Perjalanan ke Jantung Cina: Misteri dan Harapan di Tanah Tiongkok

Posted on

Temukan kisah epik dalam Perjalanan ke Jantung Cina: Misteri dan Harapan di Tanah Tiongkok, cerpen yang mengisahkan perjalanan Veyra Thalindra, seorang wanita yang menjelajahi Tiongkok untuk mengungkap rahasia leluhurnya. Dengan alur yang detail, emosional, dan penuh ketegangan, cerita ini membawa pembaca ke dalam petualangan di Gunung Tai dan kota terlarang Xīnjīng. Artikel ini akan mengupas keindahan narasi, makna mendalam, dan alasan mengapa cerpen ini wajib dibaca oleh pecinta petualangan dan kisah inspiratif.

Perjalanan ke Jantung Cina

Langkah Pertama di Bawah Bayang

Pagi hari Senin, 23 Juni 2025, pukul 12:45 WIB, bandara Soekarno-Hatta dipenuhi hiruk-pikuk penumpang yang bergegas menuju gerbang keberangkatan. Di antara keramaian itu, Veyra Thalindra berdiri sendirian di dekat jendela besar, menatap landasan pacu yang berkilau di bawah sinar matahari tropis. Rambut hitam panjangnya yang tergerai hingga pinggang dikuncir sederhana, menyembunyikan sebagian wajahnya yang pucat dan mata hijau tua yang dipenuhi ketegangan. Ia mengenakan jaket biru tua yang sudah usang, celana jeans hitam, dan sepatu hiking yang penuh debu, membawa ransel besar yang berat dengan buku catatan tua dan foto-foto usang. Di tangannya, ia memegang tiket pesawat tujuan Beijing, tanda awal perjalanan yang tak ia rencanakan sepenuhnya.

Veyra, perempuan berusia 29 tahun dari sebuah desa kecil di Jawa, bukanlah pelancong biasa. Ia dikenal di kalangan keluarganya sebagai penutup rahasia leluhur—seseorang yang mewarisi cerita-cerita kuno tentang akar keluarga yang hilang di tanah Tiongkok. Tingginya sedang, dengan tubuh kurus yang tampak lelah, dan kulitnya yang tadinya cerah kini pucat karena kurang tidur. Perjalanan ini dimulai setelah ia menemukan surat tua dari neneknya, Elyna, yang menyebutkan “jantung Cina” sebagai tempat di mana kebenaran tentang keluarganya tersembunyi. Surat itu tiba bersamaan dengan kematian ibunya, Lirana, dua minggu lalu, meninggalkan Veyra dengan rasa bersalah dan dorongan untuk mencari jawaban.

Di dalam pesawat, Veyra duduk di kursi dekat jendela, menatap awan putih yang melayang di bawahnya. Bunyi mesin pesawat mengisi udara, bercampur dengan bisikan penumpang di sekitarnya. Ia membuka ranselnya, mengeluarkan buku catatan tua yang penuh tulisan tangan Elyna, dan membaca catatan terakhir: “Cari kuil di jantung pegunungan, di mana naga tidur. Darahmu akan membukanya.” Kata-kata itu misterius, tapi Veyra merasa ada koneksi dengan mimpinya yang berulang—mimpi tentang naga emas yang memanggilnya dari lembah berkabut. Ia menutup buku itu, menahan air mata, dan mengingat wajah Lirana yang tersenyum di hari terakhirnya, bisikannya lemah, “Temukan asal kita, Veyra.”

Penerbangan memakan waktu lebih dari enam jam, dan saat pesawat mendarat di Bandara Internasional Beijing, jam menunjukkan 07:15 waktu setempat. Udara dingin menyambut Veyra saat ia melangkah keluar, membuatnya mengencangkan jaketnya. Ia mengambil taksi menuju hostel murah di distrik hutong, tempat ia akan tinggal sementara. Di dalam taksi, ia menatap jalanan yang dipenuhi lampu neon dan bangunan modern, bercampur dengan arsitektur kuno yang menjulang, menciptakan perpaduan yang memukau namun asing baginya. Pikirannya dipenuhi pertanyaan—apakah ia akan menemukan jawaban, atau hanya lebih banyak kesedihan?

