Perjuangan Hidupku Menuntut Ilmu: Kisah Zariqa yang Menggetarkan Hati

Posted on

Jelajahi kisah inspiratif dalam “Perjuangan Hidupku Menuntut Ilmu,” sebuah cerpen yang menghadirkan perjuangan luar biasa Zariqa Lumindra, seorang gadis desa yang bermimpi menjadi dokter di tengah kemiskinan dan kesulitan keluarga. Dengan emosi mendalam, detail hidup nyata, dan semangat tak kenal menyerah, cerita ini mengajak Anda merasakan setiap tetes keringat dan air mata dalam perjalanan menuju pendidikan. Cocok untuk pembaca yang mencari motivasi dan cerita mengharukan!

Perjuangan Hidupku Menuntut Ilmu

Cahaya di Tengah Gelap

Pagi hari di kampung kecil bernama Sungai Bening menyambut hari dengan suara burung berkicau dan hembusan angin yang membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Di sebuah gubuk sederhana dari bilik bambu dan atap daun rumbia, duduklah Zariqa Lumindra, seorang gadis berusia 17 tahun dengan rambut cokelat keriting yang tergerai hingga bahu, seolah mencerminkan semangat liarnya yang tak pernah padam. Matanya, hitam pekat dengan kilau seperti bintang kecil, menyimpan mimpi besar di balik kelelahan yang ia sembunyikan dari dunia. Zariqa adalah anak tertua dari tiga bersaudara, lahir dari keluarga petani miskin yang berjuang setiap hari untuk bertahan hidup di tengah ladang padi yang kini mulai layu akibat musim kemarau panjang.

Di dalam gubuk, suara ayahnya, Darmo, terdengar serak saat ia batuk keras, tubuhnya kurus dan pucat karena bekerja terlalu keras di sawah tanpa istirahat yang cukup. Ibunya, Sariyani, sibuk mengaduk nasi rebus di dapur tungku, wajahnya penuh garis kerutan yang terukir oleh tahun-tahun perjuangan. Dua adik Zariqa—Kiran, 12 tahun, dan Elvira, 9 tahun—bermain di sudut ruangan dengan mainan sederhana dari kayu yang dibuat Darmo, tapi tawa mereka tak bisa menyembunyikan perut yang keroncongan. Zariqa menatap mereka semua dengan hati berat, tahu bahwa tanggung jawab keluarga kini mulai bergeser ke pundaknya yang masih rapuh.

Zariqa memiliki mimpi yang berbeda dari kebanyakan gadis seusianya di Sungai Bening—ia ingin melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi, menjadi dokter, dan membawa perubahan bagi keluarganya. Buku-buku lusuh yang ia pinjam dari perpustakaan desa kecil menjadi teman setianya, dan setiap malam ia belajar di bawah cahaya lampu minyak yang redup, menyalin catatan dengan tangan yang gemetar karena kelelahan. Namun, realitas kehidupan terus menghalanginya. Biaya sekolah menengah atas di kota terdekat, yang berjarak dua jam perjalanan dengan sepeda tua warisan ayahnya, adalah beban yang tak mampu ditanggung keluarganya. Darmo pernah berkata, “Zari, cukup sekolah sampai sini. Bantu ayah di sawah,” tapi Zariqa menolak dengan lembut, matanya penuh tekad.

Pagi itu, 26 Juni 2025, pukul 11:30 WIB, Zariqa duduk di beranda gubuk, memandangi surat dari kepala sekolah yang ia terima kemarin. Surat itu memberi kabar bahwa ia lulus ujian akhir dengan nilai tertinggi di sekolahnya, sebuah prestasi yang seharusnya dirayakan, tapi juga datang dengan peringatan: jika ia tidak mendaftar ke SMA dalam dua minggu, ia akan kehilangan kesempatan. Biaya pendaftaran sebesar dua juta rupiah terasa seperti gunung di depan keluarga yang bahkan kesulitan membeli beras. Zariqa menggigit bibirnya, air mata menggenang, tapi ia menahannya. Ia harus menemukan jalan.

