Daftar Isi
Temukan kekuatan mimpi dalam cerpen inspiratif Percayalah, Tuhan Memeluk Mimpimu, sebuah kisah emosional tentang Auralin Svarita, gadis desa yang berjuang melawan duka dan keterbatasan untuk mewujudkan mimpinya sebagai penulis. Penuh dengan detail menyentuh hati, cerita ini mengajak Anda menyelami perjalanan penuh harapan, cinta, dan keteguhan hati di tengah kerasnya kehidupan desa. Simak bagaimana Auralin menemukan cahaya di balik bayang-bayang duka, menginspirasi kita semua untuk percaya bahwa mimpi, sekecil apa pun, bisa terwujud dengan keyakinan dan kerja keras.
Percayalah, Tuhan Memeluk Mimpimu
Bayang di Balik Cahaya
Langit senja di desa kecil bernama Svarna tampak seperti lukisan yang retak. Jingga dan ungu bercampur, namun awan kelabu di kejauhan seolah menahan napas, menunggu sesuatu yang tak terucapkan. Di tepi sawah yang menghijau, seorang gadis muda bernama Auralin Svarita duduk di atas batu besar yang sudah usang, menatap cakrawala dengan mata yang penuh rahasia. Rambutnya yang panjang, hitam legam dengan ujung-ujung yang sedikit memudar cokelat karena sengatan matahari, berkibar pelan diterpa angin sore. Di tangannya, sebuah buku catatan lusuh dengan sampul kulit yang mulai mengelupas, tempat ia menuangkan mimpi-mimpinya yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun.
Auralin bukan gadis biasa. Di desa Svarna, yang terpencil di kaki pegunungan, ia dikenal sebagai “Si Pemimpi Liar” karena kebiasaannya berbicara tentang hal-hal yang bagi sebagian besar penduduk desa terdengar mustahil. Ia ingin menjadi penulis terkenal, yang cerita-ceritanya akan dibaca di kota-kota besar, bahkan di negeri-negeri yang namanya saja ia hanya dengar dari radio tua milik ayahnya. Namun, di desa yang hidupnya bergantung pada panen padi dan tradisi yang kaku, mimpi itu seperti burung yang dikurung dalam sangkar besi—indah, tapi tak bisa terbang.
“Auralin, pulanglah. Hari sudah gelap,” terdengar suara lembut namun tegas dari kejauhan. Itu suara Miraluna, ibunya, yang berdiri di ambang pintu rumah kayu mereka. Miraluna adalah wanita yang kuat, dengan wajah yang dipenuhi garis-garis halus akibat tahun-tahun penuh kerja keras dan pengorbanan. Matanya selalu menyimpan kehangatan, tapi juga kesedihan yang tak pernah ia ungkapkan. Auralin menoleh, tersenyum tipis, lalu menutup buku catatannya dengan hati-hati, seolah itu adalah harta karun satu-satunya.
“Aku datang, Ma,” jawab Auralin, suaranya lembut namun ada nada getir di dalamnya. Ia bangkit, menepuk-nepuk rok kainnya yang sudah sedikit usang, dan berjalan menuju rumah. Langkahnya ringan, tapi pikirannya berat. Di dalam hatinya, ada badai yang tak pernah reda—perjuangan antara mimpinya dan kenyataan yang terus menariknya ke bawah.
Di dalam rumah, aroma nasi yang baru matang dan ikan bakar menguar di udara. Meja kecil di tengah ruangan sudah disusun rapi, meski hanya ada tiga piring seng yang sedikit penyok. Ayahnya, Vardian, duduk di sudut ruangan, sibuk memperbaiki jaring ikan yang robek. Wajahnya keras, penuh bekas luka kecil dari tahun-tahun bekerja sebagai nelayan di sungai yang mengalir di dekat desa. Ia jarang bicara, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu penuh makna, seperti batu yang jatuh ke air—berat dan meninggalkan riak.
“Sudah selesai menulis mimpimu itu?” tanya Vardian tanpa menoleh, suaranya datar namun ada nada sindir yang halus.
Auralin menghela napas, meletakkan buku catatannya di samping tempat duduknya. “Bukan mimpi, Yah. Cerita. Aku sedang menulis cerita.”
Vardian mendengus pelan. “Cerita tak akan mengisi perutmu, Auralin. Besok ikut aku ke sungai. Kita perlu ikan lebih banyak untuk pasar minggu ini.”
Miraluna, yang sedang mengaduk sayur di dapur kecil, menoleh dengan cepat. “Vardian, biarkan dia. Dia masih muda. Biarkan dia bermimpi.”
“Bermimpi?” Vardian meletakkan jaring ikan di pangkuannya dan menatap istrinya dengan alis terangkat. “Miraluna, kau tahu kita bukan orang kota yang punya waktu untuk mimpi-mimpi kosong. Kita hidup dari tanah dan air, bukan dari kertas dan pena.”
