Daftar Isi
Temukan keindahan dan konflik emosional dalam cerpen Cinta di Bawah Bayang Perjodohan, sebuah kisah romansa perjodohan yang memikat hati. Mengisahkan perjuangan Kirana Salwasari dalam menyeimbangkan tradisi, cinta, dan mimpinya, cerita ini penuh dengan intrik, rahasia, dan momen-momen menyentuh yang akan membuat Anda terhanyut. Dengan latar budaya Indonesia yang kaya dan alur yang mendebarkan, cerpen ini wajib dibaca bagi Anda yang menyukai drama romansa dengan sentuhan emosi mendalam.
Cinta di Bawah Bayang Perjodohan
Pertemuan di Tepi Hujan
Langit kelabu menyelimuti desa kecil bernama Rengaswangi, sebuah tempat di mana waktu seolah berjalan lebih lambat, dihiasi sawah hijau dan deretan pohon kelapa yang menjulang. Di ujung desa, sebuah rumah kayu bercat putih dengan atap genteng merah berdiri sederhana, namun penuh cerita. Di sanalah Kirana Salwasari, seorang gadis berusia sembilan belas tahun, menatap hujan yang turun deras dari beranda rumahnya. Rambutnya yang panjang dan hitam legam tergerai, sedikit basah karena embusan angin membawa cipratan air. Matanya, cokelat tua dengan bulu mata lentik, memandang kosong ke arah sawah yang berkilau basah.
Kirana bukan gadis biasa. Di balik wajahnya yang lembut dan senyumnya yang jarang terlihat, ada jiwa yang penuh mimpi. Ia ingin menjadi penulis, menuangkan kisah-kisah yang lahir dari imajinasinya ke dalam lembaran kertas. Namun, di desa kecil ini, mimpi seperti itu dianggap terlalu besar, terlalu jauh dari kenyataan. Apalagi, keluarganya—khususnya ibunya, Nyai Rukmini—memiliki rencana lain untuknya. Rencana yang membuat jantungan Kirana berdetak kencang setiap kali memikirkannya: perjodohan.
“Kirana, masuk! Nanti masuk angin!” teriak Nyai Rukmini dari dalam rumah, suaranya lembut namun tegas, seperti biasa. Kirana menghela napas, mengusap lengan yang mulai dingin, dan melangkah masuk. Di dalam, aroma kayu manis dari teh hangat yang diseduh ibunya menguar, menciptakan kehangatan yang kontras dengan udara sejuk di luar.
“Bu, aku tidak mau bertemu dengan laki-laki itu,” kata Kirana tiba-tiba, suaranya pelan namun penuh penolakan. Ia duduk di kursi kayu tua, tangannya meremas ujung kain sarung yang dikenakannya.
Nyai Rukmini, yang sedang menuang teh ke dalam cangkir tembaga, menoleh. Wajahnya yang sudah mulai keriput tetap memancarkan keanggunan seorang wanita yang pernah menjadi kebanggaan desa di masa mudanya. “Kirana, ini bukan soal mau atau tidak. Ini soal masa depanmu. Keluarga Candrakirana bukan sembarang keluarga. Mereka terhormat, dan laki-laki itu… Arga Wijayasena, dia baik. Kau akan suka padanya.”
Kirana mendengus pelan, matanya menatap cangkir teh di depannya seolah cangkir itu menyimpan jawaban atas kegelisahannya. “Baik? Bu, aku bahkan tidak tahu seperti apa wajahnya. Bagaimana aku bisa menikahi seseorang yang tidak kukenal?” Suaranya bergetar, campuran antara ketakutan dan kemarahan. Ia tidak ingin hidupnya ditentukan oleh tradisi, oleh keputusan yang dibuat tanpa sepengetahuannya.
Nyai Rukmini mendekat, duduk di samping putrinya, dan meraih tangannya dengan lembut. “Dulu, Ibu juga dijodohkan dengan Ayahmu. Kami tidak saling kenal, tapi cinta itu tumbuh, Kirana. Cinta itu seperti tanaman, perlu waktu dan perawatan. Kau akan belajar mencintai Arga.”