Setelah membantu Sariyani memasak dan menyapu lantai, Zariqa memutuskan untuk pergi ke pasar desa, berharap bisa menemukan pekerjaan sampingan. Ia mengenakan baju lusuh yang sudah dipakainya berulang kali, mengikat rambutnya dengan karet tua, dan mengayuh sepeda tua yang berderit menuju pasar. Di sana, ia menawarkan diri membantu pedagang membawa barang atau membersihkan lapak, tapi tanggapan yang ia dapatkan kebanyakan adalah senyum simpati atau penolakan halus. “Kamu masih kecil, Zariqa, istirahat saja,” kata seorang pedagang tua bernama Pak Joko, tapi Zariqa hanya menggeleng, matanya penuh keinginan.

Sore harinya, di bawah pohon beringin tua di pinggir pasar, Zariqa bertemu dengan seorang wanita paruh baya bernama Tuminah, seorang penjahit yang dikenal baik hati di desa. Tuminah memperhatikan Zariqa yang duduk sendirian, wajahnya penuh kekhawatiran. “Ada apa, nak?” tanyanya lembut, menawarkan segelas air dari kendi miliknya. Zariqa menceritakan mimpinya, tentang sekolah dan keinginannya membantu keluarga, serta beban biaya yang menghantuinya. Tuminah mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu tersenyum. “Aku bisa kasih kerja, Zariqa. Bantu aku jahit kain di malam hari. Gajinya kecil, tapi kalau rajin, mungkin bisa cukup untuk pendaftaran.”

Mata Zariqa berbinar. “Terima kasih, Bu Tuminah! Aku akan kerja sekeras mungkin!” katanya, suaranya penuh harap. Malam itu, ia pulang dengan hati lebih ringan, meski tubuhnya lelah. Ia membantu Sariyani membereskan dapur, lalu duduk di sudut ruangan dengan jarum dan kain yang diberikan Tuminah. Cahaya lampu minyak berkedip-kedip, dan tangannya yang kaku mulai bergerak, menjahit dengan hati-hati meski matanya perih karena kurang tidur. Setiap jahitan adalah langkah menuju mimpinya, tapi juga pengingat betapa berat perjuangannya.

Hari-hari berikutnya menjadi rutinitas yang melelahkan. Pagi hari, Zariqa membantu ayahnya di sawah, mengangkut ember air untuk menyiram padi yang mulai kering. Siang hari, ia belajar sendiri dari buku-buku pinjaman, mencoba memahami pelajaran matematika dan sains yang sulit tanpa guru. Malam hari, ia menjahit hingga larut, sering kali tertidur dengan jarum masih di tangan. Tubuhnya kurus, dan kadang ia merasa pusing karena kurang makan, tapi ia terus melangkah, didorong oleh bayangan dirinya mengenakan jas dokter dan membawa keluarganya keluar dari kemiskinan.

Suatu malam, ketika hujan turun deras lagi, Darmo masuk ke gubuk dengan wajah pucat, tangannya gemetar memegang cangkul yang patah. “Sawah banjir, Zariqa,” katanya, suaranya penuh keputusasaan. “Panen kita gagal tahun ini.” Sariyani menangis pelan di sudut, dan Kiran serta Elvira memeluk ibunya, tak mengerti sepenuhnya tapi merasakan duka. Zariqa terdiam, merasa beban di pundaknya semakin berat. Uang dari menjahit belum cukup, dan sekarang penghasilan ayahnya hilang. Ia memandangi buku di meja, lalu menatap keluarganya, dan membuat keputusan sulit.

Keesokan harinya, Zariqa pergi ke rumah Pak Joko, pedagang tua yang tadi menolaknya. Dengan hati yang bergetar, ia meminta pekerjaan apa pun, bahkan yang paling berat. Pak Joko, tersentuh oleh keteguhan Zariqa, akhirnya menyetujui, mempekerjakannya sebagai pembantu di lapaknya, membawa barang dan membersihkan dengan upah harian kecil. Zariqa bekerja dari pagi hingga sore, lalu melanjutkan menjahit di malam hari. Tubuhnya mulai lelet, dan ia sering tersandung karena kelelahan, tapi ia tidak menyerah. Setiap sen yang ia kumpulkan disimpan dalam toples tua, dan ia menghitungnya setiap malam, berdoa agar bisa mencapai dua juta rupiah sebelum batas waktu.