Hostel itu sederhana, dengan kamar kecil yang hanya berisi ranjang tunggal, meja kayu, dan jendela yang menghadap ke lorong sempit. Veyra meletakkan ranselnya, mengeluarkan foto Lirana dan Elyna yang tersenyum bersama, dan meletakkannya di meja. Air mata mengalir saat ia mengingat hari ibunya meninggal—bagaimana Lirana memegang tangannya, menceritakan tentang leluhur yang dikirim ke Tiongkok selama masa penjajahan, dan bagaimana keluarga kehilangan jejak mereka. “Aku menyesal nggak pernah mencari mereka,” bisik Lirana, suaranya penuh penyesalan, dan itu menjadi beban yang Veyra pikul sekarang.

Malam itu, Veyra memutuskan untuk menjelajah. Ia berjalan melalui hutong, lorong-lorong sempit yang dipenuhi aroma masakan jalanan—babi panggang, mie goreng, dan teh hijau. Lampu merah dan kuning menghiasi setiap sudut, dan suara pedagang serta penutup sepeda motor mengisi udara. Ia berhenti di sebuah toko kecil, membeli peta tua dan bertanya pada pedagang tentang pegunungan di sekitar Beijing. Pedagang tua itu, dengan wajah penuh kerutan, menatapnya dengan curiga sebelum menunjuk ke arah utara. “Gunung Tai, jauh. Hati-hati, banyak misteri di sana,” katanya dalam bahasa Mandarin yang terbata-bata.

Veyra mengangguk, membayar dengan uang yuan yang ia tukar, dan melanjutkan langkahnya. Di tengah perjalanan, ia merasa diikuti—bayangan samar bergerak di antara lorong, tapi saat ia menoleh, tidak ada siapa-siapa. Jantungnya berdegup kencang, dan ia mempercepat langkah menuju hostel. Di kamar, ia duduk di ranjang, menatap peta, dan menandai Gunung Tai sebagai tujuan berikutnya. Pikirannya dipenuhi mimpinya tentang naga, dan bisikan Elyna yang terdengar samar, “Darahmu akan membukanya.”

Besok pagi, Veyra bangun dengan tekad baru. Ia mengemas ranselnya dengan pakaian, makanan kaleng, dan buku catatan, lalu memesan tiket bus menuju Gunung Tai. Di dalam bus, ia menatap jendela, melihat lanskap berubah dari kota modern menjadi bukit hijau yang menjulang. Udara menjadi lebih dingin, dan aroma pinus mulai tercium, membawa rasa damai yang aneh baginya. Tapi di dalam hatinya, ada ketakutan—bagaimana jika ia gagal menemukan jawaban? Bagaimana jika perjalanan ini hanya menambah luka?

Bus berhenti di kaki Gunung Tai sekitar siang hari. Veyra turun, menatap puncak yang terselimuti kabut, dan merasa seperti masuk ke dunia lain. Ia memulai pendakian, jalannya curam dan licin, dikelilingi pepohonan tinggi dan suara angin yang berbisik. Setiap langkah terasa berat, tapi ia didorong oleh kenangan Lirana dan Elyna, wajah mereka yang tersenyum di foto tua. Di tengah jalan, ia menemukan patung naga kecil yang tersembunyi di balik semak, matanya terbuat dari batu giok yang bersinar samar. Jantungnya berdegup kencang—mungkinkah ini petunjuk?

Veyra mengeluarkan buku catatan, membaca catatan Elyna lagi, dan merasa ada koneksi. Ia melanjutkan pendakian, tubuhnya lelah, tapi semangatnya membara. Saat senja tiba, ia sampai di sebuah kuil tua yang tersembunyi di balik pepohonan—struktur kayu yang lapuk, ditutupi lumut, dengan pintu besar yang diukir dengan gambar naga. Di depan pintu, ada altar kecil dengan mangkuk batu kosong. Veyra menatapnya, tangannya gemetar, dan bisikan dalam mimpinya kembali, “Darahmu akan membukanya.”

Dengan hati-hati, ia mengeluarkan pisau lipat dari ransel, menusuk jari telunjuknya, dan meneteskan darah ke mangkuk. Rasa sakit menusuk, tapi ia mengabaikannya, menatap altar yang mulai bersinar lembut. Cahaya emas menyelinap dari dalam, dan suara gemuruh rendah terdengar, seperti naga yang terbangun. Veyra mundur, napasnya tersengal, saat pintu kuil perlahan terbuka, mengungkapkan kegelapan di dalam. Di tengah ketakutan dan harap, ia tahu perjalanannya baru dimulai, dan jawaban tentang leluhurnya menantinya di jantung Cina.

