Daftar Isi
Temukan perjalanan emosional yang mendalam dalam Bayang dalam Kegelapan, cerpen yang mengisahkan Zivara Kaelith, seorang perempuan pemberani yang menghadapi kegelapan gua Tandraloka untuk mengungkap rahasia masa lalu dan menebus kutukan desanya. Dengan alur yang detail dan penuh emosi, cerita ini menggabungkan elemen sedih, misteri, dan harapan dalam empat bab yang memikat. Artikel ini akan mengupas keindahan narasi, pesan inspiratif, dan alasan mengapa cerpen ini wajib dibaca oleh pecinta sastra yang mencari kisah yang menyentuh hati dan membangkitkan semangat.
Bayang dalam Kegelapan
Hening di Bawah Tanah
Kegelapan di dalam gua Tandraloka terasa hidup, seperti makhluk yang bernapas perlahan di sekitar Zivara Kaelith. Udara dingin menyelinap melalui celah-celah batu, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang lebih tua—seperti kenangan yang sudah terkubur. Zivara berdiri di pintu masuk gua, tangannya memegang lentera tua yang cahayanya hanya menembus beberapa langkah di depannya. Rambut hitamnya yang panjang dan kasar tergerai di bahu, sedikit berdebu karena perjalanan panjang dari desa terakhir yang ia tinggalkan dua hari lalu. Matanya, yang berwarna cokelat tua dengan kilau samar seperti emas, menatap ke dalam kegelapan dengan campuran ketakutan dan tekad. Ia tahu gua ini bukan tempat biasa—cerita desa mengatakan bahwa di dalamnya tersimpan rahasia yang tak boleh disentuh, tapi Zivara tidak punya pilihan lain.
Zivara adalah perempuan berusia 26 tahun dengan tubuh yang ramping namun penuh kekuatan tersembunyi, hasil bertahun-tahun bekerja di ladang dan merawat diri di tengah kesulitan. Kulitnya kecokelatan, dihiasi bekas luka kecil di tangan kanannya dari kecelakaan masa kecil yang tak pernah ia ceritakan. Ia memakai gaun sederhana berwarna abu-abu, sudah robek di bagian bawah karena tersangkut duri saat melintasi hutan, dan sepasang sepatu kulit yang hampir lepas dari solnya. Di punggungnya, ia membawa tas kain tua yang berisi roti keras, sebotol air, dan sebuah buku kecil berisi catatan yang ia tulis sejak kecil—catatan yang menjadi alasan ia ada di sini.
Hari itu adalah hari kelima sejak ia meninggalkan desa Kaelthar, tempat ia lahir dan dibesarkan. Ia pergi tanpa pamit, meninggalkan rumah kayu kecil yang dulu dihuni bersama ibunya, Eryna, yang meninggal tiga bulan lalu karena penyakit yang tak kunjung terdeteksi. Kematian Eryna meninggalkan Zivara sendirian, tanpa saudara atau kerabat, hanya dengan kenangan pahit tentang ibunya yang selalu berbicara tentang “cahaya di kegelapan” sebelum napasnya terputus. Kata-kata itu menggema di pikiran Zivara, terutama setelah ia menemukan surat tua di bawah lantai rumah—surat yang ditulis oleh Eryna, menyebutkan gua Tandraloka sebagai tempat di mana ia bisa menemukan jawaban tentang asal-usulnya.
Zivara mengambil langkah pertama ke dalam gua, cahaya lentera bergetar di tangannya. Suara tetesan air dari dalam terdengar seperti detak jantung raksasa, perlahan tapi pasti. Dinding gua dipenuhi lumut hijau yang bersinar samar, memberikan ilusi kehidupan di tengah kegelapan yang menyelimuti. Ia berjalan perlahan, sepatunya berderit di atas batu-batu licin, dan setiap langkah terasa seperti menjauhkan dirinya dari dunia luar. Di dalam tasnya, buku kecil itu terasa berat, seolah menariknya lebih dalam ke dalam misteri yang ia kejar.