Suatu sore, ketika Zariqa pulang dengan kaki gemetar, ia menemukan Sariyani menangis di depan gubuk. “Ayahmu pingsan di sawah tadi,” katanya, suaranya parau. Zariqa berlari ke klinik desa, menemukan Darmo terbaring lemah di ranjang kayu, napasnya tersengal. Dokter desa, Pak Hadi, menggelengkan kepala. “Dia kelelahan berat. Butuh obat, tapi kita tidak punya cukup uang.” Zariqa menatap ayahnya, lalu toples tabungannya, dan merasa dunia runtuh. Ia ingin menangis, tapi ia menelan air matanya, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus berjuang—untuk ayah, ibu, adik-adiknya, dan mimpinya.

Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak yang semakin redup, Zariqa menjahit lagi, tangannya gemetar tapi penuh tekad. Ia tahu jalan menuju ilmu tidak mudah, tapi setiap tetes keringat dan air mata adalah bukti bahwa ia belum menyerah. Di tengah gelap, ia melihat cahaya kecil—harapan yang masih menyala, menuntunnya menuju masa depan yang ia cita-citakan.

Bayang di Tengah Lelah

Pagi hari di Sungai Bening, Kamis, 26 Juni 2025, pukul 11:30 WIB, menyapa dengan langit yang mulai cerah setelah hujan semalam, meski udara masih membawa kelembapan yang menempel di kulit. Di dalam gubuk bambu sederhana milik keluarga Zariqa Lumindra, suasana terasa berat, dipenuhi oleh desisan napas lemah Darmo, ayahnya, yang kini terbaring di ranjang kayu setelah pingsan di sawah. Zariqa, gadis berusia 17 tahun dengan rambut cokelat keriting yang tergerai liar, berdiri di samping ranjang, memegang sehelai kain basah untuk mengompres dahi ayahnya. Matanya, hitam pekat dengan kilau bintang, penuh kekhawatiran, tapi juga tekad yang tak pernah padam. Di sudut ruangan, Sariyani, ibunya, duduk membungkuk, tangannya gemetar mengaduk nasi rebus yang hanya cukup untuk satu kali makan bagi keluarga mereka.

Darmo membuka mata perlahan, wajahnya pucat dan berkerut karena rasa sakit. “Zari… jangan khawatir,” bisiknya, suaranya serak seperti daun kering yang bergoyang. “Ayah akan baik-baik saja. Fokuslah pada sekolahmu.” Kata-kata itu membuat Zariqa menelan ludah, air mata hampir jatuh, tapi ia mengangguk kuat, menyembunyikan beban di hatinya. Ia tahu ayahnya berbohong—napasnya tidak stabil, dan dokter desa, Pak Hadi, telah memperingatkan bahwa Darmo membutuhkan obat khusus yang harganya jauh di luar jangkauan mereka. Namun, Zariqa juga tahu bahwa impiannya melanjutkan sekolah ke SMA di kota terdekat bergantung pada tabungan yang kini terancam untuk digunakan membeli obat.

Setelah memastikan ayahnya nyaman dengan bantuan Sariyani, Zariqa mengambil sepeda tuanya yang berderit dan berangkat ke pasar desa. Pekerjaan barunya di lapak Pak Joko, ditambah menjahit untuk Tuminah, menjadi harapan utamanya. Di pasar, ia bekerja dengan tekun, mengangkut karung beras seberat 20 kilogram meski pundaknya terasa seperti patah, dan menyapu debu dari lapak hingga tangannya penuh lecet. Pak Joko, meski keras, sesekali memuji keteguhan Zariqa. “Kamu kuat untuk usiamu, Nak,” katanya sambil tersenyum tipis, tapi itu tidak mengurangi rasa lelah yang menumpuk di tubuh gadis itu.

