Cinta di Ujung Jodoh: Kisah Romansa Perjodohan yang Menyentuh Hati

Posted on

Apakah Anda percaya bahwa cinta bisa tumbuh dari sebuah perjodohan? Dalam novel romansa Cinta di Ujung Jodoh, kisah Azura dan Ravindra menghadirkan perjalanan emosional yang penuh dengan keraguan, luka masa lalu, dan keberanian untuk membuka hati. Cerita ini bukan sekadar tentang tradisi, tetapi tentang bagaimana dua jiwa yang awalnya asing mampu menemukan cinta sejati di tengah tekanan keluarga dan ketakutan pribadi. Dengan alur yang mendetail, karakter yang kuat, dan nuansa emosi yang mendalam, novel ini wajib dibaca bagi Anda yang menyukai cerita cinta yang realistis namun mengharukan. Mari kita telusuri mengapa Cinta di Ujung Jodoh menjadi salah satu kisah romansa terbaik yang akan membuat Anda terbawa suasana!

Cinta di Ujung Jodoh

Pertemuan yang Tak Diinginkan

Langit Jakarta sore itu berwarna jingga, seolah menyembunyikan rahasia di balik awan-awan tipis yang bergerak lamban. Di sebuah kafe bergaya industrial di kawasan Senopati, Azura Vionita duduk di sudut ruangan, menatap ponselnya dengan wajah penuh ketidakrelaan. Gelas latte di depannya sudah dingin, uapnya lenyap sejak tiga puluh menit lalu. Ia menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk meja kayu dengan ritme tak beraturan, mencerminkan kegelisahan yang menggerogoti hatinya.

“Jodoh? Serius, Mama?” gumamnya pelan, mengingat percakapan pagi tadi dengan ibunya, Nyonya Lestari. Wanita berusia lima puluh tahun itu dengan penuh semangat menceritakan tentang “calon suami ideal” yang telah dipilihkan untuk Azura. Seorang pria dari keluarga terpandang, sukses, dan—menurut ibunya—sangat cocok untuk putri tunggalnya yang berusia 27 tahun ini. Azura hanya bisa mengangguk setengah hati, meski di dalam dadanya ada badai protes yang ingin meledak.

Azura bukan tipe wanita yang mudah menyerah pada tradisi. Sebagai seorang desainer interior yang mulai dikenal di kalangan elit Jakarta, ia terbiasa mengambil kendali atas hidupnya. Rambutnya yang dipotong sebahu dengan warna cokelat karamel, matanya yang tajam namun hangat, dan senyumnya yang bisa membuat klien jatuh hati pada desainnya, semua mencerminkan kepribadiannya yang mandiri dan penuh percaya diri. Tapi, di depan ibunya, Azura sering kali merasa seperti gadis kecil yang tak punya hak suara. Tradisi keluarga mereka—keturunan Jawa ningrat—mengharuskan anak menuruti kehendak orang tua, terutama soal perjodohan.

Pintu kafe berderit pelan, mengalihkan perhatian Azura. Seorang pria tinggi dengan setelan jas abu-abu tua melangkah masuk. Sorot matanya tenang, namun ada aura otoritas yang terpancar dari caranya berjalan. Azura langsung tahu, ini dia orang yang dimaksud ibunya. Namanya, menurut Nyonya Lestari, adalah Ravindra Kalyana. Usia 32 tahun, direktur sebuah perusahaan teknologi yang sedang naik daun, dan putra tunggal dari keluarga Kalyana yang memiliki bisnis tambang di Kalimantan.

Ravindra berhenti sejenak di dekat pintu, matanya menyapu ruangan sebelum akhirnya berhenti pada Azura. Ia melangkah mendekat, langkahnya mantap namun tidak terburu-buru. Azura merasa jantungan, bukan karena kagum, melainkan karena ia tahu pertemuan ini akan mengubah segalanya—entah ke arah yang baik atau buruk.

“Azura Vionita?” suara Ravindra dalam, dengan sedikit aksen yang sulit didefinisikan, mungkin campuran Jakarta dan sedikit logat daerah yang tak begitu kentara. Azura mengangguk, menahan diri untuk tidak memutar bola mata. “Ravindra Kalyana,” lanjut pria itu sambil mengulurkan tangan.

Azura menjabat tangannya sekilas, dingin dan formal. “Silakan duduk,” katanya, nada suaranya datar. Ravindra menarik kursi di depan Azura dan duduk, posturnya tegak namun rileks. Pelayan segera mendekat, dan Ravindra memesan espresso tanpa gula, membuat Azura sedikit mengernyit. Espresso tanpa gula? Orang ini pasti tipe yang kaku, pikirnya.

“Jadi,” Ravindra memulai, memecah keheningan yang mulai terasa canggung. “Saya kira kita berdua tahu kenapa kita ada di sini.”

