Daftar Isi
Temukan kisah penuh emosi dalam cerpen Hujan Perjodohan dan Musuh yang Terpendam, yang membawa Viora Kresna dan Zevran Ardianto ke dalam pusaran perjodohan terpaksa dan konflik dendam di desa Gunung Senja. Dengan alur yang kaya akan kesedihan, ketegangan, dan akhir yang menghangatkan hati, cerita ini menggambarkan perjalanan dua jiwa yang terjebak tradisi dan masa lalu, namun menemukan cinta di tengah rintik hujan. Siapkah Anda menyelami petualangan inspiratif ini?
Hujan Perjodohan dan Musuh yang Terpendam
Bayang di Tengah Badai
Hujan turun deras di desa terpencil bernama Gunung Senja, sebuah tempat di mana udara dipenuhi aroma pinus basah dan suara angin yang menggoyang pepohonan tua. Di tepi desa, berdiri sebuah rumah kayu dengan atap jerami yang mulai rapuh, tempat tinggal Viora Kresna, seorang perempuan berusia 27 tahun dengan mata hazel yang jarang terlihat di wilayah itu. Rambutnya yang cokelat kemerahan selalu diikat longgar, sering kali basah oleh hujan karena ia merasa air itu membawa ketenangan untuk menenun kain-kain tradisionalnya. Viora adalah seorang pengrajin tenun yang karyanya dihargai di pasar lokal, meski hidupnya sederhana dan penuh tantangan.
Pagi itu, Viora duduk di teras rumahnya, menatap hujan yang membentuk genangan di halaman. Di tangannya, ia memegang alat tenun kecil dan benang warna-warni yang belum selesai dijadikan pola. Ia sedang mencoba menciptakan desain baru yang terinspirasi dari hujan, tapi pikirannya terusik oleh suara langkah kaki yang mendekat dari dalam rumah. Ibunya, Tanaya, muncul di pintu dengan wajah penuh kekhawatiran yang tak asing bagi Viora. “Viora, kita perlu bicara,” katanya, suaranya tegas namun gemetar.
Viora menurunkan alat tenunnya, menatap ibunya dengan curiga. “Ada apa lagi, Bu?” tanyanya, tahu bahwa percakapan seperti ini biasanya berujung pada topik yang ia hindari: perjodohan. Di Gunung Senja, tradisi mempertemukan anak-anak lajang dengan calon pasangan dianggap sebagai kewajiban keluarga, terutama bagi perempuan seusia Viora yang dianggap “terlalu tua” untuk belum menikah.
Tanaya menghela napas panjang, duduk di kursi bambu di samping Viora. “Keluarga Pak Raditya datang minggu depan. Anak mereka, Zevran Ardianto, baru pulang dari luar pulau. Orangnya cerdas, punya usaha sendiri, dan… cocok untukmu,” jelasnya, matanya penuh harap yang membuat Viora merasa tercekik.
Viora meletakkan benangnya dengan sedikit kasar, suara kayu yang bergesekan menggema di teras kecil itu. “Bu, aku sudah bilang aku nggak mau dijodohkan. Tenunku, hidupku—” Ia berhenti, melihat ekspresi ibunya yang penuh keputusasaan. “Aku nggak kenal orang itu. Aku nggak mau dipaksa!”
Tanaya menggenggam tangan Viora, matanya berkaca-kaca. “Kamu sudah 27 tahun, Viora. Di Gunung Senja, orang mulai berbicara. Aku cuma ingin kamu punya masa depan yang aman. Zevran ini berbeda. Dia punya ambisi, punya kekayaan. Aku yakin kamu bisa bahagia dengannya.”
Viora menarik tangannya perlahan, hatinya bergetar antara marah dan iba. Ia memahami beban ibunya—sebagai janda tunggal yang mengurusnya sejak ayahnya meninggal sepuluh tahun lalu akibat kecelakaan di hutan, Tanaya selalu mengorbankan segalanya untuknya. Tapi gagasan menikahi seseorang yang tak ia pilih terasa seperti pengkhianatan terhadap kemandiriannya. “Aku nggak mau aman kalau itu berarti kehilangan diriku sendiri, Bu,” katanya pelan, lalu bangkit meninggalkan teras.
