Daftar Isi
“Hening di Bukit Laram: Kisah Persahabatan Paling Menyayat Hati” mengajak Anda ke dunia mistis Kerajaan Syrendor abad ke-9, di mana Tavion Kaelith dan Lysindra Veyrin menjalani perjalanan emosional bersama Zyther, seekor anak serigala misterius. Cerita ini penuh dengan kesedihan mendalam, pengorbanan yang mengharukan, dan ikatan persahabatan yang tak tergoyahkan di tengah bukit yang sunyi. Siap untuk tersentuh dan terinspirasi oleh kisah ini yang membawa makna cinta sejati?
Hening di Bukit Laram
Echo di Tengah Kabut
Di sebuah masa yang telah lama tenggelam dalam legenda, pada abad ke-9 di wilayah terpencil Kerajaan Syrendor, terdapat sebuah bukit bernama Bukit Laram. Bukit ini menjulang sendirian di antara lautan rumput liar yang bergoyang oleh angin sepoi-sepoi, dikelilingi oleh lembah-lembah yang diselimuti kabut tebal setiap pagi. Langit di atasnya sering kali berwarna kelabu, seolah menangisi sesuatu yang telah hilang, dan suara angin yang berbisik di antara rumput-rumput tinggi terdengar seperti ratapan pelan. Di puncak bukit, sebuah pohon tua bernama Arvelith berdiri tegak, dahan-dahannya yang gundul menyerupai tangan yang merentang memohon, menyimpan rahasia dari masa lalu yang kelam. Di bawah pohon itu, sebuah desa kecil bernama Eryndal hidup dengan sederhana, rumah-rumahnya terbuat dari batu dan lumpur, atapnya ditutup jerami yang sudah usang.
Di antara penduduk Eryndal, hiduplah seorang pemuda bernama Tavion Kaelith, yang baru saja mencapai usia 17 musim panen. Tavion memiliki rambut hitam panjang yang selalu terurai seperti bayang malam, dan matanya biru tua yang sering memantulkan kesedihan yang ia sembunyikan di balik senyuman pucat. Ia tinggal bersama neneknya, Veyra, seorang perempuan tua yang dikenal sebagai penutur cerita di desa, meskipun tangannya kini gemetar akibat usia dan penyakit yang perlahan memakannya. Ayah dan ibunya hilang dalam longsor yang menghancurkan sebagian desa sepuluh tahun lalu, meninggalkan Tavion dengan luka batin yang dalam. Setiap malam, ia duduk di bawah Arvelith, menatap langit yang gelap, berharap mendengar suara ibunya yang lembut memanggil namanya dari kejauhan.
Teman terdekat Tavion adalah seorang gadis bernama Lysindra Veyrin, yang tinggal di tepi desa bersama keluarganya yang menjadi petani. Lysindra, dengan rambut cokelat kemerahan yang diikat dengan tali rami sederhana, dan mata hijau yang cerah namun sering kali redup oleh bayang duka, adalah sahabat yang selalu ada di sisi Tavion sejak mereka masih kecil. Mereka sering menghabiskan waktu di Bukit Laram, duduk di bawah Arvelith, berbagi cerita tentang masa lalu dan impian yang mungkin tak akan pernah tercapai. Ikatan mereka dibangun dari tawa yang kini jarang terdengar dan air mata yang sering kali tak terucap, dan Tavion selalu merasa bahwa Lysindra adalah jangkar yang menahannya agar tidak tenggelam dalam kesedihan.
Hari itu, angin musim semi bertiup dingin, membawa aroma bunga liar yang baru bermekar di sisi bukit. Tavion sedang membantu Veyra mengumpulkan kayu bakar di dekat rumah ketika ia mendengar suara tangisan pelan yang hampir hilang di antara desir angin. Ia berhenti, mendongakkan kepala, dan mencoba mencari sumber suara itu. “Lysindra, dengar itu?” tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu. Lysindra, yang sedang membawa seember air dari sumur desa, mengangguk dengan ekspresi cemas. “Sepertinya dari arah bukit. Ayo kita lihat!”