Echoes dari Masa Lalu

Pagi hari Selasa, 24 Juni 2025, pukul 12:47 WIB, udara dingin di kaki Gunung Tai menyelinap melalui celah-celah pepohonan, membawa aroma pinus dan lembap yang menusuk tulang. Veyra Thalindra berdiri di depan kuil tua yang pintunya baru saja terbuka, jantungnya berdegup kencang seolah menyesuaikan diri dengan gemuruh rendah yang masih bergema dari dalam. Cahaya emas yang lembut menyelinap dari celah pintu kayu yang lapuk, menerangi altar kecil di depannya yang kini basah dengan tetesan darahnya sendiri. Rambut hitam panjangnya yang tergerai tertiup angin, menyembunyikan sebagian wajah pucatnya yang dipenuhi campuran ketakutan dan harap. Ia mengenakan jaket biru tua yang sudah usang, celana jeans hitam yang kotor oleh lumpur jalur pendakian, dan sepatu hiking yang kini licin, membawa ransel besar yang terasa semakin berat di bahunya.

Veyra mengambil napas dalam-dalam, tangannya yang gemetar memegang lentera kecil yang ia ambil dari ransel. Cahaya lentera itu bergetar saat ia melangkah masuk ke dalam kuil, meninggalkan altar di belakangnya. Udara di dalam terasa dingin dan berat, dipenuhi aroma tanah tua dan sesuatu yang manis, seperti kemenyan yang sudah lama terbakar. Dinding-dinding kayu kuil dipenuhi ukiran naga dan simbol-simbol kuno yang ia tidak mengerti, sementara lantai batu licin dipenuhi lumut hijau yang menyala samar di bawah cahaya lentera. Di ujung ruangan, ia melihat tangga spiral yang menurun ke kegelapan, dan suara tetesan air terdengar dari bawah, seperti denyutan jantung bumi.

Pikiran Veyra melayang ke surat Elyna—“Cari kuil di jantung pegunungan, di mana naga tidur. Darahmu akan membukanya.” Ia merasa ada kebenaran di balik kata-kata itu, tapi juga bahaya. Ia mengingat mimpinya yang berulang—naga emas yang memanggilnya dari lembah berkabut—dan bisikan ibunya, Lirana, di hari terakhirnya, “Temukan asal kita, Veyra.” Air mata mengalir di wajahnya, bercampur dengan keringat, saat ia melangkah menuruni tangga, setiap langkah terasa seperti menembus lapisan waktu.

Tangga itu panjang dan sempit, dindingnya dipenuhi ukiran yang semakin rumit—gambar leluhur dengan pakaian tradisional Tiongkok, kapal tua yang berlayar di lautan, dan naga yang melilit gunung. Setelah beberapa menit, Veyra sampai di ruangan besar di bawah tanah, dindingnya berkilau dengan kristal hitam yang memantulkan cahaya lentera. Di tengah ruangan, ada patung naga besar yang terbuat dari batu giok, matanya terbuat dari ruby merah yang menyala samar. Di depan patung itu, ada meja batu dengan gulungan kertas tua dan mangkuk kecil yang dipenuhi abu.

Veyra mendekati meja, tangannya gemetar saat ia mengambil gulungan kertas itu. Ia membukanya dengan hati-hati, menemukan tulisan tangan dalam bahasa Mandarin kuno yang ia tidak paham sepenuhnya, tapi ada kalimat dalam bahasa Jawa yang ia kenali—“Darah Thalindra membawa kami ke sini, dan darahmu akan membawa kami pulang.” Jantungnya berdegup kencang—nama keluarganya disebutkan, dan itu membuktikan bahwa leluhurnya memang pernah ada di tempat ini. Ia mengeluarkan buku catatan Elyna dari ransel, membandingkan tulisan, dan merasa ada koneksi yang dalam.

Tiba-tiba, suara gemuruh kembali terdengar, dan lantai di bawahnya bergetar. Veyra mundur, lentera hampir jatuh dari tangannya, saat kristal di dinding mulai bersinar lebih terang. Dari patung naga, cahaya ruby menyebar, membentuk bayangan samar seorang wanita tua dengan pakaian tradisional—mungkin Elyna atau leluhur lainnya. Bayangan itu menatapnya, suaranya lembut tapi menusuk, “Kamu datang, Veyra. Darahmu membuka pintu, tapi hati-hati, ada harga yang harus dibayar.”