Malam hari, Zariqa pulang dengan kaki gemetar, membawa upah harian sebesar lima puluh ribu rupiah yang ia tambahkan ke toples tua di sudut gubuk. Total tabungannya kini mencapai tujuh ratus ribu rupiah, masih jauh dari dua juta yang dibutuhkan untuk pendaftaran SMA. Di sela-sela waktu, ia mencoba belajar dari buku-buku pinjaman, tapi konsentrasinya terus terpecah oleh pikiran tentang ayahnya dan adik-adiknya, Kiran dan Elvira, yang tampak semakin kurus karena porsi makan yang dipotong demi Darmo. Cahaya lampu minyak semakin redup, dan Zariqa sering tertidur di atas buku, pena masih di tangannya, bermimpi tentang ruang kelas yang jauh dari jangkauannya.

Suatu malam, ketika hujan turun lagi, Zariqa sedang menjahit kain untuk Tuminah di bawah lampu minyak yang berkedip-kedip. Tiba-tiba, pintu gubuk terbuka, dan Sariyani masuk dengan wajah pucat, memeluk Kiran yang menangis. “Ayah… ayah memburuk,” katanya, suaranya bergetar. Zariqa berlari ke ranjang Darmo, menemukan ayahnya menggigil, napasnya tersendat-sendat. Ia mengambil toples tabungan dan berlari ke klinik desa di tengah hujan, mengabaikan air yang membasahi bajunya yang lusuh. Pak Hadi, dengan wajah murung, menerima uang itu dan memberikan obat, tapi ia memperingatkan, “Ini hanya sementara, Zariqa. Dia butuh perawatan lebih baik.”

Kembali ke gubuk, Zariqa memberi obat pada Darmo, dan perlahan napasnya mulai stabil. Tapi tabungannya kini tinggal empat ratus ribu rupiah, dan batas pendaftaran SMA semakin dekat—hanya satu minggu lagi. Zariqa duduk di sudut, menatap toples kosong, air mata akhirnya jatuh. Ia merasa gagal—gagal pada mimpinya, gagal pada keluarganya. Tapi di tengah keputusasaan, ia mendengar suara lembut Elvira, “Kak Zari, aku percaya kamu bisa jadi dokter.” Kata-kata itu seperti suntikan semangat, dan Zariqa mengusap air matanya, berjanji untuk tidak menyerah.

Keesokan harinya, Zariqa mendatangi Tuminah dengan permintaan tambahan pekerjaan. Tuminah, tersentuh oleh semangat gadis itu, menawarkan proyek besar—menjahit seragam untuk anak-anak desa yang akan masuk sekolah dasar, dengan upah tiga ratus ribu rupiah jika selesai dalam tiga hari. Zariqa menerima tantangan itu, meski tahu itu berarti ia harus tidur kurang dari dua jam setiap malam. Ia bekerja tanpa henti, tangannya penuh luka dari jarum, dan matanya merah karena kurang tidur. Setiap jahitan adalah doa, setiap helai benang adalah harapan.

Sementara itu, ia juga mencari cara lain. Ia mendengar tentang kompetisi esai tingkat kabupaten yang menawarkan hadiah satu juta rupiah untuk pemenang, dengan tema “Perjuangan Menuju Pendidikan.” Dengan sisa tenaga, Zariqa menulis esai di atas kertas bekas, menuangkan cerita hidupnya—tentang ayah yang sakit, adik-adik yang lapar, dan mimpinya menjadi dokter. Tulisannya penuh emosi, ditulis dengan tangan yang gemetar, dan ia mengirimkannya ke kantor kecamatan dengan bantuan Pak Joko.

Tiga hari berlalu seperti mimpi buruk. Zariqa menyelesaikan seragam tepat waktu, menerima upah dari Tuminah, dan tabungannya kembali naik ke tujuh ratus ribu rupiah. Tubuhnya lemah, tapi ia terus melangkah, mengayuh sepeda ke sawah untuk membantu ayahnya yang mulai pulih, lalu belajar di malam hari. Suatu sore, seorang petugas kecamatan datang ke gubuk, membawa surat bahwa esainya menjadi salah satu finalis, dan ia akan diundang untuk presentasi di kota dalam dua hari. Hadiah itu bisa menjadi tiket menuju mimpinya.