Tanpa menunggu persetujuan Veyra, mereka berlari ke arah Bukit Laram, mantel tipis mereka berkibar oleh angin. Kabut pagi masih tebal, membuat jalan setapak yang biasanya jelas menjadi samar, dan rumput-rumput tinggi menyapu kaki mereka saat mereka berjalan. Mereka mendengar tangisan itu semakin jelas, dan di balik semak belukar yang basah, mereka menemukan sumber suara itu—seekor anak serigala kecil dengan kaki yang terjepit di bawah batu besar, bulunya abu-abu yang kotor oleh lumpur, dan matanya kuning tua menatap mereka dengan campuran rasa takut dan harapan.
Tavion berlutut, tangannya bergetar saat ia mencoba mendekat. “Tenang, kecil,” bisiknya lembut. “Kami akan membantumu.” Lysindra, yang lebih cepat bertindak, meletakkan embernya dan membantu Tavion mengangkat batu itu dengan susah payah. Anak serigala itu meringis kesakitan pada awalnya, tapi setelah batu itu bergeser, ia menjilat tangan Tavion dengan lidahnya yang kasar, seolah mengucapkan terima kasih. Tavion mengangkatnya dengan hati-hati, merasakan berat tubuh kecil itu di lengannya, sementara Lysindra memimpin jalan kembali ke desa.
Saat mereka sampai di rumah, Veyra memandang mereka dengan ekspresi campur aduk—kecemasan karena ketidaktaatan mereka, tapi juga kelembutan saat melihat anak serigala itu. “Kalian membawa tamu yang lemah,” katanya, suaranya penuh peringatan. “Tapi jika kalian ingin merawatnya, itu tanggung jawab kalian sepenuhnya.” Mereka menamai anak serigala itu “Zyther,” yang berarti “cahaya malam” dalam bahasa kuno Syrendor, karena matanya yang bersinar seperti bulan di kegelapan.
Selama berminggu-minggu, Tavion dan Lysindra merawat Zyther dengan penuh perhatian. Mereka memberinya daging kecil dari hasil buruan Lysindra dan membuat tempat tidur sementara dari jerami dan kain bekas di sudut rumah Tavion. Zyther perlahan pulih, dan seiring waktu, ia mulai menunjukkan sifatnya yang setia—mengikuti mereka dengan langkah pelan, meringkuk di samping Tavion saat malam tiba, dan kadang-kadang mengeluarkan desir pelan yang terdengar seperti tawa kecil. Kehadiran Zyther membawa kehangatan baru ke dalam hidup Tavion, dan ia mulai merasa ada sedikit cahaya di tengah kesedihannya yang lama.
Namun, perubahan itu tidak luput dari perhatian Lysindra. Suatu sore, saat mereka duduk di bawah Arvelith dengan Zyther berbaring di antara mereka, Lysindra menatap sahabatnya dengan mata yang sedikit redup. “Kamu banyak menghabiskan waktu dengan Zyther akhir-akhir ini,” katanya pelan, suaranya penuh arti. Tavion menoleh, sedikit terkejut. “Tapi aku tetap bersamamu, Lysindra. Kamu tetap temanku yang paling utama, kan?” jawabnya dengan nada canggung.
Lysindra mengangguk, tapi senyumnya tidak sepenuh hati. Ia senang melihat Tavion bahagia dengan Zyther, tapi ia takut kehilangan tempatnya di hati sahabatnya. Tavion sendiri tidak menyadarinya sepenuhnya, tapi ia mulai merasa terbagi—antara kesetiaan pada Lysindra, yang telah menjadi bagian dari jiwanya selama bertahun-tahun, dan kelembutan baru yang dibawa oleh Zyther. Di tengah keheningan Bukit Laram, sebuah dilema kecil mulai tumbuh, yang akan menguji ikatan persahabatan mereka di masa depan.
Hari-hari berlalu dengan damai, tapi ada sesuatu di udara yang terasa berat. Penduduk desa mulai berbisik tentang bayangan aneh yang terlihat di bukit pada malam hari, dan beberapa ternak ditemukan mati tanpa sebab yang jelas. Tavion, yang semakin sering membawa Zyther ke puncak bukit untuk berjalan-jalan, mulai memperhatikan bahwa serigala itu sering menoleh ke arah kegelapan, seolah mendengar sesuatu yang tidak terdengar oleh manusia. Suatu malam, saat bulan setengah purnama bersinar terang, Zyther tiba-tiba berlari dari ambang jendela, meninggalkan Tavion dan Lysindra yang berusaha mengejarnya. Perjalanan itu akan membawa mereka ke dalam rahasia yang lebih dalam, di mana persahabatan mereka akan diuji oleh kehilangan yang tak terelakkan.
