Daftar Isi
“Persaudaraan di Ujung Senja” adalah sebuah cerpen yang menghadirkan kisah emosional tentang enam sahabat yang terikat oleh cinta, luka, dan harapan di bawah pohon akasia tua di Desa Karangwuni. Cerita ini menggambarkan perjuangan mereka menghadapi tantangan hidup, dari rahasia keluarga hingga ketakutan akan perpisahan, sambil mempertahankan ikatan yang telah terjalin sejak masa sekolah. Penuh dengan detail menyentuh dan emosi yang mendalam, cerpen ini akan membawa Anda pada perjalanan tentang arti sejati persahabatan. Simak ulasan lengkapnya dan temukan mengapa kisah ini begitu memikat hati pembaca!
Persaudaraan di Ujung Senja
Pertemuan di Bawah Pohon Akasia
Langit senja di Desa Karangwuni memerah, seolah-olah alam sedang menumpahkan rindu pada bumi. Di bawah pohon akasia tua yang berdiri gagah di tepi lapangan desa, enam anak muda duduk melingkar di atas tikar pandan yang sudah usang. Mereka adalah sahabat yang terikat bukan hanya oleh waktu, tetapi juga oleh rahasia, luka, dan mimpi yang mereka simpan dalam-dalam. Desa kecil di pesisir selatan Jawa ini menjadi saksi bisu perjalanan mereka, yang kini berada di persimpangan antara kenangan dan masa depan.
Zalika, gadis berkulit sawo matang dengan rambut ikal yang selalu diikat asal-asalan, memetik daun akasia yang jatuh di pangkuannya. Matanya yang besar dan penuh rasa ingin tahu menatap ke kejauhan, ke arah laut yang bergoyang pelan di bawah sinar matahari yang mulai tenggelam. “Kalian pernah nggak sih, ngerasa waktu kayak berhenti? Kayak sekarang ini,” katanya, suaranya lembut namun penuh makna, seolah-olah sedang mencari jawaban dari angin yang berhembus.
Di sebelahnya, Rifqy, pemuda bertubuh kurus dengan kacamata tebal yang selalu miring di hidungnya, terkekeh kecil. “Zal, kalau waktu beneran berhenti, aku bakal minta tambahan sejam buat ngerjain skripsi.” Tawa kecilnya memecah keheningan, tapi ada nada getir di balik candaannya. Rifqy adalah otak dari kelompok ini, tapi di balik kecerdasannya, dia menyimpan ketakutan akan kegagalan yang tak pernah dia akui.
Senandung, atau yang lebih sering dipanggil Nandu, memandang Rifqy dengan senyum tipis. Rambutnya yang dicat biru metalik berkilau di bawah sinar senja, mencerminkan kepribadiannya yang eksentrik namun hangat. “Skripsi itu kecil, bro. Coba bayangin kalau waktu berhenti, tapi kita nggak bisa ngapa-ngapain selain mikirin penyesalan.” Nandu selalu punya cara untuk membuat suasana jadi lebih dalam, meski kadang dia sendiri tak sadar.
Di sisi lain lingkaran, Kaelan, pemuda berwajah keras dengan tato burung kecil di pergelangan tangannya, menghela napas panjang. “Penyesalan itu buah yang pahit, Nandu. Mending kita nikmati sekarang daripada mikirin yang udah lewat.” Kaelan adalah tipe yang pendiam, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu punya bobot. Dia adalah pelindung tak resmi kelompok ini, selalu siap membela sahabat-sahabatnya, meski dia sendiri membawa luka yang tak pernah dia bagi.
Lalu ada Vionita, atau Vion, gadis yang selalu membawa buku sketsa ke mana pun dia pergi. Jari-jarinya yang ramping memainkan pensil di tangannya, menggoreskan garis-garis acak di kertas. “Aku suka senja,” katanya tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangan dari sketsanya. “Kayak lukisan yang nggak pernah selesai. Indah, tapi selalu bikin aku takut… karena sebentar lagi malam.” Vion adalah jiwa seni kelompok ini, tapi di balik kepekaannya, dia menyimpan ketakutan akan kegelapan—bukan malam secara harfiah, tetapi kegelapan dalam hidupnya.
