan tenang, seolah ia sudah pernah ke sini sebelumnya.
“Kenapa kamu melakukan ini, Kael?” tanya Elsera setelah beberapa saat. “Apa yang kamu cari di hutan ini?”
Kael terdiam sejenak, lalu menjawab, “Seseorang yang aku kehilangan. Dan mungkin… bagian dari diriku sendiri.”
Elsera ingin bertanya lebih lanjut, tapi ada sesuatu dalam nada suara Kael yang membuatnya diam. Mereka terus berjalan, semakin dalam ke hutan, hingga cahaya lentera mulai redup. Tiba-tiba, Kael menghentikan langkahnya. Di depan mereka, ada sebuah pohon raksasa dengan akar-akar yang meliuk seperti ular. Di tengah batang pohon, ada ukiran aneh yang memancarkan cahaya samar.
“Ini dia,” bisik Kael. “Pintu pertama.”
Elsera memandang ukiran itu, jantungnya berdetak kencang. “Pintu pertama menuju apa?”
Kael memandangnya, matanya penuh tekad. “Ke Cahaya Abadi. Dan ke semua rahasia yang hutan ini sembunyikan.”
Rahasia di Balik Kabut
Hutan Larangan terasa hidup di sekitar Elsera dan Kael. Angin bertiup pelan, membawa suara-suara yang tak bisa mereka pahami—seperti nyanyian, bisikan, atau bahkan tangisan jauh. Cahaya lentera Elsera semakin redup, seolah ditelan oleh kabut tebal yang menggantung di udara. Pohon raksasa dengan ukiran aneh itu berdiri di depan mereka, memancarkan aura yang membuat bulu kuduk Elsera berdiri. Ukiran itu berbentuk lingkaran dengan simbol-simbol yang tak pernah ia lihat sebelumnya, berkilau dalam warna biru samar seperti cahaya bulan yang terperangkap.
“Apa maksudmu ‘pintu pertama’?” tanya Elsera, suaranya sedikit bergetar. Ia mencoba terlihat berani, tapi kegelapan hutan dan misteri di depannya membuat hatinya dipenuhi ketidakpastian.
Kael berlutut di depan pohon, memeriksa ukiran itu dengan hati-hati. “Hutan ini bukan sekadar hutan,” katanya tanpa mengalihkan pandangan. “Ini seperti… labirin. Ada pintu-pintu yang harus kita lewati untuk mencapai Cahaya Abadi. Setiap pintu punya ujiannya sendiri.”
“Ujian?” Elsera mengerutkan kening. “Maksudmu seperti teka-teki atau apa?”
Kael berdiri, memandangnya dengan ekspresi serius. “Bukan teka-teki biasa. Hutan ini mengenal kita, Elsera. Ia tahu apa yang ada di hati kita—ketakutan, harapan, rahasia. Ujiannya akan menguji siapa kita sebenarnya.”
Kata-kata itu membuat Elsera merasa dingin, meski udara di hutan terasa lembap dan hangat. Ia memandang ukiran di pohon, mencoba memahami simbol-simbol itu. “Jadi… apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Kael mengeluarkan sebuah benda kecil dari saku jubahnya—sebuah batu bulat seukuran telur burung, berwarna hitam dengan urat-urat keemasan yang berkilau. “Ini kunci pertama,” katanya. “Aku menemukannya bertahun-tahun lalu, di sebuah gua di luar Liravelle. Aku pikir ini akan membuka pintu.”
“Bertahun-tahun lalu?” Elsera memandangnya dengan curiga. “Kael, berapa umurmu sebenarnya? Dan kenapa kamu tahu begitu banyak tentang hutan ini?”
Kael tersenyum tipis, tapi ada sedikit kesedihan di matanya. “Katakan saja aku sudah lama mencari jawaban. Dan untuk usiaku… mungkin aku sedikit lebih tua dari yang kamu kira.”
Elsera ingin menekan lebih lanjut, tapi Kael sudah menempelkan batu itu ke tengah ukiran. Seketika, simbol-simbol di pohon menyala lebih terang, dan suara gemuruh pelan terdengar dari dalam tanah. Akar-akar pohon mulai bergeser, membuka celah kecil yang cukup untuk satu orang masuk. Dari dalam celah itu, cahaya lembut memancar, bercampur dengan aroma bunga yang tak dikenal.