Auralin menunduk, tangannya meremas ujung roknya. Ia ingin membela diri, ingin berteriak bahwa mimpinya bukan kosong, bahwa cerita-ceritanya bisa mengubah dunia—atau setidaknya mengubah hidupnya. Tapi ia tahu, berdebat dengan ayahnya seperti menabrak tembok batu. Ia hanya diam, menelan kata-kata yang berputar di kepalanya.
Makan malam berlangsung dalam sunyi. Hanya bunyi sendok yang beradu dengan piring seng dan desau angin yang masuk melalui celah-celah jendela kayu. Auralin memandang piringnya, tapi pikirannya melayang jauh. Ia membayangkan dirinya berdiri di panggung besar, dikelilingi orang-orang yang memuji buku-bukunya, mendengar tepuk tangan yang menggema. Tapi bayangan itu cepat memudar ketika suara ayahnya kembali menggema.
“Besok pagi, Auralin. Jangan lupa,” katanya sambil bangkit dari meja, meninggalkan piringnya yang masih setengah penuh.
Malam itu, Auralin berbaring di tikar jerami di kamar kecilnya. Cahaya bulan menyelinap melalui jendela, menerangi Daisar di langit-langit. Di sampingnya, buku catatan lusuh itu tergeletak, terbuka di halaman yang penuh coretan-coretan cerita yang belum selesai. Ia mengambil buku itu, memeluknya ke dada, dan menatap langit-langit. “Tuhan,” bisiknya pelan, “jika mimpi ini bukan untukku, kenapa Kau menanamnya di hatiku?”
Pagi harinya, seperti yang diperintahkan ayahnya, Auralin bersiap untuk pergi ke sungai. Ia mengenakan topi jerami tua dan sepatu kain yang sudah usang, lalu berjalan mengikuti Vardian menuju perahu kecil di tepi sungai. Pagi itu cerah, tapi udara terasa berat bagi Auralin. Sungai yang berkilau di bawah sinar matahari pagi seolah mengejeknya, mengingatkannya pada kehidupan yang tak pernah ia inginkan.
Di perahu, Vardian sibuk memeriksa jaring, sementara Auralin duduk di ujung, memandang air yang mengalir tenang. “Yah,” katanya tiba-tiba, suaranya ragu-ragu, “pernahkah Ayah bermimpi sesuatu yang besar? Sesuatu yang… tak mungkin?”
Vardian berhenti sejenak, tangannya yang kasar memegang jaring. Matanya menatap Auralin, dan untuk pertama kalinya, ada kelembutan di wajahnya yang biasanya keras. “Dulu, ya,” katanya pelan. “Tapi mimpi itu mati ketika aku menyadari perutku dan keluargaku harus makan.”
Auralin terdiam. Kata-kata ayahnya seperti pisau yang menusuk hatinya. Ia ingin bertanya lebih banyak, ingin tahu mimpi apa yang pernah dimiliki ayahnya, tapi Vardian sudah kembali ke jaringnya, seolah tak ingin melanjutkan pembicaraan.
Tiba-tiba, terdengar teriakan dari tepi sungai. “Vardian! Auralin!” Itu suara Miraluna, panik dan penuh ketakutan. Auralin dan Vardian segera mendayung perahu ke tepi. Miraluna berdiri di sana, wajahnya pucat, tangannya gemetar. “Desa sebelah… ada kebakaran besar. Rumah-rumah hangus. Mereka bilang… ada yang tak selamat.”
Auralin merasa dadanya sesak. Desa sebelah adalah tempat tinggal neneknya, Svarina, satu-satunya orang yang selalu mendukung mimpinya tanpa syarat. Tanpa berpikir panjang, ia melompat dari perahu dan berlari menuju desa sebelah, jantungnya berdegup kencang. Vardian dan Miraluna mengikuti di belakangnya, tapi Auralin tak peduli. Ia harus tahu apakah neneknya selamat.
Sampai di desa sebelah, pemandangan mengerikan menyambutnya. Asap hitam mengepul ke langit, rumah-rumah tinggal puing, dan tangisan para penduduk memenuhi udara. Auralin berlari menuju rumah neneknya, tapi yang ia temukan hanya reruntuhan. “Nek!” teriaknya, suaranya pecah. “Nenek Svarina!”
Seorang tetangga mendekat, wajahnya penuh debu dan air mata. “Auralin… maaf. Svarina… dia tak keluar dari rumah itu.”
Dunia Auralin seolah runtuh. Ia jatuh ke tanah, tangannya mencengkeram puing-puing hangus. Nenek Svarina, yang selalu membacakan cerita-cerita rakyat untuknya, yang percaya bahwa Auralin akan menjadi penulis besar suatu hari nanti, kini tiada. Air mata mengalir di pipinya, tapi ia tak bisa bersuara. Di dadanya, mimpi-mimpinya seolah ikut terbakar bersama reruntuhan itu.
Miraluna memeluknya erat, air matanya sendiri jatuh ke rambut Auralin. Vardian berdiri di belakang mereka, wajahnya keras tapi matanya berkaca-kaca. “Kita harus pulang,” katanya pelan, suaranya bergetar. “Kita… harus melanjutkan.”