Kirana menarik tangannya perlahan, hatinya terasa sesak. Ia ingin berteriak, ingin lari dari semua ini, tetapi ia tahu itu tidak akan mengubah apa pun. Di desa ini, tradisi adalah hukum tak tertulis. Menolak per Ascalon perjodohan berarti menantang kehormatan keluarga, dan keluarga Kirana bukanlah keluarga biasa. Mereka memiliki nama besar, dan menolak perjodohan ini sama saja dengan menantang restu leluhur.
Malam itu, Kirana tidak bisa tidur. Ia duduk di tepi ranjang kayu di kamarnya, menatap buku catatan tempat ia biasa menulis cerita-ceritanya. Di halaman terakhir, ia menulis kalimat pendek: Aku ingin bebas. Kata-kata itu terasa seperti jeritan yang tidak bisa ia ucapkan. Ia membayangkan wajah Arga Wijayasena, pria yang katanya akan menjadi suaminya. Apakah ia akan mengerti mimpinya? Apakah ia akan membiarkannya menulis, atau akan seperti kebanyakan pria di desa ini, yang menganggap perempuan hanya perlu mengurus rumah dan anak?
Keesokan harinya, hujan telah reda, meninggalkan udara segar dan aroma tanah basah. Kirana dipaksa ibunya untuk berdandan, mengenakan kebaya sutra berwarna biru lembut yang disulam benang emas. Rambutnya ditata rapi, dengan bunga melati kecil diselipkan di sisi kepalanya. Ia benci mengakui bahwa ia terlihat cantik di cermin, tetapi hatinya tetap memberontak. Hari ini adalah hari pertemuan pertamanya dengan Arga.
Acara diadakan di balai desa, tempat yang biasanya digunakan untuk pertemuan adat atau perayaan. Kali ini, ruangan itu dihias dengan janur kuning dan bunga-bunga segar. Keluarga Candrakirana tiba dengan rombongan kecil, membawa seserahan berupa kain batik dan perhiasan emas yang disusun rapi dalam kotak kayu berukir. Kirana berdiri di samping ibunya, tangannya dingin dan jantungan berdegup kencang. Ia mencoba mencuri pandang ke arah Arga, yang berdiri di sisi lain ruangan, dikelilingi keluarganya.
Arga Wijayasena tidak seperti yang Kirana bayangkan. Ia tinggi, dengan postur tegap namun tidak terlalu berotot. Rambutnya hitam pendek, rapi, dan wajahnya… Kirana harus mengakui, wajahnya tidak buruk. Matanya tajam, dengan alis tebal yang memberi kesan serius, tetapi ada sedikit kelembutan di sudut bibirnya ketika ia tersenyum kecil kepada pamannya yang sedang bercanda. Ia mengenakan kemeja batik berwarna cokelat tua, yang membuatnya tampak sederhana namun elegan. Untuk sesaat, Kirana bertanya-tanya apakah pria ini benar-benar seburuk yang ia khawatirkan.
Pertemuan itu berlangsung formal. Kedua keluarga saling bertukar basa-basi, membicarakan silsilah keluarga dan tradisi. Kirana dan Arga hanya saling melirik, tidak diberi kesempatan untuk berbicara langsung. Namun, ada satu momen yang membuat hati Kirana tercekat. Ketika acara hampir selesai, Arga berjalan mendekatinya, membungkuk sopan, dan berkata dengan suara rendah yang hanya bisa didengar Kirana, “Aku tahu ini tidak mudah untukmu. Aku juga tidak siap. Tapi… boleh aku mengenalmu lebih jauh?”
Kata-kata itu sederhana, namun ada kejujuran di dalamnya yang membuat Kirana terdiam. Ia hanya mengangguk kecil, tidak yakin apa yang harus ia rasakan. Apakah ini awal dari sesuatu yang baik, atau hanya janji manis yang akan memudar? Saat rombongan keluarga Candrakirana pergi, Kirana kembali ke beranda rumahnya, menatap sawah yang kini disinari matahari sore. Hatinya masih penuh keraguan, tetapi ada setitik rasa ingin tahu yang mulai tumbuh—tentang Arga, tentang apa yang mungkin terjadi jika ia membuka hati.
Di dalam buku catatannya malam itu, ia menulis: Hujan telah berhenti, tapi badai di hatiku baru saja dimulai.
