Daftar Isi
“Cinta di Bawah Langit Kelabu” adalah sebuah cerpen yang menggugah hati, mengisahkan perjuangan cinta seorang pemuda bernama Aksara Vidyatama dalam menaklukkan luka masa lalu dan merangkul harapan di tengah hujan Rengaswati. Dengan alur yang mendalam, emosi yang kuat, dan detail yang memikat, cerpen ini mengajak pembaca untuk menyelami kisah cinta yang penuh liku, di mana pelangi di ujung hujan menjadi simbol harapan. Temukan alasan mengapa kisah ini wajib dibaca oleh pecinta cerita romansa yang menyentuh jiwa.
Cinta di Bawah Langit Kelabu
Awal yang Penuh Harap
Di sudut kota kecil bernama Rengaswati, di mana jalan-jalan berbatu dipenuhi aroma tanah basah setelah hujan, hiduplah seorang pemuda bernama Aksara Vidyatama. Nama yang tak biasa, pemberian sang ayah, seorang pustakawan tua yang percaya bahwa setiap nama membawa cerita. Aksara, dengan mata cokelatnya yang selalu tampak merenung, bukanlah sosok yang menonjol di antara keramaian. Ia lebih suka menyendiri, duduk di tepi Sungai Melati yang mengalir tenang di pinggir kota, menuliskan puisi-puisi tentang mimpi dan luka yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun.
Rengaswati bukan kota yang ramai. Rumah-rumah kayu berdiri rapi di sisi jalan, dengan atap genting yang kerap berderit saat angin musim hujan tiba. Di ujung kota, ada sebuah toko buku tua bernama “Pustaka Senja,” tempat Aksara menghabiskan sebagian besar waktunya. Ia bekerja di sana, bukan hanya untuk mencari nafkah, tetapi karena buku-buku adalah dunianya. Di antara rak-rak kayu yang berderit dan bau kertas tua, Aksara menemukan kedamaian yang tak bisa ia dapatkan di tempat lain.
Hari itu, hujan baru saja reda. Langit masih kelabu, dan genangan air memantulkan bayang-bayang awan yang bergerak perlahan. Aksara sedang merapikan tumpukan buku di sudut toko ketika lonceng kecil di pintu berdenting pelan. Ia menoleh, dan di situlah ia pertama kali melihatnya—Nirwana Savitri. Gadis itu masuk dengan langkah ringan, jaket kuningnya sedikit basah di bagian bahu, dan rambutnya yang panjang terurai lembut, beberapa helai menempel di pipinya karena tetesan hujan. Ada sesuatu di matanya, secercah cahaya yang seolah menyimpan rahasia, membuat jantung Aksara berdegup tak biasa.
“Selamat sore,” sapa Nirwana dengan suara yang lembut namun tegas. “Saya mencari buku tentang puisi klasik Jawa. Ada rekomendasi?”
Aksara terdiam sejenak, bukan karena tak tahu jawaban, tetapi karena ada getar aneh di dadanya. Ia buru-buru mengangguk, berjalan menuju rak di sudut ruangan, dan menarik sebuah buku bersampul cokelat tua berjudul Serat Centhini. “Ini salah satu yang terbaik,” katanya, suaranya sedikit serak. “Puisi-puisinya penuh makna, tapi mungkin agak sulit dipahami kalau belum terbiasa.”
Nirwana tersenyum, dan senyum itu seperti sinar matahari yang menerobos awan kelabu. “Saya suka tantangan,” katanya sambil mengambil buku itu dari tangan Aksara. Jari mereka tak sengaja bersentuhan, dan Aksara merasakan hawa hangat yang aneh, seolah dunia sejenak berhenti berputar.
Hari-hari berikutnya, Nirwana menjadi pengunjung tetap di Pustaka Senja. Ia selalu datang dengan alasan mencari buku baru, tetapi percakapan mereka selalu melampaui buku-buku itu. Mereka bicara tentang puisi, tentang mimpi, tentang langit Rengaswati yang selalu kelabu di musim hujan. Aksara belajar bahwa Nirwana adalah seorang pelukis amatir yang baru pindah ke kota ini setelah kehilangan ibunya. Ada luka di matanya setiap kali ia menyebut ibunya, tetapi ia selalu cepat mengalihkan topik, seolah tak ingin luka itu tersentuh.
“Aksara, kamu pernah merasa dunia ini terlalu berat untuk dijalani?” tanya Nirwana suatu sore, saat mereka duduk di beranda toko, menikmati teh hangat sambil memandang hujan yang kembali turun.