Setelah beberapa menit berjalan, Zivara sampai di ruangan yang lebih luas. Langit-langitnya tinggi, dan di tengah ruangan terdapat kolam kecil yang airnya jernih, memantulkan cahaya lentera seperti cermin raksasa. Di tepi kolam, ia melihat sesuatu yang membuatnya membeku—sebuah patung batu kecil berbentuk perempuan, dengan tangan terangkat seolah memohon. Patung itu usang, ditutupi lumut, tapi wajahnya memiliki kemiripan samar dengan ibunya. Zivara menjatuhkan lentera hampir tanpa sadar, tangannya gemetar saat menyentuh patung itu. “Ibu…” bisiknya, suaranya tenggelam oleh hening yang mencekam.
Ia mengambil buku dari tasnya, membukanya dengan hati-hati. Di halaman terakhir, ada sketsa tangan yang ia gambar berdasarkan ingatan—tangan ibunya yang penuh luka kecil, sama seperti patung itu. Di bawah sketsa, ada catatan: “Jika kau mencari aku, ikuti cahaya di kegelapan. Tandraloka menunggu.” Zivara menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang kencang. Ia tidak yakin apakah ini kebetulan atau petunjuk, tapi ia merasa ada sesuatu yang memanggilnya dari dalam gua ini.
Tiba-tiba, lentera di tangannya berkedip, cahayanya melemah. Zivara mengguncangnya dengan panik, tapi api kecil itu padam, meninggalkannya dalam kegelapan total. Ia mendengar suara—bukan tetesan air, tapi bisikan samar yang terdengar seperti nama-namanya. “Zivara…” Panggilan itu lembut, hampir seperti angin, tapi penuh emosi yang tak bisa ia jelaskan. Ia mundur, punggungnya menabrak dinding gua, dan napasnya menjadi cepat. “Siapa di sana?” tanyanya, suaranya pecah, tapi tidak ada jawaban selain bisikan yang semakin memudar.
Dalam kepanikan, Zivara meraba-raba di tasnya, mencari korek api kecil yang ia bawa. Tangan-tangannya yang licin karena keringat akhirnya menemukannya, dan dengan gemetar, ia menyalakan kembali lentera. Cahaya kembali menyala, tapi kali ini lebih redup, seolah minyaknya hampir habis. Ia menatap sekitar, mencoba menemukan sumber suara, tapi ruangan itu tetap sepi, hanya ada kolam dan patung yang kini tampak lebih menakutkan di bawah bayangan yang bergoyang.
Zivara memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, meskipun setiap serat tubuhnya memohon untuk kembali. Ia mengikuti jalur sempit yang terlihat di sisi ruangan, berharap menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan semua ini. Jalur itu menurun, dan udara semakin dingin, membuatnya menggigil. Setelah beberapa menit, ia sampai di ruangan lain, lebih kecil dari sebelumnya, dengan dinding yang dipenuhi ukiran aneh—simbol-simbol yang tidak ia kenali, tapi terasa akrab, seperti sesuatu yang pernah ia lihat di mimpi.
Di tengah ruangan, ada sebuah peti kayu tua, ditutupi debu tebal. Zivara mendekat, lututnya lelet karena kelelahan, dan membukanya dengan hati-hati. Di dalam, ia menemukan sebuah kalung sederhana dengan liontin berbentuk bulan sabit, terbuat dari logam yang sudah berkarat. Di belakang liontin, ada ukiran kecil: “Untuk Zivara, dari cahaya yang hilang.” Zivara menutup mulutnya dengan tangan, air mata mengalir tanpa suara. Ia mengenali tulisan itu—tulisan ibunya, yang sama dengan di surat yang ditemukannya.
Di saat yang sama, lentera di tangannya kembali berkedip, dan kali ini padam sepenuhnya. Kegelapan menyelimuti Zivara, tapi kali ini ia tidak panik. Ia merasakan kehangatan aneh di dadanya, seolah ada seseorang yang memeluknya dari dalam bayang-bayang. Bisikan itu kembali, lebih jelas sekarang: “Kamu sudah dekat, Zivara. Jangan menyerah.” Suara itu lembut, penuh cinta, dan Zivara tahu itu milik Eryna.