Bayang-Bayang di Antara Kita
Pagi di Rengaswangi selalu dimulai dengan nyanyian ayam jantan dan aroma asap kayu bakar dari dapur-dapur tetangga. Kirana bangun dengan perasaan campur aduk, tidurnya semalam dipenuhi mimpi samar tentang pernikahan, kerumunan orang, dan wajah Arga Wijayasena yang terus muncul di benaknya. Ia duduk di tepi ranjang, menatap buku catatan yang terletak di meja kecil di sudut kamar. Kalimat terakhir yang ia tulis—badai di hatiku—seolah menertawakannya, mengingatkannya bahwa ia tidak punya kendali atas apa yang akan terjadi.
Hari ini adalah hari kedua setelah pertemuan formal di balai desa, dan Nyai Rukmini sudah mengatur agar Kirana dan Arga bertemu lagi, kali ini dalam suasana yang lebih santai. “Kalian perlu bicara, mengenal satu sama lain,” kata ibunya pagi itu sambil menyisir rambut Kirana dengan sisir kayu yang sudah usang. “Arga akan datang ke pasar bersama keluarganya. Kau ikut Ibu ke sana, ya?”
Kirana hanya mengangguk, meski hatinya menolak. Pasar Rengaswangi adalah tempat yang ramai, penuh warna dan suara: pedagang yang menawarkan dagangan dengan teriakan nyaring, aroma rempah-rempah yang bercampur dengan bau ikan segar, dan tawa anak-anak yang berlarian di sela-sela kerumunan. Ia suka pasar, tapi kali ini ia merasa seperti akan masuk ke kandang singa. Bagaimana ia bisa berbicara dengan Arga di tengah keramaian itu? Dan yang lebih penting, apa yang harus ia katakan kepada pria yang bahkan tidak ia pilih sendiri?
Saat tiba di pasar, Kirana mengenakan kain batik sederhana berwarna hijau lumut dengan blus putih yang longgar. Ia memilih pakaian itu untuk merasa nyaman, bukan untuk mengesankan siapa pun. Nyai Rukmini berjalan di depan, membawa keranjang anyaman untuk membeli kebutuhan dapur, sementara Kirana mengikuti dengan langkah gontai. Matanya menyapu kerumunan, mencari sosok Arga, meski ia tidak yakin ingin menemukannya.
Tiba-tiba, suara yang dikenalnya memanggil dari belakang. “Kirana?” Suara itu rendah, sedikit ragu, namun cukup jelas di tengah hiruk-pikuk pasar. Kirana menoleh dan mendapati Arga berdiri beberapa langkah darinya, memegang sebungkus daun pisang yang berisi ikan segar. Ia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna abu-abu dan celana kain sederhana, namun ada sesuatu tentang caranya berdiri—tenang, namun penuh perhatian—yang membuat Kirana merasa sedikit kurang tegang.
“Pagi,” kata Arga, tersenyum kecil. Senyumnya tidak lebar, tapi ada kehangatan di dalamnya, seperti sinar matahari yang menyelinap di sela awan. “Aku… sedang membantu paman membeli ikan. Kau juga ke pasar?”
Kirana mengangguk, merasa lidahnya tiba-tiba kaku. “Iya, sama Ibu. Belanja untuk minggu ini.” Ia melirik ke arah Nyai Rukmini, yang kini sedang tawar-menawar dengan pedagang sayur di kejauhan, seolah sengaja memberi mereka ruang.
Arga mengangguk, lalu menunjuk ke arah warung kecil di sudut pasar yang menjual es kelapa muda. “Mau minum apa? Aku traktir. Panas di sini.” Tawarannya sederhana, tapi ada nada tulus yang membuat Kirana tidak langsung menolak.
Mereka akhirnya duduk di bangku kayu di bawah tenda warung, masing-masing memegang gelas es kelapa yang dinginnya menyegarkan. Untuk beberapa saat, mereka diam, hanya mendengar suara pasar dan denting sendok yang mengaduk es. Kirana merasa canggung, tapi juga penasaran. Ia mencuri pandang ke arah Arga, memperhatikan caranya memegang gelas dengan tangan yang besar namun terlihat lembut, dan garis rahangnya yang tegas namun tidak kaku.
“Aku dengar kau suka menulis,” kata Arga tiba-tiba, memecah keheningan. Matanya menatap Kirana dengan penuh minat, bukan sekadar basa-basi. “Cerita apa yang kau tulis?”