Aksara memandang cangkir di tangannya, uap teh membumbung pelan. “Setiap hari,” jawabnya jujur. “Tapi kadang, ada momen kecil yang bikin semua terasa ringan. Seperti… sekarang.”
Nirwana menoleh, matanya menangkap pandangan Aksara. Untuk sesaat, tak ada kata yang terucap. Hanya suara hujan dan detak jantung mereka yang saling berlomba. Saat itulah Aksara tahu, ia sedang jatuh cinta. Bukan cinta yang gegabah seperti di novel-novel romansa, tetapi cinta yang tumbuh pelan, seperti akar pohon yang merangsek masuk ke dalam tanah, kuat dan tak terelakkan.
Namun, cinta itu tak sepenuhnya indah. Aksara mulai menyadari bahwa Nirwana menyimpan sesuatu. Setiap kali ia mencoba mendekat, bertanya tentang masa lalunya, Nirwana selalu mengalihkan pembicaraan dengan senyum atau candaan ringan. Ada dinding tak kasat mata di antara mereka, dan Aksara tak tahu bagaimana merobohkannya. Ia hanya bisa menulis puisi-puisi untuk Nirwana di buku catatannya, puisi yang tak pernah ia tunjukkan, penuh dengan kata-kata tentang rindu dan ketakutan kehilangan.
Suatu malam, saat toko sudah tutup, Aksara menemukan sebuah sketsa kecil di antara tumpukan buku yang Nirwana tinggalkan. Itu adalah gambar pensil sederhana: seorang pemuda duduk di tepi sungai, memandang langit kelabu. Aksara tahu itu dirinya. Di sudut kertas, ada tulisan kecil dalam huruf-huruf halus: “Untuk Aksara, yang membuat hujan tak lagi terasa dingin.”
Jantung Aksara berdegup kencang. Ia memegang sketsa itu seperti harta karun, hatinya dipenuhi campuran bahagia dan takut. Bahagia karena Nirwana melihatnya, benar-benar melihatnya. Takut karena ia tahu, cinta ini mungkin tak akan mudah. Ada rahasia di balik mata Nirwana, dan Aksara belum tahu apakah ia cukup kuat untuk menghadapinya.
Malam itu, di kamar kecilnya yang penuh buku, Aksara duduk di meja kayu tua, menulis puisi baru. Kata-katanya mengalir seperti sungai, penuh perasaan yang tak bisa ia ungkapkan langsung kepada Nirwana.
Di bawah langit kelabu, aku menemukanmu,
Cahaya yang tersembunyi di balik awan.
Namun, mengapa rindu ini terasa seperti luka?
Seperti hujan yang tak pernah reda,
Menyisakan genangan di hati yang rapuh.
Ia menutup buku catatannya, memandang keluar jendela. Hujan kembali turun, dan di kejauhan, ia membayangkan Nirwana sedang melukis di bawah lampu redup, dengan luka yang ia sembunyikan dari dunia. Aksara tahu, perjalanan ini baru saja dimulai, dan ia harus menemukan keberanian untuk melangkah lebih jauh—menuju cinta yang mungkin akan mengubah hidupnya, atau menghancurkannya.
Hujan terus turun di Rengaswati, dan di bawah langit kelabu itu, Aksara Vidyatama memulai perjuangan cintanya, tanpa tahu apa yang menantinya di ujung jalan.
Bayang-Bayang Masa Lalu
Hujan di Rengaswati seolah tak pernah lelah. Setiap pagi, kabut tipis menyelimuti kota kecil itu, menyisakan aroma tanah basah dan daun-daun yang bergoyang pelan di tepi Sungai Melati. Aksara Vidyatama, dengan jaket cokelat tua yang sudah sedikit usang, berjalan menyusuri jalan berbatu menuju Pustaka Senja. Di tangannya, ia memegang buku catatan kecil tempat ia menuangkan puisi-puisinya, termasuk sketsa kecil dari Nirwana Savitri yang kini terselip di antara halaman-halaman itu. Sketsa itu bagai jimat, pengingat bahwa ada seseorang di dunia ini yang melihatnya lebih dari sekadar pemuda pendiam di toko buku.
Dua minggu telah berlalu sejak pertemuan pertama mereka, dan Nirwana kini menjadi bagian dari rutinitas Aksara. Gadis itu datang hampir setiap sore, selalu dengan alasan mencari buku baru, meski Aksara tahu itu hanya dalih. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam berbincang di beranda toko, di bawah atap genting yang meneteskan air hujan. Nirwana bercerita tentang lukisannya, tentang warna-warna yang ia gunakan untuk menangkap emosi yang tak bisa diucapkan. “Warna biru kelabu,” katanya suatu kali, “itu warna kesedihan yang tenang. Seperti langit Rengaswati.”
