Daftar Isi
Apakah Anda percaya bahwa perjodohan paksa bisa berubah menjadi cinta sejati? Dalam cerita Perjodohan Paksa: Dari Benci Menuju Cinta, petualangan emosional Selene dan Raditya membawa pembaca pada perjalanan dari kebencian mendalam menuju ikatan yang tulus, di tengah tekanan keluarga dan luka masa lalu. Dengan alur yang penuh detail, konflik yang realistis, dan emosi yang menggugah, novel ini menawarkan kisah romansa yang menyentuh hati. Temukan bagaimana dua musuh bebuyutan bisa menemukan kebahagiaan di balik paksaan—cerita ini wajib dibaca bagi pecinta drama cinta yang mendalam!
Perjodohan Paksa
Paksaan di Bawah Bayang Hujan
Pagi di Yogyakarta pada Rabu, 25 Juni 2025, terasa dingin dengan langit yang tertutup awan kelabu, seolah meramal ketegangan yang akan datang. Di sebuah rumah tradisional bergaya Joglo di kawasan Kotagede, Selene Kirana berdiri di depan jendela kaca patri, memandang tetesan hujan yang mulai membasahi halaman berbatu. Rambut panjangnya yang hitam legam tergerai rapi, tapi wajahnya penuh ketidakrelaan. Usia 28 tahun, Selene adalah seorang penulis novel yang mulai dikenal karena cerita-cerita penuh emosi yang menggugah hati pembaca. Namun, pagi ini, ia bukan penulis—ia adalah putri yang terjebak dalam tradisi keluarganya.
Ibunya, Nyonya Dewi, duduk di ruang tamu dengan wajah tegas, memegang cangkir teh hangat. “Selene, ini untuk kebaikanmu,” katanya, suaranya penuh otoritas. “Keluarga Ardianto punya nama besar, dan Raditya adalah pria yang sempurna untukmu. Perjodohan ini sudah disepakati oleh keluarga besar kita.” Selene menggigit bibir bawahnya, menahan amarah yang membakar di dadanya. Raditya Ardianto—nama yang ia kenal sebagai musuh bebuyutannya sejak masa kuliah. Pria itu, dengan sikap arogan dan kecerdasan yang ia pamerkan, selalu menjadi sumber ketegangan baginya. Kini, ibunya ingin memaksanya menikah dengannya?
“Bu, aku nggak bisa!” protes Selene, suaranya sedikit bergetar. “Dia musuhku! Aku lebih suka hidup sendiri daripada jadi istri orang seperti dia!” Nyonya Dewi hanya menggelengkan kepala, matanya penuh keyakinan. “Kamu akan mengerti nanti. Besok, kamu ketemu dia di kafe dekat Malioboro. Ini bukan permintaan, ini perintah.”
Selene meninggalkan ruangan dengan langkah berat, hatinya penuh kemarahan dan kesedihan. Ia duduk di meja kerjanya, dikelilingi tumpukan buku dan laptop, mencoba menuangkan emosinya ke dalam kata-kata. Tapi pena di tangannya berhenti, dan air mata mulai mengalir. Ia mengingat masa lalu—pertengkaran sengit dengan Raditya saat debat kampus, ejekan tajamnya saat ia gagal mempresentasikan novel pertamanya, dan tatapan dinginnya yang selalu membuatnya merasa kecil. Bagaimana mungkin ia menikahi pria yang ia benci sejak dulu?
Keesokan harinya, pukul 10:22 WIB, Selene tiba di kafe tua bernuansa kolonial di dekat Malioboro. Hujan masih gerimis, menciptakan suasana suram yang cocok dengan perasaannya. Ia mengenakan cardigan abu-abu dan celana kulot hitam, rambutnya diikat sederhana dengan jepit, mencoba menyamarkan kegelisahannya. Di sudut kafe, Raditya Ardianto sudah menunggu, mengenakan jas cokelat tua yang terlihat mahal, rambutnya rapi, dan matanya—yang selalu tajam—menatapnya dengan ekspresi sulit dibaca.
“Selene Kirana,” sapa Raditya, suaranya dalam dan penuh kontrol. Ia mengulurkan tangan, tapi Selene hanya mengangguk dingin tanpa menyambut jabatan tangan itu. “Duduk,” ujarnya, nada perintah yang langsung memicu amarah Selene.