Bayang di Balik Cahaya
Bulan setengah purnama menerangi Bukit Laram dengan cahaya perak yang samar, menciptakan bayangan panjang dari dahan-dahan telanjang Arvelith. Tavion Kaelith berlari dengan napas terengah-engah, mantel sederhananya tersangkut pada rumput-rumput tinggi yang menusuk kulitnya. Di sampingnya, Lysindra Veyrin berlari dengan langkah cepat, rambut cokelat kemerahannya berkibar seperti api yang hampir padam di tengah kegelapan malam. Di depan mereka, Zyther, anak serigala yang telah menjadi bagian dari hidup mereka, berlari dengan langkah lincah, matanya kuning tua berkilau di bawah cahaya bulan. Tavion tidak tahu mengapa Zyther tiba-tiba melarikan diri, tapi ada dorongan kuat di dalam dirinya untuk tidak kehilangan serigala itu—seolah kehilangan Zyther akan merenggut sesuatu yang berharga dari jiwanya.
Hutan malam itu terasa hidup dengan suara-suara aneh. Angin berdesir melalui rumput, membawa aroma tanah yang dingin, dan sesekali terdengar desir samar yang tidak bisa mereka identifikasi. Lysindra, yang biasanya penuh keberanian, mulai memperlambat langkahnya, tangannya mencengkeram lengan Tavion. “Tavion, aku tidak suka ini,” bisiknya, suaranya gemetar. “Bukit ini terasa… hidup.” Tavion mengangguk, tapi matanya tetap tertuju pada Zyther yang kini berhenti di sebuah celah terbuka di puncak bukit. Di sana, sebuah lingkaran batu tua berdiri, ditutupi lumut hijau dan ditumbuhi tanaman merambat, mirip dengan yang pernah diceritakan oleh Veyra—tempat di mana roh-roh duka konon berkumpul.
Zyther berdiri di tengah lingkaran, matanya berkilau di bawah cahaya bulan, dan untuk pertama kalinya, Tavion merasa ada sesuatu yang aneh pada serigala itu. Tubuh Zyther tampak lebih transparan, dan ada aura melankolis yang mengelilinginya. Sebelum Tavion bisa berkata apa pun, sebuah bayangan muncul dari balik pepohonan—seorang figur berjubah tua dengan tongkat kayu di tangannya. Wajahnya tersembunyi di balik tudung, tapi suaranya dalam dan penuh kesedihan. “Kalian tidak seharusnya ada di sini,” kata figur itu. “Dan serigala itu… dia bukan milik dunia kalian.”
Tavion melangkah maju, melindungi Zyther dengan tubuhnya. “Zyther bersama kami! Kami yang menyelamatkannya dari kematian. Dia teman kami!” bentaknya, meskipun jantungnya berdegup kencang. Lysindra berdiri di sampingnya, tangannya mencengkam pisau kecil yang ia bawa, siap untuk melawan jika perlu. Figur itu menghela napas panjang, suaranya bergema di antara rumput-rumput tinggi. “Teman, katamu? Zyther adalah roh yang hilang, terjebak di dunia ini karena luka yang tak tersembuhkan. Kalian telah mengikatnya pada kehidupan, dan itu melanggar keseimbangan alam.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Tavion. Ia menatap Zyther, yang kini mendekat padanya dan menjilat tangannya dengan lembut, seolah meminta maaf. Lysindra menggenggam tangan Tavion, matanya penuh air mata. “Jika dia roh, kenapa dia memilih tinggal bersama kami?” tanyanya pada figur itu, suaranya pecah. “Dia bisa pergi kapan saja, tapi dia tidak.”
Figur itu terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kata Lysindra. “Pilihan itu miliknya,” akhirnya ia berkata. “Tapi ada harga yang harus dibayar. Jika kalian ingin mempertahankan Zyther, salah satu dari kalian harus memberikan sesuatu sebagai ganti—kenangan terdalam, harapan terbesar, atau bahkan cinta yang kalian miliki untuk yang lain. Jika tidak, Zyther akan kembali ke alam roh, dan kalian akan kehilangannya selamanya.” Dengan itu, figur itu menghilang, meninggalkan Tavion dan Lysindra dalam keheningan yang menyesakkan.
