Ikatan Hati di Balik Perjodohan: Kisah Cinta dan Perjuangan Emosional

Posted on

Jelajahi dunia emosi mendalam dalam cerpen Ikatan Hati di Balik Perjodohan, sebuah kisah romansa pernikahan dini yang memikat hati. Mengisahkan perjalanan Lestari Jelitawati yang terjebak dalam tradisi perjodohan dengan Rangga Pratidina, cerita ini penuh dengan konflik batin, harapan, dan intrik yang menyentuh. Dengan latar budaya desa Indonesia yang kaya dan alur yang penuh kejutan, cerpen ini wajib dibaca bagi pecinta drama romansa yang menggugah hati.

Ikatan Hati di Balik Perjodohan

Bayang Tradisi di Pagi yang Dingin

Embun pagi masih menyelimuti hamparan sawah di Desa Tamansari, sebuah kampung kecil yang terletak di kaki bukit hijau di Jawa Timur. Udara dingin menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan rumput liar yang segar. Di sebuah rumah bambu dengan atap ijuk yang sudah sedikit reyot, seorang gadis bernama Lestari Jelitawati duduk di ambang pintu, memandangi kabut yang perlahan terangkat oleh sinar matahari pagi. Rambutnya yang panjang dan agak berantakan tergerai di pundaknya, sementara matanya—hitam pekat dengan kilau melankolis—terpaku pada cakrawala yang masih kelabu.

Lestari berusia delapan belas tahun, namun wajahnya yang lembut dan pucat sering membuat orang salah mengira usianya lebih muda. Ia adalah anak sulung dari pasangan Joko Wiranata dan Sariwati, seorang keluarga petani sederhana yang hidup dari hasil sawah dan ternak. Di balik senyumnya yang jarang muncul, Lestari menyimpan mimpi besar: menjadi penyanyi yang menyuarakan lagu-lagu tentang kebebasan dan cinta sejati. Ia sering menyanyi pelan di tepi sungai saat sore hari, suaranya lembut namun penuh emosi, hanya didengar oleh angin dan burung-burung kecil.

Namun, pagi ini berbeda. Hari ini adalah hari ketika masa depannya akan ditentukan oleh sesuatu yang jauh dari mimpinya. Ibu dan ayahnya telah memutuskan untuk menjodohkannya dengan seorang pemuda dari desa tetangga, seorang lelaki bernama Rangga Pratidina, yang konon berasal dari keluarga kaya yang memiliki lahan pertanian luas. Lestari tidak pernah bertemu dengannya, dan hanya mendengar cerita dari ibunya tentang betapa baik dan terhormatnya pemuda itu. Tapi bagi Lestari, perjodohan itu terasa seperti tali yang perlahan mencekik lehernya.

“Lestari, masuklah! Nanti kau sakit!” seru Sariwati dari dalam rumah, suaranya tegas namun penuh perhatian. Lestari menghela napas panjang, menarik selimut tipis yang melilit tubuhnya, dan melangkah masuk. Di dalam, aroma teh jahe dan ubi bakar menguar dari tungku kayu yang masih menyala. Joko Wiranata duduk di bangku bambu, mengasah arit dengan batu asahan, sementara Sariwati sibuk menyiapkan sarapan sederhana: nasi hangat dengan sambal terasi dan tempe goreng.

“Ibu, Ayah, aku tidak mau dijodohkan,” kata Lestari tiba-tiba, suaranya bergetar namun penuh tekad. Ia berdiri di samping meja kayu tua, tangannya meremas ujung selimut. “Aku ingin nyanyi, aku ingin pergi ke kota, bukan terkurung di sini dengan seseorang yang tidak kukenal.”

Joko menoleh, wajahnya yang keras karena terpapar matahari bertahun-tahun menunjukkan ekspresi campur aduk antara kesedihan dan kelelahan. “Lestari, ini demi kebaikanmu. Keluarga Rangga punya tanah dan uang. Mereka bisa menjamin masa depanmu. Kau tahu kita tidak mampu membiayai mimpimu yang besar itu.”

Sariwati mendekat, mengusap pundak putrinya dengan tangan kasar yang penuh tanda cinta seorang ibu. “Dulu, Ibu juga dijodohkan dengan Ayahmu. Awalnya sulit, tapi cinta itu tumbuh seiring waktu. Rangga baik hati, katanya. Kau akan belajar menyukainya.”