Auralin tak tahu bagaimana ia bisa melangkah kembali ke rumah malam itu. Buku catatannya terasa lebih berat dari biasanya, seolah setiap kata yang ia tulis di dalamnya kini hanyalah abu. Tapi di dalam hatinya, ada suara kecil yang berbisik, suara neneknya: “Percayalah, Tuhan memeluk mimpimu. Jangan pernah menyerah.”
Malam itu, di bawah cahaya bulan, Auralin membuka buku catatannya. Dengan tangan gemetar, ia mulai menulis. Bukan cerita tentang kota-kota besar atau panggung-panggung gemerlap, tapi tentang seorang nenek yang percaya pada mimpi cucunya, tentang cinta yang tak pernah padam meski api telah melahap segalanya. Air matanya jatuh ke kertas, tapi ia terus menulis, seolah menulis adalah satu-satunya cara untuk menjaga neneknya tetap hidup.
Abu dan Harapan
Hari-hari setelah kebakaran itu terasa seperti kabut yang tak pernah sirna. Desa Svarna, yang biasanya dipenuhi suara tawa anak-anak dan celoteh para ibu di pasar kecil, kini diselimuti kesunyian yang mencekam. Berita tentang musibah di desa sebelah menyebar cepat, membawa duka yang seolah menempel di setiap sudut. Bagi Auralin Svarita, dunia yang dulu penuh warna kini hanya menyisakan abu-abu. Kehilangan Nenek Svarina, orang yang paling memahami mimpinya, seperti merenggut separuh jiwanya.
Pagi itu, Auralin duduk di beranda rumah kayu mereka, memandang sawah yang berkilau di bawah sinar matahari. Angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan, tapi tak mampu menyapu perasaan kosong di dadanya. Di pangkuannya, buku catatan lusuh itu tergeletak, belum disentuh sejak malam ia menulis tentang neneknya. Pena yang biasanya menari di tangannya kini terasa asing, seperti benda milik orang lain. Setiap kali ia mencoba menulis, bayangan reruntuhan rumah neneknya muncul, membuat tangannya gemetar dan kata-kata tersendat di pikirannya.
“Auralin,” panggil Miraluna lembut dari dalam rumah. Ibunya muncul di ambang pintu, mengenakan kain sederhana yang diikat di pinggang, tangannya masih basah karena mencuci piring. “Kau tak makan pagi tadi. Aku simpan nasi dan ikan di meja. Makanlah, Nak.”
Auralin mengangguk lemah, tapi tak bergerak. “Nanti, Ma,” jawabnya, suaranya hampir tak terdengar. Miraluna menghela napas, lalu duduk di samping putrinya. Tangannya yang kasar namun hangat menyentuh pundak Auralin, mencoba memberikan kekuatan yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.
“Kau tahu,” kata Miraluna setelah beberapa saat hening, “nenekmu selalu bilang bahwa kau punya hati yang besar. Hati yang bisa menampung cerita-cerita indah, bahkan di saat dunia terasa gelap.”
Auralin menoleh, matanya berkaca-kaca. “Tapi apa gunanya cerita, Ma? Nenek sudah tiada. Aku… aku tak tahu lagi kenapa aku harus menulis.”
Miraluna tersenyum tipis, meski ada kesedihan di matanya. “Cerita bukan hanya tentang apa yang kau tulis, Auralin. Cerita adalah cara kita mengingat, cara kita bertahan. Nenekmu hidup dalam cerita-cerita yang kau tulis tentangnya. Jangan biarkan dia benar-benar pergi dengan menghentikan mimpimu.”
Kata-kata ibunya seperti angin yang menerpa bara kecil di hati Auralin. Ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya, tapi ia belum tahu apakah itu harapan atau sekadar ilusi. Ia hanya mengangguk, lalu memeluk ibunya erat, mencari kehangatan di tengah dinginnya duka.
Sore itu, Vardian pulang dari sungai dengan wajah yang lebih muram dari biasanya. Jaring ikannya hanya membawa sedikit hasil, dan pasar mingguan di desa sepi karena banyak penduduk masih sibuk membantu korban kebakaran. Ia duduk di kursi kayu di ruang tengah, menatap lantai seolah mencari jawaban di sana. Auralin, yang sedang membantu Miraluna memasak, mencuri pandang ke arah ayahnya. Ada sesuatu di wajah Vardian yang membuatnya penasaran—bukan hanya lelah, tapi juga sesuatu yang lebih dalam, seperti penyesalan yang terkubur lama.
“Yah,” panggil Auralin ragu-ragu, sambil meletakkan piring di meja. “Apa yang Ayah pikirkan?”
Vardian menoleh, terkejut dengan pertanyaan itu. Untuk sesaat, ia tampak ingin menghindar, tapi kemudian ia menghela napas panjang. “Aku memikirkan Svarina,” katanya pelan. “Dan… mungkin juga tentang diriku sendiri.”
Auralin mengerutkan kening, tak mengerti. Vardian jarang sekali berbicara tentang perasaannya, apalagi tentang masa lalunya. “Apa maksud Ayah?”
