Daftar Isi
Masuki dunia penuh emosi dalam cerpen Jalan Hujan dan Cinta yang Terpendam, sebuah kisah perjodohan yang menggugah hati di kota kecil Lirisan. Mengikuti perjalanan Aruna Velira dan Gavendra, cerita ini merajut benang-benang kesedihan, harapan, dan cinta yang terpendam di tengah guyuran hujan yang tak pernah reda. Dengan alur yang mendalam dan karakter yang hidup, cerpen ini menawarkan pengalaman membaca yang tak hanya menghibur, tapi juga mengajak Anda merenungi makna kebebasan, pengorbanan, dan keberanian untuk menulis cerita hidup sendiri. Siapkah Anda terhanyut dalam rintik hujan yang membawa cinta?
Jalan Hujan dan Cinta yang Terpendam
Awal yang Dipaksakan
Hujan turun perlahan di kota kecil bernama Lirisan, sebuah tempat di mana jalan-jalan berbatu dipenuhi lumut dan kenangan. Di ujung gang sempit, di sebuah rumah bercat putih pudar, tinggallah Aruna Velira, seorang perempuan berusia 27 tahun dengan mata cokelat tua yang seolah menyimpan rahasia. Rambutnya yang panjang dan sedikit ikal selalu diikat asal, seolah-olah ia tak pernah punya waktu untuk memikirkan penampilan. Aruna adalah seorang penulis puisi yang karyanya sering muncul di majalah lokal, meski tak pernah benar-benar membuatnya kaya. Ia hidup sederhana, ditemani buku-buku dan secangkir teh yang selalu dingin sebelum ia sempat menghabiskannya.
Pagi itu, seperti biasa, Aruna duduk di beranda rumahnya, menatap hujan yang menetes dari atap. Di tangannya, sebuah buku catatan usang penuh coretan puisi yang belum selesai. Ia sedang mencoba merangkai kata-kata tentang kehilangan, tapi pikirannya terusik oleh suara langkah kaki yang mendekat. Ibunya, Sastri, muncul di pintu dengan wajah penuh harap yang dibenci Aruna. “Aruna, ada kabar baik,” katanya, suaranya penuh semangat yang terasa asing di telinga Aruna.
“Kabar baik apa lagi, Bu?” jawab Aruna tanpa mengalihkan pandangan dari buku catatannya. Ia tahu ibunya pasti akan membahas sesuatu yang ia hindari selama bertahun-tahun: perjodohan.
“Keluarga Pak Wirawan datang minggu depan. Anak mereka, Gavendra, baru pulang dari kota. Orangnya baik, terpelajar, dan…” Sastri berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat, “…cocok untukmu.”
Aruna menutup buku catatannya dengan keras, suara itu menggema di beranda kecil itu. “Ibu tahu aku tidak mau dijodohkan. Aku sudah bilang berkali-kali.” Suaranya tegas, tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang bergetar—campuran antara kemarahan dan ketakutan. Ia bukan tak ingin menikah, tapi gagasan untuk menyerahkan hidupnya pada orang asing terasa seperti kehilangan kendali atas cerita yang ia tulis sendiri.
Sastri menghela napas panjang, duduk di samping Aruna. “Kamu sudah 27 tahun, Aruna. Di Lirisan, orang-orang sudah mulai berbisik. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Gavendra ini berbeda. Dia bukan seperti laki-laki lain di sini. Dia… punya mimpi besar, seperti kamu.”
Aruna memandang ibunya, matanya menyipit. “Mimpi besar tidak berarti cocok, Bu. Aku tidak kenal dia. Aku tidak mau dipaksa.”
Namun, di balik ketegasannya, Aruna tahu perlawanannya sia-sia. Di Lirisan, tradisi perjodohan masih mengakar kuat. Keluarga-keluarga seperti keluarganya, yang hidup pas-pasan, sering melihat perjodohan sebagai cara untuk menjamin masa depan anak-anak mereka. Aruna bukan tak paham niat baik ibunya, tapi hatinya menolak untuk menerima.
Malam itu, saat hujan semakin deras, Aruna duduk di kamarnya, menatap foto lama di meja kecilnya. Foto itu menunjukkan dirinya bersama ayahnya, yang meninggal lima tahun lalu karena sakit. Ayahnya, seorang tukang kayu yang selalu bercerita tentang kebebasan, pernah berkata, “Jangan biarkan orang lain menulis ceritamu, Aruna.” Kata-kata itu kini terasa seperti pisau, mengiris hatinya setiap kali ia teringat.
