Daftar Isi
Apakah Anda pernah membayangkan cinta bisa lahir dari perjodohan yang tak diinginkan? Dalam cerita Perjodohan Tak Diinginkan: Cinta di Balik Reluctance, petualangan emosional Lirien dan Zayyan membawa pembaca pada perjalanan dari keengganan mendalam menuju ikatan yang tulus, di tengah tekanan keluarga dan luka masa lalu. Dengan alur yang penuh detail, konflik yang memikat, dan emosi yang mendalam, novel ini menawarkan kisah romansa yang menyentuh hati. Temukan bagaimana dua rival bisa menemukan kebahagiaan di balik paksaan—cerita ini wajib dibaca bagi pecinta drama cinta yang penuh inspirasi!
Perjodohan Tak Diinginkan
Bayang Paksaan di Pagi Suram
Pagi di Surabaya pada Rabu, 25 Juni 2025, terasa berat dengan langit yang tertutup awan kelabu, seolah mencerminkan suasana hati Lirien Zahara. Jam menunjukkan 10:35 WIB ketika ia berdiri di balkon apartemennya yang menghadap Sungai Kalimas, memandang air yang mengalir tenang namun membawa aroma lumpur basah. Rambut panjangnya yang berwarna cokelat keemasan tergerai acak-acakan, dan matanya yang cokelat tua dipenuhi bayang ketidakrelaan. Usia 27 tahun, Lirien adalah seorang kurator seni yang dikenal karena ketajaman matanya dalam memilih karya lokal, tapi hari ini ia bukan kurator—ia adalah putri yang terjebak dalam tradisi keluarga yang ia benci.
Ibunya, Nyonya Ratna, duduk di ruang tamu dengan wajah tegas, memegang cangkir teh jahe hangat. “Lirien, ini sudah keputusan keluarga,” katanya, suaranya penuh otoritas. “Keluarga Jatmiko punya reputasi kuat, dan Zayyan adalah pria yang bisa menjamin masa depanmu. Perjodohan ini akan memperkuat ikatan kita dengan mereka.” Lirien menggenggam erat tepi bajunya, menahan amarah yang membakar di dadanya. Zayyan Jatmiko—nama yang ia kenal sebagai rivalnya sejak acara seni dua tahun lalu. Pria itu, dengan sikap dingin dan kecerdasan analitisnya yang menjengkelkan, selalu menjadi sumber ketegangan baginya. Kini, ibunya ingin memaksanya menikah dengannya?
“Bu, aku nggak mau!” protes Lirien, suaranya sedikit pecah. “Dia bukan tipeku! Aku lebih suka fokus sama karierku daripada jadi istri orang yang aku nggak suka!” Nyonya Ratna hanya menggelengkan kepala, matanya penuh keyakinan. “Kamu akan mengerti nanti. Besok, kamu ketemu dia di galeri seni dekat Tunjungan Plaza. Ini bukan pilihan, ini kewajiban.”
Lirien meninggalkan ruangan dengan langkah berat, hatinya penuh kemarahan dan kesedihan. Ia kembali ke apartemennya, duduk di meja kerjanya yang dipenuhi katalog seni dan foto-foto pameran, mencoba menuangkan emosinya ke dalam catatan. Tapi pena di tangannya berhenti, dan air mata mulai mengalir. Ia mengingat masa lalu—pertengkaran sengit dengan Zayyan saat memilih karya untuk pameran bersama, kritik tajamnya yang membuatnya merasa tidak kompeten, dan tatapan acuhnya yang selalu membuatnya kesal. Bagaimana mungkin ia menikahi pria yang ia anggap penghalang mimpinya?
Keesokan harinya, pukul 11:00 WIB, Lirien tiba di galeri seni kecil bernuansa minimalis di dekat Tunjungan Plaza. Hujan gerimis masih turun, menciptakan suasana suram yang selaras dengan perasaannya. Ia mengenakan blus krem dan rok plisket hitam, rambutnya diikat sederhana dengan ikat rambut emas, mencoba menyamarkan kegelisahannya. Di sudut galeri, Zayyan Jatmiko sudah menunggu, mengenakan jas abu-abu yang terlihat elegan, rambut hitamnya rapi, dan matanya—yang selalu dingin—menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.
“Lirien Zahara,” sapa Zayyan, suaranya datar namun penuh kontrol. Ia mengulurkan tangan, tapi Lirien hanya mengangguk sekilas tanpa menyambut jabatan tangan itu. “Duduk,” ujarnya, nada perintah yang langsung memicu rasa jengkel Lirien.