Terakhir, ada Syauqi, pemuda dengan senyum lebar yang bisa melelehkan es. Dia sedang memetik gitar tua yang nadanya sedikit fals, tapi entah kenapa, setiap petikan itu terdengar seperti lagu yang penuh jiwa. “Malam itu cuma awal dari bintang-bintang, Vion. Kalau takut gelap, cari cahaya.” Syauqi adalah penyemangat kelompok, tapi di balik optimismenya, dia sedang berjuang melawan rahasia keluarga yang perlahan menghancurkan hatinya.
Mereka ber enam bukanlah sahabat yang terbentuk begitu saja. Tiga tahun lalu, di SMA Karangwuni, mereka adalah orang-orang asing dengan dunia masing-masing. Zalika, gadis pemberani yang selalu jadi penutup dalam setiap debat sekolah. Rifqy, kutu buku yang selalu jadi penutup dalam setiap lomba cerdas cermat. Nandu, anak band yang lebih sering bolos daripShopping sekolah. Kaelan, anak baru yang pindah dari kota dengan aura misterius. Vion, pelukis diam yang selalu duduk di pojok kelas. Dan Syauqi, anak petani yang selalu membawa tawa ke mana pun dia pergi.
Pertemuan mereka dimulai dari sebuah insiden di festival sekolah. Saat itu, panggung utama yang disiapkan untuk pentas seni tiba-tiba ambruk karena hujan deras. Semua panitia panik, tapi entah bagaimana, keenam anak ini—yang saat itu tak saling kenal—bekerja sama untuk menyelamatkan situasi. Zalika memimpin evakuasi, Rifqy menghitung ulang struktur panggung darurat, Nandu membawa alat-alat dari ruang musik, Kaelan mengangkut kayu-kayu dengan tangan kosong, Vion menghias panggung darurat dengan sketsa cepat, dan Syauqi menghibur penonton dengan nyanyiannya yang merdu. Malam itu, di bawah hujan yang tak kunjung reda, mereka menjadi satu.
Sejak saat itu, pohon akasia tua ini menjadi tempat mereka berkumpul setiap minggu. Di bawah cabang-cabang yang meliuk lembut, mereka berbagi cerita, tawa, dan air mata. Tapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada ketegangan di udara, seperti awan gelap yang mengintai di kejauhan. Masing-masing dari mereka tahu bahwa waktu bersama mereka mungkin tak akan lama lagi.
“Kalau kalian bisa balik ke masa lalu, apa yang bakal kalian ubah?” tanya Zalika tiba-tiba, memecah keheningan. Matanya menatap ke arah laut, tapi suaranya bergetar, seolah-olah dia sedang menahan sesuatu.
Rifqy mendorong kacamatanya yang miring. “Aku bakal bilang ke diri aku sendiri buat nggak terlalu takut gagal. Skripsi ini… bikin aku ngerasa nggak cukup.” Dia tertawa kecil, tapi matanya berkaca-kaca.
Nandu menatap langit yang mulai gelap. “Aku bakal balik ke malam itu… malam aku ninggalin rumah. Mungkin kalau aku nggak pergi, semuanya bakal beda.” Suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Tidak ada yang tahu cerita penuh tentang malam itu, tapi mereka tahu Nandu tak pernah pulang ke rumahnya sejak setahun lalu.
Kaelan mengepalkan tangannya. “Aku nggak bakal ubah apa-apa. Yang lalu biar jadi pelajaran. Tapi… mungkin aku bakal bilang ke seseorang buat nggak nyerah.” Matanya melirik ke arah Vion, yang pura-pura tak mendengar.
Vion berhenti menggambar. Pensilnya terhenti di udara. “Aku… aku cuma pengen bisa bilang ke Mama bahwa aku sayang dia. Sebelum dia pergi.” Air matanya jatuh ke kertas sketsa, membentuk noda kecil di gambar pohon akasia yang sedang dia buat.
Syauqi berhenti memetik gitar. Dia menatap teman-temannya satu per satu, lalu tersenyum, meski senyumnya tak secerah biasanya. “Aku cuma pengen kita semua janji, apa pun yang terjadi, kita bakal ketemu lagi di bawah pohon ini. Setiap tahun, di senja yang sama.”
Zalika mengangguk, tapi hatinya berat. Dia tahu, janji itu mungkin tak akan terpenuhi. Dalam beberapa minggu, mereka akan berpencar. Rifqy akan ke kota untuk melanjutkan kuliah. Nandu berencana pergi ke Bali untuk mengejar mimpinya sebagai musisi. Kaelan akan kembali ke kota asalnya, menyelesaikan urusan keluarga yang tak pernah dia ceritakan. Vion akan ikut pameran seni di Yogyakarta. Dan Syauqi… Zalika tahu Syauqi menyimpan rahasia besar, tapi dia tak pernah bertanya.