Esok harinya, Aruna memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Gavendra. Ia tak ingin bertemu dengannya tanpa persiapan, seperti ksatria yang masuk ke medan perang tanpa pedang. Ia pergi ke pasar, tempat di mana gosip mengalir lebih deras daripada sungai di musim hujan. Di sana, ia bertemu dengan Nivara, sahabatnya sejak kecil yang kini bekerja sebagai penjual bunga.
“Niv, kamu tahu apa tentang Gavendra, anak Pak Wirawan?” tanya Aruna sambil membantu Nivara menyusun bunga melati di keranjang.
Nivara tersenyum kecil, tapi ada sedikit keraguan di matanya. “Dia orang kota sekarang, Run. Katanya dia kerja di perusahaan besar, tapi pulang ke Lirisan karena… entah kenapa. Ada yang bilang dia kabur dari sesuatu. Aku cuma dengar dia pendiam, tapi orang-orang bilang dia baik hati.”
“Kabur dari apa?” Aruna mengerutkan kening, hatinya mulai dipenuhi rasa ingin tahu yang tak diinginkannya.
Nivara mengangkat bahu. “Entah. Mungkin urusan keluarga, mungkin urusan hati. Kamu kenapa tiba-tiba tanya? Jangan bilang…” Nivara berhenti, matanya melebar. “Kamu dijodohkan sama dia?”
Aruna memalingkan muka, wajahnya memerah. “Bukan aku yang mau. Ibu.”
Nivara tertawa pelan, tapi ada simpati di suaranya. “Kamu tahu Lirisan, Run. Tradisi ini sulit dilupain. Tapi kalau kamu nggak mau, kabur aja. Kamu kan penulis, buat cerita baru untuk hidupmu.”
Kata-kata Nivara sederhana, tapi mengguncang Aruna. Kabur? Ke mana? Ia tak punya cukup uang, tak punya tempat tujuan. Lirisan adalah dunianya, meski kadang terasa seperti sangkar.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan akhirnya hari kunjungan keluarga Wirawan tiba. Aruna mengenakan kebaya sederhana warna biru tua, peninggalan ibunya, yang terasa asing di tubuhnya. Ia berdiri di ruang tamu, jantungan berdegup kencang, saat pintu depan dibuka. Pak Wirawan, seorang pria tua dengan wajah ramah, masuk bersama istri dan anak laki-lakinya—Gavendra.
Gavendra lebih tinggi dari yang Aruna bayangkan, dengan rambut hitam yang sedikit acak-acakan dan mata yang seolah menyimpan beban. Ia mengenakan kemeja sederhana, tapi ada aura yang membuatnya berbeda dari laki-laki Lirisan lainnya. Mungkin karena caranya berdiri, sedikit kaku, atau mungkin karena ia tak banyak bicara selama percakapan formal itu berlangsung.
“Aruna, ini Gavendra,” kata Pak Wirawan, suaranya penuh kebanggaan. “Dia baru pulang dari kota. Sekarang dia membantu saya mengelola usaha keluarga.”
Gavendra mengangguk sopan, tapi matanya hanya sekilas bertemu dengan mata Aruna sebelum ia memalingkan wajah. Aruna merasa ada sesuatu yang disembunyikan di balik sikap dinginnya itu, tapi ia tak tahu apa.
Malam itu, setelah keluarga Wirawan pulang, Aruna duduk di beranda lagi, hujan kembali turun. Ia merasa seperti karakter dalam puisinya—terjebak dalam cerita yang tak ia tulis sendiri. Tapi di antara rasa frustrasinya, ada sesuatu yang menggelitik di hatinya. Gavendra, dengan segala misterinya, membuatnya penasaran. Dan itu, entah kenapa, membuatnya takut.
Ia membuka buku catatannya dan menulis:
Di bawah hujan, aku bertanya pada langit,
Apakah cinta bisa lahir dari paksaan?
Atau hanya luka yang akan tinggal,
Menyapa di setiap detik sunyi?
Aruna menutup buku itu, menatap hujan yang tak kunjung reda. Ia tahu, ini baru awal dari cerita yang tak ia inginkan, tapi entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang menunggunya di ujung jalan—entah luka atau harapan.
Pertemuan di Bawah Payung Lusuh
Hujan di Lirisan tak pernah benar-benar berhenti, hanya jeda sejenak sebelum kembali menyapa dengan ritme yang lembut namun tegas. Pagi itu, Aruna Velira berjalan menyusuri jalan berbatu menuju perpustakaan kecil di pusat kota, tempat ia sering menghabiskan waktu untuk menulis atau sekadar melarikan diri dari tekanan di rumah. Ia mengenakan mantel tua berwarna abu-abu yang sedikit kebesaran, peninggalan ayahnya, dan memegang payung hitam yang sudah sedikit rusak di salah satu sisinya. Di tangan kirinya, ia membawa buku catatan usang, pelindung setia dari kekacauan pikirannya.