Kael melangkah mundur, memandang Elsera. “Kamu masih bisa kembali, Elsera. Setelah kita masuk, mungkin tak ada jalan kembali.”
Elsera menatap celah itu, jantungnya berdetak kencang. Gambar ibunya muncul di pikirannya—Miralyn yang selalu menenun di beranda, wajahnya penuh kelembutan tapi juga kesedihan. Ia tahu ibunya akan hancur jika ia tak kembali. Tapi di sisi lain, ia merasa Hutan Larangan memanggilnya, seperti lagu yang hanya bisa ia dengar. Dan ada Kael, anak laki-laki misterius yang entah kenapa membuatnya merasa… terhubung.
“Aku ikut,” katanya akhirnya, suaranya tegas meski tangannya gemetar.
Kael mengangguk, lalu melangkah masuk ke celah itu. Elsera mengikutinya, memegang lentera erat-erat. Begitu mereka melewati celah, akar-akar pohon kembali menutup, menjebak mereka di dalam. Di depan mereka, terbentang lorong panjang dengan dinding yang terbuat dari akar dan tanah, diterangi oleh kristal-kristal kecil yang tertanam di langit-langit. Lorong itu terasa aneh—seperti berada di dalam tubuh makhluk hidup yang bernapas.
Mereka berjalan dalam diam, langkah mereka bergema pelan. Setelah beberapa saat, lorong membuka ke sebuah ruangan luas yang menyerupai gua. Di tengah ruangan, ada sebuah kolam air yang memancarkan cahaya keperakan. Di sekitar kolam, bunga-bunga aneh dengan kelopak yang bercahaya tumbuh, mengisi udara dengan aroma manis. Tapi yang paling mencuri perhatian adalah sebuah cermin besar yang berdiri di ujung ruangan, bingkainya diukir dengan simbol yang sama seperti di pohon tadi.
“Ini ujian pertama,” kata Kael, suaranya rendah. “Cermin Kejujuran.”
Elsera mengerutkan kening. “Cermin Kejujuran? Apa yang harus kita lakukan dengannya?”
Kael melangkah mendekati cermin, tapi tak memandang langsung ke dalamnya. “Cermin ini akan menunjukkan kebenaran tentang dirimu. Bukan apa yang kamu pikirkan tentang dirimu, tapi siapa kamu sebenarnya. Untuk melewati ujian ini, kita harus… menghadapi bayangan kita.”
Elsera merasa jantungannya meningkat. “Dan jika kita gagal?”
Kael memandangnya, matanya penuh peringatan. “Jika kita tak bisa menerima kebenaran, kita mungkin terjebak di sini selamanya.”
Elsera menelan ludah, mencoba mengabaikan rasa takut yang menyelinap. Ia melangkah mendekati cermin, berdiri di samping Kael. Bayangannya di cermin tampak normal pada awalnya—gadis dengan rambut keemasan, pita biru, dan mantel sederhana. Tapi perlahan, bayangannya mulai berubah. Matanya menjadi kosong, dan wajahnya… penuh kesedihan yang tak pernah ia sadari. Di belakang bayangannya, ia melihat sosok ayahnya, memandangnya dengan mata penuh penyesalan.
“Elsera,” suara lembut terdengar dari cermin. “Kamu marah padaku, bukan? Karena aku meninggalkanmu dan ibumu.”
Elsera menegang. “Itu… itu bukan.”
“Tapi itu benar,” kata bayangannya, suaranya lembut namun menusuk. “Kamu selalu bertanya-tanya kenapa ia pergi. Kamu bertanya apakah ia lebih memilih Cahaya Abadi daripada keluarganya. Dan di lubuk hatimu, kamu takut… kalau kamu juga akan menjadi seperti dia.”
Elsera merasa air matanya menggenang. Ia ingin membantah, tapi kata-kata itu terasa seperti pisau yang menikam tepat di hatinya. Ia memang merasa begitu. Selama ini, ia berusaha menjadi anak yang baik untuk ibunya, tapi di dalamnya ada kemarahan dan ketakutan yang tak pernah ia akui.