Malam itu, mereka duduk di dekat lingkaran batu, memeluk Zyther yang kini tampak lemah. Tavion merasa hatinya terbagi. Ia tahu betapa berartinya Lysindra baginya—teman yang telah bersamanya melalui hari-hari terkelam—tapi Zyther juga telah menjadi cahaya yang menerangi dunianya. Lysindra, di sisi lain, merasa cemburu yang perlahan tumbuh. Ia senang melihat Tavion bahagia dengan Zyther, tapi ia takut kehilangan tempatnya di hati sahabatnya.
Keesokan harinya, mereka kembali ke desa dengan hati yang berat. Tavion mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Zyther, membawanya ke puncak bukit dan berbicara dengannya tentang masa lalu, sementara Lysindra sering kali hanya menonton dari kejauhan. Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam, Lysindra mendekati Tavion, yang sedang duduk di bawah Arvelith bersama Zyther. “Tavion, aku senang kamu punya Zyther,” katanya pelan. “Tapi aku… aku takut kamu lupa aku.”
Tavion menoleh, terkejut oleh nada sedih di suara Lysindra. Ia menarik tangan temannya, memandangnya dengan tulus. “Maaf, Lysindra. Aku tidak pernah mau membuatmu merasa begitu. Kamu dan Zyther… kalian sama-sama penting bagiku.” Kata-kata itu membawa sedikit kenyamanan pada Lysindra, tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa persahabatan mereka akan diuji lebih jauh oleh rahasia bukit yang masih tersembunyi. Di malam yang sunyi, saat Zyther kembali menatap langit dengan ekspresi aneh, Tavion dan Lysindra menyadari bahwa pilihan sulit menanti mereka, dan kehilangan yang tak terelakkan semakin dekat.
Bayang di Ambang Perpisahan
Pagi di Bukit Laram terasa dingin, udara membawa aroma tanah yang membeku oleh embun pagi yang menyelimuti rumput-rumput tinggi di sekitar Eryndal. Kabut tebal masih menggantung rendah, menciptakan lapisan abu-abu yang membuat puncak bukit tampak seperti ilusi yang perlahan memudar. Tavion Kaelith berdiri di ambang pintu rumah kayunya, menatap ke arah Arvelith yang menjulang di kejauhan, pikirannya dipenuhi oleh kejadian malam sebelumnya di lingkaran batu. Zyther, anak serigala yang telah menjadi bagian dari dunianya, kini tampak berbeda—matanya kuning tua itu sering kali memandang ke langit dengan ekspresi melankolis, dan tubuhnya kadang-kadang memancarkan kilauan samar yang sulit dijelaskan. Di sampingnya, Lysindra Veyrin duduk dengan tenang, jari-jarinya memutar tali rami yang ia gunakan untuk mengikat rambutnya, matanya hijau cerah itu penuh dengan kekhawatiran yang ia coba sembunyikan.
Malam itu masih terngiang di benak mereka—kata-kata figur berjubah yang menggantung seperti bayang hitam, “Ada harga yang harus dibayar.” Tavion merasa dadanya sesak setiap kali mengingatnya, sementara Lysindra, meskipun berusaha tegar, sering kali terlihat menatap Zyther dengan mata berkaca-kaca. Mereka tahu bahwa keputusan sulit menanti, dan waktu sepertinya berjalan lebih lambat di bawah tekanan emosi yang membesar. “Kita harus melakukan sesuatu, Tavion,” kata Lysindra akhirnya, suaranya pelan tapi penuh tekad. “Aku tidak mau kehilangan Zyther, tapi aku juga tidak mau kau atau aku harus mengorbankan sesuatu yang terlalu berharga.”
Tavion mengangguk, tangannya secara tidak sadar mengelus kepala Zyther yang meringkuk di sampingnya. Serigala itu tampak lelah, napasnya terdengar lebih berat dari biasanya, dan bulu-bulunya yang abu-abu kini tampak kusam. “Aku juga tidak tahu, Lysindra,” jawabnya, suaranya serak. “Tapi aku tidak bisa membayangkan membiarkan Zyther pergi. Dia seperti… bagian dari keluargaku yang hilang.” Kata-kata itu membuat Lysindra menunduk, hatinya terasa perih. Ia ingin melindungi sahabatnya, tapi ia juga takut bahwa pengorbanan yang harus dibuat akan merenggut sesuatu yang tak bisa digantikan dari salah satu dari mereka.