Lestari menarik napas dalam, matanya berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin berlari ke sungai dan tenggelam dalam lagu-lagunya, tapi ia tahu itu tidak akan mengubah keputusan orang tuanya. Di desa ini, tradisi adalah hukum yang tak bisa dilanggar. Menolak perjodohan berarti menolak kehormatan keluarga, dan keluarga Lestari, meski sederhana, memiliki nama yang dihormati di kalangan tetangga.

Malam itu, Lestari tidak bisa tidur. Ia duduk di sudut kamarnya, sebuah ruangan kecil dengan dinding bambu dan lantai tanah yang ditutupi tikar usang. Di tangannya, ia memegang sebuah buku catatan tua tempat ia menulis lirik-lirik lagu yang belum selesai. Di halaman terakhir, ia menulis: Aku ingin terbang, tapi sayapku dirantai. Kata-kata itu terasa seperti jeritan yang terpendam, dan ia membayangkan wajah Rangga Pratidina. Apakah ia akan memahami mimpinya? Atau akan seperti kebanyakan pria desa, yang menganggap perempuan hanya untuk mengurus rumah dan anak?

Keesokan harinya, sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah atap, membangunkan Lestari dari tidur yang gelisah. Hari ini adalah hari pertemuan pertamanya dengan Rangga. Ibu dan ayahnya memintanya untuk berdandan, mengenakan kain batik warisan neneknya yang berwarna cokelat tua dengan motif bunga teratai. Rambutnya ditata rapi dengan jepit kayu sederhana, dan wajahnya yang pucat diberi sedikit bedak oleh Sariwati. Di cermin yang retak, Lestari melihat dirinya—cantik, tapi matanya penuh ketakutan.

Pertemuan itu diadakan di pendopo desa, sebuah bangunan terbuka dengan pilar kayu jati yang kokoh. Keluarga Rangga tiba dengan kereta kuda sederhana, membawa seserahan berupa beras, kain, dan perhiasan perak yang disusun rapi dalam nampan anyaman. Lestari berdiri di samping ibunya, tangannya dingin dan jantungnya berdegup kencang. Ia mencuri pandang ke arah Rangga, yang berdiri di sisi ayahnya, dikelilingi keluarganya yang tampak bangga.

Rangga Pratidina tidak seperti yang Lestari bayangkan. Ia tinggi, dengan tubuh yang sedikit kurus namun tegap. Rambutnya hitam dan sedikit panjang, rapi disisir ke samping, dan wajahnya memiliki garis-garis tegas yang memberi kesan dewasa. Matanya cokelat muda, penuh kedalaman, dan ada senyum tipis di bibirnya yang menunjukkan kerendahan hati. Ia mengenakan kemeja batik berwarna hijau tua dengan lengan digulung, memberikan kesan sederhana namun terhormat. Untuk sesaat, Lestari bertanya-tanya apakah pria ini benar-benar seburuk yang ia takuti.

Acara berlangsung formal. Kedua keluarga saling bertukar ucapan selamat dan membahas silsilah serta tradisi. Lestari dan Rangga hanya saling melirik, tidak diberi kesempatan untuk berbicara langsung. Namun, ada satu momen yang membuat hati Lestari bergetar. Ketika acara hampir selesai, Rangga berjalan mendekatinya, membungkuk sopan, dan berkata dengan suara rendah yang hanya bisa didengar Lestari, “Aku tahu ini bukan pilihanmu. Aku juga tidak siap. Tapi… boleh aku mencoba mengenalmu?”

Kata-kata itu sederhana, namun ada kejujuran di dalamnya yang membuat Lestari terdiam. Ia hanya mengangguk kecil, tidak yakin apa yang harus ia rasakan. Apakah ini awal dari sesuatu yang baru, atau hanya ilusi yang akan memudar? Saat rombongan keluarga Rangga pergi, Lestari kembali ke ambang pintu rumahnya, menatap sawah yang kini disinari matahari sore. Hatinya masih penuh keraguan, tetapi ada setitik rasa ingin tahu yang mulai menyelinap—tentang Rangga, tentang apa yang mungkin terjadi jika ia memberi kesempatan.