“Aku di sini cuma karena Mama aku,” katanya tajam, menarik kursi dan duduk dengan sikap menantang. “Jangan harap aku senyum manis buat kamu, Raditya.”
Raditya tersenyum tipis, seolah menikmati ketegangan. “Sama, Selene. Aku juga nggak suka ide ini. Tapi Bapak aku bersikeras, dan aku nggak punya pilihan. Jadi, mari kita selesaikan ini dengan dewasa.”
Selene memutar bola matanya, merasa jijik dengan sikap santai Raditya. Pelayan mendekat, dan Raditya memesan kopi pahit tanpa gula, sementara Selene memilih teh chamomile untuk menenangkan dirinya. Percakapan mereka dimulai dengan nada yang penuh permusuhan. Selene mengkritik kesombongan Raditya, mengingatkan bagaimana ia pernah menertawakannya di depan teman-teman kuliah. Raditya, tanpa gentar, membalas dengan sindiran tentang “idealisme penulis” Selene yang menurutnya naif.
Tapi di balik kata-kata pedas, ada momen yang membuat mereka terdiam. Saat Selene menyebut ibunya yang selalu mendukung mimpinya menulis, suaranya sedikit bergetar, dan Raditya—meski awalnya ingin menyela—memilih diam, matanya menunjukkan sekilas empati. Begitu pula saat Raditya menceritakan tentang adiknya yang sakit parah, ada kesedihan di wajahnya yang membuat Selene merasa bersalah karena terlalu keras.
Hujan di luar semakin deras, suaranya memenuhi kafe tua itu. Raditya menatap cangkir kopinya sejenak sebelum berkata, “Aku tahu kamu benci aku, Selene. Aku juga nggak suka kamu. Tapi kalau kita harus jalani ini, kenapa nggak kita buat aturan? Kita pura-pura setuju, tapi masing-masing tetap hidup seperti biasa.”
Selene mengangkat alis, merasa tertantang sekaligus tergoda. “Aturan? Baiklah. Tapi jangan harap aku bakal jadi istri patuh buat kamu. Aku punya hidup sendiri.”
“Setuju,” balas Raditya, matanya menyipit dengan senyum kecil. “Tapi jangan menangis kalau aku yang akhirnya menang dalam permainan ini.”
Malam itu, setelah Raditya pergi dengan janji untuk “mendiskusikan rencana” lagi, Selene kembali ke rumahnya, hatinya penuh gejolak. Ia duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang kosong, tapi pikirannya penuh dengan Raditya—mata dinginnya, rahang tegasnya, dan nada suaranya yang penuh otoritas. Ia menghela napas, kesal pada dirinya sendiri. Ini cuma paksaan. Aku nggak akan jatuh ke jebakan ini.
Tapi jauh di lubuk hatinya, ada rasa ingin tahu yang mulai muncul. Pertemuan itu bukan akhir, melainkan awal dari perjuangan batin yang akan menguji batas kebencian dan kemungkinan cinta yang tak terduga. Di luar, hujan terus turun, mencuci jejak pertemuan pertama mereka, meninggalkan misteri yang belum terungkap di bawah langit kelabu Yogyakarta.
Bayang di Tengah Hujan Deras
Pagi di Yogyakarta pada Kamis, 26 Juni 2025, terasa lebih suram dari biasanya. Jam menunjukkan 09:15 WIB ketika Selene Kirana duduk di sudut ruang kerjanya, menatap hujan yang kembali turun dengan deras di luar jendela kaca patri. Suara tetesan air yang berdebum di atap rumah Joglo keluarganya menciptakan irama yang sesuai dengan kekacauan dalam pikirannya. Rambut hitam legamnya yang tergerai acak-acakan menandakan malam yang sulit tidur, dan tangannya yang memegang cangkir teh chamomile masih sedikit gemetar. Pertemuan kemarin dengan Raditya Ardianto terus berputar di benaknya, meninggalkan rasa campur aduk yang ia benci akui.