Hari itu, mereka memutuskan untuk kembali ke lingkaran batu, mencari jawaban atau setidaknya petunjuk dari rahasia yang tersembunyi di Bukit Laram. Mereka membawa Zyther bersama mereka, mengikatnya dengan tali tipis dari serat rami agar tidak berlari terlalu jauh lagi. Perjalanan ke puncak bukit terasa lebih berat dari biasanya—angin bertiup kencang, membawa debu dan daun kering yang menyengat wajah mereka, dan kabut membuat jalan setapak menjadi samar. Tavion memimpin jalan, membawa pisau kecil yang ia ambil dari dapur Veyra, sementara Lysindra membawa sepotong kayu yang ia asah menjadi tongkat, siap menghadapi apa pun yang mungkin muncul.
Ketika mereka sampai di lingkaran batu, suasana menjadi sunyi, hanya diisi oleh desir angin yang berbisik di antara batu-batu tua itu. Batu-batu itu tampak lebih tua lagi di bawah sinar matahari pagi yang pucat, ditutupi lumut hijau yang tumbuh subur dan retakan-retakan kecil yang menceritakan kisah panjang mereka. Zyther berhenti di tengah lingkaran, menatap ke arah utara dengan ekspresi yang aneh—seperti campuran antara kerinduan dan ketakutan. Tavion dan Lysindra berdiri di sampingnya, memandang ke segala arah, menanti kehadiran figur berjubah itu. Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang, dan bayangan muncul kembali dari balik rumput-rumput tinggi—figurnya lebih jelas kali ini, wajahnya masih tersembunyi, tapi jubahnya yang usang tampak bergetar oleh angin.
“Kalian kembali,” kata figur itu, suaranya dalam dan penuh otoritas. “Apakah kalian sudah memilih pengorbanan?” Tavion melangkah maju, matanya penuh tekad meskipun jantungnya berdegup kencang. “Kami tidak mau kehilangan Zyther, tapi kami juga tidak mau saling menyakiti. Apa yang harus kami lakukan?” Figur itu menghela napas, suaranya bergema di antara pepohonan. “Hidup adalah tentang keseimbangan, anak muda. Jika kalian ingin mempertahankan Zyther, salah satu dari kalian harus memberikan sesuatu yang setara dengan ikatan kalian dengannya—kenangan terdalam, harapan terbesar, atau bahkan cinta yang kalian miliki untuk yang lain.”
Lysindra menatap Tavion, matanya berkaca-kaca. Ia tahu apa yang harus dilakukan, tapi pikirannya berlomba-lomba mencari jalan lain. “Bagaimana kalau aku yang memberikan sesuatu?” katanya pada figur itu, suaranya gemetar. “Aku bisa memberikan kenangan tentang hari-hari berkebun dengan ibuku, tentang tawa yang dulu mengisi rumah kami.” Tavion memandangnya dengan mata terbelalak, menarik tangannya dengan cepat. “Tidak, Lysindra! Aku tidak mau kamu mengorbankan dirimu untukku. Aku yang akan melakukannya.”
Figur itu mengangkat tangannya, menghentikan perdebatan mereka. “Kalian berdua memiliki hati yang tulus, tapi pengorbanan harus datang dari satu jiwa saja. Pilihlah sekarang, atau bukit ini akan mengambil keputusan untuk kalian.” Zyther bersuara pelan, sebuah desir yang hampir seperti tangisan, tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Tavion menutup mata, mencoba mencari jawaban di dalam dirinya. Ia teringat pada ibunya, pada hari-hari ketika ia masih kecil dan ibunya menyanyikan lagu pengantar tidur di bawah cahaya lilin. Itu adalah kenangan terindahnya, tapi ia tahu bahwa kehilangan itu akan membawa rasa sakit yang dalam.
“Aku akan memberikan kenangan tentang ibuku,” katanya akhirnya, suaranya pecah. “Ambil itu, tapi biarkan Zyther tetap bersamaku dan Lysindra.” Lysindra mencoba protes, tapi Tavion memandangnya dengan tatapan penuh makna. “Kamu sudah kehilangan banyak, Lysindra. Aku tidak mau kamu kehilangan lagi.” Figur itu mengangguk, dan sebuah angin dingin menyapu lingkaran batu. Tavion merasa sesuatu hilang dari dirinya—wajah ibunya, suara lagu yang lembut, dan semua kenangan indah itu memudar seperti asap yang tertiup angin. Air mata mengalir di pipinya, dan ia jatuh berlutut, memeluk Zyther erat-erat.