Sejak kunjungan keluarga Wirawan seminggu lalu, Aruna tak bisa mengusir bayang-bayang Gavendra dari kepalanya. Bukan karena ia tertarik—setidaknya, begitu ia meyakinkan dirinya sendiri—tapi karena ada sesuatu dalam sikap pria itu yang terasa seperti teka-teki. Matanya yang menghindari kontak, senyum sopan yang terasa dipaksakan, dan diamnya yang lebih berbicara daripada kata-kata. Aruna benci mengakui, tapi rasa ingin tahunya mulai menggerogoti. Siapa Gavendra sebenarnya? Mengapa ia kembali ke Lirisan, sebuah kota kecil yang seolah terlupakan waktu?
Di perpustakaan, Aruna duduk di sudut favoritnya, dekat jendela besar yang menghadap ke taman kecil penuh bunga liar. Ia membuka buku catatannya, mencoba melanjutkan puisi yang terhenti sejak pertemuan dengan Gavendra. Tapi kata-kata tak mau mengalir. Pikirannya melayang ke percakapan singkat malam itu, saat ibunya, Sastri, dengan penuh semangat menceritakan betapa “sempurna” Gavendra sebagai calon menantu. “Dia pendiam, tapi hatinya tulus,” kata Sastri. Aruna hanya mendengus, tapi kini ia bertanya-tanya: benarkah?
Tiba-tiba, suara pintu perpustakaan yang berderit mengalihkan perhatiannya. Aruna mendongak, dan jantungannya seolah berhenti sesaat. Gavendra berdiri di ambang pintu, menggoyangkan payung basah sebelum melangkah masuk. Ia mengenakan jaket cokelat tua dan celana hitam, rambutnya sedikit basah meski ia baru saja berada di bawah payung. Aruna buru-buru menunduk, berharap pria itu tak melihatnya. Tapi Lirisan terlalu kecil untuk kebetulan seperti itu.
Gavendra berjalan ke rak buku di sisi lain ruangan, mengambil beberapa buku tua tentang arsitektur dan duduk di meja yang tak jauh dari Aruna. Ia tak menyapa, bahkan tak melirik ke arahnya. Aruna merasa lega, tapi juga kesal. Apakah pria ini sengaja mengabaikannya? Atau ia benar-benar tak tahu Aruna ada di sana?
Selama satu jam berikutnya, ruangan itu dipenuhi keheningan, hanya sesekali diselingi suara halaman buku yang dibalik atau rintik hujan di jendela. Aruna berusaha fokus pada puisinya, tapi pandangannya sesekali mencuri ke arah Gavendra. Ia memperhatikan caranya membaca—dengan konsentrasi penuh, jari-jarinya sesekali menelusuri baris-baris di halaman, seolah mencari sesuatu yang hilang. Ada kerutan halus di dahinya, dan untuk pertama kalinya, Aruna menyadari bahwa Gavendra tak hanya pendiam, tapi juga… rapuh.
Saat jam menunjukkan pukul sebelas, hujan di luar semakin deras. Aruna menghela napas, menyadari ia harus pulang meski payungnya tak cukup untuk melindunginya dari badai. Ia membereskan buku catatannya, mengenakan mantel, dan berjalan ke pintu. Di luar, angin bercampur hujan membuatnya menggigil. Ia membuka payungnya, tapi segera menyadari lubang di kain payung itu membuat air menetes ke wajahnya.
“Payungmu rusak,” suara rendah tiba-tiba terdengar di belakangnya. Aruna menoleh, terkejut melihat Gavendra berdiri di beranda perpustakaan, memegang payungnya sendiri. Wajahnya masih sulit dibaca, tapi ada sedikit kelembutan di matanya yang tak Aruna sadari sebelumnya.
“Sudah lama begini,” jawab Aruna singkat, berusaha terdengar acuh. “Aku bisa jalan sendiri.”
Gavendra tak langsung menjawab. Ia melangkah mendekat, mengangkat payungnya untuk melindungi Aruna dari hujan. “Kita searah,” katanya, suaranya datar tapi tegas. “Aku antar sampai gang rumahmu.”