Azura menatapnya, alisnya sedikit terangkat. “Oh, tentu saja. Perintah keluarga, bukan? Tradisi kuno yang entah kenapa masih dipegang teguh di abad ini.”

Ravindra tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. “Kamu langsung ke intinya. Saya suka itu.”

“Jangan salah paham,” Azura memotong cepat. “Saya di sini karena terpaksa. Saya tidak punya niat untuk menikah dengan orang yang bahkan tidak saya kenal.”

Ravindra mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Azura dengan intensitas yang membuat gadis itu sedikit gelagapan. “Sama, Azura. Saya juga tidak suka ide ini. Tapi keluarga saya… mereka punya ekspektasi. Dan saya yakin kamu tahu bagaimana rasanya berada di posisi itu.”

Azura terdiam. Untuk sesaat, ia melihat sesuatu di mata Ravindra—sebuah kilasan kelelahan, mungkin bahkan kesedihan. Tapi ia cepat-cepat mengusir pikiran itu. Jangan kasihan sama dia. Ini cuma pertemuan satu kali, dan aku akan bilang ke Mama kalau ini tidak akan berhasil.

Pelayan kembali dengan espresso Ravindra, dan pria itu mengambil cangkir kecil itu dengan gerakan elegan. “Ceritakan tentang dirimu,” katanya, suaranya lebih lembut sekarang. “Biar pertemuan ini tidak sia-sia.”

Azura menghela napas, merasa seperti sedang diwawancara kerja. “Saya desainer interior. Saya suka menciptakan ruang yang punya cerita. Saya benci aturan kaku, dan saya lebih suka hidup bebas tanpa tekanan dari siapa pun, termasuk keluarga.” Ia sengaja menekankan kata terakhir, berharap Ravindra menangkap sindirannya.

Ravindra mengangguk pelan, seolah mencerna setiap kata. “Menarik. Saya kebalikannya, mungkin. Saya hidup dengan aturan. Dunia bisnis tidak memberi banyak ruang untuk kebebasan. Tapi saya suka tantangan, dan saya selalu mencari cara untuk membuat sesuatu yang rumit jadi… lebih sederhana.”

Azura mendengarkan, sedikit terkejut dengan kejujuran di balik kata-kata Ravindra. Ia mengharapkan pria ini sombong atau membosankan, tapi ada kedalaman dalam caranya berbicara yang membuatnya penasaran—meski ia enggan mengakuinya.

Percakapan mereka berlanjut, lebih lancar dari yang Azura duga. Ravindra menceritakan sedikit tentang masa kecilnya di Banjarmasin, bagaimana ia sering kabur ke sungai untuk menangkap ikan meski ibunya melarang. Azura, tanpa sadar, ikut tertawa kecil saat Ravindra menggambarkan dirinya kecil yang jatuh ke air karena terlalu bersemangat mengejar ikan. Di sisi lain, Azura berbagi tentang proyek desain pertamanya—sebuah kafe kecil di Bandung yang hampir gagal karena ia terlalu idealis.

Namun, di balik tawa dan cerita ringan, ada ketegangan yang tak terucapkan. Keduanya tahu, ini bukan sekadar obrolan biasa. Ada beban besar di pundak mereka: ekspektasi keluarga, tradisi, dan masa depan yang belum pasti.

Saat matahari mulai tenggelam, Ravindra menatap jam tangannya. “Saya harus pergi. Ada rapat malam ini.” Ia berdiri, lalu menatap Azura dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Terima kasih untuk hari ini. Kamu… berbeda dari yang saya bayangkan.”

Azura tidak tahu apakah itu pujian atau sekadar basa-basi. Ia hanya mengangguk, merasa campur aduk. “Sama-sama,” katanya pelan.

Ravindra meninggalkan kafe, dan Azura tetap duduk, menatap gelas latte dinginnya. Ia ingin membenci pertemuan ini, ingin membenci Ravindra, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang berbisik: Ini belum selesai.

Malam itu, di apartemennya yang penuh dengan sketsa desain dan aroma lilin aromaterapi, Azura tidak bisa tidur. Gambar wajah Ravindra terus muncul di pikirannya—senyum tipisnya, matanya yang menyimpan rahasia, dan suaranya yang tenang namun penuh kekuatan. Ia menggelengkan kepala, kesal pada dirinya sendiri. Azura, jangan bodoh. Ini cuma perjodohan. Tidak akan ada cinta di sini.

Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu, sesuatu telah berubah. Pertemuan sore itu bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang akan mengguncang hidupnya—dan hatinya.