Vardian menatap tangannya yang penuh kapalan, seolah melihat kenangan di sana. “Dulu, sebelum kau lahir, aku punya mimpi. Aku ingin membuat perahu besar, bukan sekadar perahu kecil untuk sungai. Aku ingin berlayar ke laut, melihat dunia yang lebih luas. Tapi hidup… hidup punya caranya sendiri untuk menghancurkan mimpi. Aku menyerah, Auralin. Aku memilih aman, memilih keluarga. Dan sekarang, melihatmu… aku takut kau akan mengulangi kesalahanku.”
Auralin terpaku. Untuk pertama kalinya, ia melihat ayahnya bukan sebagai sosok keras yang selalu menentang mimpinya, tapi sebagai seseorang yang pernah bermimpi dan kehilangan. Ada kelembutan di suara Vardian yang membuat hatinya terenyuh, tapi juga ada rasa sakit karena ia tahu ayahnya tak ingin ia menderita seperti dia.
“Aku tak akan menyerah, Yah,” kata Auralin, suaranya tegas meski air mata mulai menggenang. “Aku janji pada Nenek. Aku janji pada diriku sendiri.”
Vardian tak menjawab, hanya mengangguk pelan. Tapi di matanya, ada kilau yang berbeda—mungkin kebanggaan, mungkin harapan.
Keesokan harinya, Auralin memutuskan untuk pergi ke reruntuhan rumah neneknya. Ia tak tahu apa yang ingin ia cari di sana, tapi ada dorongan kuat di hatinya untuk kembali. Dengan buku catatannya di tangan dan topi jerami melindungi wajahnya dari matahari, ia berjalan menyusuri jalan setapak yang kini dipenuhi debu dan sisa-sisa kebakaran. Bau asap masih tercium samar, meski api sudah lama padam.
Sampai di reruntuhan, Auralin berdiri diam, menatap puing-puing yang dulu adalah rumah penuh kenangan. Di sudut, ia melihat sisa-sisa meja kayu tempat neneknya sering duduk sambil menceritakan kisah-kisah rakyat. Di dekatnya, ada kotak logam kecil yang entah bagaimana selamat dari kobaran api. Auralin mendekat, jantungnya berdegup kencang. Dengan tangan gemetar, ia membuka kotak itu.
Di dalamnya, ia menemukan setumpuk surat-surat tua, ditulis dengan tulisan tangan neneknya yang khas. Ada juga sebuah liontin kecil berbentuk burung, terbuat dari perak yang sudah sedikit kusam. Auralin mengambil salah satu surat dan mulai membaca. Surat itu ditujukan kepadanya, ditulis bertahun-tahun lalu ketika ia masih kecil.
Auralinku sayang,
Kau mungkin masih terlalu muda untuk mengerti, tapi suatu hari kau akan membaca ini. Aku selalu percaya bahwa Tuhan menanam mimpi di hati kita bukan tanpa alasan. Mimpimu untuk menulis, untuk menceritakan kisah-kisah yang menggugah hati, adalah anugerah. Jangan biarkan dunia membuatmu lupa siapa dirimu. Aku menyimpan liontin ini untukmu, sebagai pengingat bahwa mimpimu bisa terbang tinggi, seperti burung. Percayalah, Tuhan memeluk mimpimu.
Aku mencintaimu selalu,
Nenek Svarina
Air mata Auralin jatuh ke kertas, meninggalkan noda kecil. Ia memegang liontin itu erat-erat, merasakan kehangatan yang seolah berasal dari neneknya. Surat-surat lain berisi cerita-cerita pendek yang ditulis Svarina, beberapa di antaranya adalah kisah-kisah yang dulu diceritakan kepadanya. Auralin tersadar bahwa neneknya juga seorang pemimpi, seorang penutur cerita yang tak pernah mendapat kesempatan untuk menuliskan mimpinya di dunia yang lebih luas.
Malam itu, Auralin duduk di kamarnya, diterangi lampu minyak yang berkedip-kedip. Di depannya, buku catatannya terbuka, dan untuk pertama kalinya setelah kebakaran, pena di tangannya mulai bergerak. Ia menulis tentang neneknya, tentang surat-surat itu, tentang liontin burung yang kini tergantung di lehernya. Tapi ia juga menulis tentang dirinya sendiri—tentang rasa takut, tentang duka, dan tentang harapan yang mulai tumbuh kembali di hatinya.
Di luar, hujan mulai turun, membasahi tanah Svarna. Tapi di dalam kamar kecil itu, Auralin merasa ada cahaya baru yang menyala. Ia tahu perjalanan mimpinya masih panjang, penuh rintangan. Tapi dengan liontin di lehernya dan kata-kata neneknya di hatinya, ia merasa tak lagi sendirian. “Terima kasih, Nek,” bisiknya, sambil menulis kalimat terakhir untuk malam itu. “Aku akan membuatmu bangga.”
Hujan terus turun, seolah alam ikut menangis dan berdoa untuknya. Di kejauhan, petir menyambar, tapi Auralin tak takut. Ia tahu, di balik badai, selalu ada langit cerah yang menanti.