Aruna ingin menolak, tapi dinginnya hujan dan kelelahan membuatnya mengangguk pelan. Mereka berjalan berdampingan di bawah payung Gavendra, langkah mereka seirama dengan rintik hujan. Awalnya, tak ada yang bicara. Aruna memeluk buku catatannya erat, mencoba mengabaikan kehadiran pria di sampingnya. Tapi keheningan itu terasa semakin berat, seperti awan yang siap pecah.
“Kenapa kamu pulang ke Lirisan?” tanya Aruna tiba-tiba, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan. Ia sendiri terkejut dengan pertanyaannya, tapi rasa ingin tahunya menang.
Gavendra meliriknya sekilas, lalu kembali menatap jalan di depan. “Keluarga,” jawabnya singkat. “Ayahku butuh bantuan dengan usaha kayu. Aku tak bisa menolak.”
Aruna mengerutkan kening. “Tapi kamu kan orang kota. Bekerja di perusahaan besar, katanya. Kenapa tinggalkan itu semua?”
Pertanyaan itu membuat Gavendra berhenti sejenak. Payung di tangannya bergoyang, membuat air hujan menetes ke bahu Aruna. “Kamu banyak tanya,” katanya, tapi ada sedikit senyum di sudut bibirnya—senyum pertama yang Aruna lihat. “Mungkin suatu hari aku ceritakan. Tapi tidak sekarang.”
Aruna mendengus, tapi hatinya berdebar. Ada sesuatu dalam nada suara Gavendra yang membuatnya merasa pria ini menyimpan lebih dari sekadar alasan sederhana. Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam, tapi kali ini keheningan itu terasa lebih hangat, seperti ada benang tak terlihat yang mulai terjalin di antara mereka.
Saat sampai di gang menuju rumah Aruna, Gavendra berhenti. “Sampai sini saja,” katanya, menyerahkan payungnya. “Ambil ini. Payungmu tak berguna.”
Aruna memandang payung itu, lalu Gavendra, dengan rasa bingung. “Kamu sendiri bagaimana? Rumahmu jauh.”
“Aku suka hujan,” jawab Gavendra sederhana, lalu berbalik tanpa menunggu jawaban. Aruna menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik tirai hujan, payung hitam di tangannya terasa hangat meski basah.
Malam itu, Aruna tak bisa tidur. Ia duduk di kamarnya, menatap payung Gavendra yang kini bersandar di sudut ruangan. Pikirannya dipenuhi pertanyaan: mengapa Gavendra begitu tertutup? Apa yang ia sembunyikan? Dan mengapa, di antara rasa kesalnya, ia merasa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya—sesuatu yang asing dan menakutkan?
Ia membuka buku catatannya dan menulis puisi baru:
Di bawah payung lusuh, kau menawarkan perlindungan,
Tapi matamu menyimpan badai yang tak kau ceritakan.
Apakah aku berani melangkah ke dalam hujanmu,
Atau cukup menikmati jeda di antara rintiknya?
Esok harinya, Aruna mendengar kabar dari Nivara bahwa Gavendra sering terlihat di gudang kayu keluarganya, bekerja hingga larut malam. “Dia aneh, Run,” kata Nivara sambil menyusun bunga. “Orang bilang dia pernah punya seseorang di kota, tapi ceritanya berakhir buruk. Mungkin itu kenapa dia kembali.”
Kata-kata Nivara membuat Aruna terdiam. Seseorang? Hati Aruna tiba-tiba terasa sesak, meski ia tak tahu mengapa. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi setiap kali ia melewati gudang kayu dalam perjalanan ke pasar, ia tak bisa menahan diri untuk melirik, berharap—dan takut—melihat sosok Gavendra di sana.
Hujan terus turun di Lirisan, dan Aruna tahu, pertemuan di bawah payung itu hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang mungkin akan mengubah cerita hidupnya, entah menjadi puisi indah atau elegi penuh luka.
Retakan di Balik Sunyi
Hujan di Lirisan seolah tak pernah lelah menyapa, mengguyur jalan-jalan berbatu dengan ritme yang kini terasa seperti detak jantung kota kecil itu. Aruna Velira berjalan dengan langkah pelan menuju pasar, payung hitam milik Gavendra di tangan kirinya, sementara tangan kanannya memeluk buku catatan yang kini penuh dengan coretan-coretan baru—puisi tentang hujan, tentang bayang-bayang seseorang yang tak bisa ia lupakan. Sejak pertemuan di perpustakaan dua minggu lalu, Aruna merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Ia benci mengakuinya, tapi kehadiran Gavendra, meski singkat dan penuh keheningan, meninggalkan jejak yang sulit dihapus.
