NU Penjaga Keutuhan NKRI: Kisah Perjuangan Persatuan

Posted on

Di Desa Sumberagung, keluarga Darmokusumo menunjukkan kekuatan ajaran Nahdlatul Ulama (NU) dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di tengah ancaman intoleransi. NU Penjaga Keutuhan NKRI: Kisah Perjuangan Persatuan adalah cerpen mengharukan yang menggambarkan perjuangan seorang kiai dan anak-anaknya untuk mempertahankan persatuan melalui nilai-nilai damai. Artikel ini akan menginspirasi Anda dengan kisah nyata ini, menyoroti peran NU dalam membangun harmoni, dan memotivasi Anda untuk turut menjaga keutuhan bangsa.

NU Penjaga Keutuhan NKRI

Panggilan di Tengah Badai

Pagi hari di Desa Sumberagung diselimuti kabut tebal pada hari Rabu, 18 Juni 2025, pukul 11:17 WIB. Sinar matahari pagi baru mulai menembus celah-celah jendela kayu rumah sederhana milik keluarga Darmokusumo, sebuah bangunan kecil dari bambu dan genting usang yang berdiri di tepi sawah luas. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah dan dedaunan basah akibat hujan semalam, sementara suara ayam berkokok terdengar samar di kejauhan. Di dalam ruang utama yang diterangi lampu minyak redup—karena listrik sering padam—aroma kopi hitam yang diseduh di tungku bercampur dengan bau kayu bakar yang masih mengepul pelan, menciptakan suasana hangat namun penuh ketegangan.

Darmokusumo, seorang kiai berusia lima puluh tahun, duduk di atas tikar pandan yang sudah usang, rambutnya yang mulai memutih disanggul rapi dengan sorban sederhana berwarna cokelat tua. Jubah panjangnya yang sedikit compang-camping menunjukkan tahun-tahun panjang ia mengabdi sebagai ulama Nahdlatul Ulama (NU) di desa ini. Di depannya, terdapat dua anaknya: Wirayuda dan Srikandini, yang tenggelam dalam keheningan pagi. Wirayuda, anak sulung berusia delapan belas tahun, berdiri di sudut dengan wajah penuh keraguan, memegang surat panggilan dari organisasi pemuda desa yang memintanya bergabung dalam aksi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akibat meningkatnya isu intoleransi di daerah tetangga. Srikandini, adiknya yang berusia lima belas tahun, duduk di lantai dengan buku tafsir di tangan, rambut panjangnya yang diikat kuncir tergerai sedikit, matanya penuh rasa ingin tahu.

“Wir, surat ini bukan main-main. Ada gejolak di luar sana, dan NU panggil kita untuk jaga persatuan,” ujar Darmokusumo, suaranya dalam namun penuh kelembutan, sambil menggulung sorban lebih rapi. Ia tahu ancaman intoleransi yang mulai merembet ke desa-desa sekitar bisa menggoyahkan semangat kebersamaan yang selama ini dijaga NU. Matanya menatap Wirayuda dengan harap, meski hatinya gelisah memikirkan risiko yang mungkin dihadapi anaknya.

Wirayuda mengangguk pelan, tetapi pandangannya kosong. “Bapak, aku takut. Teman-teman bilang aksi ini berbahaya. Ada yang terluka di desa sebelah karena bentrokan,” katanya, suaranya bergetar. Ia ingat hari-hari damai bersama ayahnya mengaji di langgar desa, tetapi kini desa mereka diambang ujian berat. Surat itu bukan sekadar panggilan, melainkan tanggung jawab yang membuatnya ragu. Di tangannya, ia memutar-mutar pena, tanda kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.

Darmokusumo menghela napas dalam, matanya berkaca-kaca. Sebagai kiai, ia telah mengabdikan hidupnya untuk mengajarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin, sesuai ajaran NU yang selalu menekankan toleransi dan persatuan. Kematian istrinya, Nyai Lestari, dua tahun lalu akibat sakit yang tak terjangkau biaya pengobatan, meninggalkan luka dalam baginya. Ia kini menjadi tulang punggung keluarga, mengisi hati anak-anaknya dengan ajaran agama dan cinta tanah air. Buku-buku kuning tua berisi kitab kuning dan sejarah perjuangan NU menjadi saksi bisu perjuangannya, selalu ia jadikan pedoman.