Aksara mendengarkan dengan penuh perhatian, mencatat setiap detail kecil tentang Nirwana: caranya memainkan ujung rambut saat berpikir, tawa kecil yang keluar saat ia malu, dan kilau di matanya saat ia berbicara tentang seni. Namun, di balik semua itu, Aksara merasakan ada bagian dari Nirwana yang tertutup rapat. Setiap kali ia mencoba bertanya tentang keluarganya atau masa lalunya, Nirwana selalu mengalihkan pembicaraan dengan senyum atau pertanyaan lain. “Kamu pernah coba melukis, Aksara?” atau “Buku apa yang lagi kamu baca sekarang?” Itu selalu berhasil membuat Aksara lupa, setidaknya untuk sementara.
Suatu sore, saat hujan reda dan matahari malu-malu muncul di sela awan, Nirwana datang dengan ekspresi yang berbeda. Matanya merah, seolah ia baru saja menangis, dan senyumnya tak secerah biasa. Aksara, yang sedang menyusun buku-buku di rak, segera menyadari perubahan itu. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya hati-hati, meletakkan buku di tangannya.
Nirwana mengangguk cepat, tapi tangannya sibuk meremas ujung jaket kuningnya. “Cuma… kangen rumah,” katanya, suaranya hampir tak terdengar. “Tapi bukan rumah di sini. Rumah yang dulu.”
Aksara ingin bertanya lebih jauh, tapi ada sesuatu di wajah Nirwana yang membuatnya berhenti. Ia hanya mengangguk, lalu mengambilkan secangkir teh hangat dari dapur kecil di belakang toko. “Duduk dulu,” katanya lembut. “Hujan udah reda, kita bisa ngobrol di beranda.”
Mereka duduk berdampingan, memandang jalan yang masih basah. Untuk pertama kalinya, Nirwana bercerita lebih banyak. Ia menceritakan tentang kota kecil di pegunungan tempat ia dibesarkan, tentang ibunya yang seorang penutur cerita rakyat, dan tentang malam-malam ketika mereka duduk bersama di bawah langit penuh bintang. “Ibu selalu bilang, setiap bintang punya cerita,” katanya, matanya menatap ke kejauhan. “Tapi sekarang, bintang-bintang itu cuma mengingatkan aku bahwa dia sudah nggak ada.”
Aksara merasakan sesak di dadanya. Ia ingin meraih tangan Nirwana, tapi ia takut itu terlalu berani. “Aku nggak bisa bilang aku ngerti apa yang kamu rasakan,” katanya pelan. “Tapi aku tahu rasanya kehilangan sesuatu yang bikin dunia terasa utuh.”
Nirwana menoleh, matanya penuh pertanyaan. “Kamu pernah kehilangan seseorang, Aksara?”
Aksara terdiam. Ia jarang membicarakan masa lalunya, bahkan kepada teman-temannya. Tapi ada sesuatu di mata Nirwana yang membuatnya ingin jujur. “Ayahku,” katanya akhirnya. “Dia meninggal tiga tahun lalu. Kanker. Dia yang ajarin aku cinta buku, cinta puisi. Kadang, aku nulis puisi cuma buat ngerasa dia masih ada.”
Hening sejenak. Lalu, Nirwana meraih tangan Aksara, jari-jarinya dingin tapi lembut. “Aku nggak tahu kenapa, tapi aku merasa bisa cerita apa aja sama kamu,” katanya, suaranya bergetar. “Tapi ada hal-hal yang… susah banget buat diucapin.”
Aksara memandang tangan mereka yang bersentuhan, jantungnya berdegup kencang. “Kamu nggak harus cerita sekarang,” katanya. “Aku di sini, kapan pun kamu siap.”
Sore itu, untuk pertama kalinya, Aksara merasa dinding tak kasat mata di antara mereka sedikit retak. Nirwana tak banyak bicara setelah itu, tapi ia tak melepaskan tangan Aksara sampai matahari benar-benar tenggelam. Saat ia akhirnya pamit pulang, ia meninggalkan sketsa lain di meja toko: gambar dua tangan yang saling menggenggam di bawah langit kelabu, dengan tulisan kecil di sudutnya: “Terima kasih, Aksara.”
Malam itu, Aksara tak bisa tidur. Ia duduk di meja kayunya, menulis puisi baru, kata-katanya penuh dengan perasaan yang kini terasa lebih nyata, lebih berat.
Di bawah langit kelabu, tanganmu menemukanku,
Dingin, namun penuh rahasia yang ingin kujaga.