Kirana tersentak. Bagaimana ia tahu? Mungkinkah ibunya yang bercerita? Ia merasa sedikit tersinggung, tapi juga tersanjung karena Arga tampak benar-benar ingin tahu. “Cerita… tentang orang-orang, tentang mimpi,” jawabnya pelan, memilih kata-kata dengan hati-hati. “Tentang orang yang ingin bebas, tapi terikat oleh sesuatu yang lebih besar dari mereka.”
Arga mengangguk, seolah memahami. “Aku suka membaca, tapi aku tidak begitu pandai menulis. Aku lebih suka membuat sesuatu dengan tangan.” Ia mengangkat tangannya, menunjukkan telapak yang sedikit kasar, tanda ia sering bekerja. “Aku belajar membuat perabot kayu dari ayahku. Tidak terlalu hebat, tapi… aku suka melihat sesuatu tercipta dari nol.”
Kirana tidak bisa menahan senyum kecil. Ada sesuatu yang menyenangkan tentang kejujuran Arga, tentang caranya berbicara tanpa berusaha memamerkan apa pun. Mereka mulai berbincang, awalnya ragu-ragu, tapi perlahan mengalir. Arga bercerita tentang masa kecilnya di desa tetangga, tentang bagaimana ia pernah jatuh dari pohon mangga saat mencuri buah, dan bagaimana ia selalu merasa tidak cocok dengan ekspektasi keluarganya untuk menjadi “pria terhormat” yang kaku. Kirana, meski awalnya enggan, mulai membuka diri. Ia bercerita tentang mimpinya untuk menerbitkan buku, tentang cerita-cerita yang ia tulis di malam hari, dan tentang ketakutannya bahwa pernikahan ini akan mengubur semua itu.
Namun, di tengah percakapan yang mulai terasa hangat, sebuah bayang-bayang muncul. Seorang wanita muda, berpakaian kain batik mewah dengan anting emas yang berkilau, mendekati mereka. Wajahnya cantik, dengan senyum yang manis namun penuh arti. “Arga, kau di sini?” katanya, suaranya lembut namun tajam, seperti pisau yang tersembunyi di balik sutra. “Aku kira kau sedang membantu Paman di pasar.”
Arga tampak sedikit tegang, tapi ia tetap tersenyum. “Sari, ini Kirana. Kirana, ini Saraswati, sepupuku.”
Kirana mengangguk, mencoba tersenyum, tapi ada sesuatu di mata Saraswati yang membuatnya tidak nyaman. Tatapan itu bukan sekadar ramah; ada nada posesif, seolah ia sedang menandai wilayahnya. “Oh, jadi ini Kirana yang dijodohkan denganmu,” kata Saraswati, nada suaranya manis namun penuh sindiran. “Aku dengar banyak tentangmu. Semoga kau betah di keluarga kami.”
Kirana merasakan dadanya sesak. Ia tidak tahu mengapa, tapi kehadiran Saraswati membuatnya merasa seperti orang asing. Percakapan mereka terhenti, dan Arga tampak berusaha mengalihkan topik, tapi suasana sudah berubah. Saraswati akhirnya pergi setelah beberapa menit, tapi bayang-bayang kehadirannya tetap tinggal di hati Kirana.
Saat mereka berjalan kembali ke kerumunan pasar, Arga mencoba menghibur. “Jangan pikirkan Saraswati. Dia… kadang suka bercanda,” katanya, tapi nadanya kurang meyakinkan. Kirana hanya mengangguk, tapi di dalam hatinya, ia merasa ada rahasia yang disembunyikan Arga. Apakah Saraswati benar-benar hanya sepupu? Atau ada sesuatu yang lebih dalam di antara mereka?
Malam itu, Kirana kembali menulis di buku catatannya. Kali ini, ia menulis tentang seorang gadis yang tersesat di pasar, mencari jalan pulang, tapi terus dihantui oleh bayang-bayang yang tidak ia pahami. Kalimat terakhirnya berbunyi: Aku ingin percaya pada kebaikan hatinya, tapi mengapa ada begitu banyak rahasia di matanya?