Pagi itu, pasar Lirisan ramai seperti biasa, penuh dengan suara pedagang yang menawarkan dagangan dan tawa anak-anak yang berlarian di sela-sela keranjang. Aruna berhenti di lapak Nivara, sahabatnya, yang sedang sibuk menyusun bunga-bunga melati dan mawar liar. Nivara melirik payung di tangan Aruna dan tersenyum penuh makna. “Payung itu bukan punyamu, kan?” tanyanya dengan nada menggoda.
Aruna memalingkan muka, wajahnya memerah. “Cuma pinjam,” jawabnya cepat, berharap Nivara tak akan mengorek lebih dalam. Tapi Nivara bukan tipe yang mudah menyerah.
“Pinjam dari siapa, hm? Gavendra?” Nivara menaikkan alis, tangannya berhenti menyusun bunga. “Kalian ketemu lagi? Ceritain dong, Run. Jangan bikin aku penasaran.”
Aruna menghela napas, tahu tak ada gunanya menghindar. Ia menceritakan pertemuan di perpustakaan, tentang payung lusuh yang kini jadi pengingat aneh akan Gavendra, dan tentang perasaan campur aduk yang tak bisa ia jelaskan. Nivara mendengarkan dengan serius, tapi matanya berkilat penuh antusiasme. “Dia pasti suka sama kamu,” katanya tiba-tiba, membuat Aruna tersedak.
“Suka? Dia bahkan hampir nggak bicara, Niv. Orang seperti dia nggak… nggak mungkin,” bantah Aruna, tapi suaranya melemah di akhir. Hatinya berkata lain, dan itu membuatnya gelisah.
Nivara mengangkat bahu. “Kamu nggak tahu apa yang ada di hati orang, Run. Tapi aku dengar dari Tante Rima di pasar, Gavendra sering sendirian di gudang kayu sampai tengah malam. Katanya dia bikin sesuatu, tapi nggak ada yang tahu apa. Mungkin dia lagi sembunyi dari sesuatu… atau seseorang.”
Kata-kata Nivara menggema di pikiran Aruna sepanjang hari. Seseorang. Kerenyitan kecil di hatinya kembali muncul, sama seperti saat Nivara pertama kali menyebutkan bahwa Gavendra mungkin pernah punya kisah cinta yang kandas di kota. Aruna mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat. Ia memutuskan untuk mencari tahu sendiri, meski ia tahu itu mungkin bukan ide terbaik.
Sore itu, setelah hujan mereda menjadi gerimis, Aruna berjalan menuju gudang kayu keluarga Wirawan di pinggir Lirisan. Gudang itu berdiri di tepi sungai kecil, dikelilingi pohon-pohon jati yang menjulang. Dari kejauhan, Aruna bisa mendengar suara palu dan gergaji, diselingi aroma kayu segar yang terbawa angin. Ia ragu sejenak, berdiri di depan pintu gudang yang setengah terbuka, memegang payung Gavendra seperti perisai.
“Gavendra?” panggilnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara mesin di dalam. Tak ada jawaban. Ia melangkah masuk, matanya menyesuaikan diri dengan cahaya redup di dalam gudang. Tumpukan kayu tersusun rapi di satu sisi, sementara di sudut lain, sebuah meja kerja penuh dengan alat-alat dan sketsa-sketsa kertas.
Gavendra muncul dari balik tumpukan kayu, kemejanya sedikit basah keringat, tangannya memegang potongan kayu yang baru saja diukir. Ia tampak terkejut melihat Aruna, matanya melebar sesaat sebelum kembali ke ekspresi datar yang biasa. “Aruna? Apa kabar?” tanyanya, suaranya lembut tapi penuh kewaspadaan.
“Aku… cuma mau balikin ini,” kata Aruna, mengangkat payung di tangannya. Itu alasan yang buruk, ia tahu, tapi ia tak punya alasan lain untuk berada di sana. “Dan… mungkin ngobrol sedikit.”
Gavendra mengangguk, menyeka tangannya di kain lap sebelum mengambil payung itu. “Mau duduk? Di sini agak berantakan, tapi…” Ia menunjuk ke bangku kayu sederhana di dekat meja kerja. Aruna mengangguk, merasa jantungannya berdegup lebih kencang dari biasanya.
Mereka duduk dalam keheningan selama beberapa saat, hanya suara gerimis di luar yang mengisi ruang di antara mereka. Aruna memperhatikan sketsa-sketsa di meja—gambar-gambar rumah kecil dengan detail rumit, jendela-jendela besar, dan taman-taman yang seolah hidup di atas kertas. “Kamu bikin ini?” tanyanya, tak bisa menyembunyikan kagum di suaranya.