Malam sebelum keberangkatan, Zariqa duduk bersama keluarganya di sekitar tungku api yang redup. Darmo memegang tangannya, wajahnya penuh kebanggaan meski lemah. “Kamu hebat, Zariqa. Jangan menyerah,” katanya. Sariyani menangis pelan, memeluk Kiran dan Elvira, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Zariqa merasa ada harapan. Tapi di dalam hatinya, ia tahu perjuangan ini belum selesai—bahkan jika ia menang, ia harus menghadapi tantangan baru di kota, jauh dari keluarganya, dengan sumber daya yang terbatas.

Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, Zariqa menatap buku-bukunya, merasa seperti pelancong di jalan yang gelap. Cahaya lampu minyak berkedip, tapi ia melihat sesuatu yang lebih terang di depan—mimpi yang masih menyala, menuntunnya melewati lelah dan keputusasaan. Ia tahu jalan ini penuh duri, tapi setiap langkah adalah bukti bahwa ia belum menyerah pada ilmu yang ia kejar.

Langkah di Tengah Badai

Pagi hari di Sungai Bening, Kamis, 26 Juni 2025, pukul 11:19 WIB, disambut oleh udara segar yang bercampur aroma tanah basah setelah hujan semalam. Di dalam gubuk bambu milik keluarga Zariqa Lumindra, suasana pagi terasa campur aduk antara harap dan ketegangan. Zariqa, gadis 17 tahun dengan rambut cokelat keriting yang kini diikat rapi, berdiri di depan cermin retak kecil, mengenakan baju lusuh yang telah dijahit ulang untuk terlihat sedikit layak. Matanya, hitam pekat dengan kilau bintang, mencerminkan campuran kegelisahan dan semangat yang membara. Hari ini adalah hari besar—ia akan pergi ke kota untuk presentasi esai dalam kompetisi tingkat kabupaten, kesempatan terakhirnya untuk memenangkan satu juta rupiah yang bisa menutupi biaya pendaftaran SMA.

Di ranjang kayu, Darmo, ayahnya, duduk dengan bantuan bantal, wajahnya masih pucat tapi lebih segar setelah obat yang Zariqa beli dengan tabungan. Sariyani, ibunya, memasak nasi rebus dengan tangan gemetar, mencoba menyisihkan sedikit untuk bekal Zariqa. Kiran dan Elvira, adik-adiknya, berbisik di sudut, mata mereka penuh kekaguman saat melihat kakaknya bersiap. “Kak Zari pasti menang!” kata Elvira dengan suara ceria, membuat Zariqa tersenyum tipis meski perutnya terasa mual karena lapar dan gugup.

Zariqa mengemas tas kainnya dengan buku catatan esai, pena, dan sepotong roti kering yang Sariyani beri. Ia mengayuh sepeda tuanya menuju halte bis desa, jaraknya satu jam dari gubuk, dengan kaki yang masih lelet karena kurang tidur. Di halte, ia menunggu bis tua yang hanya lewat sekali sehari, memegang erat surat undangan dari kecamatan. Pikirannya melayang—jika ia menang, mimpinya melangkah ke SMA akan terwujud, tapi jika kalah, tabungannya yang tinggal empat ratus ribu rupiah tidak akan cukup, dan ayahnya mungkin tidak bertahan lama tanpa perawatan lebih baik.

Bis akhirnya tiba, berderit dan penuh penumpang. Zariqa berdiri di sudut, memegang pegangan logam yang berkarat, tubuhnya terjepit antara pedagang dan ibu-ibu desa. Perjalanan dua jam ke kota terasa seperti ujian fisik—udara panas, bau keringat, dan guncangan bis membuatnya pusing. Tapi ia menutup mata, membayangkan ruang kelas di SMA, buku-buku baru, dan wajah keluarganya yang tersenyum bangga. Ketika bis berhenti di terminal kota, Zariqa turun dengan kaki gemetar, menatap gedung kecamatan yang menjulang di kejauhan, sebuah dunia yang asing baginya.

Di dalam ruang presentasi, Zariqa duduk di antara peserta lain, anak-anak dari desa dan kota yang tampak lebih percaya diri dengan pakaian rapi dan tas modern. Ia merasa kecil, bajunya kusam di antara seragam-seragam bersih, tapi ia menggenggam esainya erat, mengingat setiap kata yang ia tulis dengan darah dan air mata. Saat gilirannya tiba, ia maju ke depan dengan langkah goyah, membaca esai tentang perjuangannya—tentang ayah yang sakit, adik-adik yang lapar, dan mimpinya menjadi dokter. Suaranya gemetar di awal, tapi semakin mantap saat ia melihat ekspresi simpati dan kekaguman dari juri.