Bayang-Bayang Masa Lalu

Hujan gerimis membasahi jalanan Jakarta pagi itu, menciptakan genangan kecil yang memantulkan lampu-lampu kota yang belum sepenuhnya padam. Azura Vionita berdiri di depan cermin besar di apartemennya, memandang pantulan dirinya yang mengenakan blazer hijau zaitun dan rok pensil hitam. Rambutnya diikat rapi, tapi ada helaian kecil yang sengaja dibiarkan jatuh di sisi wajahnya, memberikan kesan santai namun profesional. Hari ini adalah presentasi besar untuk klien penting—seorang pengusaha properti yang ingin merenovasi lobi hotel bintang lima di kawasan SCBD. Namun, pikiran Azura tidak sepenuhnya berada di sana. Gambar Ravindra Kalyana, pria dari pertemuan di kafe tiga hari lalu, masih menghantui benaknya.

Setiap kali ia mencoba fokus pada sketsa desain atau mood board yang telah disiapkannya selama berminggu-minggu, wajah Ravindra muncul tanpa diundang—matanya yang dalam, senyumnya yang hemat namun penuh makna, dan nada suaranya yang seperti menyimpan rahasia. Azura menggelengkan kepala, kesal pada dirinya sendiri. “Fokus, Zura,” gumamnya, mencoba mengusir bayangan itu. Ia meraih tas laptopnya dan bergegas keluar, berharap kesibukan hari ini bisa mengalihkan perhatiannya dari pria yang seharusnya hanya menjadi bagian dari “kewajiban keluarga.”

Di sisi lain kota, di sebuah kantor modern dengan dinding kaca yang menghadap ke cakrawala Jakarta, Ravindra Kalyana duduk di ruang rapat. Layar proyektor di depannya menampilkan grafik pertumbuhan perusahaan teknologinya, tetapi pikirannya melayang. Ia mengingat Azura—gadis yang jelas-jelas tidak ingin berada di kafe itu, tapi tetap membuatnya penasaran. Ada sesuatu dalam caranya berbicara, penuh semangat namun dengan sedikit kerapuhan yang tersembunyi. Ravindra bukan tipe pria yang mudah terpikat, tapi ada getaran aneh di dadanya saat ia mengingat tawa kecil Azura saat menceritakan kegagalannya di proyek pertama.

“Pak Ravindra, bagaimana pendapat Anda tentang strategi ekspansi ke Singapura?” suara direktur keuangannya, Bima, memecah lamunan Ravindra. Ia tersentak, menyadari semua mata di ruangan tertuju padanya.

“Maaf, bisa diulang?” Ravindra berusaha menutupi keterkejutannya dengan nada tenang. Bima mengulang pertanyaannya, dan Ravindra menjawab dengan analisis yang tajam, seperti biasa. Tapi di dalam hatinya, ia kesal. Kenapa aku memikirkan dia? Ini tidak masuk akal.

Ravindra bukan orang asing dengan perjodohan. Di usianya yang sudah 32 tahun, ia telah bertemu beberapa wanita yang dijodohkan oleh keluarganya. Tapi tidak ada yang seperti Azura. Wanita lain biasanya terlalu patuh, terlalu berusaha menyenangkan, atau terlalu jelas mengejar status sosialnya. Azura berbeda. Ia tidak berusaha membuatnya terkesan, bahkan sebaliknya—ia terang-terangan menolak ide perjodohan. Dan entah kenapa, justru itu yang membuat Ravindra ingin tahu lebih banyak.

Sore itu, setelah presentasi yang sukses—klien Azura menyetujui desainnya dengan pujian berlimpah—ia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kecil dekat kantornya. Ia membutuhkan udara segar untuk menjernihkan pikiran. Taman itu tidak besar, tapi penuh dengan pohon jacaranda yang sedang mekar, kelopak ungu muda bertebaran di rumput. Azura duduk di bangku kayu, memandang kelopak-kelopak itu dengan tatapan kosong. Di tangannya, ia memegang sebuah liontin kecil berbentuk bunga matahari, peninggalan dari almarhum ayahnya. Liontin itu selalu menjadi pengingat baginya untuk tetap kuat, untuk tetap menjadi dirinya sendiri, meski tekanan dunia kadang terasa berat.

Tiba-tiba, sebuah suara yang kini sudah dikenalnya mengusik lamunannya. “Azura?”

Ia menoleh, dan jantungnya seolah berhenti sesaat. Ravindra berdiri di sana, mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung hingga siku, rambutnya sedikit acak-acakan karena angin. Ia tampak sama terkejutnya melihat Azura.

“Kamu… ngapain di sini?” tanya Azura, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasa karena kaget.

Ravindra tersenyum kecil, kali ini lebih tulus dari pertemuan sebelumnya. “Kantorku tidak jauh dari sini. Kadang aku mampir ke taman ini kalau perlu berpikir. Kamu?”

“Sama,” jawab Azura singkat, meski hatinya berdebar. Ia tidak tahu kenapa kehadiran Ravindra membuatnya gelisah. Mungkin karena ia tidak ingin mengakui bahwa pria ini, entah bagaimana, mulai mengusik ketenangannya.