Di sampingnya, Kael juga memandang cermin. Bayangannya menunjukkan dirinya yang lebih muda, dengan seorang perempuan yang mirip dengannya—mungkin kakaknya. “Kael, kamu menjanjikan untuk melindungiku,” kata bayangan itu. “Tapi kamu gagal. Dan sekarang kamu lari, mencari Cahaya untuk menebus kesalahanmu.”
Kael mengepalkan tangan, wajahnya pucat. “Caina… aku mencoba.”
“Tapi kamu tidak cukup,” balas bayangan itu. “Dan sekarang kamu membawa gadis ini ke dalam kegelapan yang sama. Apa kamu pikir kamu bisa menyelamatkannya, atau kamu hanya ingin menyelamatkan dirimu sendiri?”
Elsera memandang Kael, melihat rasa sakit di wajahnya. Ia ingin bertanya siapa Caina, tapi ia tahu ini bukan waktunya. Mereka harus melewati ujian ini dulu.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Elsera, suaranya bergetar.
Kael menarik napas dalam-dalam. “Kita harus menerima. Kita harus mengakui kebenaran itu, meski itu menyakitkan.”
Elsera memandang bayangannya lagi, air matanya kini mengalir bebas. “Aku… aku marah pada Ayah. Aku takut menjadi seperti dia. Tapi aku juga… aku ingin memahami kenapa ia pergi.”
Bayangannya tersenyum lembut. “Itulah kebenaranmu, Elsera. Dan sekarang, kamu bisa melangkah.”
Di sampingnya, Kael berbicara, suaranya parau. “Caina, aku gagal melindungimu. Aku tak bisa mengubah masa lalu. Tapi aku akan terus berjalan, untukmu.”
Bayangan mereka memudar, dan cermin itu mulai bersinar terang. Kolam di tengah ruangan berirama, dan sebuah jalan baru terbuka di sisi lain gua. Elsera dan Kael saling memandang, tahu bahwa mereka baru saja melewati sesuatu yang mengubah mereka selamanya.
Mereka melanjutkan perjalanan, melewati lorong-lorong baru, menghadapi lebih banyak misteri dan bahaya, tapi ikatan di antara mereka mulai tumbuh, menjadi sesuatu yang akan mengubah takdir mereka.
Bayang-Bayang yang Hidup
Lorong yang baru terbuka setelah melewati Cermin Kejujuran terasa lebih sempit, lebih gelap, dan penuh dengan aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang manis, hampir seperti madu yang membusuk. Elsera memegang lentera dengan erat, cahayanya kini hanya mampu menerangi beberapa langkah di depan mereka. Kael berjalan di sisinya, langkahnya tetap tenang meski wajahnya masih membawa bayang-bayang kesedihan dari ujian sebelumnya. Hutan Larangan seolah hidup di sekitar mereka, dinding lorong yang terbuat dari akar-akar pohon bergerak perlahan, seperti nadi yang berdetak. Suara-suara aneh—desisan, bisikan, dan kadang-kadang tawa pelan—menggema dari kegelapan, membuat bulu kuduk Elsera berdiri.
“Apa yang kita cari sekarang?” tanya Elsera, suaranya bergetar meski ia berusaha terdengar tegas. Ia masih terguncang oleh apa yang ditunjukkan Cermin Kejujuran, gambar ayahnya yang penuh penyesalan, dan pengakuan yang ia ucapkan tentang kemarahan yang selama ini ia pendam. Tapi di samping itu, ada rasa lega—seolah beban di hatinya sedikit berkurang.
Kael menoleh kepadanya, matanya yang abu-abu memantulkan cahaya lentera seperti kilauan baja. “Pintu kedua,” jawabnya singkat. “Setiap pintu membawa kita lebih dekat ke Cahaya Abadi. Tapi hutan ini… ia tak akan membiarkan kita lewat begitu saja.”
Elsera mengerutkan kening. “Kamu bicara seolah kamu sudah pernah ke sini sebelumnya. Kael, ceritakan padaku yang sebenarnya. Siapa kamu? Dan siapa Caina?”