Saat matahari benar-benar tenggelam, mereka berdiri dan berpelukan di bawah pohon akasia. Angin malam membawa aroma laut dan kenangan. “Kita bakal baik-baik aja, kan?” tanya Vion, suaranya hampir hilang di antara deru angin.
“Pasti,” jawab Syauqi, meski nada suaranya tak meyakinkan.
Malam itu, tanpa mereka sadari, menjadi titik awal dari perjalanan yang akan menguji persahabatan mereka. Di bawah pohon akasia, mereka masih utuh. Tapi di luar sana, dunia sedang menyiapkan badai yang akan mengguncang hidup mereka masing-masing.
Retak di Balik Tawa
Tiga bulan setelah pertemuan di bawah pohon akasia, Desa Karangwuni terasa seperti lukisan yang mulai memudar. Musim kemarau telah mengubah lapangan desa menjadi hamparan tanah kering yang berdebu, dan pohon akasia tua itu tampak lelah, daun-daunnya menguning di ujung-ujung cabang. Keenam sahabat itu kini tersebar, masing-masing menjalani jalannya sendiri, namun benang tak kasat mata yang mengikat mereka masih terasa, meski mulai rapuh.
Zalika duduk di kamar kosnya di Surabaya, dikelilingi tumpukan buku dan kertas catatan yang berantakan. Cahaya lampu neon yang redup menyinari wajahnya yang lelah. Dia sedang mengejar beasiswa untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, sebuah mimpi yang dulu hanya dia bisikkan pada pohon akasia. Tapi malam ini, pikirannya tidak pada buku-buku di depannya. Sebuah pesan dari Syauqi di grup chat membuat hatinya terasa sesak: “Gue mungkin nggak bisa balik ke Karangwuni tahun ini. Maaf, guys.” Pesan itu singkat, tapi Zalika tahu ada sesuatu yang disembunyikan Syauqi. Dia selalu bisa merasakan ketika sahabatnya itu sedang berjuang.
Di Bali, Nandu berdiri di tepi panggung kecil di sebuah kafe pinggir pantai. Rambut birunya kini sedikit memudar, tapi semangatnya masih membara. Dia baru saja selesai tampil bersama band barunya, menyanyikan lagu-lagu yang dia tulis sendiri, penuh dengan kisah tentang kehilangan dan harapan. Sorak sorai penonton masih terngiang di telinganya, tapi ketika lampu panggung padam, dia merasa kosong. Di saku celananya, ponselnya bergetar, menunjukkan pesan dari Syauqi. Nandu membacanya, lalu menatap laut yang gelap. “Apa kabar lo, Qi?” gumamnya, mengingat senyum lebar Syauqi yang kini terasa begitu jauh.
Sementara itu, di Yogyakarta, Vion duduk di sudut galeri seni, menatap lukisannya yang dipajang untuk pameran pertama kalinya. Lukisan itu menggambarkan pohon akasia di senja, dengan enam siluet kecil di bawahnya. Matanya memerah saat dia mengingat malam terakhir mereka bersama. Dia ingin mengirim pesan ke grup, tapi jari-jarinya ragu di atas layar ponsel. Vion tahu, di balik keberhasilannya, ada luka yang belum sembuh—kehilangan ibunya dua tahun lalu, yang masih membuatnya terbangun di tengah malam dengan air mata. Pesan Syauqi membuatnya semakin gelisah. “Kenapa lo nggak cerita, Qi?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Kaelan duduk di beranda rumah tua yang penuh kenangan kelam. Tato burung di pergelangannya tampak lebih pudar di bawah sinar bulan. Dia baru saja kembali dari pertemuan dengan ayahnya, yang baru bebas dari penjara setelah bertahun-tahun. Pertemuan itu bukanlah reuni yang hangat, melainkan bentrokan penuh amarah dan kata-kata yang tak tersampaikan. Kaelan menyalakan rokok, menghisapnya perlahan, lalu membaca pesan Syauqi. “Lo nggak bisa sembunyikan semuanya selamanya, bro,” gumamnya, menatap langit malam yang tak berbintang.