Retak di Bawah Permukaan
Langit Rengaswangi pagi itu cerah, dengan awan putih tipis yang bergerak perlahan seperti kapas yang ditiup angin. Kirana berdiri di beranda rumahnya, memegang secangkir teh jahe yang uapnya mengepul lembut. Aroma rempah-rempah dari teh itu biasanya menenangkannya, tapi hari ini pikirannya terlalu penuh untuk bisa rileks. Pertemuan di pasar dengan Arga Wijayasena dan kehadiran Saraswati yang tak terduga masih menghantui benaknya. Ada sesuatu tentang Saraswati—tatapannya, senyumnya yang penuh makna—yang membuat Kirana merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang, tidak yakin apakah ia akan melangkah maju atau jatuh.
Hari ini, Nyai Rukmini mengumumkan bahwa keluarga Candrakirana mengundang mereka untuk makan malam di rumah besar mereka di desa sebelah, sebuah tempat yang dikenal sebagai salah satu kediaman paling megah di wilayah itu. “Ini kesempatan baik, Kirana,” kata ibunya sambil menyiapkan seserahan kecil berupa kue tradisional yang dibungkus daun pisang. “Kau bisa melihat bagaimana keluarga Arga hidup. Mereka orang baik, dan kau harus mulai membiasakan diri.”
Kirana hanya mengangguk, tapi hatinya berontak. Ia tidak ingin membiasakan diri. Ia ingin menulis, ingin melarikan diri ke dunia imajinasinya di mana ia bebas memilih jalan hidupnya. Namun, ia tahu perlawanan itu sia-sia. Tradisi di Rengaswangi seperti rantai tak terlihat, mengikatnya pada ekspektasi keluarga dan desa. Ia mengenakan kebaya berwarna merah marun dengan sulaman bunga di bagian dada, rambutnya ditata sederhana dengan jepit perak peninggalan neneknya. Di cermin, ia melihat wajahnya sendiri—cantik, tapi matanya penuh keraguan.
Perjalanan ke rumah keluarga Candrakirana memakan waktu sekitar satu jam dengan mobil tua yang disewa dari tetangga. Sepanjang jalan, Kirana menatap keluar jendela, melihat sawah yang bergoyang diterpa angin dan anak-anak yang bermain di tepi jalan berdebu. Ia mencoba membayangkan hidup bersama Arga, tapi setiap kali bayangan itu muncul, wajah Saraswati menyelinap masuk, membawa serta rasa tidak nyaman yang sulit dijelaskan.
Rumah keluarga Candrakirana berdiri megah di tengah pekarangan luas yang dihiasi pohon mangga dan bunga kamboja. Bangunan itu bercat putih dengan pilar-pilar kayu jati yang diukir rumit, atapnya tinggi dengan genteng merah tua yang mengilap di bawah sinar matahari sore. Di halaman depan, sebuah meja panjang sudah disiapkan dengan taplak kain batik dan hidangan yang tersusun rapi: nasi liwet dengan daun pisang, ayam bakar berlumur bumbu kuning, sayur kolplayo, dan berbagai kue tradisional yang menggoda. Aroma masakan menguar, bercampur dengan wangi bunga kamboja yang gugur di tanah.
Arga menyambut mereka di pintu masuk, mengenakan kemeja batik berwarna biru tua yang membuat matanya tampak lebih dalam. “Selamat datang, Nyai Rukmini, Kirana,” katanya, suaranya hangat namun sedikit formal. Ia membungkuk sopan kepada ibunya Kirana, lalu melirik Kirana dengan senyum kecil yang membuat jantungan gadis itu berdetak lebih cepat. “Senang kalian bisa datang.”
Makan malam berlangsung dengan penuh tawa dan cerita dari kedua keluarga. Paman Arga, seorang pria bertubuh tambun dengan suara menggelegar, menceritakan kisah-kisah masa muda keluarga Candrakirana, sementara ibunya Arga, Nyai Suryani, dengan ramah menawarkan tambahan makanan kepada Kirana. Namun, di tengah suasana yang hangat, Kirana merasa seperti orang luar. Ia duduk di samping Arga, tapi Saraswati—yang ternyata juga hadir—duduk di sisi lain pria itu, dan kehadirannya seperti awan gelap di hari yang cerah.