Selene mencoba fokus pada naskah novel terbarunya, sebuah cerita tentang perjuangan seorang wanita melawan tekanan keluarga. Ironis, pikirnya, karena ia kini hidup dalam situasi yang hampir sama. Kata-kata Raditya—tentang “aturan” dan “pura-pura setuju”—terngiang di kepalanya, menciptakan konflik batin. Ia ingin menolak perjodohan ini dengan segenap jiwa, tapi tekanan dari Nyonya Dewi, ibunya, semakin berat. “Ini untuk masa depanmu, Selene,” kata ibunya tadi pagi, suaranya penuh keyakinan yang membuat Selene merasa tercekik.
Di sisi lain kota, di sebuah kantor modern di kawasan Babarsari, Raditya Ardianto duduk di balik meja direktur perusahaan keluarganya yang bergerak di bidang properti. Jam di dinding menunjukkan 10:27 WIB, dan hujan di luar jendela kaca besar mencerminkan suasana hati yang tak menentu. Jas cokelat tuanya tergantung di sandaran kursi, dan kemeja putihnya sedikit kusut—tanda bahwa ia telah bekerja sejak subuh. Pikirannya melayang ke Selene, gadis dengan cardigan abu-abu dan tatapan tajam yang penuh kebencian. Ia mengingat momen saat suara Selene bergetar saat menyebut ibunya, dan ada rasa aneh di dadanya—bukan kemenangan, tapi rasa ingin tahu.
Pagi itu, Bapaknya, Pak Ardi, menelepon Raditya dengan nada tegas. “Radit, perjodohan ini penting buat keluarga. Selene Kirana punya latar belakang baik, dan aku yakin kamu bisa membuatnya cocok buatmu. Jangan kecewakan aku.” Raditya hanya mengangguk di ujung telepon, tapi dalam hati ia merasa tertekan. Ia tidak suka Selene—sikap keras kepalanya selalu memancing amarahnya sejak kuliah—tapi ada bagian dari dirinya yang penasaran dengan gadis itu. Mungkin “aturan” yang ia usulkan kemarin adalah cara untuk menjaga jarak, atau mungkin cara untuk mengenalnya lebih dalam.
Sore harinya, sesuai janji untuk “mendiskusikan rencana,” Raditya mengajak Selene ke sebuah taman di sekitar Taman Sari yang sepi karena hujan. Selene tiba dengan payung hitam, mengenakan jaket denim dan celana jeans, rambutnya basah di ujung karena hujan yang tak terhindarkan. Raditya menunggu di bawah pohon besar, mengenakan kemeja biru tua dan mantel ringan, matanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kamu datang,” katanya, suaranya datar.
“Aku nggak punya pilihan,” balas Selene, nada suaranya penuh sindiran. Mereka berjalan di bawah payung, menjaga jarak yang sopan, tapi ketegangan di antara mereka terasa nyata. Percakapan mereka dimulai dengan argumen—Selene mengkritik gaya hidup mewah Raditya, sementara Raditya menyindir kebiasaan Selene yang terlalu tenggelam dalam dunia tulisannya.
Tapi saat mereka berhenti di dekat kolam kecil yang dikelilingi bunga teratai, hujan mulai reda, meninggalkan udara dingin yang membawa aroma tanah basah. Selene menunduk, memandang pantulan air, dan tanpa sadar berkata, “Aku benci ini. Aku benci dipaksa. Ayahku dulu selalu bilang aku bebas memilih, tapi sekarang…” Suaranya terputus, dan air mata mulai mengalir di pipinya.
Raditya terdiam, terkejut dengan kerapuhan yang tiba-tiba muncul dari Selene. Ia ingin mengolok-olok, tapi melihat air matanya membuatnya ragu. “Aku juga nggak suka dipaksa,” katanya pelan, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Adikku sakit, dan Bapak aku pikir pernikahan ini akan menguatkan keluarga. Tapi aku nggak mau kamu menderita karenanya.”
Momen itu terasa seperti jeda dalam pertempuran mereka. Selene menoleh, matanya bertemu dengan mata Raditya, dan untuk pertama kalinya, ia melihat sesuatu di balik sikap arogannya—kesedihan yang dalam. Ia mengusap air matanya dengan kasar, mencoba menyembunyikan emosinya. “Jangan kira aku bakal luluh cuma karena kamu cerita soal adikmu,” katanya, tapi nadanya kurang yakin.