Langkah di Tengah Badai
Hujan yang turun semalaman meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk hidung. Pagi di desa Svarna terasa lebih sepi dari biasanya, seolah alam masih menghormati duka yang menyelimuti penduduknya. Auralin Svarita bangun dengan mata sembab, tapi ada semangat baru yang berkobar di dadanya. Liontin burung perak yang ditemukannya di reruntuhan rumah neneknya kini tergantung di lehernya, dingin menyentuh kulit, namun hangat di hati. Buku catatannya, yang semalam dipenuhi kata-kata tentang Nenek Svarina, terletak di samping tikar jerami tempat ia tidur. Untuk pertama kalinya setelah kebakaran, Auralin merasa mimpinya bukan lagi sekadar bayang-bayang, melainkan sesuatu yang nyata, yang bisa ia raih.
Di dapur, Miraluna sedang menyiapkan sarapan sederhana: nasi hangat, telur dadar, dan sambal yang pedasnya selalu membuat Auralin tersenyum. Vardian sudah pergi ke sungai sejak fajar, seperti biasa, meninggalkan rumah dalam kesunyian yang hanya dipecah oleh bunyi kayu bakar yang meletup di tungku. Auralin duduk di meja kecil, memandang ibunya yang sibuk mengaduk sambal. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya pagi ini—ia ingin berbagi, ingin ibunya tahu bahwa ia tak akan menyerah.
“Ma,” panggil Auralin, suaranya lembut tapi penuh tekad. “Aku menemukan sesuatu di rumah Nenek kemarin.”
Miraluna menoleh, alisnya terangkat penasaran. Auralin mengeluarkan kotak logam kecil dari saku roknya dan membukanya, memperlihatkan tumpukan surat-surat tua dan liontin burung yang kini ia kenakan. Ia menceritakan isi surat Nenek Svarina, kata-kata yang seperti nyala api di tengah kegelapan, dan cerita-cerita pendek yang ditulis neneknya. Miraluna mendengarkan dengan saksama, matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tersenyum.
“Nenekmu selalu punya cara untuk membuat orang percaya,” kata Miraluna, suaranya bergetar. “Dia juga pernah menulis surat untukku, dulu, saat aku ragu menikahi ayahmu. Dia bilang, ‘Miraluna, hidup itu seperti menanam padi. Kau harus sabar, meski badai datang.’”
Auralin tersenyum kecil, membayangkan neneknya duduk di meja kayu tua, menulis dengan penuh cinta. “Aku ingin meneruskan cerita-ceritanya, Ma. Aku ingin menulis, bukan hanya untukku, tapi untuk Nenek, untuk desa ini, untuk semua orang yang pernah kehilangan harapan.”
Miraluna mengangguk, menepuk tangan Auralin dengan lembut. “Lakukan, Nak. Tapi ingat, jalan itu tak akan mudah. Ayahmu… dia khawatir karena dia tahu dunia luar tak selalu ramah pada pemimpi seperti kita.”
Kata-kata ibunya membuat Auralin termenung. Ia tahu Vardian mencintainya, tapi ketakutan ayahnya akan kegagalan seperti bayangan yang selalu mengintai. Namun, pagi itu, Auralin memutuskan untuk tidak membiarkan ketakutan itu menghentikannya. Ia ingin membuktikan—kepada ayahnya, kepada dirinya sendiri, dan kepada dunia—bahwa mimpinya bukan sekadar angan kosong.
Setelah sarapan, Auralin memutuskan untuk pergi ke pasar desa, tempat para pedagang dari desa-desa tetangga berkumpul setiap minggu. Ia ingin mencari tahu apakah ada cara untuk mengirimkan ceritanya ke kota, mungkin ke penerbit atau surat kabar kecil yang pernah ia dengar dari radio tua ayahnya. Dengan buku catatan di tangan dan liontin burung di leher, ia berjalan menyusuri jalan setapak yang masih licin karena hujan semalam. Udara pagi terasa segar, tapi ada ketegangan di hatinya—ia tahu langkah ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar, namun juga penuh risiko.
Pasar desa Svarna tak pernah terlalu ramai, tapi hari itu terasa lebih lengang karena banyak penduduk masih membantu korban kebakaran di desa sebelah. Di sudut pasar, Auralin melihat seorang pedagang tua yang dikenalnya, Pak Taruna, yang sering membawa buku-buku bekas dari kota. Wajahnya keriput, tapi matanya selalu penuh semangat, seolah ia menyimpan seribu cerita di balik senyumnya.
“Pak Taruna,” sapa Auralin, mendekati gerobak kayu yang penuh dengan buku-buku lusuh dan majalah-majalah tua. “Apa kabar?”
“Lumayan, Nak,” jawab Pak Taruna, mengelap keringat di dahinya dengan kain usang. “Tapi pasar sepi hari ini. Orang-orang masih sibuk dengan urusan di desa sebelah.”