Malam itu, hujan semakin deras, dan Viora duduk di kamarnya, menatap foto ayahnya yang tersimpan dalam bingkai kayu sederhana. Ayahnya, seorang pemburu yang suka bercerita, pernah berkata, “Tenunmu adalah jiwamu, Viora. Jangan biarkan siapa pun merobeknya.” Kata-kata itu kini terasa seperti bisikan yang memintanya bertahan, tapi juga seperti beban yang menekannya.
Esok harinya, Viora memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Zevran. Ia tak ingin menghadapi pertemuan itu tanpa amunisi, seperti pengrajin yang mempersiapkan benang terbaik. Ia berjalan ke pasar desa, tempat di mana desas-desus mengalir lebih cepat daripada air hujan. Di sana, ia bertemu dengan Lestari, sahabatnya sejak kecil yang kini menjual rempah di lapak kecil.
“Les, kamu tahu apa tentang Zevran Ardianto, anak Pak Raditya?” tanya Viora sambil membantu Lestari mengatur cabai kering di meja.
Lestari tersenyum kecil, tapi ada ketegangan di matanya. “Dia baru pulang dari luar pulau, katanya dari Sumatera. Punya usaha kayu, tapi entah kenapa balik ke Gunung Senja. Orang bilang dia dingin, bahkan ada yang bilang dia musuh lama keluarga tertentu di sini. Aku cuma dengar dia sering kelihatan di hutan, sendirian.”
“Musuh lama?” Viora mengerutkan kening, rasa ingin tahunya mulai membesar meski ia berusaha menahannya.
Lestari mengangguk pelan. “Ya. Katanya ada dendam lama antara keluarga Pak Raditya dan keluarga Pak Wira, tetangga kita. Tapi detailnya nggak jelas. Kamu kenapa tanya? Jangan bilang…” Lestari berhenti, matanya melebar. “Kamu dijodohkan sama dia?”
Viora memalingkan wajah, wajahnya memerah. “Bukan aku yang mau. Ibu.”
Lestari tertawa pelan, tapi ada simpati di suaranya. “Kamu tahu Gunung Senja, Via. Tradisi ini kuat banget. Tapi kalau ada dendam, hati-hati. Kamu bisa cari tahu lebih dalam kalau nggak yakin.”
Kata-kata Lestari mengguncang Viora. Dendam? Ia tak punya cukup informasi, tapi rasa curiga mulai tumbuh. Ia memutuskan untuk menyelami lebih dalam, meski itu berarti menghadapi ketakutannya.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan akhirnya hari kunjungan keluarga Raditya tiba. Viora mengenakan kain tenun buatannya sendiri, warna hijau tua yang terasa seperti pelindung, meski hatinya bergetar. Ia berdiri di ruang tamu, jantungan berdegup kencang, saat pintu depan dibuka. Pak Raditya, seorang pria paruh baya dengan wajah tegas, masuk bersama istri dan anak laki-lakinya—Zevran.
Zevran lebih tinggi dari yang Viora bayangkan, dengan rambut hitam yang rapi dan mata cokelat tua yang tampak tajam. Ia mengenakan kemeja hitam sederhana, tapi ada aura dingin yang membuatnya berbeda dari pemuda Gunung Senja lainnya. Sikapnya tenang, hampir menakutkan, dan ia tak banyak bicara selama percakapan formal itu berlangsung.
“Viora, ini Zevran,” kata Pak Raditya, suaranya penuh kebanggaan. “Dia baru pulang dari Sumatera, sekarang mengelola usaha kayu keluarga.”
Zevran mengangguk sopan, tapi matanya hanya sekilas bertemu dengan Viora sebelum ia memalingkan wajah. Viora merasa ada ketegangan di balik sikapnya itu, dan cerita tentang musuh lama mulai terasa nyata. Ia tak punya cukup waktu untuk memikirkannya sebelum ibunya memulai percakapan lebih lanjut.
Malam itu, setelah keluarga Raditya pulang, Viora duduk di teras lagi, hujan kembali turun. Ia merasa seperti kain yang tak selesai ditenun—terjebak dalam pola yang tak ia pilih. Tapi di antara rasa frustrasinya, ada sesuatu yang menggelitik di hatinya. Zevran, dengan segala misteri dan ketegangannya, membuatnya penasaran. Dan itu, entah kenapa, membuatnya takut—terutama dengan bayang musuh yang tersirat.
Ia mengambil alat tenun dan benang, lalu mulai bekerja. Di kain itu, ia menciptakan pola dua bayangan di bawah hujan—satu perempuan dengan rambut tergerai, satu laki-laki dengan pandangan jauh. Ia tak tahu mengapa ia membuatnya, tapi tangannya seolah bergerak sendiri, seperti hujan yang membawa cerita yang belum ia pahami.
