Daftar Isi
Pernahkah Anda terpikat oleh kisah seorang pemimpin yang mengubah dunia melalui keberanian dan keimanan? Dalam cerita pendek berjudul Perjuangan Nabi Muhammad SAW: Kisah Keberanian dan Cahaya Ilahi, Anda akan diajak menyelami perjalanan luar biasa Nabi Muhammad SAW, dari seorang yatim piatu di Mekah hingga menjadi pembawa pesan ilahi yang menginspirasi jutaan jiwa. Penuh emosi, kesedihan, dan kemenangan, kisah ini menggambarkan pengorbanan, ketabahan, dan cinta yang membentuk awal Islam. Temukan kekuatan spiritual yang dapat memotivasi hidup Anda melalui perjuangan Nabi yang luar biasa ini.
Perjuangan Nabi Muhammad SAW
Bayang-Bayang Sebelum Panggilan
Di tengah padang pasir Mekah yang gersang, di bawah langit yang luas dan panas menyengat, lahir seorang anak laki-laki yang kelak akan mengubah sejarah dunia. Ia dikenal dengan nama Muhammad bin Abdullah, namun bagi keluarganya dan orang-orang terdekat, ia adalah Quthaybah, julukan penuh harapan yang berarti “yang membawa kehidupan baru.” Tahun itu adalah Tahun Gajah, sekitar 570 Masehi, ketika pasukan bergajah Abrahah gagal menghancurkan Ka’bah, menandai awal dari sebuah era yang penuh makna. Mekah, dengan debu merahnya dan suara unta yang bergema, bukanlah tempat yang mudah untuk bertahan hidup, apalagi bagi seorang anak yatim yang lahir dalam keluarga Quraisy yang sederhana.
Quthaybah kehilangan ibunya, Aminah, saat ia baru berusia enam tahun. Aminah, seorang wanita lembut dengan mata penuh kasih, meninggalkannya setelah perjalanan panjang dari Madinah ke Mekah untuk mengunjungi makam ayahnya, Abdullah, yang telah tiada sebelum Quthaybah lahir. Di malam terakhirnya, Aminah memeluk Quthaybah erat di bawah tenda sederhana, bisiknya penuh doa, “Wahai anakku, engkau adalah harapan kami. Tuhan akan memandu langkahmu.” Kematian Aminah meninggalkan luka dalam di hati Quthaybah, yang masih ingat aroma wangi kayu cendana yang selalu melekat pada ibunya. Ia hanya bisa menangis diam-diam, dipeluk oleh kakeknya, Abdul Muttalib, yang menjadi penjaga sementara baginya.
Abdul Muttalib, seorang pemimpin terhormat dari Bani Hasyim, adalah sosok yang teguh namun penuh kasih. Dengan jenggot putihnya yang menjuntai dan mata yang bijaksana, ia sering duduk di bawah pohon kurma tua di dekat Ka’bah, menceritakan kisah-kisah leluhur kepada Quthaybah. “Engkau istimewa, Nak,” katanya suatu sore, sambil menatap mata cucunya yang dalam. “Aku melihat cahaya di wajahmu.” Namun, kehangatan itu tidak bertahan lama. Ketika Quthaybah berusia delapan tahun, Abdul Muttalib meninggal dunia karena sakit usia tua, meninggalkan Quthaybah dalam asuhan pamannya, Abu Thalib. Rumah Abu Thalib kecil, dengan dinding tanah dan atap jerami yang bocor saat hujan, namun penuh dengan kehangatan keluarga besar yang saling mendukung.
Hidup bersama Abu Thalib bukanlah tanpa tantangan. Keluarga ini hidup dalam kemiskinan relatif, bergantung pada perdagangan unta dan sesekali pekerjaan sebagai penggembala. Quthaybah sering membantu pamannya menggiring unta melalui padang pasir yang panas, kakinya terbakar oleh pasir yang membakar dan tangannya kasar karena memegang tali kendali. Di malam hari, di bawah langit yang bertabur bintang, ia duduk bersama anak-anak Abu Thalib, mendengarkan cerita tentang dewa-dewa yang disembah masyarakat Mekah. Namun, di hatinya, Quthaybah merasa ada yang janggal. Ia sering melihat orang-orang berdoa kepada patung di Ka’bah, menawarkan kurban demi keuntungan pribadi, dan itu membuatnya gelisah. “Mengapa kita menyembah batu, Paman?” tanyanya suatu malam kepada Abu Thalib. Pamannya hanya tersenyum, “Tanyakan pada hatimu, Quthaybah. Tuhan yang sejati tidak membutuhkan patung.”