Gavendra mengangguk, tapi matanya tak bertemu dengan Aruna. “Cuma iseng. Dulu aku belajar arsitektur di kota. Ini… cuma cara buat ingat.”
“Ini bukan cuma iseng,” kata Aruna, jari-jarinya menelusuri salah satu sketsa. “Ini indah. Kenapa kamu nggak lanjutin di kota? Kamu bisa bikin rumah-rumah kayak gini, bukan cuma kerja di gudang.”
Pertanyaan itu membuat Gavendra menegang. Ia menatap sketsa di tangan Aruna, lalu menghela napas panjang. “Ada hal-hal yang nggak bisa diterusin, Aruna. Kadang hidup nggak ngasih pilihan.”
Aruna ingin bertanya lebih jauh, tapi ada sesuatu dalam nada suara Gavendra yang membuatnya berhenti. Ia melihat luka di matanya, luka yang tak diucapkan tapi terasa begitu nyata. Untuk pertama kalinya, Aruna merasa ia bukan satu-satunya yang terjebak dalam cerita yang tak diinginkan.
“Kenapa kamu nggak suka dijodohkan?” tanya Gavendra tiba-tiba, membalikkan situasi. Aruna tersentak, tak menyangka pria itu akan bertanya begitu langsung.
“Aku… aku cuma nggak mau kehilangan kendali atas hidupku,” jawab Aruna, suaranya pelan. “Aku pengen tulis cerita hidupku sendiri, bukan ngikutin cerita yang orang lain bikin buatku.”
Gavendra tersenyum tipis, tapi senyum itu penuh kepahitan. “Kadang cerita yang kita tulis sendiri malah yang paling menyakitkan.”
Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan penuh makna. Aruna ingin bertanya apa maksudnya, tapi sebelum ia bisa membuka mulut, Gavendra bangkit. “Aku harus lanjutin kerjaan. Hati-hati pulang, hujan masih deras.”
Aruna meninggalkan gudang dengan pikiran penuh pertanyaan. Malam itu, di kamarnya, ia tak bisa tidur. Ia membuka buku catatannya, menulis puisi baru yang terasa lebih gelap dari biasanya:
Di balik kayu dan sketsa, kau sembunyikan luka,
Seperti hujan yang tak pernah ceritakan asalnya.
Apakah aku cukup berani untuk bertanya,
Atau hanya akan tenggelam dalam sunyimu?
Esok harinya, Sastri memberi kabar bahwa keluarga Wirawan mengundang mereka untuk makan malam minggu depan—langkah berikutnya dalam proses perjodohan. Aruna merasa dadanya sesak, tapi di saat yang sama, ia tak bisa menyangkal bahwa ia ingin tahu lebih banyak tentang Gavendra. Ada retakan di balik sikap pendiamnya, dan Aruna, entah kenapa, ingin menjelajahi retakan itu, meski ia tahu itu mungkin akan menyakitinya.
Hujan terus turun di Lirisan, dan Aruna merasa seperti berjalan di tepi jurang—antara takut dan harap, antara lari dari takdir dan melangkah ke dalamnya.
Hujan yang Membawa Jawaban
Hujan di Lirisan kini terasa seperti sahabat lama bagi Aruna Velira, selalu hadir dengan caranya yang lembut namun tak bisa diabaikan. Malam itu, ia berdiri di depan cermin di kamarnya, mengenakan kebaya sederhana berwarna hijau lumut yang dipilih Sastri untuk acara makan malam di rumah keluarga Wirawan. Rambutnya diikat rapi, tapi ia sengaja membiarkan beberapa helai jatuh di sisi wajahnya, seolah ingin tetap menjadi dirinya sendiri di tengah tekanan tradisi. Buku catatannya tergeletak di meja, penuh dengan puisi-puisi yang kini tak lagi hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang pertanyaan-pertanyaan yang tak terucap tentang Gavendra.
Perjalanan menuju rumah keluarga Wirawan terasa singkat, meski hujan gerimis membuat jalanan licin. Aruna berjalan di samping Sastri, memegang payung hitam yang kini menjadi pengingat konstan akan Gavendra. Ia tak tahu apa yang diharapkannya dari malam ini. Bagian dirinya masih ingin melawan perjodohan ini, tapi bagian lain—yang semakin sulit ia sangkal—ingin memahami pria yang seolah menyimpan dunia di balik matanya yang sunyi.