Aku tak tahu luka yang kau sembunyikan,
Tapi biarkan aku menjadi pelabuhanmu,
Saat badai di hatimu tak lagi tertahankan.
Keesokan harinya, Aksara tiba di toko lebih awal, berharap Nirwana akan datang seperti biasa. Tapi hari itu, ia tak muncul. Hari berikutnya juga sama. Kekhawatiran mulai merayap di hati Aksara. Ia mencoba menghubungi nomor yang pernah Nirwana berikan, tapi hanya suara mesin yang menjawab. Ia bertanya kepada tetangga di sekitar toko, tetapi tak ada yang tahu di mana Nirwana tinggal. Rengaswati kecil, tapi cukup luas untuk menyembunyikan seseorang yang tak ingin ditemukan.
Pada hari ketiga, Aksara memutuskan untuk mencari Nirwana. Ia ingat Nirwana pernah menyebut sebuah bukit kecil di pinggir kota, tempat ia suka melukis saat ingin sendiri. Dengan langkah penuh tekad, Aksara berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi rumput basah, menuju Bukit Seruni. Angin musim hujan bertiup kencang, dan langit kembali kelabu, seolah mencerminkan kegelisahan di hatinya.
Di puncak bukit, ia menemukan Nirwana. Gadis itu duduk di bawah pohon akasia, kanvas kecil di pangkuannya, kuas di tangannya berhenti di udara. Matanya merah, dan di sampingnya, ada sebuah kotak kayu kecil yang terbuka, berisi surat-surat tua dan foto yang sudah pudar. Nirwana menoleh saat mendengar langkah Aksara, dan untuk sesaat, ia tampak panik.
“Aksara? Kenapa kamu di sini?” tanyanya, suaranya campuran kaget dan malu.
“Aku khawatir,” jawab Aksara jujur. “Kamu nggak datang ke toko. Aku cuma… pengen pastiin kamu baik-baik aja.”
Nirwana menunduk, tangannya meremas salah satu surat di kotak itu. “Aku nggak baik-baik aja,” katanya pelan. “Aku pikir aku bisa lari dari masa lalu, tapi… ternyata nggak semudah itu.”
Aksara duduk di sampingnya, tak berani bertanya terlalu banyak. Ia hanya menunggu, seperti ia selalu menunggu Nirwana membuka diri. Setelah hening yang panjang, Nirwana akhirnya berbicara. “Ibuku nggak cuma meninggal karena sakit,” katanya, suaranya bergetar. “Dia… memilih pergi. Dia nggak kuat lagi hidup. Dan aku… aku nggak bisa nolong dia.”
Kata-kata itu seperti pisau, tajam dan dingin. Aksara merasakan dadanya sesak, tapi ia tak tahu apa yang harus dikatakan. Ia hanya meraih tangan Nirwana lagi, kali ini lebih erat. “Kamu nggak sendiri,” katanya akhirnya. “Aku di sini. Dan aku nggak akan ke mana-mana.”
Nirwana menangis pelan, air matanya bercampur dengan tetesan hujan yang mulai turun lagi. Di bawah pohon akasia, di tengah bukit yang sepi, Aksara memeluknya, membiarkan hujan membasahi mereka berdua. Ia tahu, perjuangan cintanya baru saja memasuki babak yang lebih sulit. Rahasia Nirwana telah terbuka, tapi luka itu masih jauh dari sembuh. Dan Aksara, dengan segala ketakutannya, berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap berada di sisi Nirwana, apa pun yang terjadi.
Hujan terus turun, dan di bawah langit kelabu, cinta mereka tumbuh di antara luka dan harapan, rapuh namun penuh tekad.
Luka yang Tersembunyi
Hujan di Rengaswati kembali turun dengan deras malam itu, seolah langit ikut menangis bersama Nirwana Savitri. Aksara Vidyatama masih duduk di sampingnya di bawah pohon akasia di Bukit Seruni, memeluknya erat sementara air hujan membasahi jaket cokelat tuanya. Angin malam bertiup kencang, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur. Kotak kayu kecil milik Nirwana masih terbuka di samping mereka, surat-surat tua di dalamnya mulai lembap, tetapi Nirwana tampak tak peduli. Matanya yang merah dan pipinya yang basah oleh air mata bercampur hujan membuat Aksara merasakan sesak yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Aku nggak tahu kenapa aku ceritain ini ke kamu,” kata Nirwana akhirnya, suaranya parau, nyaris tenggelam dalam suara hujan. “Aku udah lama nyoba lupa, nyoba buang semua ini. Tapi setiap kali aku lihat surat-surat ini, foto-foto ini… semuanya balik lagi.”