“Sri, kau juga harus dukung kakakmu,” lanjut Darmokusumo, menoleh ke arah Srikandini. “Kita bagian dari NU, bagian dari NKRI. Keutuhan ini tanggung jawab kita semua.”

Srikandini mengangguk pelan, meski dadanya terasa berat. Ia ingin membantu, tetapi sebagai gadis muda, ia merasa tak berdaya di tengah ancaman yang membayang. Matanya tertuju pada buku tafsir, mencari ayat-ayat yang bisa memberi kekuatan. “Bapak, aku bisa doa dan bantu ajak temen-temen di madrasah, ya?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh tekad.

Malam itu, setelah sholat maghrib, keluarga berkumpul di langgar kecil di belakang rumah untuk pembacaan kitab bersama. Darmokusumo membuka kitab kuning, membacakan ayat-ayat tentang persatuan umat dan cinta tanah air dengan suara yang merdu, didampingi Wirayuda yang mencatat poin-poin penting. Srikandini duduk di samping, menyalin ayat-ayat ke buku kecilnya, sesekali menatap kakaknya dengan harap. Cahaya lampu minyak redup menjadi saksi bisu usaha mereka, mencoba menjaga semangat di tengah ancaman yang mengintai.

Namun, di balik kehangatan itu, ada bayang-bayang yang mengancam. Beberapa hari lalu, desa tetangga dilaporkan mengalami bentrokan akibat provokasi kelompok intoleran, dan rumor serupa mulai menyebar ke Sumberagung. Pak Winarno, tetangga yang pulang dari kota, mengatakan bahwa isu tersebut didorong oleh pihak luar yang ingin memecah belah. Wirayuda tahu ayahnya akan kecewa jika ia mundur, tetapi rasa takut akan keselamatan keluarganya membuatnya berpikir ulang.

“Bapak, kalau aku ikut aksi, apa aman buat kita?” tanya Wirayuda tiba-tiba, memecah keheningan setelah pembacaan selesai. Suaranya tegas, tapi matanya menunjukkan ketidakpastian.

Darmokusumo menutup kitab perlahan, menatap anak sulungnya dengan mata penuh kebijaksanaan. “Wir, aman atau tidak, kita harus jaga NKRI. NU ajarkan kita untuk damai, tapi juga teguh. Kita tak sendirian—ada jamaah, ada ulama, ada rakyat. Kita doa dan bertindak bareng,” katanya, suaranya penuh keyakinan meski hatinya bergetar memikirkan risiko.

Srikandini menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin bilang bahwa ia akan mengajak teman-temannya di madrasah untuk doa bersama, tetapi rasa khawatir membuatnya diam. Wirayuda, tergerak oleh kata-kata ayahnya, mengangguk pelan, merasa ada kekuatan baru menyelinap ke hatinya. Darmokusumo mengelus kepala Srikandini, hatinya terasa berat namun penuh harap. Ia ingat janji yang pernah ia buat pada Nyai Lestari di ranjang kematiannya: menjaga anak-anak mereka dan mengabdikan diri untuk keutuhan NKRI melalui ajaran NU.

Setelah anak-anak tidur, Darmokusumo duduk di beranda yang dingin, menatap langit yang dipenuhi bintang. Angin malam membawa aroma rumput liar dan bunga kamboja dari kebun tetangga, tetapi pikirannya terasa kacau. Ia mengeluarkan buku harian kecil dari saku jubahnya—milik Nyai Lestari—yang berisi catatan tentang mimpinya melihat Wirayuda menjadi pemimpin muda yang menjaga persatuan, dan Srikandini menjadi penyebar damai melalui ilmu agama. Air matanya jatuh ke halaman buku itu, meninggalkan noda kecil di tinta yang sudah memudar.

“Lestari, aku takut gagal lindungi anak-anak dan desa kita,” gumamnya pada angin malam. “Wir ragu, Sri khawatir. Apa aku cukup kuat untuk ini?”