“Aku di sini cuma karena Mama aku,” katanya tajam, menarik kursi dan duduk dengan sikap menantang. “Jangan harap aku bakal senyum manis buat kamu, Zayyan.”
Zayyan tersenyum tipis, seolah menikmati ketegangan. “Sama, Lirien. Aku juga nggak senang dengan ini. Tapi Bapak aku bersikeras, dan aku terpaksa nurut. Jadi, mari kita hadapi ini dengan kepala dingin.”
Lirien memutar bola matanya, merasa kesal dengan sikap tenang Zayyan. Pelayan galeri mendekat, dan Zayyan memesan kopi hitam tanpa gula, sementara Lirien memilih teh hijau untuk menenangkan dirinya. Percakapan mereka dimulai dengan nada yang penuh permusuhan. Lirien mengkritik sikap Zayyan yang terlalu kaku dan suka mengatur, mengingatkan bagaimana ia pernah mengesampingkan karya Lirien demi pilihannya sendiri di pameran dua tahun lalu. Zayyan, tanpa gentar, membalas dengan sindiran tentang “emosionalitas berlebihan” Lirien yang menurutnya mengganggu profesionalisme.
Tapi di balik kata-kata pedas, ada momen yang membuat mereka terdiam. Saat Lirien menyebut ibunya yang selalu mendukung mimpinya di dunia seni, suaranya sedikit bergetar, dan Zayyan—meski awalnya ingin menyela—memilih diam, matanya menunjukkan sekilas empati. Begitu pula saat Zayyan menceritakan tentang ibunya yang meninggal tiga tahun lalu, ada kesedihan di wajahnya yang membuat Lirien merasa bersalah karena terlalu keras.
Hujan di luar semakin deras, suaranya memenuhi galeri kecil itu. Zayyan menatap cangkir kopinya sejenak sebelum berkata, “Aku tahu kamu nggak mau ini, Lirien. Aku juga. Tapi kalau kita harus jalani, kenapa nggak kita buat kesepakatan? Kita pura-pura setuju di depan keluarga, tapi masing-masing tetap bebas.”
Lirien mengangkat alis, merasa tertantang sekaligus tergoda. “Kesepakatan? Baiklah. Tapi jangan harap aku bakal jadi boneka buat kamu. Aku punya karier yang aku jaga.”
“Setuju,” balas Zayyan, matanya menyipit dengan senyum kecil. “Tapi jangan menangis kalau aku yang akhirnya menang dalam situasi ini.”
Malam itu, setelah Zayyan pergi dengan janji untuk “mendiskusikan rencana” lagi, Lirien kembali ke apartemennya, hatinya penuh gejolak. Ia duduk di sofa, menatap katalog seni yang terbuka di meja, tapi pikirannya penuh dengan Zayyan—mata dinginnya, rahang tegasnya, dan nada suaranya yang penuh otoritas. Ia menghela napas, kesal pada dirinya sendiri. Ini cuma perjodohan tak diinginkan. Aku nggak akan terjebak, pikirnya.
Tapi jauh di lubuk hatinya, ada rasa ingin tahu yang mulai muncul. Pertemuan itu bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan emosional yang akan menguji batas keengganannya dan kemungkinan cinta yang tak terduga. Di luar, hujan terus turun, mencuci jejak pertemuan pertama mereka, meninggalkan misteri yang belum terungkap di bawah langit kelabu Surabaya.
Ketegangan di Balik Kesepakatan
Pagi di Surabaya pada Kamis, 26 Juni 2025, terasa lebih lembap dengan udara yang masih membawa sisa hujan semalam. Jam menunjukkan 10:36 WIB ketika Lirien Zahara duduk di sudut balkon apartemennya, memandang Sungai Kalimas yang berkilauan di bawah sinar matahari yang baru muncul. Cangkir teh hijau hangat di tangannya belum disentuh, dan matanya yang cokelat tua terlihat redup, mencerminkan malam yang sulit tidur. Pertemuan kemarin dengan Zayyan Jatmiko di galeri seni terus berputar di pikirannya, meninggakan rasa campur aduk yang ia benci akui.