Zivara duduk di lantai gua, memeluk liontin itu erat-erat, air mata membasahi wajahnya yang pucat. Ia tidak tahu apa yang menantinya lebih dalam, tapi untuk pertama kalinya sejak kematian ibunya, ia merasa ada harapan. Kegelapan di sekitarnya tidak lagi terasa menakutkan—ia merasa seperti ada cahaya di dalam dirinya, cahaya yang ibunya tinggalkan untuk membimbingnya. Di tengah gua Tandraloka yang sunyi, Zivara mulai percaya bahwa ia tidak sepenuhnya sendirian, dan perjalanan ini baru saja dimulai.
Cahaya yang Terputus
Kegelapan gua Tandraloka tampak semakin pekat setelah lentera Zivara Kaelith padam sepenuhnya. Udara di dalam ruangan kecil itu terasa lebih berat, seolah menekan pundaknya yang sudah lelah. Zivara duduk di lantai batu yang dingin, jari-jarinya masih mencengkeram liontin bulan sabit yang ditemukannya di dalam peti kayu. Permukaannya yang berkarat terasa kasar di bawah sentuhan, tapi ukiran di belakangnya—“Untuk Zivara, dari cahaya yang hilang”—menjadi jangkar emosional yang menahannya dari keputusasaan. Air mata yang mengalir tadi kini telah kering di pipinya, meninggalkan jejak garam yang terasa di kulitnya. Suara bisikan ibunya, Eryna, masih bergema di telinganya, lembut namun penuh makna, seperti panggilan yang tak bisa ia abaikan.
Zivara mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang kencang. Ia meraba-raba di tas kainnya, mencari korek api yang sebelumnya berhasil menyalakan lentera. Tangan-tangannya yang gemetar akhirnya menemukan benda kecil itu, dan dengan hati-hati, ia menggosoknya di permukaan batu. Percikan kecil menyala, menerangi wajahnya yang pucat sejenak sebelum api kecil itu padam lagi. Ia mencoba lagi, dan kali ini berhasil—lentera menyala kembali, meskipun cahayanya sangat redup, hampir seperti nyala lilin yang akan habis. Cahaya itu hanya cukup untuk menyoroti wajah patung batu di ruangan sebelumnya, tapi Zivara tahu ia harus melanjutkan perjalanan. Liontin ini adalah petunjuk, dan bisikan ibunya adalah dorongan.
Ia bangkit, tubuhnya terasa kaku setelah duduk terlalu lama di lantai yang keras. Tasnya tergantung longgar di bahunya, dan gaun abu-abunya kini penuh noda tanah dan debu. Zivara melangkah keluar dari ruangan kecil, mengikuti jalur sempit yang terus menurun ke dalam gua. Dinding-dindingnya dipenuhi ukiran aneh yang tampak seperti simbol kuno, beberapa di antaranya menyerupai mata yang menatapnya dengan intensitas yang membuatnya merinding. Udara semakin lembap, dan suara tetesan air kini bercampur dengan desir angin yang terdengar dari dalam, seolah gua ini memiliki napas sendiri.
Setelah beberapa menit berjalan, Zivara sampai di sebuah lorong yang lebih lebar, dengan lantai yang licin karena lumut hijau yang bersinar samar. Di ujung lorong, ia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti—cahaya samar, bukan dari lentera, tapi dari sumber yang tidak jelas. Cahaya itu berwarna keemasan, lembut seperti matahari di pagi hari, dan terpancar dari celah di dinding gua. Zivara mendekat, hatinya berdetak kencang dengan campuran harap dan ketakutan. Saat ia sampai di celah itu, ia melihat ruangan lain yang lebih luas, dengan langit-langit yang tinggi dan di tengahnya terdapat kolam besar yang airnya memantulkan cahaya keemasan itu.