Viora menatap kainnya, lalu menulis di sudut dengan benang hitam:
Di bawah hujan, aku lihat bayangmu,
Seorang musuh yang membawa tanya.
Apakah ini awal dendam,
Atau benang cinta yang terpaksa?
Ia meletakkan alat tenunnya, menatap hujan yang tak kunjung reda. Ia tahu, ini baru awal dari cerita yang penuh konflik, dan entah kenapa, ia merasa ada musuh—atau mungkin sekutu—yang menunggunya di ujung jalan.
Pertemuan di Hutan Senja
Hujan di Gunung Senja pagi itu turun dengan irama yang konstan, menciptakan lapisan kabut tipis yang membalut pepohonan pinus di sepanjang jalan setapak. Viora Kresna berjalan perlahan menuju hutan di pinggir desa, tempat ia sering mencari inspirasi untuk pola tenunnya. Ia mengenakan jaket abu-abu tua yang sudah usang di bagian lengan, peninggalan ayahnya, dan membawa alat tenun kecil serta keranjang benang warna-warni. Di tangan kirinya, ia memegang payung sederhana berwarna cokelat yang sering bocor di sisi kiri, tapi itu tak menghentikannya menikmati hujan.
Sejak kunjungan keluarga Raditya seminggu lalu, pikiran Viora dipenuhi bayangan Zevran Ardianto. Bukan karena ia tertarik—setidaknya, itulah yang ia yakinkan pada dirinya sendiri—tapi karena ada sesuatu dalam sikap pria itu yang terasa seperti ancaman bercampur misteri. Matanya yang tajam, gerakannya yang hati-hati, dan diamnya yang penuh tekanan—semua itu terus bergema di kepalanya. Viora tak bisa mengabaikan cerita dari Lestari tentang musuh lama keluarga Raditya, dan rasa curiga itu mulai menggerogoti pertahanannya.
Di hutan, Viora duduk di bawah pohon pinus besar, menyelaraskan benang-benang di alat tenunnya. Angin bercampur hujan membawa aroma tanah basah, dan ia mulai menciptakan pola baru—garis-garis lembut yang mencoba menangkap suasana hutan di tengah badai. Tapi pikirannya melayang ke cerita yang ia dengar: Zevran sering terlihat di hutan ini, sendirian, seolah mencari sesuatu yang tersembunyi. Viora bertanya-tanya apa yang membawa pria itu kembali ke Gunung Senja, meninggalkan kehidupan yang katanya sukses di luar pulau.
Saat ia tenggelam dalam karya tenunnya, suara langkah kaki di dedaunan basah mengalihkan perhatiannya. Viora mendongak, dan jantungnya seolah berhenti sesaat. Zevran berdiri tak jauh dari situ, mengenakan jaket hitam dan celana panjang gelap, rambutnya sedikit basah meski ia memegang payung. Ia tampak terkejut melihat Viora, tapi cepat menutupinya dengan ekspresi netral. “Viora?” panggilnya, suaranya rendah namun penuh otoritas.
Viora buru-buru menunduk, berharap ia tak terlihat terlalu kaget. “Ya, aku… cuma menenun,” jawabnya, berusaha terdengar acuh. Ia melanjutkan menggerakkan alat tenunnya, tapi tangannya sedikit gemetar. Zevran mendekat perlahan, berdiri di sampingnya tanpa mengganggu, matanya menatap kain dengan minat yang tak disangka.
“Itu indah,” kata Zevran, suaranya dingin namun penuh penghargaan. “Kamu menangkap hutan dengan cara yang hidup.”
Viora memandangnya sekilas, terkejut dengan pujian itu. “Terima kasih. Aku cuma coba,” balasnya, lalu menambahkan, “Kamu sering ke sini?”
Zevran mengangguk, matanya kembali menatap hutan. “Ya. Tempat ini… membawa kenangan. Membantu aku mikir.” Ia berhenti sejenak, lalu melirik Viora. “Kamu juga suka tempat ini?”
“Kadang,” jawab Viora, mencoba menyembunyikan rasa ingin tahunya. “Katanya kamu baru pulang dari luar pulau. Kenapa balik ke Gunung Senja?”