Kael berhenti berjalan, tubuhnya menegang. Untuk sesaat, ia tampak seperti ingin menghindari pertanyaan itu, tapi kemudian ia menghela napas panjang. “Caina adalah kakakku,” katanya pelan, suaranya penuh beban. “Dia… dia menghilang di hutan ini, bertahun-tahun lalu. Aku masih kecil saat itu, mungkin berusia sepuluh tahun. Kami sedang bermain di tepi hutan, meski kami tahu itu dilarang. Dia bilang dia mendengar suara—seperti lagu yang memanggilnya. Aku mencoba menghentikannya, tapi dia masuk. Dan aku… aku tak cukup cepat untuk menariknya kembali.”
Elsera merasa dadanya sesak mendengar cerita itu. Ia bisa membayangkan Kael kecil, ketakutan dan sendirian, menyaksikan kakaknya lenyap ke dalam kegelapan. “Jadi… itu sebabnya kamu di sini? Untuk menemukannya?”
Kael mengangguk, tapi matanya menatap ke kejauhan, seolah melihat sesuatu yang tak bisa dilihat Elsera. “Aku percaya Cahaya Abadi bisa membawanya kembali. Atau setidaknya… memberiku jawaban. Aku perlu tahu apa yang terjadi padanya. Aku tak bisa hidup dengan penyesalan ini selamanya.”
Elsera ingin mengatakan sesuatu untuk menghiburnya, tapi kata-kata terasa kosong di tenggorokannya. Ia tahu rasa kehilangan itu, meski dalam cara yang berbeda. Ayahnya juga menghilang, meninggalkan lubang di hatinya yang tak pernah benar-benar sembuh. “Aku mengerti,” katanya akhirnya. “Aku juga… aku ingin tahu apa yang terjadi pada Ayah. Aku ingin tahu kenapa dia memilih hutan ini daripada kami.”
Kael memandangnya, dan untuk pertama kalinya, ada kelembutan di matanya. “Mungkin kita tak akan menemukan semua jawaban, Elsera. Tapi kita bisa mencoba. Bersama.”
Kata-kata itu, meski sederhana, membawa kehangatan di hati Elsera. Untuk pertama kalinya sejak memasuki hutan, ia merasa tak sendirian. Mereka melanjutkan perjalanan, langkah mereka lebih ringan meski bahaya masih mengintai di setiap sudut.
Lorong akhirnya membuka ke sebuah ruangan luas yang berbeda dari sebelumnya. Dindingnya bukan lagi akar, melainkan batu hitam yang licin seperti kaca, memantulkan bayangan mereka dalam bentuk-bentuk yang terdistorsi. Di tengah ruangan, ada sebuah lingkaran besar yang terukir di lantai, penuh dengan simbol yang mirip dengan yang ada di pohon pertama. Di tengah lingkaran, sebuah pedestal kecil berdiri, memegang sebuah kristal berwarna merah darah yang berdenyut seperti jantungan.
“Ini pintu kedua,” kata Kael, suaranya rendah. “Tapi sesuatu terasa… salah.”
Elsera setuju. Udara di ruangan ini terasa berat, seperti ada sesuatu yang mengawasi mereka. Ia memandang kristal itu, merasa tarikan aneh di dadanya—seperti dorongan untuk menyentuhnya. “Apa yang harus kita lakukan?” tanyanya.
Sebelum Kael bisa menjawab, bayangan mereka di dinding mulai bergerak sendiri. Elsera tersentak saat bayangannya melangkah keluar dari dinding, menjadi sosok tiga dimensi yang menyerupai dirinya, tapi dengan mata yang kosong dan senyum yang mengerikan. Di sampingnya, bayangan Kael juga hidup, wajahnya penuh kemarahan yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya.
“Apa ini?!” Elsera mundur, tangannya meraih pisau kecil di saku mantelnya.
“Bayang-Bayang Jiwa,” kata Kael, suaranya tegang. “Mereka adalah bagian dari kita yang kita tolak—ketakutan, kemarahan, rasa bersalah. Untuk melewati pintu ini, kita harus mengalahkan mereka.”
Bayangan Elsera berbicara, suaranya seperti cerminan yang retak. “Kamu pikir kamu berani, Elsera? Kamu hanya gadis kecil yang takut ditinggalkan lagi. Kamu mengikuti Kael karena kamu takut sendirian, tapi apa kamu pikir dia peduli padamu? Dia hanya memanfaatkanmu untuk menemukan Cahaya.”