Tapi di balik ketakutannya, ada keyakinan yang membara. Darmokusumo tahu, peran NU dalam menjaga keutuhan NKRI adalah panggilan suci yang harus ia jawab. Ia akan terus membimbing, terus mendorong, dan terus mengajak jamaah, meski hanya dengan lampu minyak redup sebagai cahaya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah, mengingat setiap tetes keringat dan air mata yang ia curahkan adalah untuk menjaga persatuan bangsa yang dicintai.

Langit mulai cerah, dan rumah bambu itu kembali diselimuti keheningan. Di dalamnya, sebuah keluarga kecil terus berjuang, dipandu oleh kiai yang menjadikan ajaran NU sebagai lentera di tengah badai. Panggilan di tengah badai mungkin masih samar, tetapi semangat Darmokusumo, Wirayuda, dan Srikandini untuk menjaga keutuhan NKRI mulai menyala, siap menerangi jalan menuju perdamaian yang lebih kokoh.

Bayang di Pasar Pagi

Pagi hari di Desa Sumberagung terasa lebih ramai pada hari Kamis, 19 Juni 2025, pukul 08:30 WIB, dengan suara pedagang yang mulai menata dagangan di pasar mingguan yang terletak di pusat desa. Sinar matahari pagi memecah kabut tipis yang menyelimuti sawah, menerangi jalan setapak yang basah oleh embun dan sedikit lumpur akibat hujan semalam. Di beranda rumah bambu milik keluarga Darmokusumo, aroma teh hangat yang diseduh di dapur kecil bercampur dengan bau kayu bakar yang masih mengepul dari tungku. Hari ini adalah hari pasar, dan Darmokusumo telah bersiap sejak subuh, membawa beberapa buku tua dan selebaran ajakan damai yang akan ia sebarkan bersama jamaah NU untuk menangkal isu intoleransi yang mulai merebak.

Darmokusumo berdiri di dekat pintu, mengenakan jubah cokelat tua yang sedikit lusuh dan sorban yang disampirkan dengan rapi. Tangannya yang penuh kapalan memegang keranjang anyaman berisi buku-buku dan selebaran, sementara matanya menatap Wirayuda dan Srikandini yang masih bergerak pelan di dalam rumah. Rambutnya yang memutih disanggul dengan hati-hati, dan wajahnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan setelah malam penuh diskusi dengan sesepuh desa. Wirayuda mengenakan kemeja sederhana dan sarung motif sederhana, siap membantu ayahnya, sementara Srikandini memakai jilbab hijau tua dan membawa buku tafsir kecil, bertekad ikut menyebarkan pesan damai.

“Wir, Sri, ayo cepat! Kita ke pasar, ajak warga jaga persatuan,” panggil Darmokusumo, suaranya tegas namun penuh kehangatan. Ia tahu hari ini bukan hanya tentang berdagang, tetapi juga tentang memperkuat semangat keutuhan NKRI melalui ajaran NU. Dompet kain kecil di sakunya hanya berisi beberapa koin dan uang lusuh, cukup untuk kebutuhan sehari, tetapi ia berharap bisa mengumpulkan dukungan moral dari warga.

Wirayuda berjalan di depan, memegang keranjang dengan tangan yang sedikit gemetar karena beban. Wajahnya penuh keraguan, pikirannya masih dipenuhi oleh ancaman bentrokan di desa tetangga dan rasa takut akan keselamatan keluarga. Ia tahu ayahnya ingin ia menjadi bagian dari perjuangan NU, tetapi bayang-bayang bahaya terus menggodanya. Srikandini mengikuti di belakang, jilbabnya tergerai sedikit, dan matanya tertuju pada buku tafsir yang ia pegang erat, berharap menemukan kekuatan di dalamnya. Mereka berjalan menuju pasar, langkah kaki mereka terdengar di jalan setapak yang licin.