Pertanyaan itu membuat Zevran menegang. Ia menunduk, memainkan tepi payungnya dengan jari-jarinya. “Ada alasan,” katanya singkat, suaranya penuh beban. “Keluarga. Dan… urusan lama.”
Viora ingin bertanya lebih dalam, tapi ada sesuatu dalam nada Zevran yang membuatnya berhenti. Ia melanjutkan menenun, dan selama satu jam berikutnya, mereka duduk dalam keheningan yang tegang. Hanya suara hujan dan desau angin yang mengisi ruang, sementara Viora menyelinap memandangi Zevran dari sudut matanya. Ia memperhatikan caranya berdiri—tegak, tapi dengan bahu yang sedikit tegang, seolah membawa beban yang tak terucap.
Saat hujan mulai deras, Viora menyadari payungnya tak cukup melindungi kainnya. Ia menghela napas, bersiap untuk membungkus alatnya, tapi Zevran tiba-tiba menggeser posisinya, mengulurkan payungnya lebih lebar untuk melindungi Viora dan tenunannya. “Ambil ini,” katanya, suaranya tegas. “Payungmu bocor.”
Viora menolak secara refleks. “Nggak usah, aku baik-baik saja—”
“Kamu bakal basah kuyup,” potong Zevran, matanya menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa dibantah. “Aku nggak keberatan.”
Mereka berbagi payung, berjalan perlahan menuju jalan setapak yang menuju desa. Awalnya, tak ada yang bicara. Viora memeluk keranjangnya erat, mencoba mengabaikan kehadiran Zevran di sampingnya. Tapi keheningan itu terasa semakin berat, seperti awan yang siap pecah.
“Kenapa kamu nggak suka dijodohkan?” tanya Zevran tiba-tiba, suaranya dingin namun penasaran.
Viora terkejut, hampir tersandung. “Aku… aku nggak mau hidup yang udah ditentuin orang lain,” jawabnya, suaranya pelan. “Aku pengen tenunku jadi ceritaku, bukan pernikahan yang dipaksa.”
Zevran mengangguk, seolah memahami. “Aku juga nggak suka dipaksa,” katanya. “Tapi kadang, kita nggak punya pilihan.”
Kata-kata itu membuat Viora meliriknya, mencoba membaca ekspresinya. “Kamu terpaksa setuju sama ini?” tanyanya, hatinya mulai dipenuhi rasa ingin tahu yang lebih dalam.
Zevran tak langsung menjawab. Ia menatap hujan di depan, lalu menghela napas. “Aku balik karena keluarga butuh aku. Usaha kayu keluarga terancam, dan aku harus selesaikan sesuatu. Tapi aku… aku juga balik buat hadapi musuh lama. Jadi, ya, aku terpaksa.”
Viora terdiam, merasa ada koneksi aneh di antara mereka—dua orang yang terjebak dalam paksaan yang tak mereka inginkan, dengan bayang musuh di belakangnya. Mereka sampai di persimpangan menuju rumah Viora, dan Zevran berhenti. “Sampai sini saja,” katanya, menyerahkan payungnya sepenuhnya. “Pegang ini. Aku punya cadangan di rumah.”
Viora memandang payung itu, lalu Zevran, dengan perasaan bingung. “Kamu sendiri bagaimana?”
“Aku terbiasa dengan hujan,” jawab Zevran sederhana, lalu berbalik meninggalkannya di bawah guyuran air.
Malam itu, Viora tak bisa tidur. Ia duduk di kamarnya, menatap payung Zevran yang kini bersandar di sudut ruangan. Pikirannya dipenuhi pertanyaan: mengapa Zevran begitu tertutup? Siapa musuh lamanya? Dan mengapa, di tengah rasa curiganya, ia merasa ada benih ketertarikan yang tumbuh di hatinya—sesuatu yang asing dan menakutkan?
Ia mengambil alat tenun dan benang, melanjutkan kain yang ia mulai di hutan. Kali ini, ia menambahkan detail—dua bayangan di bawah payung, dengan pola gelap yang mencerminkan ketegangan. Di sudut kain, ia menulis dengan benang hitam:
Di hutan senja, kau beri perlindungan,
Tapi hatimu menyimpan musuh yang tak terucap.
Apakah ini awal dari dendam,
Atau benang yang terjalin?
Esok harinya, Viora mendengar dari Lestari bahwa Zevran sering terlihat di hutan dengan buku catatan, menulis sesuatu yang tampaknya rahasia. “Dia aneh, Via,” kata Lestari sambil mengatur rempah. “Orang bilang dia punya dendam sama keluarga Pak Wira karena usaha kayu mereka bentrok dulu. Mungkin itu kenapa dia balik.”