Seiring bertambahnya usia, Quthaybah mulai bekerja sebagai penggembala dan pedagang muda. Di usia dua belas tahun, ia ikut Abu Thalib dalam perjalanan dagang ke Syam (Suriah). Perjalanan itu panjang dan melelahkan, melewati bukit-bukit berbatu dan lembah yang kering. Di sebuah tempat peristirahatan di Busra, seorang pendeta Kristen tua bernama Bahira memperhatikan Quthaybah. Dengan mata yang tajam dan jenggot putih panjang, Bahira mendekatinya dan berkata, “Anak ini membawa tanda kenabian. Lindungilah dia dari bahaya.” Abu Thalib terkejut, tetapi ia mengangguk, menyadari ada sesuatu yang istimewa pada keponakannya. Perjalanan itu meninggalkan kesan mendalam pada Quthaybah, yang mulai merasa ada panggilan besar dalam dirinya, meski ia belum memahaminya.
Kehidupan di Mekah semakin keras seiring waktu. Masyarakat Quraisy, yang menguasai perdagangan dan Ka’bah, sering menindas keluarga miskin seperti Bani Hasyim. Quthaybah sering menyaksikan ketidakadilan: pedagang kaya yang menipu, budak yang disiksa, dan anak-anak yang kelaparan di sudut-sudut pasar. Di usia remaja, ia mulai dikenal sebagai “Al-Amin,” yang berarti “yang dapat dipercaya,” karena kejujurannya dalam berdagang. Ia menolak menipu atau memalsu timbangan, meski itu berarti ia kehilangan pelanggan. “Kebenaran lebih berharga dari emas,” katanya kepada Abu Thalib, yang tersenyum bangga.
Namun, di balik ketenangan Quthaybah, ada luka yang tak pernah sembuh. Setiap kali ia melewati tempat di mana Aminah pernah duduk menjahit, atau pohon kurma tempat Abdul Muttalib bercerita, ia merasa kesepian. Di malam-malam sunyi, ia sering duduk di bukit kecil di luar Mekah, menatap bintang-bintang, dan berdoa dalam hati, “Ya Tuhan, jika Engkau ada, tunjukkan jalan kepada hamba-Mu.” Doa itu menjadi pengulangan setiap malam, seolah ia menanti sesuatu yang besar.
Di usia dua puluh lima tahun, kehidupan Quthaybah mengalami perubahan besar. Ia bekerja untuk seorang janda kaya bernama Khadijah binti Khuwaylid, yang terkenal akan kecerdasan dan bisnisnya. Khadijah, dengan mata cerdas dan senyum hangat, mempercayakan Quthaybah untuk mengelola perdagangan ke Syam. Perjalanan itu sukses luar biasa, dan Khadijah terkesan dengan integritas Quthaybah. Suatu hari, Khadijah mengutus seorang pembantunya, Nafisah, untuk menyampaikan tawaran pernikahan. Quthaybah, yang awalnya terkejut, menerima tawaran itu setelah berdoa dan meminta nasihat Abu Thalib. Pernikahan dengan Khadijah membawa kestabilan finansial, tetapi juga tanggung jawab baru. Khadijah, dengan empat anak perempuan yang ia miliki dari pernikahan sebelumnya, menjadi pendamping setia Quthaybah.
Hidup bersama Khadijah membawa kedamaian bagi Quthaybah, tetapi ia semakin sering menyendiri. Ia mulai menghabiskan waktu di Gua Hira, sebuah celah kecil di Gunung Nur di luar Mekah, untuk merenung dan berdoa. Di sana, di bawah kegelapan gua yang dingin, ia merasa lebih dekat dengan Tuhan yang ia cari. Ia membawa sedikit makanan dan air, duduk berjam-jam, menatap langit malam melalui celah batu, dan memohon petunjuk. Masyarakat Mekah menganggapnya aneh, tetapi Abu Thalib selalu mendukungnya. “Ikuti hatimu, Nak. Tuhan mendengar doamu,” katanya.
Di usia empat puluh tahun, tepatnya pada bulan Ramadan, Quthaybah sedang dalam salah satu sesi perenungannya di Gua Hira. Malam itu, angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan ringan. Tiba-tiba, sebuah cahaya terang menyelinap ke dalam gua, dan sosok malaikat Jibril muncul di hadapannya, menyampaikan wahyu pertama: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.” Quthaybah gemetar, tubuhnya berkeringat dingin, dan hatinya berdegup kencang. Ia berlari pulang ke Khadijah, menangis dan bingung, “Tutupiku, aku takut!” Khadijah, dengan penuh ketenangan, memeluknya dan berkata, “Tidak, kau adalah orang yang dipercaya. Tuhan tidak akan menyia-nyiakanmu.”