Setelah presentasi, Zariqa menunggu hasil dengan jantung berdebar. Ia duduk di bangku taman kecamatan, memakan roti keringnya perlahan, mencoba mengabaikan rasa lapar yang menggerogoti. Pikirannya penuh dengan skenario—jika ia kalah, ia harus kembali bekerja dua kali lipat, mungkin menjual barang di pasar atau mengemis bantuan tetangga. Tapi jika menang, ia bisa mendaftar SMA dan membawa keluarganya ke kehidupan yang lebih baik. Ketika pengumuman dibacakan, namanya disebut sebagai juara kedua, dengan hadiah lima ratus ribu rupiah. Zariqa tersenyum getir—itu membantu, tapi belum cukup.

Kembali ke Sungai Bening dengan bis yang penuh sesak, Zariqa merasa seperti badai di dalam dirinya. Uang itu ia serahkan pada Sariyani untuk obat Darmo, meninggalkan tabungannya nol lagi. Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak yang semakin redup, ia menjahit lagi untuk Tuminah, tangannya penuh luka baru. Ia mendengar Darmo batuk lagi, dan Elvira menangis karena lapar, membuatnya merasa gagal. Tapi ia tidak menyerah—ia menulis surat ke yayasan pendidikan di kota, memohon beasiswa, meski tahu peluangnya tipis.

Hari-hari berikutnya, Zariqa bekerja lebih keras. Ia membantu Pak Joko di pasar dari pagi hingga sore, lalu menjahit hingga tengah malam. Tubuhnya semakin kurus, dan ia sering pingsan di sawah karena kelelahan, tapi ia selalu bangun lagi, didorong oleh mimpinya. Suatu sore, surat balasan dari yayasan tiba, membawa kabar baik—ia diterima sebagai penerima beasiswa parsial, mencakup setengah biaya pendaftaran SMA. Zariqa menangis kegirangan, tapi juga ketakutan—ia masih perlu satu juta rupiah lagi.

Dengan waktu yang tersisa tiga hari, Zariqa mengambil langkah nekat. Ia menawarkan jasa mengukir kayu, keahlian yang ia pelajari dari ayahnya, ke penduduk desa. Dengan bantuan Tuminah, ia membuat patung-patung kecil dari kayu bekas, menjualnya dengan harga murah. Setiap malam, ia bekerja hingga jari-jarinya berdarah, tapi pendapatan perlahan bertambah—dua ratus ribu, lima ratus ribu, hingga akhirnya mencapai satu juta rupiah tepat di hari terakhir. Zariqa tersenyum lelah, memeluk toples penuh uang, tapi tubuhnya ambruk karena kelelahan.

Sariyani menemukannya pingsan di lantai, dan Darmo, meski lemah, membantu membawanya ke ranjang. Ketika Zariqa sadar, ia melihat keluarganya mengelilinginya, wajah mereka penuh kekhawatiran tapi juga kebanggaan. “Kamu berhasil, Zari,” kata Darmo dengan suara parau. Zariqa mengangguk, air mata mengalir, tapi ia tahu perjuangan ini belum selesai. Ia harus mendaftar besok, dan perjalanan ke SMA akan membawa tantangan baru—tinggal jauh dari keluarga, menghadapi lingkungan asing, dan menjaga kesehatan yang kini rapuh.

Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, Zariqa menatap buku-bukunya, merasa seperti pelancong yang selangkah lagi sampai di tujuan. Cahaya lampu minyak menyala redup, tapi di dalam hatinya, ia melihat api yang semakin besar—mimpi yang terus membimbingnya melewati badai kehidupan.