Auralin mengangguk, lalu ragu-ragu mengeluarkan buku catatannya. “Pak, aku punya cerita… cerita yang aku tulis. Apa Bapak tahu cara aku bisa mengirimnya ke kota? Mungkin ke penerbit atau surat kabar?”
Pak Taruna menatapnya dengan mata penuh minat. “Cerita, ya? Kau memang selalu berbeda, Auralin. Tunjukkan padaku.”
Dengan jantung berdegup kencang, Auralin membuka buku catatannya dan menunjukkan salah satu cerita yang ia tulis tentang Nenek Svarina—sebuah kisah tentang seorang wanita tua yang mengajarkan cucunya untuk bermimpi di tengah kerasnya hidup di desa. Pak Taruna membaca dengan saksama, alisnya terangkat beberapa kali, dan kadang ia mengangguk pelan. Setelah selesai, ia menatap Auralin dengan senyum lebar.
“Kau punya bakat, Nak,” katanya. “Ini bukan sekadar cerita. Ini… hidup. Aku kenal seseorang di kota, seorang editor di surat kabar kecil bernama Cahaya Nusantara. Namanya Ibu Salindra. Dia suka cerita-cerita yang punya jiwa. Aku bisa membantumu mengirimkan ini, tapi kau harus menyiapkan salinan yang rapi.”
Auralin merasa dadanya membuncah. Untuk pertama kalinya, seseorang dari luar keluarganya melihat nilai dalam tulisannya. “Terima kasih, Pak! Aku akan menyalinnya malam ini!”
Namun, kegembiraan itu tak bertahan lama. Saat Auralin berjalan pulang, ia mendengar bisik-bisik dari beberapa tetangga di pasar. “Itu Auralin, ya? Masih saja bermimpi jadi penulis. Kasihan, dia tak tahu dunia luar tak peduli pada anak desa seperti dia.” Kata-kata itu seperti duri yang menusuk, tapi Auralin menahan air matanya. Ia menggenggam liontin burung di lehernya, mengingat kata-kata neneknya: Percayalah, Tuhan memeluk mimpimu.
Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak, Auralin menyalin ceritanya dengan hati-hati di kertas bersih yang ia pinjam dari Pak Taruna. Tangan kanannya lelah, tapi ia tak berhenti. Setiap kata yang ia tulis terasa seperti doa, seperti janji kepada neneknya. Ketika ia selesai, fajar sudah menyingsing, dan ia merasa lelah namun puas. Ia membungkus salinan cerita itu dalam kain bersih, siap untuk diberikan kepada Pak Taruna keesokan harinya.
Namun, pagi itu membawa kabar buruk. Vardian pulang dari sungai dengan wajah pucat. “Sungai banjir,” katanya, suaranya berat. “Perahu kita… hanyut. Kita kehilangan hampir semua jaring.”
Miraluna menutup mulutnya, matanya penuh ketakutan. Auralin merasa dunia kembali runtuh di sekitarnya. Perahu dan jaring adalah sumber kehidupan keluarga mereka. Tanpa itu, mereka tak punya cara untuk membeli kebutuhan sehari-hari, apalagi membayar utang kecil yang masih tersisa dari musim paceklik sebelumnya.
“Aku akan ke kota,” kata Vardian, suaranya tegas meski penuh beban. “Aku akan cari kerja di sana, apa saja, sampai kita bisa bangkit lagi.”
Auralin merasa dadanya sesak. Ia tahu keputusan ayahnya berarti ia harus tinggal lebih lama di desa, membantu ibunya, dan menunda mimpinya. Tapi ia juga tahu, keluarganya lebih penting. “Aku akan membantu, Yah,” katanya, meski suaranya gemetar. “Aku bisa bekerja di sawah atau di pasar.”
Vardian menatapnya, dan untuk sesaat, ada kelembutan di matanya. “Kau anak yang kuat, Auralin. Tapi jangan lupakan mimpimu. Aku… aku tak ingin kau kehilangan apa yang pernah aku buang.”
Kata-kata itu membuat Auralin terpaku. Ia tak pernah menyangka akan mendengar ayahnya berkata demikian. Malam itu, setelah Vardian berangkat ke kota dengan pakaian seadanya, Auralin duduk di beranda, menatap langit yang penuh bintang. Ia menggenggam liontin burung, merasakan bobot harapan dan tanggung jawab di pundaknya. Cerita yang ia salin masih terbungkus rapi, menunggu untuk dikirim. Tapi kini, ia tahu perjuangannya bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk keluarganya, untuk neneknya, dan untuk setiap orang di desa Svarna yang pernah meragukan mimpinya.
Hujan mulai turun lagi, tapi Auralin tak bergerak. Ia membiarkan air hujan membasahi wajahnya, seolah alam ikut menangis bersamanya. Tapi di dalam hatinya, ada tekad yang semakin kuat. Ia akan menulis, ia akan berjuang, dan ia akan membuktikan bahwa mimpi, meski rapuh, bisa bertahan di tengah badai.