Raditya tersenyum tipis, tapi ada kelembutan di sana. “Aku nggak minta kamu luluh. Aku cuma minta kita coba jalani aturan itu—pura-pura setuju, tapi tetap jadi diri kita sendiri. Siapa tahu, kita bisa saling mengerti.”
Malam itu, saat Selene kembali ke rumah, ia tidak bisa tidur. Ia duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang kosong, tapi pikirannya penuh dengan Raditya. Ia mengambil pena dan mulai menggambar wajah pria itu—mata tajamnya, rahang tegasnya, dan senyum tipisnya yang kini terlihat berbeda. Gambar itu ternyata lebih detail dari yang ia inginkan, dan ia membuang kertas itu dengan kesal. Kenapa aku mikirin dia? Ini cuma paksaan, pikirnya.
Di sisi lain, Raditya duduk di balkon apartemennya, memandang langit malam yang mulai cerah. Ia mengingat air mata Selene dan suara bergetarnya, merasa ada koneksi yang tak terduga. Ia selalu terbiasa menang, tapi kali ini, ia tidak yakin apakah ia ingin menang atau justru kalah dalam perjuangan emosional ini. Untuk pertama kalinya, ia merasa tertantang bukan oleh bisnis, tapi oleh hati.
Hari-hari berikutnya, pertemuan mereka berlanjut, dipenuhi dengan debat dan ketegangan, tapi juga momen-momen kecil yang membuat mereka saling memahami. Selene mulai melihat sisi Raditya yang peduli pada adiknya, sementara Raditya terpikat oleh keteguhan Selene dalam mengejar mimpinya. Di balik paksaan perjodohan, benih rasa ingin tahu mulai tumbuh, mengarah pada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang keduanya belum siap akui di tengah hujan yang terus mengiringi langkah mereka.
Titik Balik di Tengah Badai
Pagi di Yogyakarta pada Jumat, 27 Juni 2025, terasa lebih lembap dengan udara yang masih membawa sisa hujan semalam. Jam menunjukkan 10:28 WIB ketika Selene Kirana duduk di meja kerjanya, menatap tumpukan naskah yang belum selesai di depannya. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela kaca patri, menerangi ruangan yang dipenuhi buku dan catatan berantakan. Rambut hitam legamnya diikat sembarangan dengan jepit, dan matanya yang biasanya tajam kini terlihat redup karena kurang tidur. Pertemuan kemarin dengan Raditya Ardianto di Taman Sari terus berputar di pikirannya, meninggalkan jejak emosi yang ia sulit pahami.
Selene menghela napas panjang, mencoba mengusir wajah Raditya dari benaknya. Air matanya yang tiba-tiba muncul saat menyebut ayahnya, dan respons lembut Raditya yang tak terduga, membuatnya gelisah. Ia ingin tetap membenci pria itu—musuh bebuyutannya sejak kuliah—tapi ada sisi dari Raditya yang mulai terlihat, sisi yang rentan dan manusiawi. Ia mengambil sketsa yang ia buang semalam, gambar wajah Raditya yang kini terlihat lebih hidup dengan ekspresi empati, dan menatapnya lama. Apa ini cuma ilusi? tanyanya pada dirinya sendiri, sebelum meletakkan kertas itu dengan kasar dan kembali fokus pada naskahnya.
Di sisi lain kota, di kantor modernnya di Babarsari, Raditya duduk di balik meja direktur, menatap hujan yang kembali turun di luar jendela kaca besar. Jam di dinding menunjukkan 11:15 WIB, dan laporan keuangan di layarnya terabaikan. Pikirannya penuh dengan Selene—tatapan sedihnya di Taman Sari, suara bergetarnya saat berbicara tentang ayahnya. Raditya selalu terbiasa mengendalikan situasi, tapi dengan Selene, ia merasa kehilangan kendali. Ia mengingat janji “aturan” mereka—pura-pura setuju sambil tetap jadi diri sendiri—dan bertanya-tanya apakah itu cukup untuk menjaga jarak emosionalnya.