Terbitnya Fajar Baru

Pagi hari di Sungai Bening, Kamis, 26 Juni 2025, pukul 11:21 WIB, menyambut hari dengan langit biru yang jernih setelah hujan semalam, seolah menyiratkan harapan baru. Di dalam gubuk bambu sederhana milik keluarga Zariqa Lumindra, suasana pagi dipenuhi oleh campuran kegembiraan dan kekhawatiran. Zariqa, gadis 17 tahun dengan rambut cokelat keriting yang kini terlihat kusam karena kelelahan, bangun dari tidur pendeknya dengan tubuh yang masih lelet. Matanya, hitam pekat dengan kilau bintang, penuh tekad meski dipenuhi lingkaran hitam akibat kurang tidur. Hari ini adalah hari pendaftaran SMA di kota, titik balik dalam perjuangannya yang panjang, tapi juga awal dari tantangan baru yang belum ia ketahui.

Di ranjang kayu, Darmo, ayahnya, duduk dengan bantuan Sariyani, ibunya, wajahnya lebih segar berkat obat yang dibeli dengan tabungan Zariqa. Kiran dan Elvira, adik-adiknya, berbisik ceria di sudut, mempersiapkan bunga liar yang mereka petik untuk memberi semangat kakak mereka. Zariqa mengemas tas kainnya dengan uang satu juta rupiah yang ia kumpulkan dari menjahit dan mengukir, ditambah surat beasiswa parsial dari yayasan. Ia mengenakan baju terbaiknya—sehelai kain lusuh yang telah dijahit ulang oleh Tuminah—dan mengikat rambutnya dengan karet tua, mencoba tampil layak meski hatinya bergetar.

Sariyani memeluknya erat sebelum Zariqa mengayuh sepeda tua menuju halte bis. “Kamu hebat, Zariqa. Jaga diri di kota,” bisiknya, air mata mengalir di pipinya yang keriput. Darmo mengangguk lemah, matanya penuh kebanggaan. “Jangan lupa rumah ini, Nak,” katanya, suaranya parau. Zariqa tersenyum, menyeka air mata, dan berjanji dalam hati akan membuat keluarganya bangga. Dengan sepeda yang berderit, ia melaju menuju halte, meninggalkan gubuk yang penuh kenangan pahit dan manis.

Perjalanan ke kota terasa lebih berat kali ini. Bis tua yang penuh sesak berguncang di jalan berbatu, dan Zariqa berdiri di sudut, memegang erat tasnya, takut uangnya hilang. Perutnya kosong karena ia menyerahkan roti terakhir pada Elvira semalam, tapi ia mengabaikan rasa lapar, fokus pada tujuannya. Ketika bis tiba di terminal kota, ia turun dengan kaki gemetar, menatap gedung SMA yang megah di kejauhan, sebuah dunia yang asing dan menakutkan baginya.

Di kantor pendaftaran, Zariqa mengantre dengan anak-anak lain yang tampak percaya diri, mengenakan seragam rapi dan ditemani orang tua. Ia merasa kecil, bajunya kusam di antara pakaian bersih, tapi ia mengangkat dagu, mengingat perjuangannya. Saat gilirannya tiba, ia menyerahkan uang dan surat beasiswa dengan tangan yang bergetar. Petugas, seorang wanita paruh baya bernama Ibu Rina, memeriksa dokumennya dan tersenyum hangat. “Kamu luar biasa, Zariqa. Selamat datang di SMA Nusantara,” katanya, memberikan kartu pelajar sementara. Zariqa menatap kartu itu, air mata mengalir, merasa seperti mimpi yang akhirnya nyata.

Tapi kebahagiaan itu cepat sirna ketika ia menyadari masalah baru. Ia tidak punya uang untuk transportasi pulang, apalagi biaya hidup di kota jika ia harus mondok. Dengan hati berat, ia memutuskan untuk berjalan kaki menuju halte bis terdekat, tapi jaraknya dua kilometer, dan tubuhnya lelet. Di tengah perjalanan, hujan turun tiba-tiba, membasahi bajunya yang tipis. Zariqa berlindung di bawah pohon, menggigil, dan merasa dunia menertawakannya. Tapi di saat itu, sebuah mobil tua berhenti di dekatnya. Ibu Rina, petugas tadi, turun dengan payung. “Ayo, aku antar kamu,” katanya dengan senyum. Zariqa, terkejut, mengangguk dan masuk, merasa ada cahaya di tengah badai.