Pasar Sumberagung ramai dengan suara tawar-menawar, aroma ikan segar, dan warna-warni sayuran yang ditata di los-los sederhana. Darmokusumo menuju area terbuka di tengah pasar, tempat ia biasa mengadakan pengajian singkat untuk warga. Wirayuda membantu menyebarkan selebaran, sementara Srikandini mendekati anak-anak muda untuk mengajak mereka bergabung dalam doa bersama. Pak Suryadi, seorang pedagang tua yang juga anggota NU, mendekati Darmokusumo dengan ekspresi serius.

“Kiai Dar, aku dengar ada kelompok di luar desa yang nyoba pecah belah. Kita harus cepat gerak,” ujar Pak Suryadi sambil menata dagangannya.

Darmokusumo mengangguk, matanya memandang ke arah warga yang mulai berkumpul. “Iya, Pak. NU panggil kita untuk jaga NKRI. Kita ajak warga dialog, tunjukkan ajaran damai,” jawabnya, suaranya penuh keyakinan. Ia lalu mengambil mikrofon sederhana dari keranjang, memulai pengajian singkat dengan membacakan ayat-ayat tentang persatuan umat dan cinta tanah air.

Wirayuda berdiri di samping, membagikan selebaran sambil menjelaskan pesan damai kepada warga yang mendekat. Namun, di tengah kerumunan, ia mendengar bisik-bisik tentang ancaman dari kelompok intoleran yang disebut akan datang ke desa. Rasa takut kembali menyelinap, tetapi ia ingat nasihat ayahnya tentang keberanian yang dibutuhkan untuk menjaga persatuan. Srikandini, di sisi lain, duduk bersama anak-anak madrasah, membacakan doa dari bukunya dengan suara lembut, berharap bisa menanamkan semangat damai sejak dini.

Sore itu, setelah pengajian selesai, warga mulai berkumpul lebih banyak, mendengarkan Darmokusumo yang berbicara tentang peran NU dalam menjaga keutuhan NKRI. “Kita berbeda-beda, tapi satu hati untuk Indonesia. NU ajarkan kita untuk damai, bukan memecah,” katanya, suaranya menggema di pasar yang kini sepi dari hiruk-pikuk dagang. Wirayuda membantu mengatur kursi, sementara Srikandini membagikan air minum dari kendi tua yang dibawa dari rumah.

Namun, di tengah semangat itu, ada gangguan yang muncul. Sekitar pukul 16:00 WIB, sekelompok orang asing datang ke pasar, membawa spanduk provokatif yang memicu ketegangan. Warga mulai berbisik, dan suasana menjadi tegang. Darmokusumo bergegas mendekati kelompok itu, diikuti Wirayuda yang hatinya berdegup kencang. “Saudara-saudara, mari kita bicara. Kita semua bagian NKRI, jangan biarkan perbedaan memecah kita,” ujar Darmokusumo dengan nada tenang namun tegas.

Salah satu dari kelompok itu, seorang pria berwajah garang, menatap Darmokusumo dengan sinis. “Kiai, ini urusan kami. Kalian cuma mau mempertahankan kekuasaan lama,” katanya, suaranya penuh tantangan. Wirayuda ingin melangkah maju, tetapi ayahnya menahannya, menunjukkan sikap damai sesuai ajaran NU. Srikandini, dari kejauhan, berdoa dalam hati, matanya berkaca-kaca melihat ketegangan yang muncul.

Setelah diskusi panjang yang penuh emosi, kelompok itu akhirnya meninggalkan pasar, meski dengan nada tidak puas. Warga bersorak kecil, menghargai usaha Darmokusumo. Malam itu, setelah kembali dari pasar, keluarga berkumpul di langgar untuk refleksi. Darmokusumo membuka buku harian Nyai Lestari, membaca catatan tentang mimpinya melihat Wirayuda menjadi pelopor persatuan. “Lestari, kita hadapi badai hari ini. Tapi aku yakin, anak-anak kita akan lanjutkan perjuangan,” gumamnya, suaranya penuh harap.

Wirayuda menatap ayahnya dengan mata baru, merasa ada kekuatan yang tumbuh di dalam dirinya. “Bapak, aku akan ikut aksi. Aku tak mau desa kita pecah,” katanya, suaranya teguh. Srikandini mengangguk, menambahkan, “Aku akan ajak temen-temen doa bareng, Bapak.” Darmokusumo tersenyum, air matanya hampir jatuh, merasa harapan kembali menyala di tengah bayang yang mengintai.