Di tepi kolam, ada sebuah altar batu sederhana, dan di atasnya tergeletak sebuah buku tua yang kulitnya sudah retak. Zivara mendekat, meletakkan lentera di samping altar, dan dengan hati-hati mengambil buku itu. Halaman-halaman pertamanya rapuh, tapi ia bisa membaca tulisan yang ditulis dengan tinta hitam yang sudah memudar: “Kronik Cahaya Tandraloka, untuk yang terpilih.” Zivara membalik halaman dengan gemetar, dan di halaman kedua, ia menemukan nama—Eryna Kaelith, ditulis dengan tangan yang sama seperti di liontin dan surat yang ia temukan di rumah.
Air mata mengalir lagi di wajah Zivara saat ia membaca. Buku itu menceritakan tentang sebuah keluarga kuno yang menjadi penjaga gua Tandraloka, tempat di mana cahaya suci disembunyikan untuk melindungi desa dari kutukan kegelapan. Eryna, menurut buku ini, adalah bagian dari garis keturunan terakhir, dan Zivara adalah penerusnya. Tapi ada catatan yang membuat darahnya membeku: “Jika cahaya padam, kegelapan akan menelan semua yang dicintai. Hanya darah terakhir yang bisa membangkitkannya kembali.” Zivara menutup buku itu, tangannya gemetar. Apakah ini berarti ibunya mati karena kutukan ini? Dan apakah ia harus mengorbankan dirinya?
Tiba-tiba, lentera di sampingnya padam lagi, dan kegelapan menyelimuti ruangan. Zivara mendengar suara—langkah kaki pelan yang bergema di dinding gua. Ia berdiri, mencoba mencari sumber suara, tapi matanya tidak bisa menembus kegelapan. “Siapa di sana?” tanyanya, suaranya keras tapi penuh ketakutan. Tidak ada jawaban, hanya suara langkah yang semakin dekat. Zivara mundur, punggungnya menabrak altar, dan ia meraba-raba mencari benda apa pun untuk melindungi dirinya.
Di tengah kepanikan, cahaya keemasan dari kolam tiba-tiba menyala terang, menerangi ruangan sepenuhnya. Zivara melihatnya—bayangan tinggi yang berdiri di sisi kolam, berpakaian seperti jubah tua, dengan wajah yang samar di bawah tudung. Bayangan itu tidak bergerak, hanya menatapnya dengan intensitas yang membuat Zivara merasa telanjang. “Kamu akhirnya datang,” kata suara dalam, rendah dan penuh otoritas, tapi ada nada kelembutan di dalamnya.
Zivara menelan ludah, memegang buku dan liontin erat-erat. “Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan dariku?” tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap teguh.
Bayangan itu tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia mengulurkan tangan, dan dari jarinya mengalir cahaya keemasan yang masuk ke dalam kolam. Air itu bergetar, dan gambar muncul di permukaannya—gambar Eryna, tersenyum di depan rumah kayu mereka, dengan Zivara kecil di sisinya. Zivara terdiam, air matanya jatuh lagi saat ia melihat ibunya hidup dalam kenangan itu. “Ibu…” bisiknya, suaranya penuh duka.
“Dia menunggumu,” kata bayangan itu, suaranya kini lebih lembut. “Tapi kau harus memilih. Cahaya atau kegelapan. Hidup atau pengorbanan.”
Zivara menatap kolam, lalu ke bayangan itu. Ia tidak tahu apa artinya, tapi ia merasa ibunya dekat, seperti bisikan tadi. Ia menggenggam liontin, merasakan kehangatan yang aneh di dadanya. “Aku akan melakukannya,” katanya akhirnya, suaranya teguh meskipun hatinya penuh ketakutan. “Untuk ibu.”