Rifqy, di kamar asramanya di Bandung, menatap layar laptop yang menampilkan draft skripsinya yang tak kunjung selesai. Kacamata tebalnya kini penuh goresan, mencerminkan betapa keras dia berjuang melawan rasa takutnya sendiri. Pesan Syauqi membuatnya menghentikan ketikan di keyboard. Dia tahu Syauqi bukan tipe yang membatalkan janji tanpa alasan besar. Rifqy membuka foto lama di ponselnya, foto mereka ber enam di bawah pohon akasia, tersenyum lebar seolah dunia adalah milik mereka. “Apa yang lo sembunyikan, Qi?” tanyanya pada layar ponsel, meski tahu tak akan ada jawaban.
Di Karangwuni, Syauqi duduk sendirian di bawah pohon akasia. Gitar tuanya tergeletak di sampingnya, tak disentuh. Matanya memandang laut, tapi pikirannya terjebak di masa lalu. Tiga bulan lalu, dia menerima kabar bahwa ayahnya, seorang nelayan sederhana, didiagnosis dengan penyakit paru-paru yang parah. Biaya pengobatan yang tak terjangkau memaksa Syauqi untuk meninggalkan mimpinya kuliah di kota dan bekerja sebagai buruh di pelabuhan. Dia tak pernah menceritakan ini pada sahabat-sahabatnya, tak ingin mereka khawatir. Tapi malam ini, saat angin membawa aroma garam laut, dia merasa rahasianya itu seperti beban yang menekan dadanya.
Syauqi mengambil ponselnya dan mengetik pesan lain ke grup, tapi jari-jarinya berhenti. Dia ingin jujur, ingin menceritakan semuanya, tapi kata-kata itu terasa seperti pisau yang siap melukai. Akhirnya, dia hanya menulis, “Gue cuma butuh waktu. Kalian jaga diri, ya.” Dia menekan tombol kirim, lalu mematikan ponselnya, tak ingin melihat balasan yang mungkin datang.
Di Surabaya, Zalika langsung menelepon Syauqi setelah melihat pesan itu, tapi ponselnya tak aktif. Dia merasa ada sesuatu yang salah, sesuatu yang besar. Zalika mengenal Syauqi lebih dari siapa pun—dia tahu senyum lebar itu hanyalah topeng untuk menyembunyikan luka. Dia membuka buku catatannya dan menulis nama-nama sahabatnya, lalu menuliskan satu kalimat: “Kita harus pulang.”
Di Bali, Nandu memutuskan untuk memesan tiket bus ke Karangwuni. Dia tak tahu apa yang terjadi pada Syauqi, tapi intuisinya mengatakan bahwa sahabatnya itu sedang dalam masalah. Dia mengemas gitarnya dan sebuah jaket tua yang selalu dia pakai saat mereka berkumpul. “Tunggu gue, Qi,” gumamnya, sambil menatap bintang-bintang yang mulai muncul di langit Bali.
Vion, di Yogyakarta, akhirnya memberanikan diri mengirim pesan ke grup: “Gue pulang besok. Kita ketemu di pohon akasia, oke?” Dia tak tahu apakah yang lain akan datang, tapi dia merasa harus berada di sana, untuk Syauqi, untuk mereka semua. Dia mengambil sketsa pohon akasia dari tasnya dan menatapnya lama, air matanya jatuh lagi, tapi kali ini ada tekad di baliknya.
Kaelan, setelah membaca pesan Vion, langsung memesan tiket kereta malam ke Karangwuni. Dia tak banyak bicara di grup, tapi dia tahu kehadirannya dibutuhkan. Dia memasukkan jaket kulitnya ke dalam tas, lalu menatap tato burung di pergelangannya. “Buat kalian, aku bakal balik,” katanya pada dirinya sendiri, suaranya penuh tekad.
Rifqy, di Bandung, menutup laptopnya dan menghela napas panjang. Dia tahu skripsinya penting, tapi persahabatan ini lebih penting. Dia membuka dompetnya, menghitung sisa uangnya, dan memesan tiket bus termurah ke Karangwuni. “Lo nggak sendirian, Qi,” gumamnya, sambil memandang foto mereka ber enam.
Malam itu, di bawah langit yang berbeda-beda, keenam sahabat itu membuat keputusan yang sama tanpa berbicara: mereka akan kembali ke pohon akasia. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka temui, tetapi mereka tahu satu hal—persahabatan mereka, meski retak, masih layak diperjuangkan. Angin malam membawa harapan, tapi juga ketakutan, karena mereka semua merasakan bahwa sesuatu yang besar sedang menanti mereka di Karangwuni.