Lirien mencoba mengalihkan pikirannya dengan membuka katalog seni terbaru, mencatat ide untuk pameran mendatang. Tapi pena di tangannya berhenti, dan pikirannya kembali ke Zayyan—mata dinginnya, senyum tipisnya, dan nada suaranya yang penuh kontrol saat mengusulkan kesepakatan. Ia ingin menolak perjodohan ini dengan segenap jiwa, tapi tekanan dari Nyonya Ratna, ibunya, semakin terasa. “Ini untuk kebaikanmu, Lirien,” kata ibunya tadi pagi, suaranya penuh keyakinan yang membuatnya merasa terkurung. Lirien menghela napas, mencoba menenangkan diri dengan aroma teh yang mulai memenuhi udara.
Di sisi lain kota, di sebuah kantor modern di kawasan Darmo, Zayyan Jatmiko duduk di balik meja direktur perusahaan keluarganya yang bergerak di bidang investasi. Jam di dinding menunjukkan 11:48 WIB, dan hujan ringan di luar jendela kaca besar mencerminkan suasana hatinya yang tak menentu. Jas abu-abunya tergantung di sandaran kursi, dan kemeja putihnya sedikit kusut—tanda bahwa ia telah bekerja sejak dini hari. Pikirannya melayang ke Lirien, gadis dengan blus krem dan tatapan penuh keengganan yang kini mengisi pikirannya. Ia mengingat momen saat suara Lirien bergetar saat menyebut ibunya, dan ada rasa aneh di dadanya—bukan kemenangan, tapi rasa ingin tahu yang tak terduga.
Pagi itu, Bapaknya, Pak Jatmiko, menelepon Zayyan dengan nada tegas. “Zay, perjodohan ini penting buat keluarga. Lirien Zahara punya bakat dan latar belakang baik, dan aku yakin kamu bisa membuatnya cocok buatmu. Jangan buat aku kecewa.” Zayyan hanya mengangguk di ujung telepon, tapi dalam hati ia merasa tertekan. Ia tidak suka Lirien—sikap emosionalnya selalu memancing ketidaksabarannya sejak pameran dua tahun lalu—tapi ada bagian dari dirinya yang penasaran dengan gadis itu. Mungkin kesepakatan yang ia usulkan kemarin adalah cara untuk menjaga jarak, atau mungkin cara untuk mengenalnya lebih dalam.
Sore harinya, sesuai janji untuk “mendiskusikan rencana,” Zayyan mengajak Lirien ke sebuah kafe di tepi Sungai Kalimas yang tenang karena hujan. Lirien tiba dengan payung merah, mengenakan jaket denim dan celana kulot, rambutnya basah di ujung karena hujan yang tak terhindarkan. Zayyan menunggu di sudut kafe, mengenakan kemeja biru tua dan mantel ringan, matanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kamu datang,” katanya, suaranya datar.
“Aku nggak punya pilihan,” balas Lirien, nada suaranya penuh sindiran. Mereka duduk di meja kayu dekat jendela, menjaga jarak yang sopan, tapi ketegangan di antara mereka terasa nyata. Percakapan mereka dimulai dengan argumen—Lirien mengkritik sifat kaku Zayyan, sementara Zayyan menyindir kebiasaan Lirien yang terlalu mengandalkan intuisi dalam memilih karya seni.
Tapi saat hujan mulai reda, meninggalkan udara dingin yang membawa aroma sungai, Lirien menunduk, memandang cangkir tehnya. “Aku benci ini,” katanya pelan, suaranya hampir hilang di antara suara gemericik air di luar. “Aku benci dipaksa. Ibu selalu bilang aku bebas pilih jalan hidupku, tapi sekarang aku terjebak.” Air mata mulai mengalir di pipinya, dan ia dengan cepat menyapunya, malu karena kelemahan yang terlihat.
Zayyan terdiam, terkejut dengan kerapuhan yang tiba-tiba muncul dari Lirien. Ia ingin mengabaikan, tapi melihat air matanya membuatnya ragu. “Aku juga nggak suka dipaksa,” katanya pelan, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Ibu aku meninggal, dan Bapak aku pikir pernikahan ini akan mengisi kekosongan. Tapi aku nggak mau kamu menderita karenanya.”
Momen itu terasa seperti jeda dalam ketegangan mereka. Lirien menoleh, matanya bertemu dengan mata Zayyan, dan untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu di balik sikap dinginnya—kesedihan yang dalam. Ia mengusap air matanya dengan kasar, mencoba menyembunyikan emosinya. “Jangan kira aku bakal luluh cuma karena kamu cerita soal ibumu,” katanya, tapi nadanya kurang yakin.