Kata-kata Lestari membuat Viora terdiam. Dendam dengan Pak Wira? Hati Viora tiba-tiba terasa sesak, terutama karena Pak Wira adalah tetangga dekatnya yang dikenal baik. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi setiap kali ia melewati hutan dalam perjalanan ke pasar, ia tak bisa menahan diri untuk melirik, berharap—dan takut—melihat sosok Zevran di sana.
Hujan terus turun di Gunung Senja, dan Viora tahu, pertemuan di hutan itu hanyalah awal dari sesuatu yang lebih gelap—sesuatu yang mungkin akan mengungkap musuh, atau mungkin sekutu, di balik benang tenunnya.
Benang yang Terurai
Pagi ini, 25 Juni 2025, pukul 10:20 WIB, hujan di Gunung Senja turun dengan irama yang lebih pelan, membawa kabut tipis yang membalut pepohonan pinus di sepanjang jalan setapak. Viora Kresna berjalan menuju pasar desa, payung cokelat milik Zevran di tangan kirinya terasa seperti beban yang penuh pertanyaan, sementara tangan kanannya memegang keranjang kecil berisi kain tenun setengah jadi yang baru ia kerjakan. Sejak pertemuan di hutan dua minggu lalu, Viora merasa ada perubahan dalam dirinya—rasa curiga yang bercampur dengan ketertarikan yang tak bisa ia tolak. Ia masih menolak gagasan perjodohan, tapi kehadiran Zevran, dengan auranya yang dingin dan misterius, terus mengusik pikirannya.
Di pasar, suasana ramai dengan suara pedagang menawarkan kayu bakar dan aroma teh hangat yang terbawa angin. Viora berhenti di lapak Lestari, sahabatnya, yang sedang sibuk mengatur lada kering di meja kayu. Lestari melirik payung di tangan Viora dan tersenyum penuh makna. “Itu bukan payungmu, kan?” tanyanya dengan nada menggoda.
Viora memalingkan muka, wajahnya memerah. “Cuma pinjam,” jawabnya cepat, berharap Lestari tak akan menggali lebih dalam. Tapi Lestari, dengan sifatnya yang cekatan, tak mudah menyerah.
“Pinjam dari siapa, hm? Zevran?” Lestari menaikkan alis, tangannya berhenti mengatur lada. “Kalian ketemu lagi? Ceritain dong, Via. Jangan bikin aku penasaran.”
Viora menghela napas, tahu tak ada gunanya menghindar. Ia menceritakan pertemuan di hutan, tentang payung yang kini jadi pengingat aneh akan Zevran, dan tentang perasaan campur aduk yang ia rasakan—curiga karena cerita dendam, tapi juga penasaran akan pria itu. Lestari mendengarkan dengan serius, tapi matanya berkilat penuh perhatian. “Dia mungkin lebih dari sekadar musuh, Via,” katanya tiba-tiba, membuat Viora tersentak.
“Musuh? Aku dengar dia punya dendam sama Pak Wira,” balas Viora, suaranya penuh ketegangan. “Kalau iya, aku nggak bisa percaya sama dia.”
Lestari mengangguk pelan. “Aku dengar dari Pak Joko di pasar, Zevran dan keluarga Pak Wira berselisih soal usaha kayu puluhan tahun lalu. Katanya ada tanah yang diperebutkan, dan itu berakhir buruk. Tapi aku juga dengar Zevran balik buat selesaikan itu, bukan buat bikin masalah baru. Kamu harus cari tahu sendiri.”
Kata-kata Lestari menggema di pikiran Viora sepanjang hari. Dendam dengan Pak Wira, tetangga baik yang dikenalnya sejak kecil? Ia tak bisa membayangkan Zevran sebagai musuh, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat. Ia memutuskan untuk kembali ke hutan, kali ini dengan niat mencari Zevran dan menggali kebenaran, meski itu berarti menghadapi ketakutannya.
Sore itu, setelah hujan mereda menjadi gerimis, Viora berjalan menuju hutan dengan hati-hati. Udara dingin menyelinap melalui jaketnya, tapi ia tak peduli. Di kejauhan, ia melihat sosok Zevran duduk di bawah pohon pinus, buku catatan terbuka di pangkuannya dan pena di tangannya. Ia tampak tenggelam dalam pikirannya, rambutnya basah oleh gerimis yang tak ia hindari. Viora ragu sejenak, tapi akhirnya melangkah mendekat.