Aksara memandang kotak kayu itu. Di antara surat-surat yang mulai memudar, ia melihat sebuah foto kecil: seorang wanita dengan senyum lembut, mirip Nirwana, memeluk seorang gadis kecil yang tersenyum lebar di bawah pohon besar. Itu pasti ibunya. Aksara ingin bertanya lebih banyak, ingin tahu apa yang membuat Nirwana begitu terluka, tetapi ia tahu saat ini bukan waktunya untuk memaksa. Ia hanya menggenggam tangan Nirwana lebih erat, membiarkan kehangatan tangannya berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
“Ayo kita cari tempat berteduh,” katanya pelan, menyadari hujan semakin deras. “Kamu bakal sakit kalau kita terus di sini.”
Nirwana mengangguk lemas, membiarkan Aksara membantu mengemas kotak kayunya. Mereka berjalan turun dari bukit, langkah mereka pelan di tengah lumpur dan rumput basah. Aksara memayungi Nirwana dengan jaketnya, meski itu tak banyak membantu. Dalam diam, mereka menuju sebuah warung kecil di pinggir kota, tempat yang biasa dikunjungi para petani dan pedagang setelah seharian bekerja. Warung itu sederhana, dengan atap seng yang berderit dan lampu neon yang berkedip-kedip, tetapi hangat dan penuh aroma kopi.
Di dalam, mereka duduk di sudut, dekat jendela yang memantulkan bayangan hujan. Pemilik warung, seorang wanita tua bernama Ibu Siti, menyapa Aksara dengan senyum ramah dan segera menyajikan dua cangkir kopi panas. “Hujan begini enaknya minum yang hangat,” katanya sambil mengedipkan mata, lalu kembali ke dapurnya.
Nirwana memandang cangkir di tangannya, uap kopi membumbung lembut. “Aku nggak pernah ceritain ini ke siapa pun,” katanya tiba-tiba, suaranya masih rapuh. “Ibuku… dia nggak cuma pergi karena dia nggak kuat. Aku… aku ngerasa itu salahku.”
Aksara mengerutkan kening, hatinya terasa seperti diremas. “Nirwana, kamu nggak bisa nyalahin diri sendiri untuk sesuatu yang nggak kamu kontrol,” katanya hati-hati. “Apa pun yang terjadi, itu bukan salahmu.”
Nirwana menggeleng, matanya menatap ke luar jendela, ke arah hujan yang tak kunjung reda. “Kamu nggak ngerti, Aksara. Aku ada di sana malam itu. Aku lihat dia… lihat dia menulis surat terakhirnya. Aku cuma diam, nggak ngomong apa-apa. Aku pikir dia cuma lagi sedih biasa, kayak yang sering dia alamin. Aku nggak tahu dia bakal…” Suaranya terputus, dan ia menutup wajahnya dengan tangan.
Aksara merasa dunia sejenak berhenti. Ia tak tahu bagaimana merespons luka sebesar itu. Ia hanya bisa membayangkan Nirwana kecil, berdiri di sudut ruangan, menyaksikan ibunya menulis kata-kata terakhir tanpa tahu bahwa itu adalah akhir. “Nirwana,” katanya pelan, meraih tangannya lagi. “Kamu nggak bisa ubah masa lalu. Tapi kamu ada di sini sekarang. Dan kamu nggak sendiri.”
Nirwana menatapnya, matanya penuh air mata tetapi juga ada secercah harapan. “Kenapa kamu begitu baik ke aku?” tanyanya, suaranya hampir seperti bisikan. “Kamu nggak kenal aku lama, tapi kamu… kamu kayak nggak takut sama luka-luka aku.”
Aksara tersenyum kecil, meski dadanya terasa berat. “Karena aku tahu rasanya bawa luka sendiri,” katanya. “Dan karena… aku peduli sama kamu. Mungkin lebih dari yang aku ngerti sendiri.”
Kata-kata itu keluar begitu saja, dan untuk sesaat, Aksara merasa takut telah mengatakan terlalu banyak. Tapi Nirwana tak menarik tangannya. Ia justru menggenggam tangan Aksara lebih erat, seolah tak ingin melepaskan. “Aku takut, Aksara,” katanya. “Aku takut kalau aku biarin kamu dekat, aku cuma bakal bikin kamu terluka juga.”
“Biarkan aku yang putusin itu,” jawab Aksara tegas, matanya penuh tekad. “Aku nggak janji bisa bikin semuanya baik-baik aja. Tapi aku janji aku bakal ada di sini, apa pun yang terjadi.”