Reuni di Tengah Badai
Langit Karangwuni kelabu, awan mendung bergulung-gulung di cakrawala, seolah-olah alam tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah. Pohon akasia tua berdiri kokoh di tepi lapangan desa, meski angin kencang membuat cabang-cabangnya bergoyang liar. Debu musim kemarau berputar di udara, menciptakan suasana yang tegang, seperti prelude dari sebuah badai yang tak terelakkan. Keenam sahabat itu, setelah tiga bulan terpisah, kini kembali berkumpul di tempat yang sama, di bawah pohon yang menyaksikan awal mula ikatan mereka. Namun, kali ini, ada retakan yang tak bisa mereka abaikan.
Zalika tiba lebih dulu, duduk bersila di atas tikar pandan yang sama, meski kini tikar itu sudah robek di beberapa sudut. Rambut ikalnya dibiarkan tergerai, ditiup angin yang membawa aroma laut. Dia memandang ke arah jalan setapak menuju desa, menanti bayangan sahabat-sahabatnya. Di tangannya, dia memegang sebuah gelang anyaman yang dulu dibuat Syauqi untuk mereka semua—simbol janji yang kini terasa rapuh. Zalika merasa jantungan, bukan hanya karena khawatir pada Syauqi, tapi juga karena dia tahu pertemuan ini bisa menjadi akhir dari segalanya.
Nandu muncul dari balik bukit, gitarnya tergantung di pundak, jaket tua yang penuh tambalan menutupi tubuhnya yang kurus. Rambut birunya kini hampir pudar sepenuhnya, tapi matanya masih menyimpan semangat yang sama. “Zal!” serunya, berlari kecil menuju pohon akasia. Dia memeluk Zalika erat, seolah ingin memastikan bahwa ini nyata. “Gue kira cuma gue yang bakal datang,” katanya, suaranya bergetar antara lega dan cemas. Zalika tersenyum tipis, tapi matanya penuh pertanyaan. “Qi mana, Nandu? Lo tahu apa-apa?”
Nandu menggeleng, wajahnya muram. “Dia nggak bales pesan gue. Cuma bilang dia butuh waktu. Gue coba ke rumahnya tadi pagi, tapi… kosong.” Kata-kata itu terasa seperti pukulan bagi Zalika. Rumah Syauqi, sebuah gubuk sederhana di tepi laut, selalu terbuka untuk mereka. Kosongnya rumah itu bukan pertanda baik.
Tak lama kemudian, Vion muncul, membawa buku sketsanya yang sudah penuh coretan. Matanya merah, seolah dia baru saja menangis di perjalanan. Dia tak banyak bicara, hanya memeluk Zalika dan Nandu dalam diam, lalu duduk di samping tikar, membuka buku sketsanya, dan mulai menggambar pohon akasia dengan tangan yang gemetar. “Gue takut,” katanya tiba-tiba, suaranya hampir tenggelam oleh deru angin. “Takut kita nggak bakal utuh lagi.” Zalika dan Nandu saling pandang, tak tahu bagaimana menjawab.
Kaelan tiba dengan langkah berat, jaket kulitnya basah oleh gerimis yang mulai turun. Wajahnya keras seperti biasa, tapi ada kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan di matanya. “Gue ke pelabuhan tadi,” katanya tanpa basa-basi, suaranya dalam dan serak. “Orang-orang bilang Qi kerja di sana, tapi dia nggak kelihatan sejak kemarin.” Kaelan mengepalkan tangannya, tato burung di pergelangannya tampak hidup di bawah cahaya kelabu. “Ada apa dengan dia? Kenapa dia nggak cerita apa-apa?”
Rifqy adalah yang terakhir tiba, kacamata tebalnya basah oleh air hujan. Dia membawa tas ransel yang tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang kurus. “Maaf telat,” katanya, tersenyum canggung. “Busnya mogok di tengah jalan.” Dia menatap sahabat-sahabatnya, lalu bertanya, “Qi mana?” Keheningan yang menyusul pertanyaannya terasa seperti pisau yang menusuk.
Mereka duduk melingkar, seperti dulu, tapi kali ini suasananya berbeda. Tidak ada tawa, tidak ada candaan ringan. Hanya keheningan yang dipenuhi pertanyaan tak terucap. Zalika akhirnya memecah keheningan. “Kita harus cari Qi. Dia nggak bakal ninggalin kita tanpa alasan. Lo semua tahu dia bukan tipe gitu.” Suaranya tegas, tapi ada getaran di ujung kata-katanya.