Veyra terdiam, air mata mengalir lagi, dan ia bertanya pada bayangan, “Apa yang harus kulakukan? Siapa kalian?” Bayangan itu tersenyum tipis, lalu memudar, meninggalkan kata-kata yang bergema, “Cari hati naga, di puncak gunung. Darahmu akan menuntun.” Sebelum Veyra bisa menanggapi, ruangan kembali gelap, dan getaran berhenti. Ia menatap patung naga, merasa ada energi aneh yang mengalir darinya, dan memutuskan untuk melanjutkan.

Sore itu, Veyra keluar dari kuil, tubuhnya lelah tapi pikirannya penuh tekad. Ia mendirikan tenda kecil di dekat kuil, makan kaleng sarden dari ransel, dan menatap langit yang mulai gelap. Angin bertiup kencang, membawa suara jauh yang terdengar seperti bisikan, dan Veyra merasa diikuti lagi—bayangan samar bergerak di antara pepohonan. Ia mengambil pisau lipat, bersiap, tapi tidak ada yang muncul. Malam itu, ia tidur dengan buku catatan di tangan, mimpi tentang naga emas kembali, kali ini dengan wajah ibunya yang tersenyum di sampingnya.

Besok pagi, Veyra bangun dengan mata merah, tapi semangatnya membara. Ia mengemas tenda, mengisi ulang botol air dari sumber kecil di dekat kuil, dan memulai pendakian menuju puncak Gunung Tai. Jalur semakin curam, dikelilingi tebing batu dan kabut tebal, tapi ia didorong oleh bayangan leluhurnya dan janji untuk menemukan “hati naga.” Di tengah perjalanan, ia menemukan gua kecil yang tersembunyi di balik semak, dan di dalamnya, ada ukiran naga yang lebih besar, dengan lubang di tengah dada patung itu—mungkin tempat “hati” yang dimaksud.

Veyra menatap lubang itu, tangannya gemetar, dan bisikan dalam mimpinya kembali, “Darahmu akan menuntun.” Dengan hati-hati, ia menusuk jari telunjuknya lagi, meneteskan darah ke lubang itu. Cahaya merah menyala dari dalam, dan suara naga yang mengaum terdengar, membuatnya mundur. Gua bergetar, dan dari lubang itu, sebuah permata merah kecil muncul, bersinar terang. Veyra mengambilnya, merasa panas di tangannya, dan tahu ini adalah “hati naga”—kunci untuk membuka rahasia leluhurnya. Di tengah kelelahan dan emosi yang bercampur, ia menyadari perjalanannya baru mencapai titik balik, dan petualangan sejati menantinya di jantung Cina.

Bayang di Tengah Kabut

Pagi hari Rabu, 25 Juni 2025, pukul 12:45 WIB, udara dingin di lereng Gunung Tai terasa menusuk tulang saat Veyra Thalindra berdiri di depan gua kecil, tangannya masih gemetar memegang permata merah kecil yang bersinar lembut di telapaknya. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah kabut tebal, menerangi pepohonan pinus yang menjulang dan tebing batu yang licin, menciptakan suasana misterius di sekitarnya. Rambut hitam panjangnya yang tergerai tertiup angin, menyembunyikan sebagian wajah pucatnya yang dipenuhi campuran kelelahan dan harap. Ia mengenakan jaket biru tua yang sudah robek di lengan, celana jeans hitam yang kotor oleh lumpur dan debu, dan sepatu hiking yang kini rusak di bagian sol, membawa ransel besar yang terasa semakin berat dengan tambahan permata itu.

Veyra menatap permata merah—yang ia yakini sebagai “hati naga”—dengan hati-hati, merasakan panas lembut yang mengalir dari batu itu ke jari-jarinya. Suara naga yang mengaum dari gua masih bergema di telinganya, bercampur dengan bisikan bayangan leluhur yang ia temui di kuil bawah tanah. Pikirannya melayang ke gulungan kertas tua yang ia temukan—“Darah Thalindra membawa kami ke sini, dan darahmu akan membawa kami pulang”—dan surat Elyna yang menjadi peta hidupnya, “Cari hati naga, di puncak gunung.” Ia tahu perjalanan ini lebih dari sekadar pencarian akar; ini adalah panggilan jiwa yang membawanya lebih dalam ke dalam misteri Tiongkok.