Saraswati mengenakan kebaya sutra berwarna ungu tua yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, rambutnya ditata elegan dengan sanggul kecil yang dihiasi bunga emas. Ia tersenyum manis, berbicara dengan anggun, tapi setiap kali matanya bertemu dengan Kirana, ada kilatan yang sulit diartikan—seperti campuran iri hati dan tantangan. Saat makan malam hampir selesai, Saraswati tiba-tiba berkata, “Arga, ingat tidak, dulu kita sering main di kebun belakang rumah ini? Kau selalu bilang ingin membuat meja kayu untukku.” Ia tertawa ringan, tapi ada nada intim dalam suaranya yang membuat Kirana menegang.
Arga tersenyum kaku, mengangguk. “Itu sudah lama, Sari. Kita masih kecil waktu itu.” Ia melirik Kirana, seolah ingin memastikan bahwa gadis itu tidak salah paham, tapi Kirana sudah merasakan sesak di dadanya. Ia menunduk, mencoba fokus pada piring di depannya, tapi makanan itu tiba-tiba terasa hambar.
Setelah makan malam, Arga mengajak Kirana berjalan-jalan di kebun belakang rumah. Langit sudah gelap, hanya diterangi oleh lampu taman kecil dan sinar bulan yang samar. Kebun itu luas, dengan pohon-pohon mangga tua dan semak bunga yang harum. Di sudut kebun, ada sebuah bangku kayu sederhana yang tampak dibuat dengan tangan. “Aku yang membuat ini,” kata Arga, suaranya pelan. “Bukan untuk Saraswati, kalau itu yang kau pikirkan.”
Kirana terkejut. Bagaimana Arga tahu apa yang ada di pikirannya? Ia memaksakan senyum kecil. “Aku tidak memikirkan apa-apa. Hanya… Saraswati sepertinya sangat dekat denganmu.”
Arga menghela napas, duduk di bangku itu dan mengundang Kirana untuk duduk di sampingnya. “Sari adalah sepupuku, tapi… ya, kami memang dekat saat kecil. Dia seperti adik bagiku. Tapi akhir-akhir ini, dia agak… sulit. Aku tidak tahu kenapa.” Ia menatap Kirana, matanya penuh kejujuran. “Aku ingin kau tahu, Kirana, aku tidak punya perasaan apa-apa padanya. Aku ingin kita, kau dan aku, mencoba membangun sesuatu. Kalau kau mau.”
Kata-kata itu seharusnya menghibur, tapi Kirana merasa ada retak di hatinya. Ia ingin percaya pada Arga, tapi bayang-bayang Saraswati, tradisi perjodohan, dan ketakutannya sendiri membuatnya ragu. “Aku tidak tahu apakah aku bisa,” jawabnya jujur, suaranya hampir berbisik. “Aku takut, Arga. Takut kehilangan diriku sendiri dalam semua ini.”
Arga tidak langsung menjawab. Ia memandang ke arah pohon-pohon yang bergoyang pelan diterpa angin malam. “Aku juga takut,” katanya akhirnya. “Aku takut tidak bisa menjadi apa yang kau inginkan. Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin mengenalmu, Kirana. Bukan karena keluargaku atau keluargamu, tapi karena aku melihat sesuatu di matamu—sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak.”
Untuk pertama kalinya, Kirana merasa ada secercah harapan. Arga bukan hanya pria yang dijodohkan dengannya; ia adalah seseorang yang mungkin, hanya mungkin, bisa memahami mimpinya. Tapi saat mereka berjalan kembali ke rumah, Kirana melihat Saraswati berdiri di beranda, memandang mereka dengan mata yang penuh rahasia. Hati Kirana kembali tenggelam. Ada sesuatu yang belum terucap, sesuatu yang bisa menghancurkan semua harapan kecil yang baru saja mulai tumbuh.
Malam itu, di kamarnya, Kirana menulis di buku catatannya: Di bawah sinar bulan, aku ingin percaya pada kata-katanya. Tapi mengapa bayang-bayang itu terus mengintai, menunggu untuk merenggut apa yang belum benar-benar kumiliki?