Malam itu, Raditya mengajak Selene ke sebuah galeri seni kecil di kawasan Prawirotaman, sebuah tempat yang ia tahu akan menarik perhatian Selene sebagai penulis yang peka terhadap estetika. “Kamu suka seni, kan? Aku pikir ini bisa jadi jeda dari semua drama,” tulisnya dalam pesan singkat, dengan nada yang sedikit merendah. Selene ragu, tapi rasa ingin tahunya mengalah. Ia membalas, “Aku datang, tapi jangan harap aku lupa kamu musuhku.”
Galeri itu dipenuhi lukisan dan patung lokal, diterangi lampu kuning lembut yang menciptakan suasana hangat. Selene tiba dengan cardigan hijau tua dan celana kulot, rambutnya dibiarkan tergerai, memberikan kesan santai namun penuh karakter. Raditya menunggu di pintu masuk, mengenakan kemeja putih dan blazer abu-abu, tampak lebih rileks dari biasanya. “Kamu datang,” katanya, suaranya penuh kelegaan kecil.
“Jangan senyum lebar, aku cuma penasaran,” balas Selene, tapi ada kelembutan di matanya yang sulit disembunyikan.
Mereka berjalan bersama, Selene menjelaskan makna di balik setiap karya dengan semangat yang tak bisa ia tahan. Raditya mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk atau mengajukan pertanyaan yang menunjukkan ia benar-benar tertarik. Di depan sebuah lukisan air mata yang mengalir dari wajah perempuan, Selene berhenti, matanya berkaca-kaca. “Ini kayak aku setelah Ayah pergi,” katanya pelan, hampir pada dirinya sendiri. “Aku coba kuat, tapi kadang aku lelet.”
Raditya menatapnya, merasakan getaran emosi di suara Selene. “Aku juga,” katanya, nadanya lebih lembut. “Adikku sakit, dan aku selalu berusaha jadi penutup buat keluarga. Tapi aku nggak bisa bohong, aku lelah.”
Momen itu terasa seperti titik balik. Selene menoleh, matanya bertemu dengan mata Raditya, dan ada kejujuran di sana yang membuat dadanya bergetar. Tapi sebelum mereka bisa melanjutkan, sebuah suara mengganggu—seorang wanita bernama Lestari, rekan bisnis Raditya, mendekat dengan senyum ramah. “Radit! Kamu di sini? Dan ini siapa?” tanyanya, matanya menilai Selene dengan rasa ingin tahu.
Selene langsung merasa tak nyaman, tapi Raditya cepat menjawab, “Ini Selene, temen lama. Kita ngobrol soal seni.” Nada suaranya tegas, menutup ruang untuk Lestari menggali lebih dalam. Lestari tersenyum tipis sebelum pergi, tapi kehadirannya meninggalkan ketegangan.
Setelah Lestari pergi, Selene menjadi pendiam, matanya tertuju pada lantai. Raditya menyadarinya dan menghentikan langkahnya. “Selene, apa masalahnya?” tanyanya, suaranya penuh perhatian.
“Aku cuma… aku nggak suka orang ngeliat aku kayak bagian dari hidupmu yang bisa diganggu,” jawab Selene, suaranya pelan tapi penuh emosi. “Dan tadi, aku nggak suka cara dia liat kamu.”
Raditya terdiam, terkejut dengan kejujuran Selene. Ia melangkah lebih dekat, tangannya ragu-ragu sebelum menyentuh lengan Selene dengan lembut. “Selene, aku nggak pernah lihat kamu kayak barang. Lestari cuma rekan bisnis, nggak lebih. Tapi kamu… kamu bikin aku mikir ulang tentang banyak hal. Aku takut, tapi aku mau coba.”
Selene menatapnya, matanya penuh keraguan tapi juga harap. “Aku juga takut, Radit. Aku takut kalau aku terlalu deket, aku bakal luka lagi. Tapi… aku mau coba juga. Pelan-pelan.”
Malam itu, mereka berpisah dengan janji untuk bertemu lagi, tapi ada perubahan dalam cara mereka saling memandang. Selene pulang dengan hati yang bergetar, duduk di sofa sambil memeluk bantal favoritnya. Ia mengambil sketsa Raditya dan mulai melukis lagi, menambahkan detail—mata penuh empati, senyum kecil yang ia lihat di galeri. Ia tahu, bentengnya mulai retak, dan itu membuatnya takut sekaligus penasaran.