Langit mulai gelap, dan rumah bambu itu diselimuti keheningan. Di dalamnya, sebuah keluarga kecil terus berjuang, dipandu oleh kiai yang menjadikan NU sebagai benteng keutuhan NKRI. Bayang di pasar pagi mungkin masih ada, tetapi semangat Darmokusumo, Wirayuda, dan Srikandini untuk menjaga persatuan mulai membara, siap menghadapi tantangan berikutnya.

Perisai di Tengah Cobaan

Pagi hari di Desa Sumberagung terasa tegang pada hari Rabu, 18 Juni 2025, pukul 11:19 WIB, dengan udara yang masih dingin setelah hujan deras semalam. Sinar matahari pagi mulai menyelinap melalui celah-celah jendela bambu rumah Darmokusumo, menciptakan pola lembut di lantai yang sudah usang. Di dapur kecil, aroma nasi hangat bercampur dengan bau kayu bakar dari tungku yang masih menyala, sementara Darmokusumo sibuk menyiapkan teh hangat untuk keluarganya. Hari ini adalah hari persiapan aksi damai yang diorganisasi oleh NU untuk menangkal ancaman intoleransi yang semakin nyata, dan suasana rumah dipenuhi semangat yang bercampur dengan kecemasan.

Darmokusumo berdiri di dekat tungku, mengenakan jubah cokelat tua yang sedikit lusuh dan sorban yang disampirkan dengan hati-hati. Tangannya yang penuh kapalan bergerak pelan menuang teh, meski wajahnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan setelah malam penuh diskusi dengan sesepuh desa. Rambutnya yang memutih disanggul rapi, dan matanya sesekali melirik ke arah Wirayuda dan Srikandini yang mulai berkumpul di ruang utama. Di meja kayu tua, Wirayuda duduk dengan buku panduan aksi damai yang disusun NU terbuka di depannya, pena di tangan, dan wajahnya penuh konsentrasi. Srikandini ikut duduk di samping, membawa buku tafsir dan daftar nama teman madrasah yang akan diajak doa bersama, siap mendukung kakaknya.

“Wir, kita siapin strategi hari ini. Aksi damai butuh hati yang tenang dan kepala yang dingin,” ujar Darmokusumo, membawa cangkir teh ke meja dan duduk di tikar pandan yang berderit. Suaranya tegas namun penuh kelembutan, mencerminkan peran utamanya sebagai pemandu keluarga dan komunitas. Ia tahu aksi ini adalah ujian besar bagi NU dan desa mereka, terutama setelah pertemuan tegang di pasar kemarin.

Wirayuda mengangguk, meski matanya menunjukkan keraguan. “Bapak, kalau ada bentrokan lagi, apa kita cukup kuat? Aku takut nggak bisa lindungin warga,” tanyanya, suaranya pelan tapi penuh beban. Ia ingat kejadian di pasar, ketika kelompok asing mengacau, dan tekanan untuk menjadi pelopor membuatnya gelisah. Pikirannya juga masih terbayang oleh nasihat ayahnya untuk tetap damai meski dihadapkan pada provokasi.

Darmokusumo menatap anak sulungnya dengan mata penuh keyakinan. “Wir, kekuatan kita bukan fisik, tapi iman dan persatuan. NU ajarkan kita untuk jadi perisai damai. Keluarga dan jamaah akan dukungmu,” jawabnya, suaranya menenangkan meski hatinya cemas memikirkan kemungkinan kekerasan.

Srikandini mengambil kertas dan pena, mulai menulis rencana doa bersama untuk anak-anak madrasah. “Kak, aku bantu dengan doa dan ajak temen-temen. Kita harus tunjukkin persatuan,” katanya, suaranya lembut tapi penuh tekad. Ia tahu peran kecilnya bisa memberi kekuatan moral, dan ia ingin membuktikan bahwa ia juga bagian dari perjuangan. Wirayuda tersenyum kecil, merasa didukung oleh semangat adiknya.