Elsera menegang, kata-kata itu seperti panah yang menembus hatinya. Ia memandang Kael, mencari bantahan, tapi Kael sedang menghadapi bayangannya sendiri, yang berbicara dengan nada penuh cemooh. “Kael, kamu pengecut. Kamu menyalahkan dirimu atas hilangnya Caina, tapi sebenarnya kamu lega dia pergi, bukan? Dia selalu lebih baik darimu, lebih berani, lebih dicintai.”
Kael mengepalkan tangan, wajahnya memucat. “Diam!” bentaknya, tapi bayangan itu hanya tertawa.
Elsera merasa panik. Bayangan itu terasa terlalu nyata, terlalu tahu tentang dirinya. Ia mencoba mengayunkan pisau ke arah bayangannya, tapi pisau itu hanya melewati udara. Bayangan itu tertawa, suaranya menggema di ruangan. “Kamu tak bisa melukaiku dengan pisau, Elsera. Aku adalah kamu.”
Kael menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik ke Elsera. “Jangan dengarkan mereka. Mereka ingin kita ragu. Kita harus menghadapi mereka dengan kebenaran, seperti di cermin tadi.”
Elsera mengangguk, meski jantungnya berdegup kencang. Ia menatap bayangannya, mencoba mengingat apa yang ia pelajari dari ujian sebelumnya. “Aku… aku memang takut ditinggalkan,” katanya, suaranya gemetar. “Tapi aku di sini karena aku memilih untuk mencari jawaban, bukan karena aku takut sendirian. Aku percaya pada Kael, dan aku percaya pada diriku sendiri.”
Bayangannya menjerit, seolah kesakitan, dan mulai memudar. Di sampingnya, Kael menghadapi bayangannya sendiri. “Aku memang menyesal atas apa yang terjadi pada Caina,” katanya, suaranya parau. “Tapi aku tak akan membiarkan rasa bersalah itu menghancurkan hidupku. Aku akan terus berjalan, untuknya, dan untuk diriku sendiri.”
Bayangan Kael juga memudar, dan kristal di pedestal mulai bersinar lebih terang. Lingkaran di lantai bergetar, dan sebuah pintu batu besar muncul di dinding, terbuka perlahan dengan suara gemuruh. Elsera dan Kael saling memandang, napas mereka tersengal setelah pertarungan emosional itu.
“Kita berhasil,” kata Elsera, suaranya penuh kelegaan.
“Tapi ini belum selesai,” balas Kael, matanya penuh tekad. “Pintu terakhir menunggu kita.”
Mereka melangkah melewati pintu batu, memasuki bagian hutan yang lebih gelap dan lebih liar. Pohon-pohon di sini tampak hidup, ranting-rantingnya bergerak seolah mencoba menjangkau mereka. Di kejauhan, mereka mendengar suara air mengalir, dan aroma bunga liar yang kuat mengisi udara. Elsera merasa ikatan mereka semakin kuat, tapi ia juga tahu bahwa ujian terakhir akan menjadi yang paling sulit.
Cahaya dan Pengorbanan
Pintu batu membawa Elsera dan Kael ke bagian Hutan Larangan yang sama sekali berbeda. Di sini, pohon-pohon tidak lagi menjulang tinggi, melainkan membentuk kanopi rendah yang menyerupai kubah alami. Cahaya keemasan menyelinap melalui celah-celah daun, menciptakan pola-pola indah di tanah yang dipenuhi lumut bercahaya. Di tengah ruangan alami ini, sebuah air terjun kecil mengalir dari tebing batu, membentuk kolam yang memantulkan cahaya seperti cermin. Di tengah kolam, sebuah altar kecil berdiri, dan di atasnya ada bola cahaya yang berdenyut lembut, memancarkan warna-warna yang berganti dari emas ke perak, lalu ke biru.
“Itu… Cahaya Abadi?” tanya Elsera, suaranya penuh kekaguman dan ketakutan. Cahaya itu terasa hidup, seperti memiliki kesadaran sendiri. Ia bisa merasakan tarikannya, seperti lagu yang memanggilnya untuk mendekat.