Bayangan itu mengangguk, lalu menghilang, meninggalkan Zivara sendirian dengan cahaya keemasan yang kini melemah. Lentera di sampingnya menyala kembali, tapi cahayanya tetap redup. Zivara mengambil buku itu, memasukkannya ke tasnya, dan melangkah ke arah kolam. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi ia tahu ia harus melangkah lebih dalam ke dalam kegelapan untuk menemukan cahaya yang ibunya tinggalkan. Di gua Tandraloka yang sunyi, perjalanan Zivara baru saja memasuki babak yang lebih gelap dan penuh misteri.
Panggilan dari Dalam
Pagi itu, jam menunjukkan 10:03 WIB, dan di dalam gua Tandraloka, waktu seolah kehilangan maknanya bagi Zivara Kaelith. Cahaya keemasan dari kolam besar di ruangan itu telah memudar, meninggalkan jejak samar di permukaan air yang kini tenang seperti cermin pecah. Zivara berdiri di tepi kolam, tangannya masih mencengkeram liontin bulan sabit yang hangat di telapaknya, sementara buku tua dari altar batu terjepit di bawah lengannya. Udara di gua terasa lebih berat, dipenuhi aroma tanah basah dan sesuatu yang samar—seperti lilin yang baru dipadamkan. Lentera di sampingnya menyala dengan nyala yang redup, cahayanya hanya cukup untuk menerangi wajahnya yang pucat dan mata cokelat tua yang kini dipenuhi ketegangan.
Zivara menatap kolam, pikirannya masih bergema dengan kata-kata bayangan berjubah yang baru saja menghilang: “Cahaya atau kegelapan. Hidup atau pengorbanan.” Gambar ibunya, Eryna, yang muncul di air tadi—senyumnya yang hangat, tangannya yang penuh kasih saat menggendong Zivara kecil—terasa seperti pisau yang menusuk jantungnya. Ia tahu ia harus membuat pilihan, tapi ketidakpastian itu seperti bayang yang terus mengintai di setiap sudut gua. Ia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, dan memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Jika ibunya menunggunya, seperti yang dikatakan bayangan itu, maka ia harus menemukan jawabannya.
Zivara berlutut di tepi kolam, merendam tangannya ke dalam air yang dingin dan jernih. Permukaannya bergetar lembut di bawah sentuhannya, dan tiba-tiba, ia merasa seperti terseret ke dalam kenangan. Gambar-gambar muncul di pikirannya—Eryna yang duduk di ambang pintu rumah kayu, menyanyikan lagu nina bobok dengan suara yang pelan, dan Zivara kecil yang tertidur di pangkuannya. Tapi kemudian, gambar itu berubah—Eryna yang terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat, dan bisikan terakhirnya tentang “cahaya di kegelapan.” Zivara menarik tangannya dengan cepat, air menetes dari jarinya, dan ia merasa napasnya tersengal. “Ibu, apa yang harus aku lakukan?” bisiknya, suaranya tenggelam oleh hening gua.
Ia berdiri lagi, mengambil buku tua itu, dan membukanya di halaman yang sebelumnya ia baca. Di bawah catatan tentang garis keturunan penjaga Tandraloka, ada petunjuk samar: “Cahaya disembunyikan di ruang terdalam, di mana hati gua bergetar. Hanya darah terakhir yang bisa membukanya.” Zivara mengernyit, mencoba memahami makna itu. Ruang terdalam? Hati gua? Ia menatap sekeliling, mencari petunjuk, dan matanya tertuju pada celah kecil di dinding seberang kolam—celah yang sebelumnya tidak ia perhatikan, tersembunyi di balik bayangan batu.
Dengan hati-hati, Zivara melangkah melintasi kolam, air naik hingga ke lututnya, membasahi gaun abu-abunya yang sudah robek. Ia merasa dingin menusuk tulang, tapi ia terus berjalan, lentera di tangannya bergetar dengan setiap langkah. Saat ia sampai di celah itu, ia melihat tangga batu sempit yang menurun ke dalam kegelapan lebih dalam. Udara dari bawah membawa aroma yang lebih tajam, seperti besi dan sesuatu yang manis, membuat bulu kuduknya berdiri. Zivara ragu sejenak, tapi bisikan ibunya yang terdengar tadi malam kembali menggema di pikirannya, mendorongnya untuk melangkah.