Raditya, di balkon apartemennya, menatap langit malam yang mulai cerah. Ia mengingat kata-kata Selene tentang kekuatannya di tengah luka, dan merasa ada kesamaan di antara mereka. Untuk pertama kalinya, ia merasa perjodohan ini bukan lagi paksaan, tapi peluang untuk menemukan sesuatu yang lebih berharga.
Di luar, hujan reda, meninggalkan harapan kecil bahwa di balik badai emosi mereka, cinta mungkin sedang menanti untuk bersemi.
Cinta yang Menghapus Bayang Masa Lalu
Pagi di Yogyakarta pada Rabu, 25 Juni 2025, menyapa dengan sinar matahari yang lembut menyelinap melalui celah jendela kaca patri rumah Joglo Selene Kirana. Jam menunjukkan 10:29 WIB, dan udara pagi membawa aroma bunga kamboja dari halaman belakang. Selene berdiri di depan cermin, rambut hitam legamnya yang tergerai rapi mencerminkan usaha untuk menyamarkan kegelisahannya. Setelah pertemuan di galeri seni semalam, hatinya bergetar dengan cara yang asing. Retakan di benteng emosionalnya semakin lebar, dan Raditya Ardianto—musuh yang kini menjadi misteri—adalah penyebabnya.
Selene mengenang momen di galeri, saat Raditya menyentuh lengannya dengan lembut dan mengatakan ia ingin mencoba, pelan-pelan. Kata-kata itu terngiang di pikirannya, mengguncang keyakinannya bahwa perjodohan ini hanyalah paksaan. Ia mengambil sketsa Raditya yang ia kerjakan semalam—gambar yang kini menunjukkan mata penuh empati dan senyum kecil yang tulus—dan menatapnya lama. Apa ini benar-benar bisa jadi cinta? tanyanya pada dirinya sendiri, sebelum menghela napas dan memutuskan untuk menghadapi hari ini dengan hati yang sedikit lebih terbuka.
Di sisi lain kota, di kantor modernnya di Babarsari, Raditya duduk di balkon pribadinya, memandang kota yang mulai ramai di bawah sinar matahari. Kemeja putihnya sedikit kusut, dan tangannya memegang secangkir kopi pahit yang baru diseduh. Pikirannya penuh dengan Selene—tatapan harap di matanya, kejujuran dalam suaranya saat berbicara tentang ayahnya. Raditya selalu terbiasa mengendalikan segalanya, tapi dengan Selene, ia merasa kalah dalam menjaga jarak hatinya. Ia memutuskan untuk mengambil langkah berani hari ini, sebuah langkah yang bisa mengubah nasib mereka berdua.
Malam itu, Raditya mengajak Selene ke sebuah taman terbuka di dekat Candi Prambanan, tempat yang sunyi dengan pemandangan candi yang megah di kejauhan, diterangi lampu-lampu kuning lembut. Selene tiba dengan dress biru tua dan cardigan ringan, rambutnya dibiarkan tergerai, memberikan kesan elegan namun sederhana. Raditya menunggu di bawah pohon besar, mengenakan kemeja biru muda dan celana chino, tampak lebih rileks dari biasanya. Saat Selene mendekat, ia tersenyum—senyum yang tulus, bukan arogan seperti dulu.
“Kamu datang,” kata Raditya, suaranya hangat. “Aku kira kamu bakal ragu lagi.”
Selene mengangkat bahu, tapi ada kelembutan di matanya. “Aku penasaran apa yang mau kamu tunjukin. Jangan harap aku gampang luluh.”
Mereka berjalan bersama, melewati jalan setapak yang dikelilingi rumput hijau dan bunga liar. Percakapan mereka awalnya penuh sindiran ringan, tapi perlahan beralih ke cerita yang lebih dalam. Selene berbagi tentang mimpinya menjadi penulis besar, bagaimana ayahnya selalu menjadi inspirasinya, dan bagaimana kehilangan itu membuatnya membangun dinding di hatinya. Raditya, dengan suara yang sedikit bergetar, menceritakan tentang adiknya yang kini dirawat intensif, dan bagaimana ia merasa bersalah karena terlalu sibuk bekerja untuk berada di sisinya.