Lysindra memeluk Tavion dari samping, menangis bersama dengannya. “Kamu tidak sendiri, Tavion,” bisiknya. “Aku akan selalu ada untukmu.” Zyther menjilat wajah mereka berdua, seolah mengucapkan terima kasih. Figur itu menghilang tanpa kata-kata, meninggalkan mereka dalam keheningan yang penuh emosi. Namun, saat mereka kembali ke desa, Tavion merasa ada yang berubah. Ia tidak lagi bisa mengingat wajah ibunya dengan jelas, dan itu meninggalkan lubang di hatinya yang sulit diisi. Lysindra, meskipun lega bahwa Zyther tetap bersama mereka, merasa bersalah karena sahabatnya harus mengorbankan begitu banyak.
Hari-hari berikutnya, ketegangan di antara mereka meningkat. Tavion menghabiskan lebih banyak waktu dengan Zyther, mencoba mengisi kekosongan dengan kehadiran serigala itu, sementara Lysindra merasa semakin terisolasi. Suatu sore, saat mereka duduk di bawah Arvelith, Lysindra akhirnya melepaskan perasaannya. “Aku senang Zyther ada, Tavion, tapi aku takut aku kehilanganmu,” katanya, suaranya penuh tangis. Tavion memandangnya, menyadari kesalahannya. “Maaf, Lysindra. Aku tidak pernah mau membuatmu merasa begitu. Kamu dan Zyther… kalian sama-sama penting bagiku.”
Mereka berpelukan, berjanji untuk menjaga keseimbangan dalam persahabatan mereka. Tapi di balik ketenangan itu, Bukit Laram masih menyimpan rahasia yang belum terungkap, dan ujian sejati mereka masih menanti di cakrawala. Suatu malam, Zyther kembali menatap langit dengan ekspresi aneh, dan Tavion tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai.
Cahaya di Balik Duka
Musim dingin tiba di Bukit Laram, membawa salju tipis yang menyelimuti tanah Eryndal dengan lapisan putih yang dingin dan sunyi. Angin bertiup pelan melalui rumput-rumput yang kini kaku, membawa desau yang terdengar seperti tangisan pelan dari masa lalu. Tavion Kaelith berdiri di bawah Arvelith, pohon tua yang telah menjadi saksi perjalanan hidupnya, menatap langit kelabu yang tampak menekan jiwa. Di sampingnya, Zyther, anak serigala yang menjadi cahaya harapannya, meringkuk dengan bulu yang semakin kusam, matanya kuning tua kini tampak redup oleh kelelahan. Lysindra Veyrin duduk di dekatnya, tangannya memegang sepotong kayu yang ia ukir untuk mengalihkan pikiran, rambut cokelat kemerahannya tersapu angin dingin.
Sejak pengorbanan kenangan ibunya, Tavion merasa dunia di sekitarnya menjadi lebih hampa. Wajah ibunya, suara lagunya, dan kehangatan pelukannya telah hilang, digantikan oleh lubang yang tak bisa diisi oleh apa pun—bahkan kehadiran Zyther. Lysindra, meskipun berusaha tegar, sering kali terlihat menatap sahabatnya dengan mata penuh rasa bersalah, tahu bahwa ia tidak bisa mengembalikan apa yang hilang. Mereka telah berjanji untuk menjaga keseimbangan dalam persahabatan mereka, tapi malam-malam yang sunyi di bawah Arvelith mulai menggerogoti tekad mereka. Zyther, yang tampak semakin lemah, menjadi tanda bahwa keseimbangan yang mereka cari belum sepenuhnya tercapai.
Suatu malam, saat salju mulai turun lebih deras, Zyther tiba-tiba berdiri, menatap ke arah utara dengan ekspresi yang aneh—campuran antara kerinduan dan keputusasaan. Tavion dan Lysindra menyadari bahwa sesuatu sedang terjadi. “Kita harus mengikutinya,” kata Tavion, suaranya tegas meskipun jantungnya berdegup kencang. Lysindra mengangguk, mengambil mantel tebal dan tongkatnya, lalu mereka berjalan mengikuti Zyther yang perlahan melangkah menuju puncak bukit. Salju membeku di bawah kaki mereka, dan angin menusuk tulang, tapi ada dorongan kuat di dalam hati mereka untuk tidak meninggalkan serigala itu sendirian.