Zayyan tersenyum tipis, tapi ada kelembutan di sana. “Aku nggak minta kamu luluh. Aku cuma minta kita coba jalani kesepakatan itu—pura-pura setuju, tapi tetap jadi diri kita sendiri. Siapa tahu, kita bisa saling mengerti.”
Malam itu, saat Lirien kembali ke apartemennya, ia tidak bisa tidur. Ia duduk di sofa, menatap katalog seni yang terbuka di meja, tapi pikirannya penuh dengan Zayyan. Ia mengambil pena dan mulai menggambar wajah pria itu—mata dinginnya, rahang tegasnya, dan senyum tipisnya yang kini terlihat berbeda. Gambar itu ternyata lebih detail dari yang ia inginkan, dan ia membuang kertas itu dengan kesal. Kenapa aku mikirin dia? Ini cuma perjodohan tak diinginkan, pikirnya.
Di sisi lain, Zayyan duduk di balkon apartemennya, memandang langit malam yang mulai cerah. Ia mengingat air mata Lirien dan suara bergetarnya, merasa ada koneksi yang tak terduga. Ia selalu terbiasa menang dalam bisnis dan kehidupan, tapi kali ini, ia tidak yakin apakah ia ingin menang atau justru kalah dalam perjalanan emosional ini. Untuk pertama kalinya, ia merasa tertantang bukan oleh karier, tapi oleh hati.
Hari-hari berikutnya, pertemuan mereka berlanjut, dipenuhi dengan debat dan ketegangan, tapi juga momen-momen kecil yang membuat mereka saling memahami. Lirien mulai melihat sisi Zayyan yang peduli pada warisan ibunya, sementara Zayyan terpikat oleh semangat Lirien dalam dunia seni. Di balik perjodohan tak diinginkan, benih rasa ingin tahu mulai tumbuh, mengarah pada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang keduanya belum siap akui di tengah hujan yang terus mengiringi langkah mereka.
Celah di Tengah Emosi
Pagi di Surabaya pada Jumat, 27 Juni 2025, menyapa dengan udara yang masih lembap dan aroma tanah basah setelah hujan semalam. Jam menunjukkan 10:38 WIB ketika Lirien Zahara duduk di meja kerjanya, menatap katalog seni yang terbuka di depannya. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela balkon apartemennya, menerangi ruangan yang dipenuhi buku, sketsa, dan foto pameran. Rambut cokelat keemasannya diikat sembarangan dengan ikat rambut, dan matanya yang cokelat tua terlihat lelah, mencerminkan malam yang dihabiskan untuk berpikir. Pertemuan kemarin dengan Zayyan Jatmiko di kafe tepi Sungai Kalimas terus berputar di pikirannya, meninggalkan jejak emosi yang ia sulit pahami.
Lirien menghela napas panjang, mencoba mengusir wajah Zayyan dari benaknya. Air matanya yang tiba-tiba muncul saat menyebut ibunya, dan respons lembut Zayyan yang tak terduga, membuatnya gelisah. Ia ingin tetap menjaga jarak dari pria itu—rivalnya sejak acara seni dua tahun lalu—tapi ada sisi dari Zayyan yang mulai terlihat, sisi yang rentan dan penuh perasaan. Ia mengambil sketsa yang ia buang semalam, gambar wajah Zayyan yang kini terlihat lebih hidup dengan ekspresi empati, dan menatapnya lama. Apa ini cuma ilusi? tanyanya pada dirinya sendiri, sebelum meletakkan kertas itu dengan hati-hati dan kembali fokus pada pekerjaannya.
Di sisi lain kota, di kantor modernnya di kawasan Darmo, Zayyan duduk di balik meja direktur, menatap hujan ringan yang kembali turun di luar jendela kaca besar. Jam di dinding menunjukkan 11:50 WIB, dan laporan investasi di layarnya terabaikan. Pikirannya penuh dengan Lirien—tatapan sedihnya di kafe, suara bergetarnya saat berbicara tentang ibunya. Zayyan selalu terbiasa mengendalikan situasi dengan logika, tapi dengan Lirien, ia merasa kehilangan kendali emosional. Ia mengingat kesepakatan mereka—pura-pura setuju sambil tetap bebas—dan bertanya-tanya apakah itu cukup untuk menjaga jarak hatinya.