Malam itu, mereka pulang dengan langkah pelan di bawah payung tua yang dipinjam dari Ibu Siti. Nirwana bersandar di bahu Aksara, dan untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih ringan. Tapi di dalam hati Aksara, ada kekhawatiran baru. Ia tahu cinta ini bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang keberanian menghadapi luka yang dalam, baik milik Nirwana maupun miliknya sendiri.
Keesokan harinya, Nirwana kembali ke Pustaka Senja. Ia tampak lebih tenang, meski bayang-bayang kesedihan masih terlihat di matanya. Kali ini, ia membawa sebuah kanvas kecil, lukisan yang ia buat semalam setelah mereka pulang dari warung. Itu adalah gambar langit kelabu dengan dua sosok samar berdiri di bawah payung, tangan mereka saling menggenggam. “Ini buat kamu,” katanya, suaranya lembut. “Aku pikir… mungkin ini cara aku bilang terima kasih.”
Aksara memandang lukisan itu, hatinya dipenuhi kehangatan yang tak bisa ia jelaskan. “Ini indah,” katanya, jari-jarinya menyentuh tepi kanvas. “Kamu bikin hujan terlihat… nggak begitu kelabu.”
Nirwana tersenyum, senyum yang kali ini terasa lebih tulus. “Mungkin karena kamu ada di sampingku,” katanya, lalu buru-buru menunduk, pipinya memerah.
Hari-hari berikutnya, hubungan mereka tumbuh lebih dalam. Mereka menghabiskan waktu bersama di tepi Sungai Melati, kadang hanya duduk diam, mendengarkan suara air dan hujan yang sesekali turun. Aksara mulai membaca puisi-puisinya untuk Nirwana, sesuatu yang tak pernah ia lakukan untuk siapa pun. Nirwana, sebagai gantinya, menunjukkan sketsa-sketsa kecil yang ia buat, masing-masing menceritakan potongan kecil dari hatinya.
Tapi di balik momen-momen bahagia itu, Aksara tak bisa mengabaikan firasat buruk yang kadang muncul. Nirwana masih sering tiba-tiba diam, menatap ke kejauhan dengan ekspresi yang sulit dibaca. Suatu sore, saat mereka duduk di beranda toko, Nirwana tiba-tiba berkata, “Aksara, kalau suatu hari aku harus pergi, kamu bakal benci aku nggak?”
Pertanyaan itu seperti petir di siang hari. Aksara mengerutkan kening, mencoba memahami maksudnya. “Pergi ke mana? Kamu kan udah di sini, di Rengaswati.”
Nirwana menggeleng pelan. “Aku cuma… nggak yakin aku bisa tinggal di satu tempat terlalu lama. Kadang aku ngerasa… aku nggak pantas buat bahagia.”
Kata-kata itu menyakitkan, tapi Aksara tak ingin menyerah. “Kamu pantas, Nirwana,” katanya tegas. “Dan aku bakal buktikan itu ke kamu, berapa lama pun itu butuh waktu.”
Malam itu, di kamar kecilnya, Aksara menulis puisi baru, kata-katanya penuh dengan tekad dan ketakutan yang bercampur.
Di bawah langit kelabu, aku berjanji padamu,
Akan kukejar bayang-bayang luka di hatimu.
Meski hujan tak reda, meski badai menghadang,
Aku akan berdiri di sisimu,
Hingga kau percaya bahwa cinta ini nyata.
Hujan terus turun di Rengaswati, dan di tengah langit kelabu, Aksara tahu bahwa perjuangannya untuk mencintai Nirwana baru saja memasuki ujian sejati. Ada rahasia lain yang belum terungkap, dan ia harus menemukan cara untuk membuat Nirwana percaya bahwa ia layak dicintai, sebelum semuanya terlambat.
Cahaya di Ujung Hujan
Hujan di Rengaswati tak pernah benar-benar berhenti, hanya jeda sesaat sebelum kembali turun, seolah langit menolak melepaskan kelabunya. Namun, bagi Aksara Vidyatama, hujan kini terasa berbeda. Setiap tetesnya mengingatkannya pada Nirwana Savitri, pada tangan dingin yang pernah ia genggam di Bukit Seruni, pada lukisan-lukisan yang menceritakan luka dan harapan. Tapi pertanyaan Nirwana tentang “pergi” masih menghantui pikirannya, seperti awan gelap yang tak pernah benar-benar hilang. Ia tak tahu apa yang dimaksud gadis itu, tetapi firasat buruk itu terus menggerogoti hatinya.