Di dalam buku catatannya malam itu, ia menulis: Pagi yang dingin membawa bayang tradisi, tapi ada suara di hatiku yang mulai bernyanyi. Kata-kata itu terasa seperti harapan kecil di tengah badai yang belum usai.

Jejak di Antara Harapan dan Ketakutan

Pagi di Desa Tamansari terasa lebih hangat dibandingkan hari sebelumnya, dengan sinar matahari yang menyelinap melalui celah-celah daun pisang di halaman rumah Lestari Jelitawati. Kabut pagi telah hilang, digantikan oleh udara yang segar dan aroma bunga kamboja dari pohon di samping rumah. Lestari duduk di ambang pintu, memegang cangkir teh jahe yang masih mengepul, namun pikirannya jauh dari ketenangan yang ditawarkan pemandangan itu. Kata-kata Rangga Pratidina dari pertemuan kemarin—“Boleh aku mencoba mengenalmu?”—terngiang-ngiang di kepalanya, menciptakan campuran antara rasa ingin tahu dan ketakutan yang membuncah.

Lestari mengenakan blus katun sederhana berwarna kuning pucat dan kain batik yang sedikit memudar, pakaian yang biasa ia pakai untuk membantu ibunya di ladang atau mengurus ternak. Hari ini, ibunya, Sariwati, telah mengatur agar Lestari bertemu lagi dengan Rangga, kali ini di tepi Sungai Kencana yang mengalir di perbatasan desa. “Ini kesempatan bagus untuk kalian bicara,” kata Sariwati sambil menyisir rambut Lestari dengan jari-jarinya yang kasar. “Rangga tampak baik, Lestari. Kasihan dia juga, dijodohkan seperti kau.”

Lestari mengangguk tanpa semangat, hatinya berat. Sungai Kencana adalah tempat favoritnya, tempat di mana ia sering menyanyi sambil menatap air yang jernih mengalir di antara bebatuan. Tapi hari ini, tempat itu terasa seperti panggung yang dipaksakan, di mana ia harus memainkan peran yang tidak ia inginkan. Ia berjalan perlahan menuju sungai, membawa sebuah tikar kecil untuk duduk, sementara angin sepoi-sepoi membawa suara gemericik air dan kicau burung.

Rangga sudah menunggu di tepi sungai, duduk di atas batu datar dengan tangannya memegang sebatang rumput yang ia mainkan di antara jari-jarinya. Ia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna cokelat tua dan celana kain sederhana, terlihat santai namun tetap rapi. Ketika ia melihat Lestari mendekat, ia berdiri dan tersenyum kecil, senyum yang lembut namun sedikit gugup. “Selamat pagi,” sapanya, suaranya hangat namun penuh rasa hormat. “Terima kasih sudah mau datang.”

Lestari mengangguk, meletakkan tikar di tanah dan duduk dengan jarak yang cukup jauh darinya. Untuk beberapa saat, mereka hanya diam, mendengarkan suara sungai dan angin yang berbisik di antara pepohonan. Lestari mencuri pandang ke arah Rangga, memperhatikan caranya duduk—tegak, namun santai—dan tangannya yang tampak kasar, tanda ia terbiasa bekerja di ladang atau mengurus ternak. Ada sesuatu tentangnya yang membuat Lestari merasa kurang tegang, tapi ia tetap menjaga jarak emosional.

“Aku dengar kau suka menyanyi,” kata Rangga tiba-tiba, memecah keheningan. Matanya menatap Lestari dengan minat tulus, bukan sekadar basa-basi. “Apa lagu yang kau suka nyanyikan?”

Lestari terkejut. Bagaimana ia tahu? Mungkin ibunya yang bercerita. Ia merasa sedikit tersinggung, tapi juga tersanjung karena Rangga tampak ingin mengenalnya. “Lagu… tentang alam, tentang hati yang ingin bebas,” jawabnya pelan, memilih kata-kata dengan hati-hati. “Aku menulis sendiri kadang-kadang, tapi belum selesai.”

Rangga mengangguk, seolah memahami. “Aku suka mendengar suara burung di pagi hari, tapi aku tidak pandai bernyanyi. Aku lebih suka bermain alat musik sederhana, seperti angklung. Ayahku mengajarkanku dulu.” Ia menunjuk ke arah sebuah tas kecil di sampingnya, lalu mengeluarkan sebuah angklung kecil yang terbuat dari bambu. “Mau dengar?”