Tangga itu licin, dan Zivara harus berpegangan pada dinding yang dingin untuk menjaga keseimbangan. Setiap langkah terdengar bergema, bercampur dengan suara tetesan air yang semakin keras. Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, ia sampai di ruangan baru—ruangan yang lebih kecil, dengan dinding yang dipenuhi kristal hitam yang bersinar samar, menciptakan cahaya ungu redup. Di tengah ruangan, ada altar yang lebih besar, dengan permukaan yang ditutupi simbol-simbol yang sama seperti di lorong sebelumnya. Di atas altar, terdapat sebuah mangkuk batu kosong, dan di sampingnya, sebuah pisau kecil dengan gagang kayu yang sudah usang.
Zivara mendekat, jantungnya berdegup kencang. Ia mengenali pisau itu—bentuknya sama dengan sketsa di buku miliknya, yang ia gambar berdasarkan cerita ibunya tentang ritual kuno. Ia membuka buku lagi, membaca catatan tambahan: “Darah terakhir harus diberikan untuk membangkitkan cahaya. Hanya dengan pengorbanan, kegelapan bisa dihentikan.” Zivara menelan ludah, tangannya gemetar saat menyentuh pisau itu. Apakah ini yang dimaksud bayangan itu? Apakah ia harus melukai dirinya sendiri?
Sebelum ia bisa memutuskan, suara bisikan kembali terdengar, kali ini lebih jelas dan penuh emosi. “Zivara, jangan takut. Aku di sini.” Suara itu milik Eryna, dan Zivara merasa seperti ibunya berdiri di sampingnya. Ia menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa—hanya kristal hitam yang bersinar lebih terang. Cahaya ungu itu mulai bergetar, dan dari mangkuk batu, asap tipis muncul, membentuk gambar samar wajah Eryna. Matanya penuh kasih, tapi ada kesedihan di dalamnya.
“Ibu?” panggil Zivara, suaranya pecah. “Apa yang harus aku lakukan?”
Asap itu bergetar, dan suara Eryna terdengar lagi. “Kamu adalah cahaya terakhir, Zivara. Darahmu akan membangkitkan apa yang hilang, tapi kau harus rela melepaskan aku sepenuhnya. Pilih dengan hatimu.”
Zivara terdiam, air mata mengalir di wajahnya. Melepaskan ibunya berarti mengakhiri harapan untuk membawanya kembali, tapi membangkitkan cahaya berarti menyelamatkan desa—dan mungkin dirinya sendiri dari kutukan yang ia warisi. Ia memandang pisau di tangannya, lalu ke mangkuk batu. Dengan tangan yang gemetar, ia menusuk jari telunjuknya, dan tetesan darah merah jatuh ke dalam mangkuk. Rasa sakit menusuk, tapi ia mengabaikannya, menatap asap yang kini bergetar lebih kuat.
Mangkuk itu mulai bersinar, cahaya keemasan menyelinap dari dalamnya, menyebar ke seluruh ruangan. Kristal hitam di dinding menyala terang, dan suara gemuruh rendah terdengar, seperti jantung gua yang berdetak. Zivara mundur, napasnya tersengal, saat asap wajah Eryna mulai memudar. “Terima kasih, Zivara,” bisik suara itu untuk terakhir kali, lalu lenyap sepenuhnya.
Cahaya keemasan itu memenuhi ruangan, menghapus kegelapan, dan Zivara merasa tubuhnya ringan, seolah beban yang ia pikul selama bertahun-tahun terlepas. Tapi di dalam hatinya, ada kekosongan—ibunya telah pergi untuk selamanya. Ia jatuh berlutut, memeluk lututnya, menangis dalam diam. Di gua Tandraloka yang kini bersinar, Zivara menyadari bahwa pengorbanannya telah membawa cahaya, tapi juga mengakhiri cerita ibunya dalam hidupnya. Perjalanan ini belum selesai, dan ia tahu ada lebih banyak yang menantinya di kegelapan yang tersisa.