Di perjalanan, Ibu Rina mendengar cerita Zariqa—tentang ayah yang sakit, adik-adik yang lapar, dan perjuangannya menabung. Terharu, Ibu Rina menawarkan bantuan, menghubungkan Zariqa dengan yayasan yang bisa menyediakan asrama gratis untuk pelajar miskin berprestasi. Zariqa menangis kegirangan, merasa seperti mendapat tangan yang menariknya dari jurang. Ketika ia tiba di halte, Ibu Rina memberikan amplop kecil. “Ini untuk bekalmu,” katanya. Di dalam, Zariqa menemukan dua ratus ribu rupiah dan nomor telepon Ibu Rina.

Kembali ke Sungai Bening, Zariqa disambut oleh keluarga dengan pelukan hangat. Ia menceritakan kabar baik tentang pendaftaran dan bantuan asrama, membuat Darmo tersenyum lebar meski lemah, dan Sariyani menangis haru. Tapi malam itu, Zariqa tidur dengan pikiran berat. Hidup di kota berarti ia harus meninggalkan keluarga, menghadapi lingkungan baru, dan menjaga kesehatan yang kini rapuh. Ia membuka buku pelajarannya, menyalakan lampu minyak, dan mulai belajar lagi, siap menghadapi tantangan berikutnya.

Hari pertama di SMA Nusantara tiba seminggu kemudian. Zariqa tiba di asrama sederhana dengan tas kainnya, dikelilingi anak-anak kota yang tampak asing baginya. Ia merasa canggung, tapi teman sekamarnya, seorang gadis bernama Lestari, menyapa dengan ramah. Di kelas, Zariqa kagum melihat papan tulis besar dan buku-buku baru, tapi ia juga merasa tertinggal karena pelajarannya masih bergantung pada buku lusuh. Ia belajar keras, sering begadang, dan meminta bantuan Lestari untuk mengejar materi.

Tapi tantangan tidak berhenti. Suatu hari, ia mendapat kabar dari Sariyani bahwa Darmo jatuh sakit lagi, dan mereka kekurangan uang untuk obat. Zariqa menangis di sudut asrama, merasa terbelah antara keluarga dan mimpinya. Dengan bantuan Lestari, ia mengadakan penggalangan dana di sekolah, menjual patung kayu buatannya, dan berhasil mengumpulkan cukup untuk mengirim obat. Darmo membaik lagi, dan Zariqa merasa lega, tapi ia tahu perjuangan ini akan terus berlanjut.

Tahun-tahun berlalu di SMA, Zariqa tumbuh menjadi siswa teladan meski sering sakit karena kelelahan. Ia memenangkan beasiswa penuh untuk kuliah kedokteran, membawa keluarganya ke kota, dan membangun rumah baru. Di hari wisuda, Darmo, yang kini lebih sehat berkat perawatan Zariqa, memeluknya dengan bangga. “Kamu terbit seperti fajar, Zariqa,” katanya, air mata mengalir. Zariqa tersenyum, menatap keluarganya, tahu bahwa setiap tetes keringat dan air mata telah membuahkan cahaya baru dalam hidupnya.

Di bawah langit senja, Zariqa berdiri di balkon rumah barunya, mengenakan jas dokter pertamanya, merasa perjuangan hidupnya telah mencapai puncak. Tapi di dalam hatinya, ia tahu ilmu adalah perjalanan tanpa akhir, dan ia akan terus melangkah, didorong oleh cinta pada keluarganya dan mimpi yang tak pernah padam.

“Perjuangan Hidupku Menuntut Ilmu” adalah bukti kuat bahwa tekad dan cinta dapat mengatasi segala rintangan, menuntun Zariqa dari gubuk sederhana ke jubah dokter dengan keberhasilan yang menginspirasi. Kisah ini mengajarkan nilai pendidikan dan pengorbanan, mengundang Anda untuk merenung dan termotivasi. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan perjalanan emosional ini dan temukan kekuatan dalam setiap halamannya!

Terima kasih telah membaca tentang “Perjuangan Hidupku Menuntut Ilmu” dan perjalanan Zariqa. Semoga cerita ini menginspirasi Anda untuk mengejar mimpi dan menghargai setiap langkah dalam hidup. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan terus eksplorasi kisah-kisah yang membangkitkan semangat!

Leave a Reply