Rumah keluarga Wirawan besar namun sederhana, dengan halaman penuh pohon mangga dan aroma kayu yang samar. Di ruang tamu, meja makan sudah disiapkan dengan hidangan khas Lirisan: nasi liwet, ayam bakar, dan sambal yang menggoda. Pak Wirawan dan istrinya, Bu Lestari, menyambut Aruna dan Sastri dengan senyum hangat, tapi Aruna hanya bisa fokus pada Gavendra, yang berdiri di sudut ruangan, mengenakan kemeja biru tua yang membuatnya terlihat lebih rapi dari biasanya. Matanya sekilas bertemu dengan Aruna, tapi seperti selalu, ia cepat memalingkan pandang.
Makan malam berlangsung dengan percakapan ringan tentang cuaca, panen, dan rencana usaha kayu keluarga Wirawan. Aruna berusaha mendengarkan, tapi pikirannya melayang ke pertemuan di gudang kayu beberapa hari lalu. Sketsa-sketsa Gavendra, kata-katanya tentang cerita yang menyakitkan, dan luka yang tersembunyi di balik sikap pendiamnya—semua itu seperti potongan puzzle yang belum ia susun. Ia ingin bertanya, tapi di meja makan ini, dengan tatapan penuh harap dari Sastri dan Bu Lestari, ia merasa seperti burung dalam sangkar.
Setelah makan, Bu Lestari mengusulkan agar Aruna dan Gavendra “berbincang sebentar” di beranda belakang, sebuah tradisi halus dalam perjodohan Lirisan untuk memberi calon pasangan waktu berdua. Aruna merasa jantungannya berdegup kencang, tapi ia mengangguk, mengikuti Gavendra yang berjalan pelan menuju beranda. Di luar, hujan masih turun, membentuk tirai tipis di tepi atap. Mereka duduk di bangku kayu, ditemani lampu minyak yang cahayanya redup namun hangat.
“Jadi… ini bagian dari proses, ya?” kata Aruna, mencoba memecah keheningan dengan nada ringan, meski suaranya sedikit bergetar. “Kita dipaksa ngobrol supaya keluarga kita senang.”
Gavendra tersenyum tipis, tapi kali ini senyumnya terasa lebih tulus. “Kamu nggak suka ini, kan?” tanyanya, matanya kini menatap Aruna dengan intensitas yang membuatnya gelisah.
“Apa kamu suka?” balas Aruna, alisnya terangkat. “Kamu nggak kelihatan orang yang gampang nurut sama tradisi.”
Gavendra menghela napas, tangannya mengusap bagian belakang lehernya, kebiasaan yang Aruna mulai perhatikan sebagai tanda ia sedang gelisah. “Aku nggak suka dipaksa,” katanya pelan. “Tapi aku juga nggak punya banyak pilihan. Ayahku… dia sakit. Usaha keluarga ini satu-satunya yang bisa bikin dia tenang.”
Aruna memandangnya, mencoba mencerna kata-katanya. “Jadi kamu korbankan mimpimu demi keluarga?” tanyanya, suaranya lembut tapi penuh rasa ingin tahu. “Sketsa-sketsa itu… mereka luar biasa, Gavendra. Kamu bisa bikin sesuatu yang besar di luar Lirisan.”
Gavendra menunduk, menatap tangannya yang kini bertaut di pangkuannya. “Mimpi itu nggak selalu cukup, Aruna,” katanya, suaranya hampir seperti bisikan. “Aku pernah coba. Di kota, aku punya rencana besar—rumah-rumah yang aku desain, proyek yang aku pikir bakal jadi sesuatu. Tapi… aku gagal. Aku kehilangan seseorang yang penting, dan itu… menghancurkan segalanya.”
Aruna merasa dadanya sesak. Ini dia, retakan yang ia lihat di gudang kayu, akhirnya terbuka. “Siapa dia?” tanyanya pelan, tak yakin apakah ia ingin mendengar jawabannya.
Gavendra menatap hujan di luar, matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan air matanya. “Namanya Vira. Kami sama-sama arsitek, punya mimpi untuk bikin sesuatu bersama. Tapi dia… dia nggak bisa terima tekanan dari pekerjaan, dari keluargaku yang terus panggil aku pulang. Dia pergi, dan aku nggak bisa ngejar. Aku balik ke Lirisan karena aku nggak tahu harus ke mana lagi.”
Kata-kata itu terasa seperti pisau, mengiris hati Aruna. Ia tak tahu mengapa cerita Gavendra membuatnya begitu terluka—mungkin karena ia mulai peduli, atau mungkin karena ia takut cerita ini berarti Gavendra tak akan pernah membuka hatinya lagi. “Jadi kamu menyerah?” tanyanya, suaranya sedikit menantang. “Kamu biarin masa lalu nentuin masa depanmu?”