“Zevran?” panggilnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara angin.
Zevran mendongak, terkejut, lalu cepat menutup buku catatannya. “Viora? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya, suaranya penuh kewaspadaan.
“Aku… cuma mau balikin ini,” kata Viora, mengangkat payung di tangannya. Itu alasan yang lemah, ia tahu, tapi ia tak punya alasan lain. “Dan mungkin ngobrol sedikit.”
Zevran mengangguk, menyimpan buku catatannya sebelum mengundang Viora duduk di sampingnya. Mereka duduk dalam keheningan selama beberapa saat, hanya suara gerimis dan desir angin yang mengisi ruang. Viora memperhatikan buku catatan itu—kulitnya usang, dengan sudut yang sedikit sobek, seolah menyimpan rahasia. “Kamu suka nulis?” tanyanya, mencoba memulai percakapan.
Zevran mengangguk, matanya menatap hutan. “Ya. Dulu aku tulis laporan usaha di Sumatera. Sekarang… cuma catatan pribadi.”
“Ini bagus,” kata Viora, jari-jarinya hampir menyentuh buku itu sebelum ia menariknya kembali. “Kenapa balik ke Gunung Senja? Katanya ada urusan lama.”
Pertanyaan itu membuat Zevran menegang. Ia menatap Viora, lalu menghela napas panjang. “Aku balik karena keluarga butuh aku. Usaha kayu keluarga terancam, dan aku harus selesaikan sesuatu. Tapi ya, ada urusan lama—dengan Pak Wira.”
Viora tersentak, hatinya berdetak kencang. “Pak Wira? Apa hubunganmu sama dia?”
Zevran menunduk, tangannya menggenggam buku itu erat. “Dulu, ayahku dan ayah Pak Wira berselisih soal tanah hutan. Usaha kayu kami bentrok, dan itu berakhir dengan kehilangan besar buat keluargaku. Aku balik buat ambil kembali apa yang jadi hak kami, tapi aku nggak mau bikin masalah baru.”
Kata-kata itu seperti membuka luka lama bagi Viora. Ia mengenal Pak Wira sebagai pria baik, tapi cerita Zevran membuatnya ragu. “Jadi kamu balik buat jadi musuhnya?” tanyanya, suaranya lembut namun menantang.
Zevran menatapnya, matanya penuh pertahanan. “Aku nggak mau musuh, Viora. Aku cuma mau keadilan. Tapi aku tahu, ini susah. Kamu nggak ngerti tekanan keluargaku.”
Viora menggelengkan kepala, kemarahan kecil menyala di dadanya. “Aku ngerti terjebak, Zevran. Aku juga nggak mau perjodohan ini! Tapi aku nggak mau hidup cuma buat dendam. Tenunku punya makna, bukan buat perang.”
Kata-katanya menggema di hutan, lebih keras dari yang ia maksud. Zevran terdiam, matanya menatap Viora dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran antara penyesalan dan kekaguman. “Kamu bener,” katanya akhirnya, suaranya pelan. “Aku terjebak dendam. Tapi kamu juga, Viora. Kamu terjebak di balik tenunmu, di pola yang cuma kamu pahami.”
Viora tersentak, merasa seperti ditampar. Ia ingin membantah, tapi kata-kata Zevran terlalu jujur. Ia memang sering menenun untuk melarikan diri, untuk menyembunyikan ketakutannya akan masa depan. Keheningan kembali menyelimuti mereka, tapi kali ini terasa seperti dua jiwa yang mulai saling memahami.
“Aku takut,” akui Viora, suaranya nyaris tak terdengar di tengah gerimis. “Aku takut kalau aku nerima ini, aku bakal terjebak dendammu. Tapi aku juga takut… kalau aku tolak, aku bakal kehilangan sesuatu.”
Zevran memandangnya, matanya tak menghindar. “Aku juga takut,” katanya. “Tapi mungkin… kita bisa hadapi ketakutan bareng.”
Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi terasa seperti benang yang mulai terurai. Viora tersenyum kecil, air mata menggenang. “Itu tawaran paling aneh yang pernah aku denger,” candanya, tapi suaranya penuh kehangatan.
Zevran tertawa pelan, suara yang jarang Viora dengar, tapi terasa seperti angin segar. “Mungkin aku perlu belajar,” katanya, lalu mengulurkan tangan. “Ayo, kita coba tenun jalan bareng.”