Ia mengemas permata itu ke dalam kotak kecil dari ranselnya, melapisi dengan kain untuk melindunginya, lalu melanjutkan pendakian menuju puncak Gunung Tai. Jalur semakin curam, dikelilingi tebing batu yang licin dan kabut yang semakin tebal, membuat visibilitasnya terbatas. Setiap langkah terasa berat, kakinya tergelincir beberapa kali, dan napasnya tersengal karena ketinggian. Di ranselnya, buku catatan Elyna berderit, dan foto Lirana serta Elyna yang tersenyum di meja hostel muncul di pikirannya, mendorongnya untuk terus maju. Air mata mengalir di wajahnya, bercampur dengan keringat, saat ia mengingat janji ibunya, “Temukan asal kita, Veyra.”

Sekitar tengah hari, Veyra sampai di sebuah dataran sempit di puncak gunung, dikelilingi oleh formasi batu yang menyerupai naga melingkar. Di tengah dataran, ada altar besar yang terbuat dari batu giok hitam, permukaannya dipenuhi ukiran naga dan simbol-simbol kuno. Di atas altar, ada lubang kecil yang tampaknya dirancang untuk menyimpan sesuatu—mungkin permata yang ia bawa. Veyra mendekati altar, tangannya gemetar saat ia mengeluarkan permata dari kotak, dan bisikan dalam mimpinya kembali, “Darahmu akan menuntun.”

Dengan hati-hati, ia menusuk jari telunjuknya lagi dengan pisau lipat, meneteskan darah ke permata sebelum meletakkannya ke dalam lubang. Rasa sakit menusuk, tapi ia mengabaikannya, menatap altar yang mulai bersinar terang. Cahaya merah menyelinap dari permata, menyebar ke seluruh altar, dan suara gemuruh rendah terdengar lagi, seperti detak jantung yang bangkit. Tiba-tiba, tanah di sekitarnya bergetar, dan dari balik kabut, bayangan naga emas muncul—bukan patung, tapi ilusi hidup yang terbuat dari cahaya, matanya ruby yang menyala.

Bayangan itu menatap Veyra, suaranya dalam dan penuh kebijaksanaan, “Kamu adalah pewaris darah Thalindra, yang kembali ke rumah leluhur. Darahmu membuka pintu, tapi kau harus memilih—kembali dengan kebenaran, atau tetap di sini selamanya.” Veyra terdiam, air mata mengalir lagi, dan ia bertanya, “Apa kebenaran itu? Siapa aku sebenarnya?” Naga itu tersenyum tipis, lalu menggerakkan ekornya, membuka celah di altar yang mengungkapkan tangga turun ke dalam gunung.

Veyra mengambil napas dalam-dalam, melangkah menuruni tangga dengan lentera di tangan. Udara di dalam semakin dingin, dinding-dindingnya dipenuhi kristal yang bersinar samar, dan suara tetesan air semakin keras. Setelah beberapa menit, ia sampai di ruangan besar yang dipenuhi arca leluhur—pria dan wanita dengan pakaia tradisional Tiongkok, masing-masing memegang benda kuno. Di tengah ruangan, ada meja batu dengan gulungan kertas lain, dan saat Veyra membukanya, ia menemukan riwayat keluarganya—cerita tentang Thalindra yang dikirim ke Tiongkok selama masa penjajahan, menikah dengan penduduk lokal, dan membentuk garis keturunan yang hilang dari sejarah.

Air mata mengalir deras saat ia membaca nama Lirana dan Elyna di gulungan itu, bersama dengan janji leluhur untuk menjaga warisan mereka. Tapi di akhir catatan, ada peringatan—“Jika darahmu membuka pintu, kau harus menutupnya dengan pengorbanan.” Veyra terdiam, merasa ada beban baru, dan saat ia menoleh, bayangan naga muncul lagi, menatapnya dengan mata penuh makna. “Pilih, Veyra,” bisiknya, sebelum memudar.