Panggilan itu menjadi awal dari perjuangan besar. Quthaybah, yang kini dikenal sebagai Nabi Muhammad SAW, tahu bahwa jalan ini akan penuh rintangan, tetapi ia siap menghadapinya, dipandu oleh cahaya ilahi yang mulai menerangi hatinya. Di balik dinding Mekah yang keras, sebuah revolusi spiritual sedang dimulai, dan Quthaybah berdiri di garis depan, dengan kenangan Aminah, Abdul Muttalib, dan Citra sebagai kekuatan yang tak pernah padam.
Ujian Awal Dakwah
Setelah pengalaman pertama menerima wahyu di Gua Hira pada bulan Ramadan tahun 610 Masehi, Quthaybah bin Abdullah—yang kini dikenal sebagai Nabi Muhammad SAW—kembali ke rumahnya di Mekah dengan hati yang penuh gejolak. Pagi itu, saat matahari baru menampakkan sinarnya di ufuk timur Mekah, udara dingin masih menyelimuti lembah, membawa aroma tanah basah dan debu pasir. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena udara sejuk, tetapi juga karena beban tanggung jawab yang tiba-tiba turun ke pundaknya. Khadijah, istrinya yang bijaksana, menyambutnya dengan pelukan hangat di dalam rumah sederhana mereka yang terbuat dari batu dan lumpur. “Ceritakan padaku, apa yang kau lihat,” katanya lembut, matanya penuh perhatian.
Dengan suara yang masih bergetar, Muhammad menceritakan pertemuan dengan malaikat Jibril, cahaya terang yang menyelinap ke dalam gua, dan perintah untuk membaca. “Aku takut, Khadijah. Aku tak tahu apakah ini benar atau hanya ilusi,” akunya, tangannya mencengkeram kain jubahnya. Khadijah, dengan kepercayaan yang teguh, menggenggam tangannya erat. “Tidak, wahai suamiku. Engkau adalah orang yang jujur dan terpercaya. Jika Tuhan memilihmu, maka itu adalah kehormatan besar,” ujarnya, mengingatkan akan julukan “Al-Amin” yang telah melekat pada Muhammad sejak lama. Ia lalu mengajak Muhammad menemui pamannya, Waraqah bin Nawfal, seorang Kristen tua yang memahami kitab suci.
Waraqah, dengan rambut putih dan mata yang redup karena usia, mendengarkan cerita Muhammad dengan penuh perhatian di sudut rumahnya yang sederhana. Setelah mendengar, Waraqah mengangguk perlahan, matanya berkaca-kaca. “Ini adalah malaikat yang pernah datang kepada Musa. Engkau adalah nabi bangsa ini,” katanya dengan suara parau. “Namun, bersiaplah, karena orang-orang akan menentangmu.” Kata-kata itu seperti ramalan yang menggantung di udara, membuat hati Muhammad semakin berat. Namun, Waraqah juga memberikan penghiburan, “Jika aku masih hidup saat itu, aku akan mendukungmu sepenuh hati.” Dukungan itu menjadi kekuatan awal bagi Muhammad, meski Waraqah segera meninggal dunia tak lama setelah pertemuan itu.
Setelah wahyu pertama, Muhammad mulai menerima wahyu-wahyu berikutnya secara bertahap. Setiap kali Jibril muncul, ia merasa tubuhnya seperti tertekan, suara malaikat itu bergema di telinganya, dan ayat-ayat Al-Qur’an turun dengan keindahan yang tak terucapkan. Ia sering menyendiri di Gua Hira, mencatat wahyu di kulit unta atau tulang yang ia bawa, dengan bantuan Khadijah yang menjadi pendengar setia. Rumah mereka menjadi tempat rahasia di mana wahyu dibahas, bersama dengan beberapa orang terdekat seperti Ali bin Abi Thalib, sepupunya yang masih muda, dan Zayd bin Harithah, budak yang telah ia bebaskan.
Namun, dakwah awal tidak berjalan mulus. Ketika Muhammad mulai menyebarkan pesan monoteisme—menyeru untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan patung-patung di Ka’bah—ia menghadapi tentangan keras dari pemuka Quraisy. Mekah, yang makmur dari perdagangan dan ziarah ke Ka’bah, bergantung pada tradisi penyembahan berhala. Pemimpin seperti Abu Jahal dan Abu Sufyan melihat ajaran Muhammad sebagai ancaman terhadap kekuasaan dan ekonomi mereka. Suatu hari, saat Muhammad berdakwah di dekat Ka’bah, Abu Jahal menghampirinya dengan wajah merah karena marah. “Kau ingin menghancurkan tradisi kami, Muhammad? Kau akan menyesal!” bentaknya, diiringi tawa sinis dari pengikutnya. Muhammad hanya diam, matanya penuh kesabaran, tetapi di dalam hatinya ia merasa terpukul.