Lestari mengangguk, dan Rangga mulai memainkan angklung itu dengan jari-jari yang lincah. Suara bambu yang bergetar menciptakan melodi sederhana namun indah, mengalir bersama suara sungai. Untuk pertama kalinya, Lestari merasa ada kehangatan di dadanya. Ia mulai bernyanyi pelan, mengikuti melodi itu dengan lirik yang ia ciptakan spontan tentang angin dan harapan. Suara mereka bercampur, menciptakan harmoni yang tak terduga, dan untuk beberapa saat, dunia seolah berhenti.

Namun, kehangatan itu terganggu ketika sebuah suara memanggil dari kejauhan. “Rangga!” Seorang gadis muda berjalan mendekat, mengenakan kain batik mewah berwarna merah muda dengan anting emas yang berkilau. Wajahnya cantik, dengan senyum yang manis namun penuh tekanan. Lestari mengenalinya sebagai Wulan Sariyanti, sepupu Rangga yang konon sangat dekat dengannya sejak kecil.

“Wulan, apa kabar?” kata Rangga, tersenyum kaku. “Ini Lestari. Lestari, ini Wulan, sepupuku.”

Wulan tersenyum, tapi matanya menatap Lestari dengan nada yang sulit diartikan. “Oh, jadi ini Lestari yang dijodohkan denganmu,” katanya, suaranya manis namun penuh sindiran. “Aku dengar kau suka menyanyi. Semoga suaramu cukup bagus untuk menghibur Rangga, ya.” Ia tertawa kecil, tapi Lestari merasa seperti disengat.

Percakapan mereka terhenti, dan Wulan akhirnya pergi setelah beberapa menit, meninggalkan suasana canggung. Rangga mencoba menghibur, “Jangan pikirkan Wulan. Dia suka bercanda, tapi kadang kelewatan.” Namun, Lestari tidak sepenuhnya yakin. Ada sesuatu di tatapan Wulan yang membuatnya merasa seperti orang luar, seperti ada rahasia yang disembunyikan.

Saat mereka berpisah di tepi sungai, Rangga memberikan angklung kecil itu kepada Lestari. “Ini untukmu,” katanya. “Agar kau terus bernyanyi.” Lestari menerimanya dengan tangan gemetar, merasa ada kebaikan di hati Rangga, tapi bayang-bayang Wulan terus mengintai di pikirannya.

Malam itu, Lestari duduk di kamarnya, memainkan angklung itu dengan jari-jari yang masih canggung. Ia menulis di buku catatannya: Jejak harapan muncul di tepi sungai, tapi ketakutan masih mengikuti seperti bayang di malam hari. Ia bertanya-tanya apakah Rangga benar-benar bisa menjadi bagian dari mimpinya, atau apakah Wulan akan menjadi rintangan yang tak terduga dalam perjalanan cintanya.

Bisikan di Tengah Kabut

Pagi di Desa Tamansari terasa dingin pada hari itu, meskipun matahari sudah mulai naik di ufuk timur. Kabut tipis masih menyelimuti sawah-sawah hijau yang membentang di sekitar rumah Lestari Jelitawati, menciptakan suasana misterius yang seolah mencerminkan kekacauan dalam hatinya. Jam menunjukkan 09:09 WIB, dan suara ayam berkokok bercampur dengan derit pintu bambu yang dibuka oleh Sariwati, ibunya, untuk memulai hari. Lestari duduk di ambang pintu, memeluk lututnya, memandangi angklung kecil yang Rangga berikan kemarin. Suara melodi sederhana yang ia mainkan tadi malam masih bergema di telinganya, bercampur dengan bayang-bayang Wulan Sariyanti yang terus menghantui pikirannya.

Lestari mengenakan blus katun biru tua yang sedikit lusuh dan kain batik peninggalan neneknya, pakaian yang memberinya rasa nyaman di tengah ketidakpastian. Hari ini, Sariwati mengumumkan bahwa keluarga Rangga Pratidina mengundang mereka untuk menghadiri acara syukuran di rumah besar mereka di desa tetangga, sebuah ajang untuk mempererat hubungan keluarga sebelum pernikahan resmi diatur. “Ini penting, Lestari,” kata Sariwati sambil menyiapkan sepiring ubi bakar untuk sarapan. “Kau harus menunjukkan sikap baik. Rangga dan keluarganya orang terhormat.”