Sore itu, Veyra keluar dari ruangan, tubuhnya lelah tapi pikirannya penuh emosi. Ia duduk di altar, menatap permata yang masih bersinar, dan memutuskan untuk membawanya kembali sebagai bukti. Tapi saat ia bersiap turun, bayangan samar muncul lagi di antara kabut—sosok berpakaian hitam dengan pedang, menatapnya dengan ancaman. Veyra mengambil pisau lipat, bersiap, tapi sosok itu menghilang sebelum ia bisa bertindak. Malam itu, ia mendirikan tenda di dataran, tidur dengan buku catatan di tangan, mimpi tentang naga dan leluhur kembali, kali ini dengan wajah ibunya yang menangis, memintanya untuk pulang dengan aman.

Besok pagi, Veyra bangun dengan tekad kuat. Ia mengemas permata dan gulungan kertas, melanjutkan perjalanan turun gunung dengan hati-hati. Di tengah jalan, ia merasa diikuti lagi, tapi kali ini ia tidak takut—darahnya telah membawanya sejauh ini, dan ia tahu leluhurnya menjaganya. Di kaki gunung, ia menemukan petunjuk baru—peta kuno yang mengarah ke kota terlarang di dalam Tiongkok, tempat rahasia terakhir menantinya. Di tengah kelelahan dan kesedihan, Veyra menyadari bahwa perjalanan ke jantung Cina ini adalah ujian jiwa, dan ia harus menghadapi pengorbanan untuk menyelesaikannya.

Jantung yang Berdetak Kembali

Pagi hari Senin, 23 Juni 2025, pukul 12:45 WIB, udara segar di kaki Gunung Tai menyelinap melalui celah-celah pepohonan pinus, membawa aroma tanah basah setelah hujan ringan semalam. Veyra Thalindra berdiri di dekat bus tua yang akan membawanya menuju kota terlarang yang ditunjukkan oleh peta kuno yang ia temukan, tangannya masih memegang erat permata merah dan gulungan kertas dari altar puncak gunung. Cahaya matahari sore menyelinap melalui kabut tipis, menerangi wajah pucatnya yang dipenuhi bekas lelah dan harap. Rambut hitam panjangnya yang tergerai dikuncir sederhana, menyembunyikan sebagian mata hijau tua yang kini bersinar dengan tekad. Ia mengenakan jaket biru tua yang robek di lengan, celana jeans hitam yang penuh lumpur, dan sepatu hiking yang hampir hancur, membawa ransel besar yang terasa ringan meski penuh beban emosional.

Veyra naik bus, duduk di kursi belakang yang usang, dan menatap peta kuno itu—tanda-tanda samar menunjukkan kota bernama Xīnjīng, tersembunyi di lembah dalam Tiongkok utara, tempat leluhur Thalindra dikabarkan menyimpan warisan terakhir. Pikirannya melayang ke pertemuan dengan bayangan naga dan peringatan tentang pengorbanan—“Jika darahmu membuka pintu, kau harus menutupnya dengan pengorbanan.” Ia mengingat wajah Lirana yang menangis di mimpinya, bisikan ibunya, “Pulang dengan aman, Veyra,” dan surat Elyna yang menjadi panduannya. Air mata mengalir di wajahnya, tapi ia menyekanya dengan tekad untuk menyelesaikan perjalanan ini.

Bus berjalan selama delapan jam, melewati lanskap yang berubah dari bukit hijau menjadi dataran tandus yang dipenuhi pasir dan batu. Saat senja tiba, bus berhenti di sebuah pos kecil di tepi lembah, dan Veyra turun, menatap pemandangan yang mengerikan—tebing tinggi menjulang, dikelilingi kabut tebal, dan di kejauhan, ia melihat bayangan kota kuno yang tersembunyi. Udara dingin menusuk tulang, dan suara angin membawa bisikan samar, seperti panggilan dari masa lalu. Ia mengencangkan jaketnya, mengambil lentera dari ransel, dan memulai perjalanan kaki menuju Xīnjīng.

Jalur menuju kota itu curam dan berbahaya, dikelilingi tebing batu yang licin dan sungai kecil yang mengalir deras. Veyra tergelincir beberapa kali, tangannya tergores oleh batu tajam, tapi ia terus maju, didorong oleh permata merah yang bersinar di sakunya. Setelah satu jam, ia sampai di gerbang kota—struktur kayu tua yang dipenuhi ukiran naga, dengan pintu besar yang ditutupi lumut. Di depan gerbang, ada altar kecil yang mirip dengan yang ia temui di Gunung Tai, lengkap dengan mangkuk batu kosong.