Kael mengangguk, matanya tak lepas dari bola cahaya itu. “Ya. Ini yang kita cari. Tapi… kita belum melewati ujian terakhir.”
Elsera menoleh kepadanya, jantungnya kembali berdegup kencang. “Ujian apa lagi? Kita sudah menghadapi cermin, bayangan… apa lagi yang hutan ini inginkan dari kita?”
Sebelum Kael bisa menjawab, air di kolam mulai berputar, membentuk pusaran kecil. Dari dalam pusaran, sebuah sosok muncul—seorang wanita dengan jubah putih yang terbuat dari cahaya. Wajahnya tak jelas, tapi matanya penuh kebijaksanaan dan sedikit kesedihan. “Selamat datang, Elsera Vionn dan Kael Dravyn,” katanya, suaranya seperti angin yang bertiup melalui daun-daun. “Kalian telah melewati Cermin Kejujuran dan Bayang-Bayang Jiwa. Tapi untuk mengambil Cahaya Abadi, kalian harus menghadapi ujian terakhir: Pengorbanan.”
Elsera merasa dingin menyelinap ke tulang-tulangnya. “Pengorbanan?” ulangnya, suaranya hampir berbisik.
Sosok itu mengangguk. “Cahaya Abadi hanya bisa diambil oleh mereka yang bersedia memberikan sesuatu yang paling berharga bagi mereka. Hanya satu dari kalian yang bisa mengambilnya, dan harganya adalah sesuatu yang tak bisa dikembalikan.”
Kael mengepalkan tangan, wajahnya penuh ketegangan. “Apa maksudmu? Apa yang harus kami berikan?”
Sosok itu memandang mereka berdua, matanya seolah menembus jiwa mereka. “Kalian akan tahu ketika saatnya t personallytiba. Tapi ingat: Cahaya Abadi akan memberikan apa yang kalian inginkan, tapi harganya selalu sebanding dengan keinginan itu.”
Sosok itu menghilang, meninggalkan Elsera dan Kael dalam keheningan yang mencekam. Mereka memandang bola cahaya di altar, yang kini berdenyut lebih cepat, seolah menantang mereka untuk mendekat. Elsera merasa tarikan itu semakin kuat, tapi juga ketakutan yang mendalam. Apa yang paling berharga baginya? Ibunya? Kenangannya? Atau mungkin… persahabatan yang baru ia temukan dengan Kael?
“Kael,” katanya pelan, “apa yang akan kamu lakukan jika kita sampai ke Cahaya? Apa yang kamu inginkan?”
Kael terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara yang penuh emosi. “Aku ingin Caina kembali. Aku ingin memperbaiki kesalahanku. Tapi… aku juga tak ingin kehilanganmu.”
Elsera merasa air matanya menggenang. Ia tak pernah menyangka bahwa Kael, anak laki-laki misterius yang tampak begitu kuat, akan mengatakan sesuatu yang begitu rentan. “Aku juga tak ingin kehilanganmu,” katanya. “Tapi aku… aku ingin tahu kenapa Ayah pergi. Aku ingin tahu apakah dia masih hidup, atau apakah dia… menyesal.”
Mereka saling memandang, menyadari bahwa keinginan mereka mungkin akan memisahkan mereka. Hanya satu yang bisa mengambil Cahaya, dan harga yang harus dibayar masih menjadi misteri.
Dengan langkah berat, mereka mendekati altar. Saat mereka berdiri di depan Cahaya Abadi, bola cahaya itu melayang dari altar, mengelilingi mereka seperti burung yang penasaran. Tiba-tiba, dunia di sekitar mereka memudar, dan mereka mendapati diri mereka berdiri di tempat yang berbeda—sebuah ladang luas di bawah langit malam yang penuh bintang. Di depan mereka, dua sosok muncul: seorang pria yang menyerupai ayah Elsera, dan seorang wanita muda yang mirip dengan Kael—pasti Caina.
“Ayah?” Elsera berlari ke arah pria itu, tapi tangannya melewati tubuhnya seperti asap. “Kamu… kamu masih hidup?”
Pria itu tersenyum, tapi matanya penuh penyesalan. “Elsera, anakku. Aku masuk ke hutan ini untuk menemukan Cahaya, berharap bisa menyembuhkan penyakit ibumu. Tapi aku salah. Hutan ini mengambil nyawaku sebagai ganti.”