Ravindra menunjuk bangku di samping Azura. “Boleh duduk?”

Azura mengangguk, meski ragu-ragu. Ravindra duduk, meninggalkan jarak sopan di antara mereka. Untuk beberapa saat, mereka hanya diam, mendengarkan suara angin dan deru kendaraan yang teredam di kejauhan. Azura merasa aneh—ia biasanya tidak nyaman dengan keheningan, tapi bersama Ravindra, keheningan ini terasa… nyaman.

“Kamu tahu,” Ravindra akhirnya berbicara, “aku tidak pernah benar-benar percaya pada perjodohan. Tapi setelah bertemu kamu, aku mulai berpikir, mungkin ada alasan kenapa keluargaku bersikeras.”

Azura menoleh, alisnya terangkat. “Jangan bilang kamu mulai romantis. Kita baru bertemu sekali, Ravindra.”

“Ravi,” koreksinya. “Panggil aku Ravi. Dan bukan romantis, cuma… penasaran. Kamu bukan tipe orang yang mudah dilupain.”

Azura merasa wajahnya memanas, tapi ia berusaha menutupinya dengan tawa kecil. “Kamu gombal, ya? Aku kira kamu tipe serius yang cuma bicara soal bisnis.”

Ravi tertawa, suaranya dalam dan hangat. “Aku bisa serius, tapi aku juga manusia, Azura. Dan kamu… kamu bikin aku ingin tahu lebih banyak.”

Percakapan mereka mengalir, lebih ringan kali ini. Azura menceritakan tentang ayahnya, yang dulu selalu mendukung mimpinya menjadi desainer meski ibunya skeptis. Ravi mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk atau mengajukan pertanyaan. Tanpa disadari, Azura mulai membuka diri, menceritakan hal-hal yang biasanya ia simpan rapat-rapat, seperti rasa kehilangannya akan sang ayah dan tekanan untuk memenuhi harapan ibunya.

Ravi, di sisi lain, berbagi cerita tentang masa lalunya yang tidak selalu mulus. Ia menceritakan tentang kakak perempuannya, Lintang, yang meninggal karena leukemia saat Ravi masih remaja. Kehilangan itu mengubahnya, membuatnya lebih tertutup dan fokus pada pekerjaan untuk mengalihkan rasa sakit. Azura mendengar cerita itu dengan hati yang terenyuh. Untuk pertama kalinya, ia melihat Ravi bukan sebagai “calon suami” yang dipaksakan, tapi sebagai manusia dengan luka dan cerita.

Hujan mulai reda, meninggalkan aroma tanah basah yang segar. Ravi menatap Azura, matanya penuh kelembutan yang tak ia sembunyikan. “Aku tahu kamu tidak suka ide perjodohan ini. Aku juga tidak. Tapi… kalau kita coba, mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang nyata.”

Azura menunduk, memainkan liontin di tangannya. Hatinya berkecamuk. Bagian dirinya yang rasional ingin menolak, ingin berlari dari semua ini. Tapi ada bagian lain, bagian yang lebih kecil namun semakin kuat, yang ingin percaya pada Ravi—pada kemungkinan bahwa mungkin, hanya mungkin, ini bukan sekadar perjodohan.

“Aku butuh waktu,” katanya akhirnya, suaranya pelan namun tegas. “Aku tidak mau terburu-buru.”

Ravi mengangguk, tidak memaksa. “Aku akan tunggu. Tapi aku harap kamu tahu, aku serius.”

Mereka berpisah di ujung taman, dengan janji untuk bertemu lagi—bukan karena perintah keluarga, tapi karena ada sesuatu di antara mereka yang mulai tumbuh, meski masih rapuh. Azura berjalan pulang dengan hati yang penuh pertanyaan, tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa takut pada jawabannya.

Langkah Ragu di Antara Hati

Malam Jakarta berkilau dengan lampu-lampu gedung pencakar langit, namun di sudut sebuah restoran rooftop di kawasan Thamrin, suasana terasa lebih lembut, diterangi oleh lilin-lilin kecil yang berkedip di setiap meja. Azura Vionita duduk di dekat tepi, memandang cakrawala dengan tatapan yang bercampur antara kagum dan gelisah. Gaun sederhana berwarna biru safir yang dikenakannya menonjolkan keanggunan alaminya, namun jari-jarinya yang memainkan ujung serbet kain di pangkuannya mengkhianati kegelisahan hatinya. Ini adalah pertemuan ketiga dengan Ravindra Kalyana—atau Ravi, seperti yang kini ia panggil—dan untuk pertama kalinya, Azura merasa bahwa ini bukan lagi sekadar kewajiban.