Cahaya di Ujung Bayang
Pagi di Rengaswangi terasa berbeda hari ini. Udara terasa lebih ringan, seolah alam turut merasakan gejolak yang bergolak di hati Kirana Salwasari. Matahari pagi menyelinap melalui celah-celah daun kelapa, menciptakan pola cahaya yang menari di beranda rumah kayu tempat Kirana duduk. Ia memegang buku catatannya, jari-jarinya menelusuri kalimat terakhir yang ia tulis semalam: Bayang-bayang itu terus mengintai. Kata-kata itu terasa seperti ramalan, dan hatinya masih dipenuhi keraguan tentang Arga, Saraswati, dan masa depan yang menantinya. Namun, hari ini adalah hari yang menentukan—hari ketika keluarga Candrakirana akan datang untuk meminta restu secara resmi, langkah terakhir sebelum pernikahan diumumkan.
Kirana mengenakan kebaya berwarna krem dengan sulaman benang perak yang halus, pilihannya kali ini lebih sederhana namun elegan, mencerminkan perasaannya yang ingin tetap rendah hati di teng54ah tekanan tradisi. Nyai Rukmini sibuk di dapur, mengatur hidangan untuk tamu: ketupat lebaran, opor ayam yang harum dengan santan kental, dan kue-kue tradisional yang disusun rapi dalam wadah anyaman bambu. Aroma rempah-rempah memenuhi rumah, tetapi Kirana merasa mual, bukan karena makanan, melainkan karena beban yang ia rasakan di dadanya.
“Kirana, kau baik-baik saja?” tanya Nyai Rukmini, menyadari wajah pucat putrinya. Ia menghentikan aktivitasnya sejenak, mendekati Kirana, dan memegang bahunya dengan lembut. “Ini hari besar, Nak. Kau harus tersenyum. Arga adalah pria baik, dan keluarganya menghormati kita.”
Kirana ingin menjawab, ingin mengatakan bahwa ia takut, bahwa ia merasa seperti burung yang dikurung dalam sangkar emas. Tapi ia hanya mengangguk, matanya tertunduk. “Aku baik-baik saja, Bu,” dustanya, suaranya hampir tak terdengar.
Saat keluarga Candrakirana tiba, rumah kecil itu seolah dipenuhi energi baru. Nyai Suryani, ibu Arga, membawa seserahan berupa kain batik tulis dan perhiasan emas yang disusun dalam kotak kayu berukir indah. Paman Arga, yang selalu ceria, membawa tawa dengan cerita-ceritanya, tetapi Kirana memperhatikan bahwa Saraswati juga hadir, berdiri di sisi Nyai Suryani dengan senyum yang tampak dipaksakan. Ia mengenakan kebaya hijau zamrud yang membuatnya tampak seperti ratu, tetapi matanya—mata yang selalu penuh rahasia itu—terus melirik ke arah Kirana dan Arga.
Acara dimulai dengan doa yang dipimpin oleh tetua desa, seorang pria tua dengan suara serak namun penuh wibawa. Setelah itu, perwakilan keluarga Candrakirana menyampaikan maksud kedatangan mereka: meminta restu untuk menjadikan Kirana sebagai bagian dari keluarga mereka. Arga duduk di sisi ayahnya, tampak tegang namun berusaha tenang. Ia sesekali melirik Kirana, mencoba menangkap pandangannya, tetapi Kirana terus menunduk, jari-jarinya meremas ujung kebaya dengan gugup.
Ketika tiba giliran keluarga Kirana untuk menjawab, Nyai Rukmini berbicara dengan penuh kehangatan, menerima lamaran itu dengan syukur. Sorak kecil dari para tamu menggema, tetapi Kirana merasa dunianya menyempit. Ia merasa seperti sedang menyaksikan hidupnya ditulis oleh orang lain, tanpa ia memiliki kuasa untuk mengubah alur ceritanya. Namun, di tengah kekacauan batinnya, Arga tiba-tiba berdiri dan meminta izin untuk berbicara.
“Aku tahu ini adalah tradisi keluarga kita,” katanya, suaranya tegas namun penuh perasaan. “Tapi aku ingin bicara dari hati. Kirana, aku tahu kau tidak memilih ini, sama seperti aku. Aku tahu kau punya mimpi, dan aku tidak ingin menjadi orang yang menghentikanmu.” Ia berhenti sejenak, menatap Kirana dengan mata yang penuh kejujuran. “Aku berjanji, jika kau bersedia menjadi bagian dari hidupku, aku akan mendukung mimpimu. Aku ingin kita membangun sesuatu bersama, bukan karena tradisi, tapi karena kita saling memilih.”