Persiapan dimulai dengan Darmokusumo membaca panduan aksi dari buku NU, menjelaskan langkah-langkah damai dengan sabar, didukung oleh pengalaman puluhan tahunnya sebagai kiai. Wirayuda mencatat rencana aksi, termasuk pembagian tugas dengan pemuda desa, sementara Srikandini menyusun daftar doa yang akan dibacakan. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela menjadi satu-satunya penerangan, menggantikan lampu minyak yang biasanya mereka andalkan. Suasana rumah dipenuhi suara pena yang bergerak, bisik-bisik diskusi, dan sesekali doa pelan dari Srikandini.

Sepanjang hari, persiapan berlangsung dengan intensitas tinggi. Darmokusumo sesekali meninggalkan meja untuk bertemu sesepuh desa, mengkoordinasikan aksi dengan jamaah NU. Wirayuda membantu membuat spanduk sederhana bertuliskan “NKRI Harga Mati” dari kain bekas, sementara Srikandini mengunjungi madrasah untuk mengajak teman-temannya. Ketika sore tiba, keringat mulai membasahi dahi Wirayuda, tetapi ada kilauan baru di matanya—sebuah komitmen yang mulai mengakar.

Namun, di tengah semangat itu, ada cobaan yang muncul. Sekitar pukul 15:30 WIB, laporan datang bahwa kelompok intoleran sedang mendekati perbatasan desa dengan niat memprovokasi. Hujan mulai turun deras, membawa angin kencang yang membuat atap bambu berderit keras. Air merembes melalui celah-celah atap, membentuk genangan kecil di lantai. Darmokusumo bergegas mengambil ember dan baskom untuk menampung air, sementara Wirayuda dan Srikandini membantu menyusun barang. “Bapak, kalau hujan begini, apa aksi tetap jalan?” tanya Wirayuda, suaranya penuh kekhawatiran.

Darmokusumo menarik napas dalam, matanya menatap atap dengan ekspresi teguh. “Kita lanjut, Wir. Hujan tak boleh padamkan semangat kita. Kita pindah ke masjid, pakai terpal kalau perlu,” jawabnya, suaranya penuh tekad meski hatinya bergetar. Dengan bantuan Wirayuda dan Srikandini, ia menggelar terpal tua di beranda, menciptakan ruang sementara untuk melanjutkan persiapan. Aksi damai dijadwalkan di masjid desa jam 18:00 WIB, dan mereka tak ingin menyerah.

Malam itu, saat hujan reda sekitar pukul 17:30 WIB, keluarga bergegas ke masjid bersama jamaah. Darmokusumo memimpin doa pembukaan, diikuti Wirayuda yang membacakan pesan persatuan dari NU, dan Srikandini yang mengajak anak-anak madrasah berdoa bersama. Cahaya lampu masjid menjadi saksi bisu usaha mereka, sementara suara hujan yang masih rintik menambah kesan dramatis. Tiba-tiba, suara kerumunan terdengar di luar—kelompok intoleran telah tiba, membawa spanduk provokatif.

Darmokusumo maju ke depan, diikuti Wirayuda yang hatinya berdegup kencang. “Saudara-saudara, kita undang dialog. Jangan biarkan kekerasan merusak NKRI,” ujarnya, suaranya menggema di masjid. Setelah perdebatan panjang yang penuh emosi, kelompok itu mundur, dipandu oleh kebijaksanaan Darmokusumo dan dukungan warga. Srikandini menangis haru, memeluk kakaknya, sementara Darmokusumo tersenyum tipis, merasa perisai damai telah ditegakkan.

Di sudut hati Darmokusumo, ia tahu perjuangan belum selesai. Ancaman intoleransi masih mengintai, tetapi perisai di tengah cobaan ini—dukungan keluarga dan jamaah—memberikan kekuatan baru. Ia berjanji untuk terus mengajak, terus menjaga, sampai desa mereka tetap utuh sebagai bagian NKRI.

Langit mulai cerah kembali, dan masjid itu berdiri tegak meski basah oleh hujan. Di dalamnya, sebuah keluarga dan komunitas terus berjuang, menyatukan kekuatan untuk menjaga keutuhan NKRI melalui ajaran NU.