Nandu mengangguk. “Gue setuju. Tapi dari mana kita mulai? Rumahnya kosong, dia nggak di pelabuhan. Apa kita ke tetangga-tetangganya?” Vion menggigit bibirnya, pensilnya berhenti bergerak. “Aku dengar dari Tante Sari di warung, ayahnya Qi sakit parah. Mungkin… mungkin itu ada hubungannya.” Kata-kata Vion membuat yang lain terdiam. Mereka tahu ayah Syauqi adalah segalanya baginya, meski dia jarang bicara soal keluarganya.
Kaelan berdiri, wajahnya penuh tekad. “Kita ke rumah sakit. Kalau ayahnya sakit, kemungkinan besar Qi di sana.” Rifqy mendorong kacamatanya. “Tapi rumah sakit di kota kecil ini cuma satu, dan itu jauh. Kalau dia nggak di sana, kita buang waktu.” Meski ragu, Rifqy tahu mereka tak punya pilihan lain. Zalika mengangguk. “Kita coba. Kalau nggak ada, kita cari di tempat lain. Qi nggak bakal pergi jauh tanpa bilang apa-apa.”
Perjalanan ke rumah sakit kecil di pinggir kota terasa seperti perjalanan menuju ketidakpastian. Mereka menumpang truk tua milik Pak Maman, tetangga desa yang kebetulan lewat. Di bak truk, di bawah gerimis yang semakin deras, mereka duduk berdekatan, tapi masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Zalika memikirkan saat-saat Syauqi menghibur mereka dengan gitarnya, selalu tersenyum meski matanya sering kosong. Nandu mengingat malam ketika dia dan Syauqi duduk di pantai, berbicara tentang mimpi menjadi musisi terkenal. Vion teringat bagaimana Syauqi pernah memujinya saat melihat sketsa pertamanya, memberinya keberanian untuk terus melukis. Kaelan memikirkan saat-saat dia dan Syauqi bertarung main-main di lapangan, tawa mereka menggema hingga malam. Rifqy mengingat bagaimana Syauqi selalu menyemangatinya saat dia merasa tak mampu menyelesaikan tugas sekolah.
Di rumah sakit, mereka berlari ke resepsionis, bertanya tentang ayah Syauqi. Perawat tua dengan wajah lelah menggeleng. “Bapak Hasan sudah dipindah ke rumah sakit di kota besar dua hari lalu. Anaknya ikut, tapi saya nggak tahu ke mana sekarang.” Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. Zalika merasa dadanya sesak. “Kota besar mana? Jogja? Surabaya?” tanyanya, suaranya hampir putus asa. Perawat itu menggeleng lagi. “Saya nggak tahu, Nak. Mereka pergi buru-buru.”
Hujan kini turun deras, membasahi mereka saat mereka keluar dari rumah sakit. Nandu menendang kerikil di trotoar, wajahnya penuh frustrasi. “Kenapa dia nggak bilang apa-apa? Kita sahabatnya, kan?” Vion memeluk buku sketsanya, air mata bercampur dengan air hujan di wajahnya. “Mungkin… mungkin dia nggak mau kita khawatir.” Kaelan mengepalkan tangannya, wajahnya memerah. “Dia nggak punya hak buat mutusin itu sendiri. Kita keluarga, bukan cuma sahabat!”
Rifqy, yang biasanya paling tenang, tiba-tiba bersuara. “Kita cari dia. Ke Jogja, Surabaya, mana pun. Kita nggak ninggalin Qi sendirian.” Matanya, di balik kacamata basah, penuh tekad yang jarang dia tunjukkan. Zalika mengangguk, merasa kekuatan baru di antara mereka. “Kita bagi tugas. Nandu, lo cek di Bali, siapa tahu dia balik ke sana. Vion, lo cari tahu di Jogja, mungkin dia ke rumah sakit besar di sana. Kaelan, lo ke Surabaya. Rifqy, lo bantu aku cari info di sini dan di kota-kota lain. Kita nggak berhenti sampai ketemu Qi.”
Saat mereka berpelukan di bawah hujan, di depan rumah sakit yang sepi, ada perasaan campur aduk—marah, sedih, dan harapan yang rapuh. Mereka tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tapi mereka juga tahu bahwa persahabatan mereka, meski retak, adalah sesuatu yang layak diperjuangkan. Di kejauhan, guntur menggelegar, seolah-olah alam sedang menguji tekad mereka.