Malam itu, Zayyan mengajak Lirien ke sebuah pameran seni kecil di kawasan Surabaya Barat, sebuah acara yang ia tahu akan menarik perhatian Lirien sebagai kurator. “Kamu suka seni, kan? Aku pikir ini bisa jadi cara buat kita ngobrol lebih santai,” tulisnya dalam pesan singkat, dengan nada yang sedikit merendah. Lirien ragu, tapi rasa ingin tahunya mengalah. Ia membalas, “Aku datang, tapi jangan harap aku lupa ini perjodohan tak diinginkan.”
Pameran itu dipenuhi karya seni lokal, dari lukisan abstrak hingga instalasi kayu, diterangi lampu kuning lembut yang menciptakan suasana hangat. Lirien tiba dengan blus putih dan celana palazzo, rambutnya dibiarkan tergerai, memberikan kesan elegan namun sederhana. Zayyan menunggu di pintu masuk, mengenakan kemeja abu-abu dan blazer ringan, tampak lebih rileks dari biasanya. “Kamu datang,” katanya, suaranya penuh kelegaan kecil.
“Jangan senyum lebar, aku cuma penasaran,” balas Lirien, tapi ada kelembutan di matanya yang sulit disembunyikan.
Mereka berjalan bersama, Lirien menjelaskan makna di balik setiap karya dengan semangat yang tak bisa ia tahan. Zayyan mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk atau mengajukan pertanyaan yang menunjukkan ia benar-benar tertarik. Di depan sebuah patung kayu yang menggambarkan tangan terbuka, Lirien berhenti, matanya berkaca-kaca. “Ini kayak aku setelah kehilangan kebebasan pilihanku,” katanya pelan, hampir pada dirinya sendiri. “Aku coba kuat, tapi kadang aku patah.”
Zayyan menatapnya, merasakan getaran emosi di suara Lirien. “Aku juga,” katanya, nadanya lebih lembut. “Setelah Ibu aku meninggal, aku selalu berusaha jadi kuat buat Bapak. Tapi aku nggak bisa bohong, aku sering merasa kosong.”
Momen itu terasa seperti celah pertama di dinding keengganan mereka. Lirien menoleh, matanya bertemu dengan mata Zayyan, dan ada kejujuran di sana yang membuat dadanya bergetar. Tapi sebelum mereka bisa melanjutkan, sebuah suara mengganggu—seorang pria bernama Farhan, rekan bisnis Zayyan, mendekat dengan senyum ramah. “Zayyan! Kamu di sini? Dan ini siapa?” tanyanya, matanya menilai Lirien dengan rasa ingin tahu.
Lirien langsung merasa tak nyaman, tapi Zayyan cepat menjawab, “Ini Lirien, temen lama. Kita ngobrol soal seni.” Nada suaranya tegas, menutup ruang untuk Farhan menggali lebih dalam. Farhan tersenyum tipis sebelum pergi, tapi kehadirannya meninggalkan ketegangan.
Setelah Farhan pergi, Lirien menjadi pendiam, matanya tertuju pada lantai. Zayyan menyadarinya dan menghentikan langkahnya. “Lirien, apa masalahnya?” tanyanya, suaranya penuh perhatian.
“Aku cuma… aku nggak suka orang ngeliat aku kayak bagian dari hidupmu yang bisa diinterupsi,” jawab Lirien, suaranya pelan tapi penuh emosi. “Dan tadi, aku nggak suka cara dia liat kamu.”
Zayyan terdiam, terkejut dengan kejujuran Lirien. Ia melangkah lebih dekat, tangannya ragu-ragu sebelum menyentuh bahu Lirien dengan lembut. “Lirien, aku nggak pernah lihat kamu kayak barang. Farhan cuma rekan bisnis, nggak lebih. Tapi kamu… kamu bikin aku mikir ulang tentang banyak hal. Aku takut, tapi aku mau coba.”
Lirien menatapnya, matanya penuh keraguan tapi juga harap. “Aku juga takut, Zay. Aku takut kalau aku terlalu deket, aku bakal kehilangan diriku sendiri. Tapi… aku mau coba juga. Pelan-pelan.”
Malam itu, mereka berpisah dengan janji untuk bertemu lagi, tapi ada perubahan dalam cara mereka saling memandang. Lirien pulang dengan hati yang bergetar, duduk di sofa sambil memeluk bantal favoritnya. Ia mengambil sketsa Zayyan dan mulai melukis lagi, menambahkan detail—mata penuh empati, senyum kecil yang ia lihat di pameran. Ia tahu, dindingnya mulai retak, dan itu membuatnya takut sekaligus penasaran.