Mereka sampai kembali di lingkaran batu, tempat di mana segalanya dimulai. Batu-batu tua itu kini tertutup salju tipis, cahaya bulan memantul di permukaannya, menciptakan kilauan yang menyedihkan. Zyther berhenti di tengah lingkaran, tubuhnya mulai memancarkan cahaya samar, dan tiba-tiba, figur berjubah muncul lagi, wajahnya masih tersembunyi di balik tudung. “Waktu telah tiba,” kata figur itu, suaranya bergema seperti angin yang berputar. “Zyther adalah roh yang terikat oleh cinta kalian, tapi ikatan itu harus diputus agar keseimbangan kembali. Pengorbanan kalian belum cukup—salah satu dari kalian harus melepaskannya sepenuhnya.”
Tavion menatap Lysindra, air mata membeku di pipinya. “Aku tidak bisa kehilangan dia lagi,” bisiknya, suaranya pecah. Lysindra memegang tangannya erat, matanya juga penuh air mata. “Tavion, aku tahu betapa berartinya Zyther bagimu. Tapi aku juga tahu bahwa kau sudah kehilangan terlalu banyak. Biarkan aku yang melakukannya.” Tavion menggelengkan kepala, tapi Lysindra melangkah maju, menghadapi figur itu. “Ambil kenangan tentang ibuku dari aku,” katanya tegas. “Aku rela kehilangan itu demi Tavion dan Zyther.”
Figur itu mengangguk, dan angin dingin menyapu lingkaran batu sekali lagi. Lysindra merasa sesuatu hilang dari dirinya—wajah ibunya yang tersenyum di ladang, tawa yang mengisi rumah mereka, dan aroma roti hangat yang pernah ia nikmati bersama keluarganya. Air mata mengalir deras di wajahnya, dan ia jatuh berlutut, tapi matanya tetap menatap Zyther dengan cinta. Tavion memeluknya, menangis bersama, sementara Zyther mendekat, menjilat wajah mereka berdua untuk terakhir kali.
Tiba-tiba, cahaya terang menyelinap dari tubuh Zyther, dan serigala itu mulai memudar. “Terima kasih,” sebuah suara pelan—suara Zyther—terdengar di angin, sebelum ia lenyap sepenuhnya, meninggalkan jejak emas di salju. Tavion dan Lysindra saling memeluk, duka mereka bercampur dengan kelegaan. Figur itu menghilang tanpa kata, meninggalkan mereka dalam keheningan yang menyayat hati.
Kembali di Eryndal, mereka hidup dengan luka yang dalam. Tavion tidak lagi memiliki kenangan ibunya, dan Lysindra kehilangan kenangan ibunya, tapi mereka menemukan kekuatan dalam persahabatan mereka. Di bawah Arvelith, mereka menanam batu kecil sebagai tanda untuk Zyther, tempat di mana mereka duduk setiap senja, mengenang dan saling menyokong. Bukit Laram kembali tenang, dan meskipun duka tetap ada, cinta mereka untuk Zyther menjadi legenda yang menginspirasi desa, sebuah kisah tentang pengorbanan dan ikatan abadi.
“Hening di Bukit Laram: Kisah Persahabatan Paling Menyayat Hati” adalah pengalaman emosional yang meninggalkan jejak mendalam, mengajarkan kekuatan pengorbanan dan cinta dalam menghadapi kehilangan. Perjalanan Tavion, Lysindra, dan Zyther menggugah hati untuk menghargai persahabatan sejati, menawarkan pelajaran hidup yang menyentuh yang akan terus dikenang. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan keindahan duka dan harapan dari kisah ini!
Terima kasih telah menyelami emosi mendalam dalam “Hening di Bukit Laram: Kisah Persahabatan Paling Menyayat Hati.” Semoga cerita ini menginspirasi Anda untuk menjaga ikatan dengan sahabat Anda dan menemukan kekuatan dalam setiap pengorbanan. Sampai jumpa di petualangan berikutnya, dan terus jaga cinta di hati Anda!