Tekanan semakin berat ketika keluarganya sendiri terkena dampak. Abu Thalib, pamannya yang telah menjadi ayah baginya, mulai mendapat tekanan dari Quraisy untuk menghentikan Muhammad. Suatu malam, Abu Thalib mendatangi Muhammad di rumahnya, wajahnya penuh keraguan. “Nak, mereka mengancam akan mengusir Bani Hasyim jika kau terus berdakwah. Aku tak ingin kau atau keluargaku menderita,” katanya, suaranya bergetar. Muhammad menatap pamannya dengan mata berkaca-kaca. “Paman, jika mereka memberiku matahari di tangan kanan dan bulan di tangan kiri untuk berhenti, aku tidak akan mundur sampai Tuhan memenangkan agama ini atau aku gugur di jalan-Nya,” jawabnya tegas. Abu Thalib, meski terharu, hanya bisa mengangguk, memilih melindungi keponakannya meski itu berarti menghadapi musuh bersama.
Khadijah menjadi pilar utama kekuatan Muhammad. Ia tidak hanya mendukung secara emosional, tetapi juga secara finansial, menggunakan hartanya untuk membantu kaum Muslimin awal yang mulai bertambah, seperti Bilal bin Rabah, budak yang disiksa karena memeluk Islam. Suatu hari, Bilal dibawa ke padang pasir, ditelentangkan di atas pasir panas, dan batu besar diletakkan di dadanya oleh tuannya, Umayyah bin Khalaf. “Katakan ‘patung-hubbal’ atau aku hancurkan tulangmu!” teriak Umayyah. Bilal hanya menggumamkan “Ahad… Ahad…” dengan suara lemah namun teguh. Muhammad, yang mendengar kabar ini, datang bersama Abu Bakar, sahabat setianya, dan membeli kebebasan Bilal dengan harga mahal. Pemandangan itu membuat hati Muhammad perih, tetapi juga memperkuat tekadnya untuk melindungi pengikutnya.
Penganiayaan terhadap Muslimin awal semakin meningkat. Sumayyah binti Khayyat, salah satu wanita pertama yang memeluk Islam, disiksa bersama suaminya, Yasir, dan putranya, Ammar, oleh Quraisy. Suatu hari, Abu Jahal menusuk Sumayyah dengan tombak di bagian paling sensitifnya, menyebabkan ia meninggal dunia sebagai syahidah pertama. Yasir juga gugur dalam penyiksaan, meninggalkan Ammar dalam duka yang mendalam. Muhammad, yang mengetahui kejadian itu, hanya bisa memeluk Ammar dan berkata, “Sabarlah, wahai Ammar. Surga menantimu.” Air mata menetes di pipinya, merasakan penderitaan umatnya, tetapi ia tahu ini adalah ujian dari Allah.
Di tengah tekanan, Muhammad terus berdakwah secara diam-diam. Ia mengumpulkan pengikutnya di rumah-rumah atau di luar Mekah, mengajarkan nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan keimanan. Jumlah mereka kecil—sekitar empat puluh orang dalam tiga tahun pertama—termasuk Abu Bakar, Uthman bin Affan, dan Hamzah bin Abdul Muttalib, pamannya yang akhirnya memeluk Islam setelah marah melihat Muhammad diserang. Suatu hari, Hamzah masuk ke majelis Quraisy dengan wajah penuh amarah, memukul Abu Jahal dengan busur panahnya karena telah menghina Muhammad. “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya!” teriak Hamzah, mengagetkan semua orang. Keberanian Hamzah menjadi titik balik, menambah kekuatan moral bagi kaum Muslimin.
Namun, kehidupan pribadi Muhammad juga dipenuhi duka. Khadijah, yang telah menjadi teman setia selama dua puluh lima tahun pernikahan, mulai menunjukkan tanda-tanda lemah karena usia dan kerja keras. Pada tahun ketiga dakwah, tepatnya di tahun duka yang dikenal sebagai “Tahun Kesedihan” (Aamul Huzn), Khadijah meninggal dunia setelah sakit panjang. Malam itu, Muhammad duduk di samping jenazahnya, menangis tersedu-sedu. “Wahai Khadijah, engkau adalah teman setiaku,” bisiknya, memegang tangan dingin istrinya untuk terakhir kali. Beberapa hari kemudian, Abu Thalib juga meninggal, meninggalkan Muhammad tanpa pelindung utama di tengah permusuhan Quraisy. Dua kehilangan itu seperti badai yang menyapu bersih hati Muhammad, tetapi ia tetap teguh, mempercayakan segalanya pada Allah.