Cahaya di Ujung Malam
Hujan telah reda di Karangwuni, meninggalkan udara yang dingin dan aroma tanah basah yang menyatu dengan bau garam laut. Langit malam kini cerah, bintang-bintang berkelip di atas pohon akasia tua, seolah-olah memberikan harapan pada keenam sahabat yang kini berada di ujung perjalanan mereka. Setelah berminggu-minggu pencarian yang melelahkan, penuh dengan ketidakpastian dan luka yang terbuka kembali, mereka akhirnya menemukan Syauqi—dan rahasia yang telah dia sembunyikan dari mereka semua.
Zalika memimpin kelompok ini, seperti biasa, dengan tekad yang tak pernah padam. Setelah perjalanan panjang ke Surabaya, Jogja, dan bahkan ke rumah sakit kecil di kota-kota tetangga, mereka akhirnya mendapat kabar dari seorang perawat di Rumah Sakit Umum Daerah di Surabaya. Syauqi terlihat di sana, mendampingi ayahnya yang sedang menjalani pengobatan intensif untuk penyakit paru-parunya. Berita itu membawa campuran lega dan cemas—lega karena mereka tahu Syauqi masih hidup, cemas karena mereka belum tahu apa yang membuatnya menutup diri.
Malam ini, mereka berkumpul kembali di bawah pohon akasia, tempat yang selalu menjadi rumah bagi persahabatan mereka. Syauqi duduk di tengah, gitar tuanya tergeletak di sampingnya, wajahnya pucat dan matanya cekung, tapi senyum kecil yang khas masih ada di bibirnya. Dia tampak lebih kurus, bahunya membungkuk seolah membawa beban dunia. Di sekitarnya, Zalika, Nandu, Vion, Kaelan, dan Rifqy duduk melingkar, mata mereka penuh dengan campuran emosi—marah, sedih, dan cinta yang tak pernah pudar.
“Kenapa lo nggak cerita, Qi?” Zalika memulai, suaranya lembut tapi tegas, seperti angin yang membelai namun tetap mengguncang. “Kita keluarga. Lo nggak punya hak buat sembunyiin ini dari kita.” Matanya berkaca-kaca, tapi dia menahan air matanya, ingin tetap kuat untuk sahabatnya.
Syauqi menunduk, jari-jarinya memainkan gelang anyaman yang sama dengan yang dikenakan Zalika. “Gue nggak mau kalian khawatir,” katanya pelan, suaranya serak. “Ayah sakit parah. Dokter bilang biayanya… nggak mungkin kami tanggung. Gue tinggalin kuliah, kerja di pelabuhan, tapi tetap nggak cukup. Gue nggak mau kalian lihat gue gagal.” Dia menghela napas panjang, seolah melepaskan beban yang selama ini dia pikul sendirian.
Nandu, yang biasanya penuh canda, kini menatap Syauqi dengan mata memerah. “Lo pikir kita bakal nilai lo cuma dari itu? Lo pikir kita nggak bakal bantu?” Suaranya bergetar, campuran antara marah dan sedih. Dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto lama mereka ber enam, di bawah pohon akasia, tertawa lepas. “Ini kita, Qi. Kita nggak cuma sahabat pas senang. Kita sahabat pas susah juga.”
Vion, yang selama ini diam, akhirnya berbicara. Dia membuka buku sketsanya dan menunjukkan lukisan pohon akasia dengan enam siluet di bawahnya. “Gue bikin ini waktu gue takut kita bakal berpisah selamanya,” katanya, air matanya jatuh ke kertas, membuat noda kecil. “Tapi sekarang gue tahu, kita nggak akan pernah benar-benar pisah. Karena kita punya ini.” Dia menunjuk ke arah hati mereka, lalu ke pohon akasia. “Gue nggak akan biarin lo hadapi ini sendirian, Qi.”
Kaelan, yang biasanya pendiam, berdiri dan meletakkan tangannya di bahu Syauqi. “Lo nggak gagal, bro. Lo cuma manusia. Dan manusia punya hak buat minta tolong.” Tatapan Kaelan penuh kekuatan, tapi ada kelembutan di dalamnya, sesuatu yang jarang dia tunjukkan. “Ayah gue pernah bilang, keluarga itu bukan cuma yang sedarah. Kalian adalah keluarga gue. Dan gue nggak akan ninggalin lo.”