Lestari hanya mengangguk, tapi hatinya bergetar. Ia ingin percaya pada kebaikan Rangga, pada janji kecil yang tersirat dalam pemberian angklung itu, tapi kehadiran Wulan membuatnya ragu. Apakah ada sesuatu yang disembunyikan di balik senyum sepupunya itu? Ia mengambil napas dalam, mencoba menenangkan diri, dan membantu ibunya menyiapkan seserahan sederhana: sekeranjang buah dan kue tradisional yang dibungkus daun pisang.

Perjalanan ke rumah keluarga Rangga memakan waktu sekitar satu jam dengan gerobak kuda yang disewa dari tetangga. Sepanjang jalan, Lestari menatap keluar, melihat anak-anak yang bermain di tepi jalan berdebu dan petani yang sibuk di ladang. Pikirannya melayang ke mimpinya—menyanyi di panggung besar, jauh dari tradisi yang kini mengikatnya. Namun, setiap kali ia membayangkan masa depan bersama Rangga, wajah Wulan muncul, membawa rasa tidak nyaman yang sulit diabaikan.

Rumah keluarga Rangga berdiri megah di tengah pekarangan luas yang dihiasi pohon kelapa dan bunga melati. Bangunan itu terbuat dari kayu jati dengan atap genteng merah yang mengkilap, dikelilingi pagar bambu yang rapi. Di halaman depan, meja panjang sudah disiapkan dengan taplak kain bermotif bunga dan hidangan yang menggoda: nasi uduk, ayam goreng bumbu rujak, sayur lodeh, dan berbagai jajanan pasar seperti klepon dan lupis. Aroma masakan bercampur dengan wangi bunga melati, menciptakan suasana yang hangat namun penuh tekanan bagi Lestari.

Rangga menyambut mereka di pintu masuk, mengenakan kemeja batik hijau tua yang sama seperti kemarin, tapi kali ini dengan lengan digulung hingga siku, menunjukkan tangan yang kasar namun terawat. “Selamat datang, Ibu Sariwati, Lestari,” katanya, suaranya hangat dengan sedikit nada gugup. Ia membungkuk sopan kepada ibunya Lestari, lalu melirik Lestari dengan senyum kecil yang membuat jantung gadis itu berdegup lebih kencang. “Senang kalian bisa datang.”

Acara syukuran berlangsung meriah dengan tarian tradisional yang dipentaskan oleh anak-anak desa dan doa yang dipimpin oleh tetua keluarga. Lestari duduk di samping ibunya, mencoba tersenyum saat Nyai Retno, ibu Rangga, menawarkan makanan dengan ramah. Namun, matanya terus mencari Wulan, dan ia menemukannya di sudut ruangan, mengenakan kebaya merah muda yang elegan dengan sanggul kecil yang dihiasi bunga melati. Wulan tersenyum manis, berbicara dengan tamu lain, tapi setiap kali matanya bertemu dengan Lestari, ada kilatan yang terasa seperti tantangan.

Saat acara berlangsung, Wulan mendekati meja tempat Lestari duduk. “Lestari, kau kelihatan cantik hari ini,” katanya, suaranya lembut namun penuh makna. “Rangga pasti senang punya calon istri sepertimu. Tapi, aku harap kau tahu, dia sangat menyayangi keluarganya—terutama aku, sepupunya yang paling dekat.” Ia tersenyum, tapi Lestari merasa seperti ada duri tersembunyi di balik kata-kata itu.

Malam itu, setelah acara selesai, Rangga mengajak Lestari berjalan di kebun belakang rumahnya. Langit dipenuhi bintang, dan angin malam membawa aroma tanah yang masih basah. Kebun itu luas, dengan pohon-pohon kelapa tua dan semak bunga yang harum. Di sudut kebun, ada sebuah ayunan kayu sederhana yang tampak dibuat dengan tangan. “Aku yang membuat ini,” kata Rangga, suaranya pelan. “Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk tempat berpikir.”