Di tengah kesedihan, wahyu terus turun, memberikan kekuatan. Surat Al-Insyirah, yang menenangkan hati dengan kalimat “Tidakkah Kami lapangkan untukmu dadamu?” menjadi pengingat bahwa setiap kesulitan akan diikuti kemudahan. Muhammad, dengan langkah yang semakin mantap, melanjutkan dakwah meski ancaman pembunuhan mengintai. Ia tahu perjuangan ini baru permulaan, dan cahaya ilahi yang ia bawa akan menerangi dunia, meski ia harus melewati kegelapan terlebih dahulu.
Pengorbanan di Tengah Badai
Setelah kehilangan dua pilar utama hidupnya, Khadijah dan Abu Thalib, pada tahun kesedihan (Aamul Huzn) sekitar 619 Masehi, Nabi Muhammad SAW berdiri di ambang ujian yang lebih berat. Pagi itu, di Mekah yang masih diselimuti debu merah dan udara panas, langit tampak kelabu, mencerminkan suasana hati Muhammad yang berat. Ia duduk sendirian di sudut rumahnya yang kini terasa sepi, memandangi kain jubah Khadijah yang masih tersisa di sudut ruangan, aroma wangi kayu cendana masih samar tercium. Kepergian istrinya yang setia dan pamannya yang melindunginya meninggalkan lubang dalam hatinya, tetapi juga memicu tekad yang lebih kuat untuk melanjutkan dakwah.
Quraisy, yang kini tanpa hambatan dari Abu Thalib, meningkatkan tekanan terhadap Muhammad dan kaum Muslimin. Pemuka seperti Abu Jahal, Abu Sufyan, dan Umayyah bin Khalaf mengadakan pertemuan di Darul Nadwah, gedung besar di dekat Ka’bah, untuk merencanakan pembunuhan Muhammad. “Jika ia hidup, agama kami akan hancur,” kata Abu Jahal dengan nada penuh dendam, diiringi anggukan setuju dari yang lain. Mereka sepakat untuk mengutus sekelompok pemuda dari setiap suku untuk menyerang Muhammad secara bersama, sehingga Bani Hasyim tidak bisa membalas karena akan berarti perang melawan semua suku. Kabar ini sampai ke telinga Ali bin Abi Thalib, yang segera memberi tahu Muhammad.
Malam itu, di bawah langit Mekah yang bertabur bintang, Muhammad menerima wahyu dari Allah melalui Jibril: “Dan ingatlah ketika orang-orang kafir mengadakan rencana terhadapmu untuk menangkapmu, atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat rencana, dan Allah juga membuat rencana, dan Allah adalah sebaik-baik pembuat rencana” (Al-Anfal: 30). Wahyu itu menjadi perintah untuk hijrah ke Yatsrib, yang kelak dikenal sebagai Madinah. Dengan hati penuh keyakinan, Muhammad memanggil Ali dan memintanya tidur di tempat tidurnya untuk menipu musuh, sementara ia bersiap meninggalkan Mekah bersama Abu Bakar.
Perjalanan hijrah dimulai di tengah malam, ditemani Abu Bakar dan dua putranya, Abdullah dan Aisyah, yang menjadi utusan untuk membawa kabar. Mereka menyelinap keluar dari Mekah melalui jalan rahasia, menuju Gua Tsur yang terletak di Gunung Tsur, sekitar tiga mil dari kota. Perjalanan itu penuh bahaya. Quraisy mengirimkan pasukan bersenjata, dipimpin oleh Suraqah bin Malik, untuk mengejar mereka dengan imbalan seratus unta. Di gua, Muhammad dan Abu Bakar bersembunyi di balik batu besar, dengan sarang laba-laba dan burung merpati yang secara ajaib menutupi pintu masuk, menipu para pengejar. “Jangan khawatir, Allah bersama kita,” kata Muhammad kepada Abu Bakar, yang tangannya gemetar karena takut. Suara langkah kaki musuh terdengar dekat, tetapi mereka tidak menemukan gua tersebut, sebuah bukti kuasa ilahi yang membuat hati Abu Bakar tenang.
Setelah tiga hari bersembunyi, Muhammad dan Abu Bakar melanjutkan perjalanan menuju Yatsrib, ditemani oleh seorang pemandu bernama Abdullah bin Urayqit. Perjalanan itu panjang dan melelahkan, melewati padang pasir yang panas dan bukit-bukit berbatu. Mereka hanya membawa sedikit makanan, seperti kurma dan air dalam kantong kulit, dan sering berhenti di bawah pohon untuk beristirahat. Di sepanjang jalan, Muhammad sering berdoa, memohon perlindungan dari Allah. Suatu malam, ketika mereka berkemah di bawah langit yang penuh bintang, Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, aku takut mereka menemukan kita.” Muhammad tersenyum, “Jangan takut, dua orang bersama Allah lebih kuat dari seribu musuh.”