Rifqy mendorong kacamatanya yang miring, tersenyum kecil meski matanya berkaca-kaca. “Gue bawa sesuatu,” katanya, mengeluarkan amplop dari ranselnya. “Ini dari kita semua. Gue, Nandu, Vion, Kaelan, Zalika… kita kumpulin apa yang kita punya. Nggak banyak, tapi cukup buat bayar pengobatan ayah lo selama beberapa bulan.” Dia menyerahkan amplop itu ke Syauqi, yang menatapnya dengan tak percaya.
Syauqi membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada uang tunai, cek, dan beberapa lembar kertas berisi pesan dari masing-masing sahabatnya. Zalika menulis tentang bagaimana Syauqi selalu menjadi penyemangatnya. Nandu menulis tentang malam-malam mereka bermimpi di tepi pantai. Vion menulis tentang bagaimana Syauqi memberinya keberanian untuk melukis. Kaelan menulis tentang kekuatan yang dia temukan dalam persahabatan mereka. Dan Rifqy menulis tentang bagaimana Syauqi mengajarkannya untuk tidak takut gagal.
Air mata Syauqi akhirnya jatuh. Dia tak bisa lagi menahan beban yang selama ini dia pikul. “Gue nggak tahu harus bilang apa,” katanya, suaranya pecah. “Gue cuma… gue cuma takut kalian kecewa. Gue nggak mau jadi beban.” Zalika memeluknya erat, diikuti oleh yang lain, hingga mereka menjadi satu pelukan besar di bawah pohon akasia. “Lo nggak pernah jadi beban, Qi,” bisik Zalika. “Lo adalah alasan kita di sini.”
Malam itu, mereka duduk hingga larut, berbagi cerita seperti dulu. Nandu memainkan gitar Syauqi, menyanyikan lagu yang dia tulis tentang persahabatan mereka, nadanya sederhana namun penuh jiwa. Vion menggambar sketsa baru, kali ini dengan warna-warna cerah yang mencerminkan harapan. Kaelan berbicara tentang rencananya untuk membantu keluarga Syauqi, bahkan jika itu berarti dia harus menghadapi ayahnya sendiri lagi. Rifqy berjanji akan membantu Syauqi menyelesaikan kuliahnya, meski itu berarti dia harus bekerja lebih keras untuk skripsinya. Dan Zalika, dengan tekad yang membara, berjanji akan memastikan mereka semua tetap terhubung, apa pun yang terjadi.
Saat fajar mulai menyingsing, mereka berdiri bersama di bawah pohon akasia, menatap laut yang kini berkilau di bawah sinar matahari pertama. Syauqi mengambil gitarnya dan memetik nada-nada lembut, sebuah lagu tanpa kata yang mengalir seperti air mata dan tawa mereka. “Kita janji, ya,” katanya, suaranya penuh harapan. “Setiap tahun, kita balik ke sini. Apa pun yang terjadi.”
“Kita janji,” jawab yang lain serentak, suara mereka menyatu dengan angin pagi.
Langit kini berwarna oranye lembut, seperti lukisan Vion yang tak pernah selesai. Pohon akasia berdiri kokoh, menyaksikan mereka berjalan menuju masa depan, masing-masing dengan luka dan mimpi mereka sendiri, tapi terikat oleh ikatan yang tak akan pernah putus. Persahabatan mereka, meski pernah retak, kini lebih kuat dari sebelumnya, seperti pohon akasia yang tetap berdiri di tengah badai.
Di kejauhan, laut bergoyang pelan, menyanyikan lagu abadi tentang cinta, kehilangan, dan harapan. Dan di bawah pohon akasia, keenam sahabat itu tahu bahwa mereka telah menemukan sesuatu yang lebih berharga dari apa pun: satu sama lain.
“Persaudaraan di Ujung Senja” bukan sekadar cerita, melainkan cerminan kekuatan persahabatan yang mampu bertahan di tengah badai kehidupan. Dengan karakter yang hidup dan alur yang penuh makna, cerpen ini mengajak kita untuk menghargai ikatan dengan orang-orang terdekat, apa pun rintangannya. Jangan lewatkan kesempatan untuk membaca kisah ini dan merasakan sendiri sentuhan emosi di setiap babnya, yang akan membuat Anda percaya bahwa cinta dan kebersamaan selalu menemukan jalan.
Terima kasih telah menyimak ulasan tentang “Persaudaraan di Ujung Senja”. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menjaga ikatan dengan sahabat dan orang-orang tersayang. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa untuk berbagi cerita favorit Anda dengan kami!