Viora memandang tangan itu, lalu menggenggamnya. Tangan Zevran hangat, meski sedikit kasar. Malam itu, di kamarnya, ia menenun lagi, menambahkan pola—dua tangan bertaut di bawah hujan, dengan warna damai yang mulai muncul.
Esok harinya, Tanaya memberi kabar bahwa keluarga Raditya mengundang mereka untuk makan malam minggu depan—langkah berikutnya dalam perjodohan. Viora merasa dadanya sesak, tapi di saat yang sama, ia ingin tahu lebih banyak tentang Zevran. Benang yang terurai itu membawakan harapan, dan Viora tahu, ia harus menghadapi musuh—atau mungkin cinta—di ujung jalan.
Hujan terus turun di Gunung Senja, dan Viora merasa seperti berdiri di ambang pola baru.
Pola yang Menyatu
Pagi itu, pukul 10:21 WIB, Rabu, 25 Juni 2025, hujan di Gunung Senja turun dengan lembut, seolah membawa janji baru di tengah kabut tipis yang membalut pepohonan pinus. Viora Kresna berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, mengenakan kain tenun buatannya sendiri dengan warna biru tua yang ia pilih untuk acara makan malam di rumah keluarga Raditya. Rambutnya disisir rapi dan dibiarkan tergerai, beberapa helai sengaja dibiarkan longgar untuk mencerminkan dirinya yang tetap bebas meski di tengah tekanan tradisi. Alat tenunnya bersandar di sudut ruangan, kain setengah jadi tergeletak di meja, penuh dengan pola terbaru—dua tangan bertaut di bawah hujan, simbol harapan yang ia mulai pahami. Hari ini adalah hari yang menentukan, dan hatinya bercampur antara ketegangan dan antisipasi.
Perjalanan menuju rumah keluarga Raditya terasa seperti perjalanan menuju titik balik. Viora berjalan di samping Tanaya, memegang payung cokelat milik Zevran yang kini menjadi bagian dari ceritanya. Ia tak yakin apa yang diharapkannya—apakah ia akan melawan perjodohan dan dendam ini hingga akhir, atau membiarkan hati yang mulai terbuka membawanya ke arah baru. Di dalam dirinya, ada perang batin yang perlahan mereda, digantikan oleh pola harmoni yang ia mulai tenun.
Rumah keluarga Raditya tampak hangat dengan lampu minyak yang menyala di halaman, dikelilingi pohon pinus dan aroma sup jagung yang menggoda. Pak Raditya dan Bu Sari menyambut mereka dengan senyum lebar, tapi mata Viora langsung tertuju pada Zevran, yang berdiri di sudut ruangan mengenakan kemeja putih yang rapi, rambutnya sedikit basah oleh gerimis yang ia lewati. Matanya bertemu dengan Viora sekilas, lalu kembali memalingkan wajah, tapi ada kelembutan yang tak ia sembunyikan sepenuhnya.
Makan malam berlangsung dengan percakapan ringan tentang panen pinus dan rencana desa. Viora berusaha mendengarkan, tapi pikirannya melayang ke pertemuan di hutan. Kata-kata Zevran tentang dendam dengan Pak Wira, luka yang ia bawa, dan tawaran untuk “tenun jalan bareng”—semua itu seperti benang yang perlahan membentuk kain baru dalam hidupnya. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi di meja makan ini, dengan tatapan penuh harap dari Tanaya dan Bu Sari, ia merasa seperti terkurung.
Setelah makan, Bu Sari mengusulkan agar Viora dan Zevran “berbincang sebentar” di beranda belakang, sebuah langkah tradisional untuk menguji kecocokan calon pasangan. Viora merasa jantungnya berdegup kencang, tapi ia mengangguk, mengikuti Zevran yang berjalan pelan menuju beranda. Di luar, hujan turun pelan, menciptakan tirai tipis yang membingkai mereka. Mereka duduk di bangku kayu, ditemani suara rintik yang menenangkan.
“Jadi, ini saatnya kita dipaksa buat akur,” kata Viora, mencoba memecah keheningan dengan nada ringan, meski suaranya sedikit gemetar.
Zevran tersenyum tipis, matanya menatap hujan. “Kamu masih nggak suka ini, ya?” tanyanya, suaranya dingin namun penuh makna.