Musim hujan di Rengaswati memasuki puncaknya, dan Sungai Melati mulai meluap, membuat jalan-jalan berbatu di kota kecil itu licin dan berbahaya. Pustaka Senja tetap buka, meski pengunjung semakin jarang. Aksara menghabiskan hari-harinya merapikan buku-buku tua, menulis puisi di buku catatannya, dan menunggu Nirwana. Gadis itu masih datang, tapi ada perubahan halus dalam dirinya. Senyumnya lebih sering tertahan, dan matanya kerap menatap ke kejauhan, seolah mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan.
Suatu sore, saat langit mulai memerah di sela-sela awan kelabu, Nirwana tiba di toko dengan sebuah kanvas besar, dibungkus kain tua yang sedikit basah. “Aksara, aku mau nunjukin sesuatu,” katanya, suaranya campuran antara gugup dan antusias. Ia membuka bungkusan itu dengan hati-hati, memperlihatkan lukisan yang membuat Aksara terpana. Itu adalah pemandangan Sungai Melati di bawah langit kelabu, dengan dua sosok kecil berdiri di tepian, memegang payung tua. Di sudut lukisan, ada kilauan kecil—cahaya matahari yang menerobos awan, menciptakan pelangi tipis di kejauhan. “Ini cerita kita,” kata Nirwana pelan. “Hujan, kelabu, tapi… ada harapan di ujungnya.”
Aksara tak bisa berkata-kata. Ia menyentuh tepi kanvas, jari-jarinya gemetar. “Ini… ini lebih dari indah, Nirwana,” katanya, suaranya serak. “Kamu bikin aku percaya bahwa hujan nggak selamanya buruk.”
Nirwana tersenyum, tapi ada bayang kesedihan di matanya. “Aku pengen kamu simpan ini,” katanya. “Buat kenang-kenangan.”
Kata “kenang-kenangan” itu seperti pisau yang menusuk dada Aksara. “Kenang-kenangan?” tanyanya, alisnya berkerut. “Nirwana, kenapa kamu bilang gitu? Kamu nggak ke mana-mana, kan?”
Nirwana menunduk, tangannya meremas ujung jaket kuningnya. “Aksara, aku… aku harus jujur sama kamu,” katanya, suaranya hampir tak terdengar. “Aku nggak yakin aku bisa tinggal di Rengaswati. Ada… ada sesuatu yang harus aku selesaikan. Sesuatu yang aku hindari selama ini.”
Jantung Aksara berdegup kencang, campuran antara takut dan marah. “Apa maksudmu? Sesuatu apa? Nirwana, kamu nggak bisa cuma bilang gitu tanpa jelasin apa-apa!”
Nirwana menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. Ia mengeluarkan sebuah surat tua dari saku jaketnya, amplopnya sudah kusut dan memudar. “Ini surat terakhir dari ibuku,” katanya. “Aku nggak pernah berani buka setelah malam itu. Tapi beberapa hari lalu, aku akhirnya baca. Dia… dia minta aku buat balik ke kampung halamanku. Ada sesuatu yang dia tinggalin di sana, sesuatu yang katanya bakal bantu aku ‘nemu jalan pulang.’ Aku nggak tahu apa maksudnya, tapi aku ngerasa… aku harus pergi.”
Aksara merasa dunia di sekitarnya hancur perlahan. “Jadi kamu mau pergi? Ninggalin Rengaswati? Ninggalin… aku?” Suaranya bergetar, penuh dengan emosi yang ia coba tahan.
Nirwana menggeleng cepat, air matanya akhirnya jatuh. “Bukan gitu, Aksara. Aku nggak mau ninggalin kamu. Tapi aku nggak bisa terus lari dari masa lalu. Aku harus hadapin ini, atau aku nggak akan pernah sembuh.”
Hening menyelimuti mereka. Hujan mulai turun lagi di luar, suaranya memenuhi ruangan kecil Pustaka Senja. Aksara menatap lukisan di depannya, pelangi kecil di sudut kanvas seolah mengejeknya. Ia ingin marah, ingin meminta Nirwana untuk tetap tinggal, tapi ia tahu itu egois. Ia tahu luka Nirwana lebih dalam dari yang ia bayangkan, dan jika ia benar-benar mencintainya, ia harus membiarkannya pergi.
“Kapan?” tanya Aksara akhirnya, suaranya pelan.
“Besok,” jawab Nirwana, hampir berbisik. “Aku udah beli tiket kereta. Aku cuma… pengen ngasih ini ke kamu sebelum aku pergi.”