Kemenangan di Bawah Langit Damai

Pagi hari di Desa Sumberagung terasa damai pada hari Rabu, 18 Juni 2025, pukul 11:20 WIB, dengan sinar matahari pagi yang menerobos jendela bambu rumah Darmokusumo, menciptakan pola lembut di lantai kayu yang kini sedikit lebih rapi berkat perbaikan bersama warga. Aroma teh jahe yang diseduh Darmokusumo bercampur dengan bau kayu bakar dari tungku dapur, sementara suara burung berkicau di luar menambah suasana haru. Hari ini adalah hari aksi damai besar yang diorganisasi oleh Nahdlatul Ulama (NU) untuk merayakan keberhasilan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah minggu-minggu penuh ujian, dan keluarga Darmokusumo bersiap dengan penuh kebanggaan serta sedikit lega. Atap bambu yang baru diperkuat dengan seng bekas—hasil gotong royong warga—kini kokoh, menjadi simbol perjuangan bersama yang tak tergoyahkan.

Darmokusumo berdiri di dekat meja kayu tua, mengenakan jubah cokelat tua yang telah dicuci bersih dan sorban yang disampirkan dengan anggun, tanda penghormatan pada hari istimewa ini. Tangannya yang penuh kapalan memegang keranjang kecil berisi buku tafsir dan selebaran kemenangan, sementara matanya menatap Wirayuda dan Srikandini dengan kebanggaan yang mendalam. Rambutnya yang memutih disanggul rapi, dan wajahnya, meski menunjukkan tanda-tanda kelelahan, berseri dengan harapan baru. Di sampingnya, Wirayuda mengenakan kemeja putih yang disetrika Srikandini—meski sedikit kusut—dengan ekspresi teguh namun penuh syukur. Srikandini berdiri di belakang, memakai jilbab hijau tua yang rapi dan membawa buku doa, siap mendampingi kakaknya dalam aksi.

“Wir, Sri, hari ini kita rayakan kemenangan persatuan. NU dan warga tunjukkan kekuatan kita,” ujar Darmokusumo, suaranya lembut namun penuh kekuatan. Ia tahu perjalanan ke lapangan desa memakan waktu setengah jam dengan berjalan kaki, dan semangat warga telah terbangun setelah aksi damai kemarin berhasil mendinginkan ketegangan. Dompet kainnya kini sedikit lebih tebal berkat sumbangan warga, tetapi yang terpenting baginya adalah keutuhan yang telah terjaga.

Wirayuda mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Bapak, aku bangga jadi bagian ini. Kalau bukan karena NU, desa kita mungkin sudah pecah,” katanya, suaranya penuh perasaan. Ia ingat malam-malam penuh ketegangan di masjid, dukungan Srikandini dengan doanya, dan kebijaksanaan Darmokusumo yang menyelamatkan hari, semua itu memberinya kekuatan untuk melangkah.

Srikandini memeluk kakaknya sebentar, menyerahkan buku doa kecil bertuliskan “Syukur atas Persatuan” di sampulnya. “Ini buat kau pegang, Kak. Aku yakin kita menang bareng,” katanya pelan, suaranya gemetar tapi penuh harap. Wirayuda tersenyum, memegang buku itu erat, sementara Darmokusumo mengangguk penuh syukur melihat kebersamaan mereka.

Perjalanan ke lapangan desa dimulai dengan langkah kaki yang penuh semangat di jalan setapak yang kini kering setelah hujan reda. Warga dari berbagai dusun berkumpul, membawa spanduk bertuliskan “NKRI Bersatu” dan bendera merah putih yang dikibarkan tinggi. Darmokusumo memimpin barisan, diikuti Wirayuda yang membawa mikrofon sederhana dan Srikandini yang mengajak anak-anak madrasah menyanyikan lagu kebangsaan. Suasana dipenuhi tepuk tangan dan sorak sorai, sebuah perayaan yang mencerminkan kemenangan damai atas ancaman intoleransi.