Veyra menatap altar, tangannya gemetar saat ia mengeluarkan permata merah dari sakunya. Bisikan naga kembali terdengar, “Pilih, Veyra,” dan ia tahu ini adalah momen pengorbanan. Dengan hati berat, ia menusuk jari telunjuknya lagi, meneteskan darah ke mangkuk, lalu meletakkan permata di lubang altar. Cahaya merah menyala terang, dan pintu gerbang terbuka dengan suara gemuruh, mengungkapkan jalan ke dalam kota yang terselimuti kabut.

Di dalam Xīnjīng, Veyra menemukan reruntuhan kuno—rumah-rumah kayu yang lapuk, jalan berbatu yang ditutupi rumput liar, dan kuil besar di tengah kota. Ia melangkah masuk ke kuil, lentera di tangannya menerangi dinding-dinding yang dipenuhi ukiran leluhur Thalindra. Di altar utama, ada peti kayu tua yang terkunci, dan di sampingnya, sebuah pedang kuno dengan pegangan berbentuk naga. Veyra membuka peti dengan hati-hati, menemukan gulungan kertas terakhir dan sebuah kalung giok dengan liontin bertuliskan nama “Thalindra.”

Gulungan itu menceritakan akhir cerita—leluhur Thalindra yang menetap di Xīnjīng setelah melarikan diri dari penjajahan, membangun komunitas tersembunyi, tapi akhirnya hilang akibat perang dan waktu. Di akhir catatan, ada pesan, “Pengorbanan darah membuka pintu, tapi jiwa yang murni menutupnya. Tinggalkan hati naga, dan bawa warisan pulang.” Veyra terdiam, air mata mengalir, menyadari bahwa permata merah—hati naga—harus ditinggalkan sebagai pengorbanan.

Dengan tangan gemetar, ia meletakkan permata kembali ke altar, dan cahaya merah memudar, digantikan oleh ketenangan. Tiba-tiba, bayangan berpakaian hitam muncul lagi—sosok penjaga kuno yang menatapnya dengan hormat. “Kau telah memilih dengan bijak, Veyra. Warisanmu aman,” katanya, sebelum menghilang. Veyra mengangguk, mengambil kalung giok dan gulungan, lalu meninggalkan kuil.

Sore itu, ia kembali ke pos bus, tubuhnya lelah tapi hatinya penuh damai. Di dalam bus menuju Beijing, ia menatap kalung di tangannya, merasa koneksi dengan Lirana dan Elyna yang kini utuh. Malam tiba, dan saat ia sampai di hostel, ia duduk di meja, menulis catatan terakhir di buku Elyna—cerita tentang perjalanan ke jantung Cina, pengorbanan, dan harapan. Di luar jendela, langit bersinar dengan bintang-bintang, dan Veyra tahu ia telah menemukan asal-usulnya, membawa warisan pulang dengan jiwa yang lebih kuat.

Hari berikutnya, Veyra memesan tiket pulang ke Indonesia, membawa kalung giok sebagai bukti. Di pesawat, ia menatap awan, merasa ibunya dan neneknya tersenyum di sisinya. Perjalanan ke jantung Cina telah mengubahnya—dari pencari jawaban menjadi penjaga warisan, meninggalkan hati naga di tanah leluhur, dan membawa cinta serta kedamaian kembali ke hidupnya.

Perjalanan ke Jantung Cina adalah kisah yang memikat hati, mengisahkan perjuangan Veyra untuk menemukan warisan leluhurnya dengan pengorbanan dan keberanian. Dengan ending yang penuh harapan dan kedamaian, cerita ini mengajarkan kekuatan cinta keluarga dan ketahanan jiwa, meninggalkan pembaca terinspirasi untuk mengejar kebenaran dalam hidup mereka. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan petualangan ini dan temukan pelajaran berharga di setiap halamannya.

Terima kasih telah menikmati ulasan tentang Perjalanan ke Jantung Cina! Kami harap cerita ini membawa Anda ke dalam dunia petualangan yang memukau. Bagikan kesan Anda di kolom komentar, dan sampai jumpa di artikel menarik berikutnya!

Leave a Reply