Malam itu, Aksara tak bisa tidur. Ia duduk di kamar kecilnya, menatap lukisan Nirwana yang kini bersandar di dinding. Buku catatannya terbuka di meja, tapi ia tak bisa menulis. Kata-kata yang biasanya mengalir seperti sungai kini terasa kering. Ia hanya bisa memikirkan Nirwana, tentang bagaimana ia ingin memeluknya, menyuruhnya tetap tinggal, tetapi juga tentang bagaimana ia harus membiarkannya sembuh.
Pagi harinya, Aksara pergi ke stasiun kereta Rengaswati, tempat yang kecil dan sederhana dengan peron kayu yang sudah tua. Hujan telah reda, dan untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, langit menunjukkan secercah biru. Nirwana sudah ada di sana, berdiri di peron dengan koper kecil dan jaket kuningnya. Matanya merah, tapi ia tersenyum saat melihat Aksara.
“Kamu datang,” katanya, suaranya penuh kelegaan.
“Tentu aja,” jawab Aksara, mencoba tersenyum meski hatinya terasa hancur. “Aku nggak bakal biarin kamu pergi tanpa bilang selamat tinggal.”
Nirwana melangkah mendekat, lalu memeluknya erat. “Aku janji, Aksara,” katanya, suaranya bergetar. “Kalau aku nemuin apa yang aku cari, aku bakal balik. Aku bakal balik buat kamu.”
Aksara memeluknya balik, mencium aroma hujan dan cat minyak yang selalu melekat pada Nirwana. “Aku bakal nunggu,” katanya. “Berapa lama pun itu, aku bakal nunggu.”
Kereta tiba dengan suara derit yang keras, dan Nirwana melepaskan pelukannya. Ia menatap Aksara sekali lagi, matanya penuh dengan campuran cinta dan ketakutan. “Simpan lukisan itu baik-baik, ya,” katanya, lalu naik ke kereta.
Aksara berdiri di peron, menonton kereta itu perlahan meninggalkan stasiun. Ia merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya, tetapi di tengah rasa sakit itu, ada secercah harapan. Pelangi kecil di lukisan Nirwana, cahaya di ujung hujan, mengingatkannya bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, tetapi tentang membiarkan orang yang dicintai menemukan kedamaiannya.
Hari-hari berikutnya terasa hampa. Pustaka Senja tak lagi sama tanpa kehadiran Nirwana. Aksara tetap bekerja, merapikan buku-buku, tetapi setiap sudut toko mengingatkannya pada gadis itu. Ia menyimpan lukisan Nirwana di kamarnya, di tempat yang bisa ia lihat setiap pagi. Setiap malam, ia menulis puisi, kali ini bukan hanya tentang rindu, tetapi juga tentang harapan.
Di bawah langit kelabu, aku melepasmu pergi,
Bukan karena ku tak cinta, tapi karena ku percaya.
Pelangi di ujung hujan akan membawamu pulang,
Dan di sini, di Rengaswati, aku menanti,
Dengan hati yang penuh luka, namun penuh cahaya.
Beberapa bulan kemudian, saat musim hujan mulai mereda dan langit Rengaswati akhirnya menunjukkan biru yang cerah, sebuah surat tiba di Pustaka Senja. Amplopnya sederhana, dengan tulisan tangan yang dikenal Aksara. Jantungnya berdegup kencang saat ia membukanya. Di dalamnya, ada sebuah sketsa kecil: dua sosok di bawah pelangi, dengan tulisan di sudutnya: “Aku menemukan jalanku. Tunggu aku, Aksara.”
Aksara tersenyum, air mata mengalir di pipinya. Hujan telah reda, dan di bawah langit yang kini cerah, ia tahu bahwa cinta mereka, meski penuh luka, akan menemukan cahayanya. Ia kembali ke buku catatannya, menulis puisi terakhir untuk bab ini, dengan hati penuh harapan bahwa Nirwana akan kembali, membawa pelangi yang telah lama ia cari.
“Cinta di Bawah Langit Kelabu” bukan sekadar cerita cinta, tetapi juga cerminan perjuangan manusia dalam menghadapi luka dan menemukan cahaya di tengah kegelapan. Dengan narasi yang penuh emosi dan karakter yang hidup, cerpen ini akan meninggalkan kesan mendalam di hati pembaca. Jangan lewatkan kisah Aksara dan Nirwana yang membuktikan bahwa cinta sejati mampu bertahan di bawah langit kelabu, menanti pelangi yang selalu ada di ujung hujan.
Terima kasih telah menyimak ulasan tentang “Cinta di Bawah Langit Kelabu”. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menemukan harapan dalam setiap hujan hidup. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa bagikan cerita ini kepada mereka yang juga mencari kisah cinta yang tak terlupakan!