Cahaya di Ujung Jalan
Pagi di gua Tandraloka terasa berbeda pada hari itu, Senin, 23 Juni 2025, pukul 10:05 WIB, meskipun waktu di dalam gua seolah tak pernah selaras dengan dunia luar. Cahaya keemasan yang memenuhi ruangan terdalam masih menyelinap melalui celah-celah kristal hitam di dinding, menciptakan kilauan yang lembut namun memukau. Zivara Kaelith berlutut di lantai batu yang dingin, tangannya masih gemetar setelah pengorbanan darahnya yang membangkitkan cahaya itu. Jari telunjuknya yang terluka berdarah perlahan, tetesan merah jatuh ke mangkuk batu di altar, mencampur dengan kilauan emas yang kini menyebar ke seluruh gua. Wajahnya pucat, mata cokelat tuanya dipenuhi air mata yang baru saja ia tumpahkan, dan di dadanya terasa kekosongan yang dalam—ibunya, Eryna, telah pergi selamanya setelah bisikan terakhirnya.
Zivara bangkit dengan susah payah, tubuhnya terasa lelet karena kelelahan dan emosi yang menggerogoti. Gaun abu-abunya basah oleh air kolam dan kotor oleh debu gua, sementara tas kainnya tergantung longgar di bahunya, berat dengan buku tua dan liontin bulan sabit yang kini menjadi satu-satunya kenangan nyata dari ibunya. Cahaya keemasan di sekitarnya mulai bergetar, seolah hidup, dan suara gemuruh rendah dari dalam gua terdengar lagi, seperti jantung raksasa yang berdetak untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Zivara menatap mangkuk batu, yang kini bersinar terang, dan merasa ada dorongan aneh untuk menyentuhnya.
Dengan hati-hati, ia mengulurkan tangan yang tidak terluka, jarinya menyentuh permukaan mangkuk. Seketika, cahaya itu melonjak, menyelinap ke dalam kulitnya, hangat dan menyengat seperti aliran listrik. Gambar-gambar memenuhi pikirannya—Eryna yang tersenyum di bawah sinar matahari, desa Kaelthar yang damai sebelum kutukan, dan bayangan kegelapan yang perlahan merenggut kehidupan. Tapi di antara semua itu, ada sesuatu yang baru: sebuah visinya tentang cahaya yang membanjiri gua, menghapus kutukan, dan membawa kedamaian kembali ke desanya. Zivara tersentak, menarik tangannya, dan napasnya tersengal. “Apa ini?” gumamnya, suaranya penuh kebingungan.
Ruangan itu tiba-tiba bergetar, debu jatuh dari langit-langit, dan suara retakan terdengar dari dinding. Zivara mundur, mencoba menjaga keseimbangan, saat celah-celah kristal hitam mulai melebar, membiarkan cahaya keemasan menyelinap keluar. Ia merasa lantai di bawahnya bergoyang, dan dengan cepat mengambil lentera dan tasnya, berlari menuju tangga batu yang membawanya ke ruangan ini. Tangga itu bergetar hebat, batu-batu kecil runtuh di sekitarnya, tapi Zivara terus berlari, didorong oleh insting bertahan dan tekad untuk melihat akhir dari perjalanan ini.
Saat ia sampai di ruangan kolam besar, ia melihat sesuatu yang menakjubkan—cahaya keemasan dari ruangan terdalam telah menyebar ke seluruh gua, menerangi setiap sudut dengan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kolam itu bersinar terang, dan di permukaannya, ia melihat bayangan ibunya lagi, kali ini tidak hanya wajah, tapi seluruh tubuhnya. Eryna berdiri di tepi air, mengenakan gaun putih yang pernah ia kenakan di hari-hari terakhirnya, senyumnya penuh damai. “Zivara, kau telah melakukannya,” katanya, suaranya jernih meskipun hanya ilusi. “Kutukan telah pecah, dan cahaya kembali. Aku bangga padamu.”