Zayyan, di balkon apartemennya, menatap langit malam yang mulai cerah. Ia mengingat kata-kata Lirien tentang kekuatannya di tengah kehilangan, dan merasa ada kesamaan di antara mereka. Untuk pertama kalinya, ia merasa perjodohan ini bukan lagi beban, tapi peluang untuk menemukan sesuatu yang lebih berharga.
Di luar, hujan reda, meninggalkan harapan kecil bahwa di balik keengganan mereka, cinta mungkin sedang menanti untuk bersemi.
Cinta yang Tumbuh di Bawah Cahaya Senja
Pagi di Surabaya pada Rabu, 25 Juni 2025, menyapa Lirien Zahara dengan sinar matahari yang lembut menyelinap melalui celah jendela balkon apartemennya. Jam menunjukkan 10:38 WIB, dan udara pagi membawa aroma segar setelah hujan semalam. Lirien berdiri di depan cermin, rambut cokelat keemasannya yang tergerai rapi mencerminkan usaha untuk menyamarkan kegelisahannya. Setelah pertemuan di pameran seni semalam, hatinya bergetar dengan cara yang asing. Retakan di dinding emosionalnya semakin lebar, dan Zayyan Jatmiko—rival yang kini menjadi misteri—adalah penyebabnya.
Lirien mengenang momen di pameran, saat Zayyan menyentuh bahunya dengan lembut dan mengatakan ia ingin mencoba, pelan-pelan. Kata-kata itu terngiang di pikirannya, mengguncang keyakinannya bahwa perjodohan ini hanyalah beban tak diinginkan. Ia mengambil sketsa Zayyan yang ia kerjakan semalam—gambar yang kini menunjukkan mata penuh empati dan senyum kecil yang tulus—dan menatapnya lama. Apa ini bisa jadi cinta sejati? tanyanya pada dirinya sendiri, sebelum menghela napas dan memutuskan untuk menghadapi hari ini dengan hati yang sedikit lebih terbuka.
Di sisi lain kota, di kantor modernnya di kawasan Darmo, Zayyan duduk di balkon pribadinya, memandang Sungai Kalimas yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Kemeja abu-abunya sedikit kusut, dan tangannya memegang secangkir kopi hitam yang baru diseduh. Pikirannya penuh dengan Lirien—tatapan harap di matanya, kejujuran dalam suaranya saat berbicara tentang ibunya. Zayyan selalu terbiasa mengendalikan segalanya dengan logika, tapi dengan Lirien, ia merasa kalah dalam menjaga jarak hatinya. Ia memutuskan untuk mengambil langkah berani hari ini, sebuah langkah yang bisa mengubah nasib mereka berdua.
Malam itu, Zayyan mengajak Lirien ke sebuah taman terbuka di dekat Kebun Binatang Surabaya, tempat yang tenang dengan pohon-pohon besar dan lampu gantung yang menerangi jalan setapak. Lirien tiba dengan dress ungu muda dan jaket ringan, rambutnya dibiarkan tergerai, memberikan kesan anggun namun santai. Zayyan menunggu di bawah pohon besar, mengenakan kemeja biru tua dan celana chino, tampak lebih rileks dari biasanya. Saat Lirien mendekat, ia tersenyum—senyum yang tulus, bukan dingin seperti dulu.
“Kamu datang,” kata Zayyan, suaranya hangat. “Aku kira kamu bakal ragu lagi.”
Lirien mengangkat bahu, tapi ada kelembutan di matanya. “Aku penasaran apa yang mau kamu tunjukin. Jangan harap aku gampang terpikat.”
Mereka berjalan bersama, melewati jalan setapak yang dikelilingi bunga liar dan rumput hijau. Percakapan mereka awalnya penuh sindiran ringan, tapi perlahan beralih ke cerita yang lebih dalam. Lirien berbagi tentang mimpinya menjadi kurator terkenal, bagaimana ibunya selalu menjadi inspirasinya, dan bagaimana kehilangan kebebasan pilihannya membuatnya membangun dinding di hatinya. Zayyan, dengan suara yang sedikit bergetar, menceritakan tentang ibunya yang meninggal, dan bagaimana ia merasa bersalah karena terlalu sibuk bekerja untuk mengenangnya dengan baik.