Sayap di Ufuk Baru
Langit pagi di desa Svarna terasa lebih cerah dari biasanya, meski aroma tanah basah masih tersisa dari hujan semalam. Auralin Svarita berdiri di beranda rumah kayu mereka, memandang sawah yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Liontin burung perak di lehernya berkilau lembut, seolah mengingatkannya pada janji yang ia buat pada dirinya sendiri, pada Nenek Svarina, dan kini pada keluarganya. Buku catatannya, yang kini penuh dengan cerita-cerita baru, tergeletak di sampingnya, bersama dengan salinan cerita yang ia siapkan untuk dikirim ke kota melalui Pak Taruna. Namun, di hatinya, ada beban baru: ayahnya, Vardian, kini bekerja di kota, meninggalkan ia dan ibunya, Miraluna, untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga di desa.
Hari-hari setelah kepergian Vardian terasa berat. Auralin membantu Miraluna di sawah, mencabuti rumput liar dan memanen padi yang mulai menguning. Tangan yang biasanya memegang pena kini penuh lecet karena cangkul, tapi ia tak mengeluh. Setiap malam, setelah tubuhnya lelah dan pikirannya letih, ia tetap meluangkan waktu untuk menulis. Di bawah cahaya lampu minyak yang redup, ia menuangkan cerita-cerita tentang desa Svarna—tentang petani yang berjuang melawan banjir, tentang anak-anak yang bermimpi di bawah langit penuh bintang, dan tentang nenek yang percaya bahwa mimpi bisa mengubah dunia. Tulisannya kini lebih dalam, lebih penuh emosi, seolah setiap kata adalah doa untuk keluarganya dan untuk masa depan yang ia perjuangkan.
Suatu sore, ketika Auralin kembali dari pasar dengan keranjang berisi sayuran dan sedikit ikan, ia melihat Pak Taruna menunggu di depan rumah. Wajah tua pedagang itu penuh semangat, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru menemukan harta karun. “Auralin!” panggilnya, melambai dengan antusias. “Ada kabar dari kota!”
Jantung Auralin berdegup kencang. Ia buru-buru meletakkan keranjangnya dan mendekati Pak Taruna. “Kabar apa, Pak? Ceritaku… apa mereka menerimanya?”
Pak Taruna mengangguk, mengeluarkan selembar surat dari saku bajunya yang lusuh. “Ibu Salindra dari Cahaya Nusantara membaca ceritamu. Dia bilang ini salah satu cerita terbaik yang pernah sampai ke mejanya. Mereka ingin menerbitkannya di edisi minggu depan, dan… mereka ingin kau menulis lagi!”
Auralin terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Air mata mulai menggenang di matanya, tapi kali ini bukan karena duka, melainkan karena kebahagiaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Benarkah, Pak?” tanyanya, suaranya bergetar. “Mereka… menyukainya?”
“Bukan hanya menyukai, Nak,” kata Pak Taruna, tersenyum lebar. “Mereka bilang ceritamu punya jiwa. Ibu Salindra bahkan ingin bertemu denganmu. Dia akan datang ke desa minggu depan untuk membahas lebih lanjut.”
Auralin memeluk Pak Taruna tanpa sadar, air matanya jatuh ke bahu lelaki tua itu. “Terima kasih, Pak. Terima kasih!” Ia merasa liontin burung di lehernya seolah bergetar, seolah Nenek Svarina tersenyum dari langit, bangga padanya.
Malam itu, Auralin menceritakan kabar gembira itu kepada Miraluna. Ibunya memeluknya erat, air mata mereka bercampur dalam kehangatan pelukan. “Nenekmu pasti tersenyum di sana,” kata Miraluna, suaranya penuh kebanggaan. “Kau membuat kami semua bangga, Auralin.”
Namun, di tengah kebahagiaan itu, ada kekhawatiran yang mengintai. Vardian belum pulang dari kota, dan surat-surat yang ia kirim hanya berisi kabar singkat bahwa ia bekerja sebagai buruh bangunan, pekerjaan yang berat dan tak menjanjikan masa depan cerah. Auralin tahu, mimpinya yang mulai terwujud tak akan lengkap tanpa ayahnya di sisinya. Ia ingin Vardian melihat bahwa mimpi bukan hanya untuk orang-orang kota, bahwa anak desa seperti mereka juga bisa mengukir nama di dunia.
Minggu berikutnya, ketika Ibu Salindra tiba di desa Svarna, suasana pasar kecil berubah menjadi ramai. Wanita berusia empat puluhan itu, dengan rambut pendek dan kacamata bulat, membawa aura kota yang asing namun menarik bagi penduduk desa. Ia bertemu Auralin di rumah mereka, duduk di beranda sederhana dengan secangkir teh pandan yang disuguhkan Miraluna. Auralin merasa gugup, tangannya berkeringat saat ia menyerahkan buku catatannya kepada Ibu Salindra.
“Auralin,” kata Ibu Salindra, suaranya tenang namun penuh wibawa, “ceritamu tentang nenekmu… itu menyentuh hati. Aku jarang menemukan penulis muda yang bisa menangkap emosi begitu dalam. Kami ingin kau menulis kolom mingguan untuk Cahaya Nusantara. Cerita-cerita tentang desa, tentang orang-orang seperti kalian, yang sering dilupakan dunia.”