Seminggu telah berlalu sejak pertemuan tak sengaja di taman jacaranda. Sejak itu, Ravi dan Azura mulai berkomunikasi lebih sering, meski masih ragu-ragu. Pesan singkat tentang hari mereka, foto pemandangan matahari terbenam yang Ravi kirim dari balkon apartemennya, atau tautan artikel tentang desain interior yang Azura balas dengan komentar sarkastik namun lucu—semuanya terasa seperti langkah kecil menuju sesuatu yang belum mereka berani definisikan. Malam ini, Ravi mengajaknya makan malam, bukan atas nama perjodohan, tapi karena ia ingin “mengenal Azura yang sebenarnya,” katanya di telepon kemarin. Dan Azura, meski enggan mengakui, merasa hatinya sedikit berdebar mendengar nada tulus dalam suara Ravi itu.

Pintu lift ke rooftop terbuka, dan Ravi melangkah keluar. Ia mengenakan kemeja linen abu-abu gelap dengan dua kancing atas terbuka, memberikan kesan santai namun tetap elegan. Matanya langsung menemukan Azura, dan senyumnya muncul, kali ini lebih lepas, seperti seseorang yang mulai merasa nyaman. Azura menahan napas tanpa sadar, merasa ada sesuatu yang berubah dalam cara Ravi memandangnya—lebih hangat, lebih dalam.

“Kamu datang,” kata Azura, suaranya ringan tapi dengan sedikit nada kaget, seolah ia masih tak percaya mereka benar-benar melakukan ini.

Ravi menarik kursi di depan Azura dan duduk, matanya tak lepas dari wajah gadis itu. “Aku bilang aku serius, Zuri,” katanya, menggunakan panggilan yang muncul begitu saja di taman hari itu. “Dan kamu terlihat… menawan malam ini.”

Azura merasa wajahnya memanas, tapi ia cepat-cepat mengalihkan pandangan ke menu di tangannya. “Jangan mulai dengan gombalmu, Ravi,” gumamnya, meski sudut bibirnya sedikit terangkat. Ravi tertawa pelan, suaranya seperti musik yang membuat suasana di antara mereka lebih cair.

Makan malam berlangsung dengan percakapan yang mengalir alami. Mereka berbicara tentang hal-hal kecil—film favorit, makanan yang mereka benci, hingga kenangan masa kecil yang lucu. Azura menceritakan bagaimana ia pernah mencoba memanjat pohon mangga di halaman rumah neneknya dan akhirnya jatuh, meninggalkan bekas luka kecil di lututnya yang masih samar terlihat. Ravi mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menggoda Azura tentang “petualangan berbahayanya” itu. Di sisi lain, Ravi berbagi cerita tentang bagaimana ia dulu bercita-cita menjadi pilot, tapi akhirnya terjebak di dunia bisnis karena tanggung jawab keluarga.

Namun, di balik tawa dan cerita ringan, ada ketegangan yang tak terucapkan. Azura masih merasa ada tembok di hatinya, sebuah benteng yang dibangun dari ketakutan akan kehilangan kebebasannya. Ia tahu Ravi berbeda—pria ini tidak memaksakan kehendaknya, tidak mencoba mengontrolnya seperti yang ia khawatirkan dari sebuah perjodohan. Tapi trauma masa lalu Azura, dari hubungan singkat dengan seorang pria yang terlalu posesif, membuatnya sulit untuk sepenuhnya percaya. Ia tak ingin jatuh cinta hanya untuk terluka lagi.

Ravi, di sisi lain, juga punya luka sendiri. Kehilangan kakaknya, Lintang, telah meninggalkan lubang di hatinya yang tak pernah benar-benar terisi. Ia terbiasa menutup diri, fokus pada pekerjaan, dan menghindari hubungan yang terlalu emosional. Tapi bersama Azura, ia merasa tembok itu mulai retak. Ada kehangatan dalam cara Azura berbicara, dalam caranya menantangnya dengan sindiran lucu, yang membuat Ravi ingin melangkah lebih jauh—meski ia tahu ini tidak akan mudah.

Setelah hidangan penutup—tiramisu yang mereka bagi berdua—Ravi mengajak Azura berjalan ke tepi rooftop, di mana pagar kaca memisahkan mereka dari angin malam yang sejuk. Jakarta terbentang di bawah mereka, gemerlap namun penuh rahasia. Azura bersandar di pagar, memandang kota dengan tatapan jauh. Ravi berdiri di sampingnya, tangannya di saku celana, seolah ragu untuk memulai percakapan yang lebih berat.

“Zuri,” katanya akhirnya, suaranya pelan namun penuh makna. “Aku tahu kamu masih ragu. Aku bisa lihat di matamu. Tapi aku ingin kamu tahu… aku tidak main-main dengan ini.”