Lestari duduk di ayunan itu, merasakan kayu yang sedikit kasar di bawahnya. “Rangga, aku harus jujur,” katanya, matanya menatap tanah. “Aku takut. Takut kehilangan mimpiku, takut tidak cocok denganmu. Dan… aku tidak yakin tentang Wulan.”

Rangga menghela napas, duduk di sampingnya dengan jarak yang sopan. “Aku mengerti. Aku juga takut, Lestari. Aku takut tidak bisa menjadi suami yang kau inginkan. Tapi tentang Wulan… dia seperti adik bagiku. Dia cemburu karena aku akan menikah, tapi tidak ada apa-apa di antara kami. Aku ingin kau percaya padaku.” Ia menatap Lestari, matanya penuh kejujuran. “Aku janji akan mendukung mimpimu, kalau kau memberiku kesempatan.”

Kata-kata itu menyentuh hati Lestari, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan. Tapi saat mereka berjalan kembali ke rumah, ia melihat Wulan berdiri di beranda, memandang mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca. Lestari merasa ada rahasia yang belum terungkap, dan itu membuatnya gelisah.

Malam itu, di kamarnya, Lestari menulis di buku catatannya: Bisikan di tengah kabut membawa harapan, tapi ada suara lain yang mengingatkanku akan ketidakpastian. Ia memainkan angklung kecil itu, mencoba menemukan ketenangan, tapi pikirannya terus kembali pada Wulan dan janji Rangga. Apakah ia cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan datang?

Cahaya di Ujung Ketidakpastian

Pagi di Desa Tamansari terasa istimewa pada hari Selasa, 01 Juli 2025, pukul 09:10 WIB. Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah daun pisang di halaman rumah Lestari Jelitawati, menciptakan pola cahaya yang lembut di lantai bambu. Udara segar membawa aroma tanah basah setelah hujan ringan semalam, dan suara burung berkicau bercampur dengan derit gerobak kuda yang lelet jalannya di kejauhan. Lestari duduk di ambang pintu, memegang angklung kecil yang Rangga berikan, jari-jarinya menyentuh permukaan bambu yang halus. Pikirannya dipenuhi oleh janji Rangga Pratidina dan bayang-bayang Wulan Sariyanti yang terus mengintai, membuat hatinya bergetar antara harapan dan ketakutan.

Hari ini adalah hari penentuan. Keluarga Rangga akan datang ke rumah Lestari untuk meminta restu secara resmi, langkah terakhir sebelum pernikahan diumumkan kepada seluruh desa. Sariwati, ibunya, sibuk di dapur sejak subuh, memasak nasi uduk dengan santan kental, ayam goreng bumbu kuning, dan kue cucur yang harum baunya. Joko Wiranata, ayahnya, membersihkan pendopo kecil di halaman depan, menyapu daun kering dan menyusun kursi bambu untuk tamu. Lestari membantu dengan hati-hati, mengenakan kebaya warisan neneknya berwarna hijau muda dengan sulaman bunga kecil, rambutnya ditata rapi dengan jepit kayu yang sederhana.

“Lestari, tersenyumlah hari ini,” kata Sariwati sambil mengaduk santan di wajan besar. “Ini hari besar untuk keluarga kita. Rangga dan keluarganya orang baik, dan kau akan bahagia bersamanya.” Lestari mengangguk, tapi matanya masih penuh keraguan. Ia ingin percaya pada kata-kata ibunya, pada kebaikan Rangga yang ia rasakan di kebun belakang rumahnya, tapi bisikan Wulan—“Aku tahu siapa Rangga sebenarnya”—terngiang di benaknya seperti hantu yang tak bisa diusir.

Saat jam menunjukkan pukul 10:00 WIB, keluarga Rangga tiba dengan kereta kuda yang dihias janur kuning. Nyai Retno, ibu Rangga, membawa seserahan berupa kain batik tulis, perhiasan perak, dan keranjang buah tropis yang disusun rapi. Paman Rangga, seorang pria berbadan tambun dengan tawa menggelegar, membawa semangat yang menular, sementara Wulan hadir di sisi Nyai Retno, mengenakan kebaya merah muda yang elegan dengan anting emas berkilau. Matanya menatap Lestari dengan ekspresi yang sulit dibaca, seolah menantangnya untuk maju.