Ruangan menjadi hening. Bahkan Paman Arga, yang biasanya selalu punya lelucon, tampak terdiam. Nyai Rukmini menatap Arga dengan mata berkaca-kaca, sementara Nyai Suryani tersenyum bangga. Tapi di sudut ruangan, Saraswati berdiri dengan wajah yang membeku. Kirana bisa melihat tangannya mengepal, dan untuk sesaat, ia merasa ada badai yang akan datang.
Malam itu, setelah para tamu pulang, Kirana dan Arga mendapat kesempatan untuk berbicara berdua di beranda rumah. Langit malam dipenuhi bintang, dan angin membawa aroma tanah yang masih basah setelah hujan singkat sore tadi. Arga memegang sebuah kotak kayu kecil, yang ia keluarkan dari saku kemejanya. “Ini untukmu,” katanya, membuka kotak itu untuk memperlihatkan sebuah jepit rambut sederhana namun indah, terbuat dari kayu cendana dengan ukiran bunga kecil. “Aku membuatnya sendiri. Aku tahu kau suka yang sederhana.”
Kirana mengambil jepit itu, jari-jarinya menyentuh permukaan kayu yang halus. Ada kehangatan dalam gestur itu, sesuatu yang membuat hatinya luluh untuk pertama kalinya. “Terima kasih,” katanya pelan, matanya bertemu dengan mata Arga. “Aku… aku masih takut, Arga. Tapi aku mulai berpikir, mungkin… mungkin aku bisa mencoba.”
Arga tersenyum, kali ini lebih lebar dari biasanya. “Itu cukup untukku sekarang,” jawabnya. “Kita punya waktu, Kirana. Kita akan belajar bersama.”
Namun, saat Kirana kembali ke kamarnya malam itu, ia menemukan sebuah catatan kecil terselip di bawah pintu. Tulisan tangan yang rapi, namun penuh tekanan, berbunyi: Jangan terlalu percaya pada janji manis. Aku tahu siapa Arga sebenarnya. Tidak ada tanda tangan, tetapi Kirana tahu siapa yang menulisnya. Saraswati. Hatinya kembali terguncang, dan keraguan yang baru saja mulai memudar kini muncul kembali, lebih kuat dari sebelumnya.
Kirana duduk di tepi ranjang, memegang jepit rambut kayu dari Arga di satu tangan dan catatan dari Saraswati di tangan lainnya. Ia merasa seperti berada di persimpangan: satu jalan menuju harapan bersama Arga, jalan lain menuju rahasia yang bisa menghancurkan segalanya. Ia membuka buku catatannya, menulis dengan tangan yang sedikit gemetar: Di bawah bintang-bintang, aku melihat cahaya. Tapi di balik cahaya itu, bayang-bayang masih menunggu. Apakah aku cukup kuat untuk menghadapinya?
Malam itu, Kirana tidak tidur. Ia menatap jepit rambut kayu itu, mencoba memahami apakah ia bisa mempercayai Arga, atau apakah Saraswati menyimpan kebenaran yang akan mengubah segalanya. Di luar, angin malam bertiup pelan, membawa serta bisikan tentang masa depan yang masih penuh misteri. Tapi di dalam hati Kirana, ada secercah tekad baru—ia akan mencari tahu kebenaran, bukan untuk keluarganya, bukan untuk tradisi, tetapi untuk dirinya sendiri.
Cinta di Bawah Bayang Perjodohan bukan sekadar cerita cinta, tetapi juga cerminan perjuangan hati melawan tradisi dan rahasia yang tersembunyi. Kisah Kirana dan Arga akan mengajak Anda merenungi makna cinta sejati dan keberanian untuk memperjuangkan mimpi di tengah tekanan sosial. Jangan lewatkan setiap bab yang penuh emosi dan kejutan, yang akan meninggalkan Anda penasaran hingga akhir.
Terima kasih telah menyelami keindahan kisah Cinta di Bawah Bayang Perjodohan bersama kami. Tetaplah terinspirasi oleh cerita-cerita penuh makna, dan sampai jumpa di petualangan romansa berikutnya!