Elsera menangis, dadanya sesak. “Kenapa kamu tak kembali? Kenapa kamu meninggalkan kami?”
“Aku ingin kalian hidup bahagia,” katanya. “Tapi aku tak cukup kuat untuk melawan hutan ini.”
Di sisi lain, Kael berbicara dengan Caina, yang memandangnya dengan kelembutan. “Kael, kamu tak perlu menyalahkan dirimu. Aku memilih masuk ke hutan ini. Aku ingin melindungimu, tapi aku tak tahu harganya akan begitu besar.”
Kael menangis, sesuatu yang tak pernah Elsera lihat sebelumnya. “Aku seharusnya menghentikanmu, Caina. Aku seharusnya lebih kuat.”
Caina menggeleng. “Kamu sudah cukup kuat. Sekarang, kamu harus memilih: aku, atau masa depanmu.”
Cahaya Abadi muncul kembali di antara mereka, berputar-putar dengan intensitas yang menyilaukan. Suara sosok dari sebelumnya bergema di udara. “Pilih sekarang. Satu keinginan, satu pengorbanan.”
Elsera dan Kael saling memandang, air mata mengalir di wajah mereka. Elsera tahu apa yang ia inginkan: kebenaran tentang ayahnya, dan mungkin kesempatan untuk membawanya kembali. Tapi ia juga tahu bahwa Kael telah kehilangan begitu banyak, dan Caina adalah satu-satunya yang ia miliki.
“Kael,” katanya, suaranya bergetar. “Ambil Cahaya. Bawa Caina kembali.”
Kael menggeleng, matanya penuh tekad. “Tidak, Elsera. Kamu juga punya alasan untuk di sini. Kita lakukan ini bersama, atau tidak sama sekali.”
Mereka mengulurkan tangan secara bersamaan, menyentuh Cahaya Abadi. Cahaya itu meledak, membungkus mereka dalam kehangatan yang menyilaukan. Ketika cahaya memudar, mereka mendapati diri mereka kembali di desa Liravelle, berdiri di tepi Hutan Larangan. Tapi sesuatu terasa berbeda. Elsera merasa kenangan tentang ayahnya lebih jelas sekarang, seolah ia telah berbicara dengannya untuk terakhir kali. Kael, di sisinya, memegang sebuah liontin kecil yang dulu milik Caina, matanya penuh kedamaian meski air matanya masih mengalir.
“Mereka tidak kembali,” kata Kael pelan. “Tapi… aku merasa mereka akhirnya damai.”
Elsera mengangguk, air matanya jatuh ke tanah. “Aku juga. Aku tahu sekarang bahwa Ayah mencoba melindungi kami. Dan itu… itu cukup.”
Mereka berjalan kembali ke desa, tangan mereka saling bergenggaman. Hutan Larangan tetap berdiri di belakang mereka, penuh misteri dan rahasia. Tapi bagi Elsera dan Kael, perjalanan mereka telah mengajarkan sesuatu yang lebih berharga dari Cahaya Abadi: persahabatan yang lahir dari pengorbanan, keberanian, dan kebenaran.
Persahabatan di Balik Hutan Larangan bukan sekadar cerita petualangan, melainkan sebuah perjalanan emosional yang mengajarkan tentang keberanian, pengorbanan, dan kekuatan persahabatan dalam menghadapi ketakutan terdalam. Setiap bab membawa pembaca lebih dekat ke rahasia Hutan Larangan, sambil menjelajahi ikatan yang terjalin antara Elsera dan Kael, dua jiwa yang terhubung oleh tujuan dan kehilangan. Jika Anda mencari cerita yang kaya akan emosi, penuh misteri, dan meninggalkan kesan mendalam, novel ini adalah pilihan yang sempurna untuk menemani malam-malam Anda.
Terima kasih telah menyelami dunia Persahabatan di Balik Hutan Larangan bersama kami! Jangan lewatkan kesempatan untuk membaca novel ini dan rasakan sendiri petualangan yang menggetarkan jiwa. Sampai jumpa di kisah berikutnya, dan tetaplah menjelajahi dunia literatur yang penuh keajaiban!