Tiba di Yatsrib, Muhammad disambut dengan sukacita oleh penduduk yang telah menantikan kedatangannya. Anak-anak berlari menyambut, berteriak “Rasulullah datang!” sementara wanita menyanyikan lagu selamat datang. Rumah Abu Ayyub Ansari menjadi tempat tinggal sementara, sebuah rumah sederhana dengan halaman kecil yang dipenuhi aroma roti panggang. Namun, kebahagiaan itu segera diuji. Quraisy tidak tinggal diam; mereka mengirim utusan ke Yatsrib untuk memata-matai dan mengancam penduduk agar mengusir Muhammad. Pemimpin suku Aus dan Khazraj, yang sebelumnya bermusuhan, kini bersatu di bawah bendera Islam, membentuk perjanjian Aqabah yang kedua, janji untuk melindungi Muhammad dan umatnya.
Di Madinah, Muhammad mulai membangun komunitas Islam. Ia mendirikan Masjid Quba sebagai tempat ibadah pertama, sebuah bangunan sederhana dari tanah dan kayu yang dibangun bersama oleh para sahabat, termasuk Bilal yang menjadi muazin pertama. Setiap batu yang diangkat, setiap keringat yang jatuh, adalah tanda persatuan baru. Namun, tantangan tidak berhenti. Quraisy memulai boikot ekonomi terhadap Muslimin, memutus perdagangan dan pasokan makanan. Banyak keluarga, termasuk yang dipimpin Hamzah dan Uthman, harus bertahan dengan makan daun-daun liar dan air sungai. Anak-anak menangis kelaparan, dan Muhammad sering terlihat berjalan di antara mereka, menghibur dengan senyuman meski hatinya hancur.
Perang pertama pun datang lebih cepat dari yang diperkirakan. Pada tahun kedua hijrah, sekitar 313 pasukan Muslimin menghadapi 1.000 prajurit Quraisy dalam Pertempuran Badar. Malam sebelum pertempuran, Muhammad berdiri di tenda, berdoa dengan suara parau, “Ya Allah, jika kaum ini kalah hari ini, tidak akan ada lagi yang menyembah-Mu.” Di medan perang, ia memegang panji hitam, memimpin dengan keberanian, meski jumlah musuh jauh lebih besar. Malaikat turun membantu, dan kemenangan diraih dengan 70 musuh tewas, termasuk Abu Jahal. Namun, di balik kemenangan, ada kesedihan. Hamzah, pamannya yang gagah, terluka parah dan akhirnya gugur dalam pertempuran Uhud tahun berikutnya, tubuhnya dicabik-cabik oleh Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan. Muhammad menangis di samping jenazah Hamzah, memeluknya erat, “Wahai paman, engkau syahid di jalan Allah.”
Kehilangan Hamzah menambah beban emosional Muhammad. Ia sering duduk sendirian di masjid, menatap langit, mengingat wajah-wajah yang telah gugur: Khadijah, Abu Thalib, Sumayyah, Yasir, dan kini Hamzah. Namun, wahyu terus menjadi sumber kekuatan. Surat Al-Baqarah ayat 153, “Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan dengan sabar dan salat,” menjadi mantra yang ia ulang-ulang. Ia juga membangun ikatan dengan para sahabat, seperti Umar bin Khattab, yang kini menjadi pendukung kuat setelah awalnya menjadi musuh.
Di tengah semua ini, Muhammad tetap memimpin dengan kasih sayang. Ia mengasuh anak-anak yatim, seperti Zayd, dan memperhatikan setiap sahabat dengan penuh perhatian. Suatu hari, ia melihat Bilal duduk sendirian, masih trauma dari penyiksaan masa lalu. Muhammad mendekatinya, memeluknya, dan berkata, “Wahai Bilal, suaramu adalah panggilan ke surga.” Momen-momen kecil seperti itu menjadi cahaya di tengah badai, menguatkan komunitas yang rapuh.
Saat tahun ketiga hijrah berakhir, Madinah mulai berkembang menjadi kota yang damai, meski ancaman dari Quraisy masih mengintai. Muhammad tahu perjuangan ini jauh dari selesai, tetapi setiap pengorbanan—darah, air mata, dan cinta—adalah langkah menuju kemenangan ilahi. Di malam yang sunyi, ia berdiri di balkon masjid, memandang langit, dan berbisik, “Ya Allah, tunjukkan kami cahaya-Mu.”