Acara dimulai dengan doa yang dipimpin oleh tetua desa, seorang lelaki tua dengan suara serak namun penuh wibawa. Setelah itu, perwakilan keluarga Rangga menyampaikan maksud kedatangan mereka, meminta restu untuk menjadikan Lestari sebagai bagian dari keluarga mereka. Sorak kecil dari tetangga yang hadir menggema, tapi Lestari merasa seperti dunia berputar di sekitarnya. Ia berdiri di samping ibunya, tangannya dingin, dan jantungnya berdegup kencang. Rangga duduk di sisi ayahnya, tampak tegang namun berusaha tersenyum setiap kali melirik Lestari.

Tiba-tiba, Rangga berdiri dan meminta izin berbicara. “Terima kasih kepada keluarga Lestari yang telah menerima kami,” katanya, suaranya tegas namun penuh perasaan. “Tapi aku ingin bicara dari hati. Lestari, aku tahu perjodohan ini bukan pilihanku atau milikmu. Aku tahu kau punya mimpi, dan aku tidak ingin menjadi penghalang. Aku berjanji, jika kau bersedia, aku akan mendukungmu menyanyi, bahkan jika itu berarti kau pergi ke kota. Aku ingin kita membangun cinta, bukan hanya ikatan tradisi.”

Ruangan menjadi sunyi. Nyai Retno tersenyum bangga, sementara Sariwati menutup mulutnya dengan tangan, terharu. Tapi Wulan, yang berdiri di sudut, mengepalkan tangannya, wajahnya memucat. Lestari menatap Rangga, terkejut oleh keberanian dan kejujurannya. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada cahaya di ujung ketidakpastian itu.

Setelah acara, Rangga mengajak Lestari ke tepi sungai di belakang rumah, tempat mereka pertama kali berbicara. Langit sore dipenuhi warna jingga, dan angin membawa aroma bunga teratai liar. Rangga mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari sakunya, membukanya untuk memperlihatkan sebuah kalung sederhana dengan liontin berbentuk nada musik, terbuat dari perak tua. “Ini untukmu,” katanya. “Agar mimpimu selalu bersamamu.”

Lestari mengambil kalung itu, jari-jarinya menyentuh permukaan yang dingin namun hangat oleh maknanya. “Rangga, aku… aku mulai percaya padamu,” katanya pelan, matanya berkaca-kaca. “Tapi aku takut. Bagaimana dengan Wulan? Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikannya.”

Rangga menghela napas berat. “Wulan… dia mencintaiku sejak kecil, tapi aku tidak pernah membalasnya. Aku pikir dia akan menerima perjodohan ini, tapi sepertinya dia kesal. Aku akan bicara dengannya, Lestari. Aku ingin kau merasa aman.”

Malam itu, saat Lestari kembali ke kamarnya, ia menemukan sebuah surat kecil terselip di bawah pintu. Tulisan tangan Wulan yang rapi namun tegang berbunyi: Rangga bukan seperti yang kau kira. Aku akan membuktikan itu. Hatinya bergetar, tapi ia memandang kalung di tangannya, merasa ada kekuatan baru. Ia menulis di buku catatannya: Di ujung ketidakpastian, cahaya muncul. Tapi bayang-bayang masih menanti, dan aku akan menghadapinya.

Lestari tidak tidur malam itu. Ia memainkan angklung dan mengenakan kalung itu, memutuskan untuk mencari kebenaran. Besok, ia akan berbicara dengan Wulan, bukan untuk bertarung, tetapi untuk memahami. Di luar, angin malam bertiup pelan, membawa janji akan hari baru yang penuh harapan dan tantangan.

Ikatan Hati di Balik Perjodohan menawarkan lebih dari sekadar kisah cinta—ini adalah refleksi tentang keberanian menghadapi tradisi dan menemukan cinta sejati di tengah ketidakpastian. Perjalanan Lestari dan Rangga akan menginspirasi Anda untuk merenungkan makna perjuangan dan harapan, dengan akhir yang penuh misteri dan janji baru. Jangan lewatkan setiap momen emosional yang akan membuat Anda terpikat hingga selesai.

Terima kasih telah menyelami keindahan kisah Ikatan Hati di Balik Perjodohan bersama kami. Tetap ikuti petualangan emosional lainnya, dan sampai bertemu di cerita berikutnya yang tak kalah memukau!

Leave a Reply