Di tengah taman, di bawah pohon besar yang daunnya bergoyang lembut ditiup angin senja, Zayyan berhenti. Ia menatap Lirien dengan intensitas yang membuat gadis itu menahan napas. “Lirien,” katanya, suaranya serak karena emosi, “aku tahu kita dipaksa ke sini. Aku tahu kita pernah bertentangan. Tapi aku nggak bisa bohong, kamu udah jadi bagian dari hidupku yang aku takut kehilangan. Aku mau kita coba, bukan karena paksaan, tapi karena aku peduli.”
Lirien terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia ingin menyangkal, ingin melindungi dirinya dari rasa sakit masa lalu, tapi kata-kata Zayyan menyentuh luka yang selama ini ia sembunyikan. “Aku juga takut, Zay,” akunya, suaranya pelan. “Aku takut kalau aku terlalu deket, aku bakal kehilangan diriku. Tapi… aku nggak bisa bohong, aku juga peduli. Aku mau coba.”
Sebelum mereka bisa melanjutkan, angin senja membawa suara burung yang berkicau, menciptakan suasana yang hampir magis. Zayyan menarik Lirien ke dalam pelukannya, dan untuk pertama kalinya, Lirien membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan itu. Mereka berciuman, ciuman yang penuh dengan keberanian, harap, dan pengakuan cinta yang selama ini mereka hindari di balik keengganan.
Malam itu berakhir dengan mereka duduk di rumput, tangan saling menggenggam, memandang langit senja yang berubah dari oranye ke ungu tua. Zayyan melepaskan genggamannya sejenak, mengeluarkan sebuah lukisan kecil dari tasnya—karya pertama Lirien yang ia simpan sejak pameran dua tahun lalu. “Aku selalu punya ini,” katanya, matanya penuh kelembutan. “Aku nggak pernah bilang, tapi aku kagum sama karyamu, meski aku suka kritik kamu.”
Lirien tersenyum, air mata bahagia mengalir di pipinya. “Kamu nyebelin, tapi… terima kasih.” Mereka tertawa bersama, dan untuk pertama kalinya, tawa itu terasa tulus, bukan sindiran.
Hari-hari berikutnya, hubungan mereka berkembang dengan cepat. Lirien tetap mengejar mimpinya sebagai kurator, sering memamerkan karya Zayyan dalam pameran dengan senyum rahasia, sementara Zayyan belajar menyeimbangkan pekerjaannya dengan waktu bersama Lirien, bahkan mengajaknya mengunjungi makam ibunya untuk mengenang bersama. Keluarga mereka, awalnya kaku dengan tradisi perjodohan, akhirnya merestui hubungan ini, melihat cinta yang tulus di antara keduanya.
Pada sebuah senja di taman yang sama, dua bulan kemudian, Zayyan berlutut di depan Lirien, sebuah cincin sederhana dengan batu zamrud di tangannya. “Lirien, kamu mau jadi bagian dari hidupku, bukan karena paksaan, tapi karena aku cinta kamu?” tanyanya, suaranya penuh harap.
Lirien tertawa, air mata bahagia mengalir di pipinya. “Iya, Zay. Aku cinta kamu juga.”
Di bawah pohon besar dengan latar langit senja yang memukau, mereka berjanji untuk menjalani hidup bersama—bukan sebagai pasangan yang dipaksa, tapi sebagai dua hati yang telah menemukan cinta sejati di ujung perjalanan panjang yang penuh keengganan dan harapan.
Perjodohan Tak Diinginkan: Cinta di Balik Reluctance menunjukkan bahwa cinta sejati bisa tumbuh bahkan dari situasi paling tak terduga, mengubah keengganan menjadi ikatan abadi. Kisah Lirien dan Zayyan mengajarkan kita tentang keberanian untuk membuka hati, menyembuhkan luka, dan mempercayai cinta di tengah keraguan. Jangan lewatkan novel ini jika Anda ingin merasakan emosi yang kuat dan motivasi untuk mencintai dengan tulus! Segera baca dan biarkan cerita ini menghangatkan jiwa Anda.
Terima kasih telah menikmati ulasan tentang Perjodohan Tak Diinginkan: Cinta di Balik Reluctance! Semoga cerita ini membawa inspirasi baru dalam hidup Anda. Bagikan kesan Anda di kolom komentar dan ikuti kami untuk ulasan menarik lainnya. Sampai jumpa di petualangan cerita berikutnya, pembaca setia!