Kemenangan di Bawah Cahaya Ilahi
Pagi ini, pukul 09:58 WIB, tanggal 30 Juni 2025, langit Madinah bersinar terang dengan matahari yang memancarkan kehangatan, mencerminkan harapan baru yang mulai tumbuh di hati Nabi Muhammad SAW. Setelah bertahun-tahun perjuangan, kehilangan, dan pengorbanan sejak hijrah pada tahun 622 Masehi, Muhammad kini berdiri di ambang kemenangan yang telah lama dinantikan. Usianya telah mencapai lima puluh dua tahun, rambutnya mulai memutih di ujung-ujung, dan wajahnya menunjukkan jejak garis-garis kebijaksanaan serta keteguhan. Namun, di balik ketenangan yang terpancar, ada kenangan pahit dari pertempuran, penganiayaan, dan kehilangan yang terus membentuk perjalanannya.
Setelah Pertempuran Uhud yang menyisakan luka mendalam dengan gugurnya Hamzah, Madinah menghadapi ancaman besar dari Quraisy dalam Pertempuran Khandaq pada tahun 627 Masehi. Sekitar 10.000 pasukan, dipimpin oleh Abu Sufyan, mengepung Madinah dengan kekuatan yang jauh melampaui 3.000 pejuang Muslimin. Malam sebelum pertempuran, Muhammad berdiri di balkon Masjid Nabawi, memandang barisan pertahanan yang dipimpin oleh Salman al-Farisi, yang mengusulkan penggalian parit sebagai strategi pertahanan. Angin malam bertiup kencang, membawa debu dan suara palu yang berdentang saat sahabat-sahabatnya bekerja tanpa henti. “Ya Allah, lindungilah kami seperti Engkau lindungi Bani Israil dari musuh mereka,” doanya terdengar lembut namun penuh keyakinan.
Pertempuran Khandaq menjadi ujian iman yang luar biasa. Pasukan Muslimin, termasuk Ali bin Abi Thalib yang gagah berani, bertahan di balik parit sambil menghadapi panah dan serangan dari musuh. Badai pasir yang tiba-tiba, yang diyakini sebagai pertolongan ilahi, mengacaukannya pasukan Quraisy, menyebabkan mereka mundur dengan kekacauan. Kemenangan ini, yang dikenal sebagai “Hari Khandaq,” membawa kelegaan bagi Madinah, tetapi juga memicu serangan balik dari suku-suku sekitar yang bergabung dengan Quraisy. Muhammad, dengan kebijaksan luar biasa, menandatangani Perjanjian Hudaibiyah pada tahun 628 Masehi dengan Quraisy, sebuah perjanjian damai yang awalnya tampak merugikan namun menjadi langkah strategis untuk memperkuat posisi Islam.
Di tengah masa damai, dakwah Muhammad meluas ke luar Jazirah Arab. Ia mengirim surat kepada raja-raja seperti Kaisar Romawi Heraclius, Kisra Persia, dan Negus Ethiopia, mengajak mereka memeluk Islam. Surat kepada Heraclius, yang ditulis di atas kulit unta dengan tinta hitam, berbunyi, “Dari Muhammad, hamba dan utusan Allah, kepada Heraclius, Kaisar Romawi. Salam bagi yang mengikuti petunjuk. Aku mengajakmu kepada agama Islam…” Respons Heraclius yang positif, meski tidak langsung memeluk Islam, membuka pintu diplomasi baru. Di Madinah, jumlah Muslimin terus bertambah, termasuk dari kalangan budak dan orang miskin yang menemukan harapan dalam ajaran Muhammad.
Namun, tantangan terbesar datang pada tahun 629 Masehi, saat Quraisy melanggar Perjanjian Hudaibiyah dengan menyerang suku yang bersekutu dengan Muslimin. Muhammad memutuskan untuk memimpin 10.000 pasukan dalam ekspedisi Fathu Makkah (Penaklukan Mekah) pada awal 630 Masehi. Malam sebelum keberangkatan, ia berdiri di Masjid Nabawi, memandang sahabat-sahabatnya yang bersiap dengan pedang dan perisai. “Janganlah kalian menyakiti siapa pun kecuali yang melawan. Maafkan mereka yang menyerah,” perintahnya, menunjukkan belas kasih bahkan di tengah perang. Perjalanan menuju Mekah dilakukan dengan hati-hati, menyelinap melalui jalur rahasia untuk menghindari mata-mata musuh.