Di tengah taman, di bawah pohon besar yang daunnya bergoyang lembut ditiup angin malam, Raditya berhenti. Ia menatap Selene dengan intensitas yang membuat gadis itu menahan napas. “Selene,” katanya, suaranya serak karena emosi, “aku tahu kita dipaksa ke sini. Aku tahu kita pernah benci satu sama lain. Tapi aku nggak bisa bohong, kamu udah jadi bagian dari hidupku yang aku takut kehilangan. Aku mau kita coba, bukan karena paksaan, tapi karena aku peduli.”
Selene terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia ingin menyangkal, ingin melindungi dirinya dari rasa sakit masa lalu, tapi kata-kata Raditya menyentuh luka yang selama ini ia sembunyikan. “Aku juga takut, Radit,” akunya, suaranya pelan. “Aku takut kalau aku terlalu deket, aku bakal luka lagi. Tapi… aku nggak bisa bohong, aku juga peduli. Aku mau coba.”
Sebelum mereka bisa melanjutkan, angin malam membawa suara jangkrik yang lembut, menciptakan suasana yang hampir magis. Raditya menarik Selene ke dalam pelukannya, dan untuk pertama kalinya, Selene membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan itu. Mereka berciuman, ciuman yang penuh dengan keberanian, harap, dan pengakuan cinta yang selama ini mereka hindari di balik kebencian.
Malam itu berakhir dengan mereka duduk di rumput, tangan saling menggenggam, memandang candi Prambanan yang berdiri gagah di kejauhan. Raditya melepaskan genggamannya sejenak, mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya—naskah pertama Selene yang ia simpan sejak kuliah. “Aku selalu punya ini,” katanya, matanya penuh kelembutan. “Aku nggak pernah bilang, tapi aku kagum sama karyamu, meski aku suka ejek kamu.”
Selene tersenyum, air mata bahagia mengalir di pipinya. “Kamu nyebelin, tapi… terima kasih.” Mereka tertawa bersama, dan untuk pertama kalinya, tawa itu terasa tulus, bukan sindiran.
Hari-hari berikutnya, hubungan mereka berkembang dengan cepat. Selene tetap mengejar mimpinya sebagai penulis, sering menulis tentang Raditya dalam cerita-ceritanya dengan senyum rahasia, sementara Raditya belajar menyeimbangkan pekerjaannya dengan waktu bersama Selene, bahkan mengajaknya mengunjungi adiknya di rumah sakit, di mana mereka berbagi momen haru. Keluarga mereka, awalnya kaku dengan paksaan tradisi, akhirnya merestui hubungan ini, melihat cinta yang tulus di antara keduanya.
Pada sebuah senja di taman yang sama, tiga bulan kemudian, Raditya berlutut di depan Selene, sebuah cincin sederhana dengan batu safir di tangannya. “Selene, kamu mau jadi bagian dari hidupku, bukan karena paksaan, tapi karena aku cinta kamu?” tanyanya, suaranya penuh harap.
Selene tertawa, air mata bahagia mengalir di pipinya. “Iya, Radit. Aku cinta kamu juga.”
Di bawah pohon besar dengan latar candi Prambanan yang megah, mereka berjanji untuk menjalani hidup bersama—bukan sebagai musuh yang dipaksa, tapi sebagai dua hati yang telah menemukan cinta sejati di ujung perjalanan panjang yang penuh luka dan harapan.
Perjodohan Paksa: Dari Benci Menuju Cinta membuktikan bahwa cinta bisa lahir dari situasi paling sulit sekalipun, mengubah kebencian menjadi ikatan abadi. Kisah Selene dan Raditya mengajarkan kita tentang keberanian untuk membuka hati, menyembuhkan luka, dan mempercayai cinta di tengah paksaan. Jangan lewatkan novel ini jika Anda ingin merasakan emosi yang kuat dan inspirasi untuk mencintai dengan tulus! Segera baca dan biarkan cerita ini menyentuh jiwa Anda.
Terima kasih telah menikmati ulasan tentang Perjodohan Paksa: Dari Benci Menuju Cinta! Semoga cerita ini membawa inspirasi baru dalam hidup Anda. Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar dan ikuti kami untuk ulasan menarik lainnya. Sampai jumpa di petualangan cerita berikutnya, pembaca setia!