Gavendra menoleh, matanya menyipit. “Kamu nggak ngerti, Aruna. Kadang menyerah itu satu-satunya cara buat lanjut.”
Aruna menggelengkan kepala, kemarahan kecil menyala di dadanya. “Itu bukan lanjut, Gavendra. Itu cuma sembunyi. Kamu sembunyi di gudang kayu, di balik sketsa-sketsa yang nggak pernah kamu wujudin. Aku tahu rasanya terjebak—aku juga nggak mau perjodohan ini! Tapi aku nggak mau hidup cuma buat orang lain. Aku pengen cerita hidupku punya makna.”
Kata-katanya menggema di beranda, lebih keras dari yang ia maksud. Gavendra terdiam, matanya menatap Aruna dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran antara terkejut dan… sesuatu yang lain. “Kamu bener,” katanya akhirnya, suaranya pelan. “Aku sembunyi. Tapi kamu juga, Aruna. Kamu sembunyi di puisi-puisimu, di kata-kata yang cuma kamu simpan di buku itu.”
Aruna tersentak, merasa seperti ditampar. Ia ingin membantah, tapi kata-kata Gavendra terlalu jujur. Ia memang sering menulis untuk melarikan diri, untuk menyembunyikan ketakutannya akan masa depan yang tak ia kendalikan. Keheningan kembali menyelimuti mereka, tapi kali ini terasa berbeda—seperti dua orang yang akhirnya melihat satu sama lain tanpa topeng.
“Aku takut,” akui Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah rintik hujan. “Aku takut kalau aku nerima ini, aku bakal kehilangan diriku sendiri. Tapi aku juga takut… kalau aku tolak, aku bakal nyesel.”
Gavendra memandangnya, dan untuk pertama kalinya, matanya tak menghindar. “Aku juga takut,” katanya. “Tapi mungkin… mungkin kita bisa takut bareng.”
Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti pintu yang terbuka. Aruna tersenyum kecil, air mata menggenang di matanya. “Itu tawaran terburuk yang pernah aku dengar,” candanya, tapi suaranya penuh kehangatan.
Gavendra tertawa pelan, suara yang jarang Aruna dengar, tapi terasa seperti sinar matahari setelah hujan. “Mungkin aku harus latihan lagi,” katanya, lalu mengulurkan tangan. “Ayo, kita coba tulis cerita ini bareng. Tanpa paksaan, tanpa tradisi. Cuma… kita.”
Aruna memandang tangan itu, lalu menggenggamnya. Tangan Gavendra hangat, meski sedikit kasar karena pekerjaan di gudang. Di bawah hujan Lirisan, mereka berdiri, tak lagi dilindungi payung, membiarkan air hujan membasahi mereka seperti simbol pembersihan dari masa lalu.
Malam itu, Aruna pulang dengan hati yang lebih ringan. Ia membuka buku catatannya dan menulis puisi terakhir untuk bab ini dalam hidupnya:
Hujan tak lagi menyisakan luka,
Tapi membawa janji di sela rintiknya.
Kita melangkah, takut namun bersama,
Menulis cerita di bawah langit Lirisan.
Beberapa bulan kemudian, Aruna dan Gavendra mulai membangun sesuatu yang baru. Gavendra kembali menggambar sketsa, kali ini untuk sebuah perpustakaan kecil di Lirisan, proyek pertama mereka bersama. Aruna menerbitkan kumpulan puisinya, dengan satu puisi didedikasikan untuk “pria yang datang bersama hujan.” Mereka tak langsung menikah, tapi memilih untuk menjalani cerita mereka sendiri, langkah demi langkah, di bawah langit yang selalu hujan, tapi kini penuh harapan.
Jalan Hujan dan Cinta yang Terpendam bukan sekadar cerita cinta, melainkan cerminan perjuangan untuk menemukan diri di tengah tekanan tradisi dan luka masa lalu. Dengan ending yang menghangatkan hati, cerpen ini mengajarkan bahwa cinta sejati lahir dari keberanian untuk saling memahami dan melangkah bersama, bahkan di bawah hujan paling deras sekalipun. Jangan lewatkan kisah Aruna dan Gavendra yang akan meninggalkan jejak di hati Anda, mengingatkan bahwa setiap rintik hujan bisa menjadi awal dari cerita baru yang indah.
Terima kasih telah menyelami keindahan Jalan Hujan dan Cinta yang Terpendam bersama kami! Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menemukan makna dalam setiap langkah hidup. Sampai jumpa di cerita berikutnya, dan jangan lupa berbagi artikel ini jika Anda terhanyut dalam rintik hujan Lirisan!