Di lapangan, acara dimulai dengan pembacaan doa oleh Darmokusumo, diikuti pidato Wirayuda yang menggema dengan pesan persatuan. “Kita berbeda, tapi satu hati untuk NKRI. NU tunjukkan bahwa damai adalah kekuatan kita,” ujarnya, suaranya teguh meski tangannya sedikit gemetar. Srikandini memimpin anak-anak menyanyikan lagu “Garuda Pancasila,” suara mereka yang polos menambah keharuan suasana. Warga bertepuk tangan, beberapa menitikkan air mata, mengenang perjuangan panjang yang baru saja mereka lalui.

Namun, di tengah euforia, ada momen yang menggetarkan. Sekitar pukul 13:00 WIB, seorang utusan dari kecamatan tiba, membawa penghargaan dari pemerintah daerah untuk Darmokusumo dan jamaah NU atas peran mereka menjaga keutuhan NKRI. Penghargaan itu berupa piagam kehormatan, uang tunai seratus ribu rupiah untuk masjid, dan janji dukungan program pendidikan. Warga bersorak keras, dan Darmokusumo menerima piagam dengan tangan yang sedikit bergetar, matanya basah oleh air mata syukur. “Ini bukan kemenanganku, tapi kita semua,” katanya, suaranya terbata-bata.

Wirayuda berdiri di samping ayahnya, merasa beban di pundaknya terangkat. Ia ingat malam-malam penuh ketakutan, tetapi kini ia melihat hasilnya—desanya utuh, warganya bersatu. Srikandini berlari ke arah kakaknya, memeluknya erat, dan berkata, “Kak, kita berhasil! Bapak pasti bangga!” Suasana dipenuhi tawa dan tangis haru, sebuah puncak emosi yang sulit dilupak.

Perayaan berlanjut dengan makan bersama menggunakan makanan sederhana yang disumbang warga—nasi uduk, ayam kampung, dan sayur bayam. Uang hadiah digunakan untuk memperbaiki masjid, membeli lampu baru, dan menyediakan buku-buku agama untuk madrasah. Satu tahun kemudian, Wirayuda menjadi koordinator pemuda NU di desa, Srikandini memulai kelompok doa anak-anak, dan Darmokusumo tetap menjadi kiai yang dicintai, memandu jamaah dengan kebijaksanaan. Rumah bambu mereka kini lebih terang dengan lampu baru, dan rak buku diisi dengan kitab-kitab yang mencerminkan perjuangan mereka.

Malam itu, di bawah langit senja yang merona, keluarga berkumpul di masjid yang telah direnovasi sederhana. Darmokusumo membuka harian Nyai Lestari, menulis: “Lestari, anak-anak kita jadi penjaga NKRI. Kita menang, berkat doa dan cinta.” Wirayuda membacakan puisi persatuan yang ditulis Srikandini, sementara anak-anak madrasah menyanyikan lagu kebangsaan sebagai penutup. Masjid itu berdiri tegak, tak lagi hanya tempat ibadah, tetapi simbol kemenangan persatuan.

Di sudut hati Darmokusumo, ia tahu perjuangan tidak akan pernah berhenti. Namun, kemenangan di bawah langit damai ini—dukungan keluarga, jamaah, dan ajaran NU—menjadi cahaya yang akan terus menyala, menjaga keutuhan NKRI untuk generasi mendatang. Langit senja menjadi saksi bisu bahwa peran NU dalam menjaga persatuan adalah kemenangan yang abadi.

Kisah NU Penjaga Keutuhan NKRI membuktikan bahwa ajaran damai dan peran aktif keluarga dalam NU dapat mengatasi segala tantangan untuk menjaga persatuan bangsa. Perjuangan Darmokusumo, Wirayuda, dan Srikandini menunjukkan bahwa kekuatan sejati terletak pada kebersamaan dan iman. Mulailah hari ini—jadilah bagian dari upaya menjaga NKRI agar tetap utuh dan damai untuk generasi mendatang.

Terima kasih telah terinspirasi oleh kisah NU Penjaga Keutuhan NKRI. Mari kita bersama-sama lanjutkan semangat persatuan dan damai untuk Indonesia yang lebih baik. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan tetaplah menjadi penjaga keutuhan bangsa!

Leave a Reply