Zivara terdiam, air mata mengalir lagi, tapi kali ini bercampur dengan senyum tipis. “Ibu… aku kangen kamu,” bisiknya, suaranya pecah. Eryna mengangguk, tangannya seolah menyentuh pipi Zivara, meskipun hanya udara yang ia rasakan. “Aku selalu bersamamu, dalam cahaya ini. Kini, pergilah, dan hidup untuk kami berdua.”
Bayangan itu memudar, dan kolam kembali tenang, tapi cahaya keemasan tetap ada, menyebar ke luar gua. Zivara menarik napas dalam-dalam, merasa beban di dadanya terlepas. Ia tahu ia harus kembali ke desa Kaelthar, membawa kabar bahwa kutukan telah dihentikan. Dengan langkah yang lebih ringan, ia melangkah keluar dari ruangan, mengikuti cahaya yang kini menerangi jalannya. Gua Tandraloka, yang dulu penuh kegelapan dan misteri, kini menjadi tempat kelahiran harapan baru.
Saat ia keluar dari gua, matahari pagi menyambutnya dengan hangat, sinarnya bercampur dengan cahaya keemasan dari dalam. Di kejauhan, ia melihat asap tipis dari desa Kaelthar, dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, ia merasa ada tujuan. Ia berjalan menuju desa, melewati hutan yang tampak lebih hijau, seolah alam ikut merayakan pembebasan dari kutukan. Di tangannya, ia memegang liontin, dan di dadanya, ia membawa kenangan ibunya yang kini menjadi bagian dari cahaya yang ia bawa.
Di desa, warga menyambutnya dengan keheranan dan haru. Langit yang selama bertahun-tahun kelabu kini cerah, dan tanaman yang mati mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Pemimpin desa, seorang lelaki tua bernama Tavrin, mendekatinya dengan mata berkaca-kaca. “Kau telah melakukannya, Zivara,” katanya, suaranya penuh kekaguman. “Kutukan Tandraloka telah pergi karena darahmu.”
Zivara mengangguk, tapi ia tidak merasa seperti pahlawan. Ia hanya merasa seperti anak yang akhirnya menemukan kedamaian untuk ibunya. Malam itu, di tengah perayaan desa, ia duduk sendirian di ambang rumah kayu ibunya, menatap langit yang dipenuhi bintang. Liontin di tangannya bersinar lembut, dan ia merasa Eryna ada di sana, menemaninya dalam diam. “Terima kasih, Ibu,” bisiknya, lalu menutup mata, membiarkan angin malam membelai wajahnya.
Di gua Tandraloka, cahaya keemasan tetap bersinar, menjadi mercusuar bagi desa, dan bagi Zivara, menjadi simbol cinta yang tak pernah padam. Perjalanannya di kegelapan telah membawanya ke cahaya, dan di ujung jalan itu, ia menemukan bukan hanya penebusan, tapi juga kehidupan baru yang penuh harapan. Di bawah langit yang cerah, Zivara tahu ia akan terus melangkah, membawa warisan ibunya dalam setiap langkahnya.
Bayang dalam Kegelapan adalah lebih dari sekadar cerpen—ini adalah perjalanan spiritual tentang keberanian, pengorbanan, dan cahaya yang lahir dari kegelapan. Dengan ending yang memikat dan penuh makna, cerita Zivara akan meninggalkan jejak di hati pembaca, mengajak mereka untuk merenung tentang kekuatan cinta dan harapan. Jangan lewatkan kesempatan untuk menyelami misteri gua Tandraloka dan temukan inspirasi yang tersembunyi dalam setiap halamannya.
Terima kasih telah menikmati ulasan tentang Bayang dalam Kegelapan! Kami harap artikel ini membawa Anda lebih dekat dengan dunia sastra yang memikat ini. Bagikan pengalaman membaca Anda di kolom komentar, dan sampai jumpa lagi di artikel menarik berikutnya!