Azura menoleh, matanya bertemu dengan mata Ravi. Ada kejujuran di sana yang membuat dadanya sesak. “Ravi, aku… aku tidak tahu apakah aku siap,” katanya, suaranya hampir berbisik. “Ini bukan soal kamu. Kamu… kamu orang baik. Tapi aku pernah berada di tempat di mana aku kehilangan diriku sendiri karena seseorang. Aku takut itu terjadi lagi.”

Ravi mengangguk pelan, seolah memahami setiap kata. Ia melangkah lebih dekat, tapi tetap menjaga jarak yang membuat Azura merasa aman. “Aku tidak akan memaksamu jadi orang lain, Zuri. Aku suka kamu apa adanya—sarkasmenya, semangatnya, bahkan keras kepalanya.” Ia tersenyum kecil, mencoba meringankan suasana. “Aku cuma minta satu hal: beri aku kesempatan untuk buktikan itu.”

Azura menunduk, memainkan liontin bunga matahari di lehernya, peninggalan ayahnya yang selalu memberinya kekuatan. Kata-kata Ravi terasa tulus, tapi hatinya masih berkecamuk. Ia ingin percaya, tapi ketakutan itu terlalu nyata. “Aku cuma butuh waktu,” katanya akhirnya, mengulang kata-kata yang sama seperti di taman. “Tapi aku janji… aku akan coba.”

Ravi mengangguk, matanya penuh kelembutan. “Itu sudah cukup untuk sekarang.”

Malam itu berakhir dengan mereka berjalan kembali ke lift, bercanda tentang pelayan yang hampir menumpahkan anggur di meja sebelah. Tapi di balik tawa mereka, ada perjanjian tak terucapkan—sebuah langkah kecil menuju sesuatu yang lebih besar, meski penuh ketidakpastian.

Keesokan harinya, Azura terbangun dengan perasaan yang berbeda. Ia masih ragu, tapi ada sedikit kehangatan di hatinya yang tak bisa ia abaikan. Ia memutuskan untuk mengunjungi makam ayahnya di pinggir kota, sebuah ritual yang selalu ia lakukan saat merasa bimbang. Di depan batu nisan sederhana itu, Azura berbicara pelan, menceritakan tentang Ravi, tentang perjodohan, dan tentang ketakutannya. Angin pagi membelai rambutnya, seolah ayahnya menjawab dalam diam.

Di sisi lain, Ravi menghadiri acara amal yang diadakan oleh perusahaan keluarganya. Di sana, ia bertemu dengan seorang teman lama, Nadia, yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya. Nadia, dengan senyum manis dan nada genit, menggoda Ravi tentang “kehidupan lajangnya yang terlalu lama.” Ravi menjawab dengan sopan, tapi pikirannya melayang ke Azura. Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa ia tidak lagi ingin hidup dalam kesendirian yang ia bangun sendiri. Azura telah mengubah sesuatu di dalam dirinya, dan ia tak ingin mundur.

Sore itu, saat Azura kembali ke apartemennya, ia menemukan sebuah paket kecil di depan pintu. Di dalamnya, ada sebuah buku tentang desain interior karya seorang arsitek terkenal, dengan catatan tulis tangan dari Ravi: “Buat Zuri, yang punya cerita di setiap ruang. Semoga ini menginspirasimu. – Ravi.” Azura tersenyum, hatinya terasa penuh. Ia tahu, langkah ragu yang ia ambil mulai membawanya ke tempat yang tak pernah ia bayangkan—ke arah hati yang mungkin, suatu hari nanti, akan ia panggil rumah.

Cinta yang Tumbuh di Ujung Jalan

Langit Jakarta malam itu berbalut kelabu, awan tebal menyembunyikan bintang-bintang, seolah mencerminkan pergolakan batin Azura Vionita. Ia berdiri di balkon apartemennya, memandang kerlap-kerlip lampu kota yang tak pernah tidur. Angin malam membelai wajahnya, membawa aroma hujan yang belum turun. Di tangannya, ia memegang buku desain interior yang dikirim Ravi beberapa hari lalu, jari-jarinya menelusuri catatan tulis tangan pria itu: “Buat Zuri, yang punya cerita di setiap ruang. Semoga ini menginspirasimu. – Ravi.” Hatinya terasa penuh, namun juga berat—campuran antara harapan dan ketakutan yang kini semakin sulit ia pisahkan.

Dua minggu telah berlalu sejak makan malam di rooftop, dan hubungan Azura dengan Ravindra Kalyana—Ravi—telah berkembang ke arah yang tak pernah ia duga. Pesan-pesan mereka kini lebih panjang, lebih personal. Ravi sering mengiriminya foto-foto kecil dari kehidupannya—seperti secangkir kopi di meja kerjanya atau pemandangan dari jendela pesawat saat ia bepergian untuk urusan bisnis. Azura, meski awalnya ragu, mulai membalas dengan hal-hal kecil dari dunianya: sketsa desain terbaru, foto bunga jacaranda yang ia temukan di pinggir jalan, atau keluhannya tentang klien yang terlalu cerewet. Setiap interaksi terasa seperti benih yang ditanam dengan hati-hati, perlahan tumbuh menjadi sesuatu yang nyata.