Saat fajar menyingsing, pasukan Muslimin memasuki Mekah tanpa perlawanan besar. Abu Sufyan, yang menyaksikan kekuatan besar itu, akhirnya memilih menyerah dan memeluk Islam, diikuti oleh banyak pemuka Quraisy lainnya. Muhammad memasuki Ka’bah dengan langkah tenang, memakai jubah sederhana dan memegang tongkat kayu. Di hadapan ribuan orang yang kini berdiri diam, ia berdiri di atas Bukit Shafa dan berkata, “Wahai penduduk Mekah, apa yang kalian pikirkan tentangku?” Mereka menjawab dengan suara gemetar, “Kau adalah saudara yang mulia dan putra saudara yang mulia.” Dengan senyum penuh pengampunan, Muhammad menyatakan, “Pergilah, kalian bebas.” Momen itu, yang penuh emosi, menandai kemenangan damai yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Air mata mengalir di pipi banyak orang, termasuk Hindun binti Utbah, yang kini meminta maaf atas pembunuhan Hamzah.
Penaklukan Mekah membawa perubahan besar. Ka’bah dibersihkan dari patung-patung berhala, dan suara adzan Bilal bergema untuk pertama kalinya dari atap Ka’bah, menandai kebangkitan spiritual Mekah. Muhammad kembali ke Madinah sebagai pemimpin yang disegani, tetapi ia tidak berhenti berdakwah. Pada tahun 631 Masehi, ia memimpin ekspedisi Tabuk untuk menghadapi ancaman Romawi, meski pasukannya menghadapi kekurangan makanan dan air di tengah panasnya padang pasir. Keikhlasan sahabat-sahabatnya, seperti Abu Bakar yang menyumbangkan seluruh hartanya, menjadi bukti kekuatan iman yang telah ia bangun.
Di tahun terakhir hidupnya, 632 Masehi, Muhammad melakukan Haji Wada’, haji terakhir yang dihadiri oleh lebih dari 100.000 jamaah. Di Padang Arafah, di bawah panas matahari yang membakar, ia menyampaikan khutbah terakhirnya dengan suara yang kuat namun penuh kasih. “Wahai manusia, sesungguhnya darah dan harta kalian haram hingga kalian bertemu Tuhanmu,” katanya, menegaskan kesetaraan dan keadilan. Air mata jamaah mengalir, merasakan kebesaran pesan itu. Setelah haji, Muhammad kembali ke Madinah, tetapi kesehatan mulai menurun akibat sakit yang dideritanya.
Pada bulan Rabiul Awal 632 Masehi, Muhammad merasa akhirnya semakin dekat. Ia sering terlihat duduk di Masjid Nabawi, memandang sahabat-sahabatnya dengan senyuman lemah. Malam terakhirnya, ia meminta air zam-zam dan berbaring di pangkuan Aisyah, istrinya yang dicintainya. “Dengan nama Allah, aku menyerahkan jiwaku kepada-Nya,” bisiknya, lalu menutup mata untuk selamanya. Usianya saat itu sekitar enam puluh tiga tahun. Kematiannya membawa duka mendalam bagi umat, tetapi juga warisan abadi. Jenazahnya dimakamkan di rumah Aisyah, yang kini menjadi bagian dari Masjid Nabawi, tempat jutaan orang berdoa hingga kini.
Setelah kematiannya, sahabat-sahabatnya, seperti Abu Bakar dan Umar, melanjutkan perjuangannya. Islam menyebar ke seluruh Jazirah Arab dan kemudian dunia, membawa cahaya keadilan dan kasih sayang yang ia perjuangkan. Di Madinah, di bawah pohon kurma tua di halaman masjid, angin bertiup pelan, membawa aroma tanah subur dan doa-doa umat. Muhammad, yang pernah menjadi Quthaybah yang sederhana, kini dikenang sebagai Rasulullah, cahaya ilahi yang menerangi kegelapan dunia. Warisannya hidup dalam setiap ayat Al-Qur’an, setiap tetes air mata pengikutnya, dan setiap langkah umat yang mengikuti jejak keberaniannya.
Kisah Perjuangan Nabi Muhammad SAW: Kisah Keberanian dan Cahaya Ilahi adalah bukti bahwa keimanan dan ketekunan dapat mengubah kegelapan menjadi cahaya, bahkan di tengah rintangan terberat. Cerita ini tidak hanya menginspirasi, tetapi juga mengajak Anda untuk merenungkan nilai pengorbanan dan keadilan dalam kehidupan. Bagi Anda yang mencari kekuatan batin atau ingin memahami sejarah Islam yang mendalam, perjalanan Nabi Muhammad SAW adalah teladan abadi. Mulailah hari ini dengan mengambil pelajaran dari keberaniannya untuk menciptakan perubahan positif dalam hidup Anda.
Terima kasih telah menyelami kisah inspiratif Nabi Muhammad SAW! Bagikan keajaiban perjuangan ini kepada orang-orang terdekat Anda dan ikuti terus artikel kami untuk lebih banyak cerita penuh makna. Sampai jumpa di petualangan spiritual berikutnya, semoga Anda selalu termotivasi dan diberkahi!