“Apa kamu suka?” balas Viora, alisnya terangkat. “Kamu nggak kelihatan orang yang gampang nurut.”
Zevran menghela napas, tangannya bermain dengan tepi kemejanya. “Aku nggak suka dipaksa,” akunya. “Tapi aku balik ke Gunung Senja karena ayahku butuh aku. Usaha kayu keluarga hancur, dan aku harus selesaikan dendam sama Pak Wira. Tapi aku juga… aku lari dari kegagalan di luar pulau.”
Viora memandangnya, mencoba memahami. “Kegagalan itu apa?” tanyanya pelan, hatinya bersiap untuk jawaban yang mungkin menyakitkan.
Zevran menunduk, matanya berkaca-kaca. “Aku punya pasangan dulu, namanya Selva. Kami sama-sama bangun usaha kayu di Sumatera. Tapi tekanan keluarga dan konflik sama Pak Wira merusak semuanya. Dia pergi, dan aku nggak bisa ngejar. Aku balik, tapi aku takut buat coba lagi.”
Kata-kata itu menusuk hati Viora, tapi juga membukakan pintu pemahaman. “Jadi kamu sembunyi di balik dendam, seperti aku sembunyi di tenunku,” katanya, suaranya lembut. “Kita sama-sama takut, tapi aku nggak mau hidup cuma buat perang.”
Zevran menatapnya, matanya penuh kejutan. “Kamu bener. Aku terjebak dendam. Tapi aku lihat kamu—tenunmu, caramu bertahan. Itu bikin aku mikir… mungkin aku bisa lepaskan masa lalu.”
Viora tersenyum kecil, air mata menggenang. “Tapi kita dipaksa, Zevran. Dan ada musuh di antara kita—Pak Wira. Bagaimana kita bisa bahagia?”
Zevran berpikir sejenak, lalu mengulurkan tangan. “Mungkin kita ubah paksaan ini jadi pilihan. Aku janji coba selesaikan dendam tanpa perang—buat kita, bukan buat keluarga. Aku mau tenun masa depan bareng kamu.”
Viora memandang tangan itu, jantungnya berdegup kencang. Ia menggenggamnya, merasa hangatnya tangan Zevran yang kasar namun penuh harapan. “Kalau gagal, aku bakal tenun kegagalan kita,” katanya, tersenyum tipis.
Zevran tertawa, suara yang hangat dan tulus. “Deal. Tapi aku harap kita tenun kemenangan.”
Malam itu, setelah pulang, Viora duduk di teras, menatap hujan yang perlahan reda. Ia mengambil alat tenun dan menyelesaikan kainnya—dua sosok berdiri di bawah hujan, tangan bertaut, dengan pola damai yang mendominasi. Di sudut, ia menulis dengan benang emas:
Hujan menyatukan benang kita,
Dendam terurai, cinta terjalin.
Kita melangkah, terpaksa namun bebas,
Menenun langit baru di Senja.
Beberapa bulan kemudian, Viora dan Zevran memulai perjalanan mereka sendiri. Mereka menunda pernikahan, memilih membangun usaha tenun bersama yang menggabungkan karya Viora dan kayu Zevran untuk kerangka alat tenun. Zevran bertemu Pak Wira, menyelesaikan dendam dengan damai, membagi tanah secara adil. Viora menerbitkan koleksi tenun pertamanya, dengan satu karya didedikasikan untuk “pria yang menenun hujan ke hidupku.” Mereka belajar saling memahami, mengubah paksaan dan musuh menjadi cinta yang tumbuh, di bawah langit Gunung Senja yang selalu basah, tapi kini penuh harmoni.
Hujan Perjodohan dan Musuh yang Terpendam adalah lebih dari sekadar cerita romansa—ini adalah perjalanan transformasi dari dendam menjadi cinta sejati, diwarnai oleh pengorbanan dan keberanian. Dengan ending yang memikat, cerpen ini mengajarkan bahwa cinta dapat menyatukan bahkan musuh terpendam, meninggalkan pesan abadi yang akan menggugah hati pembaca. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan kehangatan kisah ini di setiap tetes hujan!
Terima kasih telah menjelajahi keindahan Hujan Perjodohan dan Musuh yang Terpendam bersama kami! Semoga cerita ini membawa inspirasi dan kehangatan dalam hidup Anda. Sampai jumpa di petualangan membaca berikutnya, dan jangan lupa bagikan artikel ini jika Anda terpikat oleh tenunan Gunung Senja!