Namun, di balik kehangatan itu, Azura masih dihantui keraguan. Trauma masa lalunya—sebuah hubungan yang membuatnya merasa terkekang—membuatnya sulit untuk sepenuhnya membuka hati. Ia takut kehilangan dirinya sendiri, takut cinta akan menjebaknya dalam sangkar yang ia hindari seumur hidup. Dan meski Ravi terlihat tulus, ada bagian dari Azura yang bertanya: Apa ini nyata, atau cuma ilusi dari perjodohan yang dipaksakan?

Malam itu, Ravi mengajak Azura ke sebuah acara seni di sebuah galeri di Kemang. “Kamu suka seni, kan? Aku pikir kamu akan suka tempat ini,” katanya di telepon, suaranya penuh antusiasme yang sulit ditolak. Azura setuju, meski dengan sedikit rasa was-was. Ia tahu setiap pertemuan dengan Ravi membawanya lebih dekat ke tepi jurang emosi yang ia coba hindari.

Galeri itu dipenuhi instalasi seni modern, dengan lampu-lampu lembut yang menerangi karya-karya abstrak dan patung-patung kontemporer. Azura mengenakan dress hitam sederhana dengan aksen renda di bahu, rambutnya dibiarkan tergerai, memberikan kesan elegan namun tetap santai. Ravi, dengan blazer navy dan kemeja putih, tampak seperti seseorang yang bisa dengan mudah menyatu di antara kerumunan elit seni, namun matanya hanya tertuju pada Azura.

Mereka berjalan dari satu karya ke karya lain, Azura menjelaskan makna di balik warna dan bentuk dengan semangat yang membuat Ravi tersenyum. “Kamu beneran punya cerita di setiap ruang, ya,” komentarnya saat Azura menceritakan bagaimana sebuah lukisan abstrak mengingatkannya pada proyek desainnya yang pertama. Azura tertawa, tapi ada kehangatan di dadanya yang tak bisa ia abaikan.

Di sudut galeri, ada sebuah instalasi berbentuk lingkaran kaca berwarna yang memantulkan cahaya dalam pola pelangi. Azura terpaku, matanya mengikuti pantulan cahaya yang seolah menari. “Ini… seperti harapan,” katanya pelan, hampir pada dirinya sendiri. “Cahayanya indah, tapi rapuh. Kalau disentuh, mungkin pecah.”

Ravi berdiri di sampingnya, memandang instalasi itu sebelum menoleh ke Azura. “Tapi kadang, sesuatu yang rapuh justru yang paling berharga,” katanya, suaranya rendah namun penuh makna. “Karena kamu tahu, kalau kamu menjaganya dengan hati, itu bisa bertahan selamanya.”

Azura menoleh, matanya bertemu dengan mata Ravi. Untuk sesaat, dunia di sekitar mereka seolah memudar—hanya ada mereka berdua, di tengah cahaya pelangi yang lembut. Azura merasa jantungnya berdegup kencang, tapi sebelum ia bisa berkata apa pun, sebuah suara memecah momen itu.

“Ravi? Ravindra Kalyana?” Seorang wanita dengan gaun merah menyala mendekat, senyumnya lebar dan penuh percaya diri. Itu Nadia, teman lama Ravi yang Azura dengar sekilas dari ceritanya. Nadia melirik Azura sekilas sebelum kembali menatap Ravi. “Lama nggak ketemu! Kamu masih sama, ya, selalu bikin orang kagum.”

Azura merasa ada sesuatu yang menggelitik di dadanya—bukan cemburu, tapi ketidaknyamanan yang sulit dijelaskan. Nadia berbicara dengan Ravi dengan akrab, mengenang masa lalu mereka dengan tawa yang terlalu genit untuk selera Azura. Ravi menjawab dengan sopan, tapi Azura bisa melihat ada ketegangan di bahunya, seolah ia tidak sepenuhnya nyaman.

Setelah Nadia pergi, suasana di antara mereka berubah. Azura menjadi lebih pendiam, matanya lebih sering tertuju ke lantai daripada ke Ravi. “Kamu oke?” tanya Ravi, suaranya penuh perhatian.

“Baik,” jawab Azura singkat, tapi nada suaranya mengkhianati perasaannya. Ravi menghentikan langkahnya, memandang Azura dengan serius.

“Zuri, kalau ada sesuatu, bilang. Aku nggak suka main tebak-tebakan.”

Azura menghela napas, akhirnya menatap Ravi. “Aku cuma… aku nggak tahu apakah aku bisa melakukan ini, Ravi. Aku takut. Aku takut kalau aku membiarkan diriku jatuh, aku akan kehilangan diriku lagi. Dan tadi, melihat kamu dengan Nadia… entah kenapa aku merasa aku nggak cukup.”