Auralin hampir tak bisa berkata-kata. “Kolom mingguan? Tapi… aku cuma anak desa, Bu. Aku tak pernah sekolah tinggi.”
Ibu Salindra tersenyum. “Bakat tak butuh ijazah, Auralin. Yang kau butuhkan adalah hati, dan itu sudah kau miliki. Aku akan membantumu. Kami akan mengirimkan kertas dan pena, bahkan mesin tik kecil jika kau mau. Yang penting, jangan berhenti menulis.”
Pertemuan itu seperti mimpi bagi Auralin. Ia merasa dunia yang dulu terasa begitu jauh kini ada di depan matanya, menanti untuk disentuh. Namun, di tengah kegembiraan, ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa keluarganya masih berjuang. Malam itu, ia menulis surat untuk Vardian, menceritakan kabar gembira tentang ceritanya yang diterbitkan dan rencana kolom mingguan. Ia menulis dengan hati-hati, memilih kata-kata yang ia harap bisa menyentuh hati ayahnya.
“Yah,” tulisnya, “aku tahu Ayah tak selalu percaya pada mimpiku, tapi aku ingin Ayah tahu bahwa aku melakukan ini untuk kita semua. Aku ingin Ayah pulang, melihat desa ini dengan mata baru, melihat bahwa kita bisa lebih dari sekadar petani dan nelayan. Aku ingin kita bermimpi bersama lagi.”
Seminggu kemudian, Vardian pulang. Wajahnya lebih tirus, kulitnya gosong karena terik matahari kota, tapi matanya penuh dengan sesuatu yang baru—harapan. Ia membawa surat balasan dari Auralin di tangannya, sudah lusuh karena dibaca berulang-ulang. Ketika ia memeluk Auralin, air mata mengalir di wajahnya yang keras, sesuatu yang tak pernah dilihat Auralin sebelumnya.
“Aku salah, Auralin,” katanya, suaranya parau. “Aku pikir mimpi hanya akan menyakitimu, seperti menyakitiku dulu. Tapi kau… kau membuktikan bahwa aku salah. Aku bangga padamu.”
Auralin menangis dalam pelukan ayahnya, merasakan beban di hatinya melebur. Malam itu, keluarga kecil itu duduk bersama di beranda, menatap langit yang penuh bintang. Miraluna memegang tangan Vardian, sementara Auralin menggenggam liontin burung di lehernya. Mereka tak banyak bicara, tapi kebersamaan itu terasa seperti hadiah terbesar.
Beberapa bulan kemudian, cerita-cerita Auralin di Cahaya Nusantara mulai dikenal. Surat-surat dari pembaca datang, menceritakan bagaimana tulisannya menginspirasi mereka untuk mengejar mimpi mereka sendiri. Desa Svarna, yang dulu hanya dikenal sebagai desa kecil di kaki pegunungan, kini menjadi simbol harapan bagi banyak orang. Auralin bahkan mulai mengajar anak-anak desa untuk menulis, berbagi cerita, dan bermimpi besar.
Di malam yang tenang, Auralin berdiri di tepi sawah, tempat ia dulu sering duduk bersama buku catatannya. Ia menatap langit, yang kini terasa lebih luas, lebih penuh kemungkinan. Liontin burung di lehernya seolah berbisik, mengingatkannya pada kata-kata neneknya: Percayalah, Tuhan memeluk mimpimu.
“Aku melakukannya, Nek,” bisik Auralin, air matanya jatuh tapi bibirnya tersenyum. “Dan aku tak akan berhenti.”
Di kejauhan, angin membawa suara desa yang mulai hidup kembali—tawa anak-anak, nyanyian ibu-ibu di pasar, dan harapan yang tumbuh di setiap hati. Auralin tahu, ini bukan akhir, melainkan awal dari cerita baru. Dan di dalam hatinya, ia merasa Nenek Svarina, Tuhan, dan mimpinya, semuanya memeluknya erat, menuntunnya menuju ufuk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Percayalah, Tuhan Memeluk Mimpimu bukan sekadar cerita, melainkan cerminan bahwa setiap mimpi memiliki kekuatan untuk mengubah hidup, bahkan dari desa kecil seperti Svarna. Kisah Auralin mengajarkan kita untuk terus melangkah, meski badai menghadang, karena di balik setiap tantangan, ada harapan yang menanti untuk dirangkul. Jadilah seperti Auralin—berani bermimpi, berani berjuang, dan percaya bahwa mimpimu selalu dipeluk oleh kekuatan yang lebih besar.
Terima kasih telah menyimak kisah inspiratif ini! Mari berbagi semangat Auralin dengan mengejar mimpi Anda sendiri. Jangan lupa tinggalkan komentar, bagikan artikel ini, dan ikuti kami untuk cerita-cerita penuh makna lainnya. Sampai jumpa di petualangan berikutnya!