Ravi terdiam, matanya penuh emosi yang sulit dibaca. Ia melangkah lebih dekat, tangannya ragu-ragu sebelum akhirnya menyentuh lengan Azura dengan lembut. “Zuri, dengar aku. Nadia itu masa lalu. Dia nggak berarti apa-apa dibandingkan kamu. Kamu… kamu bikin aku merasa hidup lagi, sesuatu yang nggak pernah aku rasakan sejak kehilangan Lintang. Aku tahu kamu takut, tapi aku juga takut. Tapi aku lebih takut kehilangan kamu daripada menghadapi ketakutan itu.”

Kata-kata Ravi seperti pisau yang memotong benteng di hati Azura. Air mata yang tak ia sadari mulai menggenang di matanya. “Aku nggak tahu caranya percaya lagi, Ravi,” bisiknya, suaranya pecah. “Tapi aku ingin coba. Aku ingin coba untuk kita.”

Ravi tersenyum, kali ini penuh kelegaan. Ia menarik Azura ke dalam pelukannya, pelukan yang hangat dan penuh janji. Azura membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan itu, merasakan detak jantung Ravi yang seirama dengan miliknya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, cinta ini bukan jebakan, melainkan kebebasan.

Malam itu berakhir dengan mereka berjalan keluar dari galeri, tangan mereka saling menggenggam tanpa kata. Hujan mulai turun, gerimis lembut yang membasahi rambut dan bahu mereka, tapi tak ada dari mereka yang peduli. Mereka berhenti di trotoar, di bawah lampu jalan yang menerangi wajah mereka. Ravi menatap Azura, matanya penuh cinta yang tak lagi ia sembunyikan.

“Zuri, aku nggak janji semuanya akan mudah,” katanya, suaranya serak karena emosi. “Tapi aku janji aku akan ada di sampingmu, apa pun yang terjadi. Aku mau kita menulis cerita ini bersama.”

Azura tersenyum, air mata bercampur dengan tetesan hujan di wajahnya. “Aku juga, Ravi. Aku mau coba. Bersama kamu.”

Mereka berciuman di bawah hujan, ciuman yang penuh dengan keberanian, harapan, dan cinta yang akhirnya mereka akui. Di tengah gemuruh kota dan dinginnya malam, Azura dan Ravi menemukan sesuatu yang lebih besar dari perjodohan—sebuah cinta yang tumbuh dari keraguan, luka, dan keberanian untuk percaya lagi.

Hari-hari berikutnya, Azura dan Ravi mulai membangun hidup mereka bersama, tidak lagi sebagai dua orang yang dipaksa oleh tradisi, tapi sebagai dua hati yang memilih satu sama lain. Azura tetap menjadi desainer yang penuh semangat, merancang ruang-ruang yang penuh cerita, sementara Ravi belajar untuk membuka hatinya, menemukan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan yang ia inginkan bersama Azura. Keluarga mereka, awalnya kaku dengan tradisi, akhirnya merestui hubungan mereka, bukan karena perjodohan, tapi karena melihat cinta yang nyata di antara keduanya.

Di sebuah senja di taman jacaranda, beberapa bulan kemudian, Ravi berlutut di depan Azura, sebuah cincin sederhana dengan batu safir di tangannya. “Zuri, kamu mau jadi cerita di setiap ruang hidupku?” tanyanya, matanya penuh harap.

Azura tertawa, air mata bahagia mengalir di pipinya. “Iya, Ravi. Aku mau.”

Dan di bawah pohon jacaranda yang kelopaknya bertebaran seperti confetti alam, mereka berjanji untuk menjalani hidup bersama—bukan karena takdir, tapi karena cinta yang mereka pilih sendiri.

Cinta di Ujung Jodoh adalah bukti bahwa cinta sejati bisa lahir dari tempat yang tak terduga, bahkan dari sebuah perjodohan yang awalnya ditolak. Kisah Azura dan Ravindra mengajarkan kita bahwa keberanian untuk mempercayai hati, meski penuh luka, dapat membawa kita pada kebahagiaan yang tak ternilai. Jangan lewatkan novel ini jika Anda ingin merasakan rollercoaster emosi yang akan membuat Anda tersenyum, menangis, dan jatuh cinta pada setiap halaman. Segera baca dan temukan bagaimana cinta bisa mengubah segalanya!

Terima kasih telah menyimak ulasan tentang Cinta di Ujung Jodoh! Semoga artikel ini menginspirasi Anda untuk menyelami kisah romansa yang menyentuh ini. Jangan lupa bagikan pendapat Anda di kolom komentar dan ikuti kami untuk ulasan novel menarik lainnya. Sampai jumpa di cerita berikutnya, pembaca setia!

Leave a Reply