Menulis Cahaya di Tengah Bayang: Pentingnya Menulis bagi Milenial

Posted on

Di tengah dunia digital yang penuh bayang, menulis menjadi cahaya emosional yang memandu generasi milenial menemukan jati diri mereka. Menulis Cahaya di Tengah Bayang mengisahkan perjalanan Elyndra Vionette, seorang penulis yang menyalakan kembali pelita jiwanya melalui tulisan untuk menginspirasi orang lain. Artikel ini mengupas pentingnya menulis bagi milenial, bagaimana menulis dapat menyembuhkan luka batin di era modern, dan pelajaran berharga dari cerita ini untuk hidup yang lebih bermakna. Siap menyalakan cahaya Anda melalui kata-kata?

Menulis Cahaya di Tengah Bayang

Echo di Balik Kegelapan

Pagi di Surabaya terasa berat pada pukul 10:20 WIB, Senin, 16 Juni 2025, dengan langit mendung yang seolah menahan hujan siap jatuh. Di sebuah rumah tua di kawasan Wonokromo, sinar redup dari lampu meja tua menerangi wajah Elyndra Vionette, seorang wanita berusia 26 tahun dengan rambut hitam panjang yang selalu diikat renggang dengan pita merah peninggalan neneknya. Matanya yang dalam, berwarna cokelat tua, kini menatap layar laptop dengan ekspresi kosong, bayangan kelelahan terpancar jelas di wajahnya yang pucat.

Elyndra, atau yang akrab disapa Lyn oleh teman-temannya, adalah seorang penulis konten digital yang mulai dikenal berkat artikel-artikel penuh inspirasi tentang kehidupan milenial di platform blog pribadinya. Dengan 180 ribu pengikut, ia sering dipuji karena gaya tulisannya yang lembut namun menusuk hati. Namun, di balik layar gemerlap itu, ada kekosongan yang perlahan memakan jiwanya—sesuatu yang bahkan sahabatnya, Rianthos Jelvard, seorang musisi jalanan yang selalu jadi penopang emosinya, tak sepenuhnya mengerti.

Malam ini, Lyn duduk di meja kayu tua yang penuh goresan, dikelilingi oleh cangkir teh peppermint yang sudah dingin dan tumpukan buku catatan berdebu. Jarinya bergerak lambat di atas keyboard, mencoba menyelesaikan artikel tentang pentingnya mindfulness di era multitasking. Tapi setiap kalimat terasa hambar, seperti kata-kata yang dipaksa keluar tanpa jiwa. Ia menghapus paragraf yang baru ditulis, menggantinya dengan yang lain, hanya untuk kembali menghapusnya dengan geram.

“Kenapa susah banget, Lyn? Dulu nulis kayak ngobrol sama hati, sekarang kok kayak kerja rodi?” gumamnya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tenggelam oleh suara kipas angin tua yang berderit di sudut ruangan.

Di sudut meja, ada sebuah buku catatan berwarna hijau tua yang sudah lama tak disentuh, peninggalan neneknya, Seraphine, sebelum ia meninggal dua tahun lalu karena serangan jantung. Di halaman pertama, neneknya menulis dengan tinta merah pudar: “Tulis apa yang kau rasakan, Elyndra. Kata-kata adalah pelita di kegelapan.” Dulu, Lyn mengisi buku itu dengan puisi, cerita pendek, dan curhatan tentang mimpinya yang liar. Tapi sejak neneknya tiada, buku itu menjadi simbol kesedihan yang terlalu berat untuk dibuka kembali.

Lyn menghela napas dalam, matanya tertuju pada buku catatan itu. Jarinya hampir menyentuh sampulnya, tapi ia menarik tangan kembali, seolah takut membangkitkan kenangan yang menyakitkan. Sebagai gantinya, ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk Rianthos.

Lyn: Rian, lo lagi apa? Gue stuck banget nih, nulis kayak orang kehabisan napas.
Rianthos: Lagi latihan gitar di emperan, Lyn. Lo kenapa? Biasanya kan lo jago banget nyanyi lewat tulisan.
Lyn: Entah kenapa, rasanya tulisan gue cuma buat orang lain doang, nggak buat gue. Kayak kehilangan suara sendiri.
Rianthos: Lo kebanyakan mikirin views, mungkin. Coba nulis buat lo sendiri, bukan buat audiens. Besok ketemu, gue bawain roti bakar favorit lo, kita ngobrol.

Lyn tersenyum kecil membaca pesan Rianthos. Pria berusia 27 tahun itu selalu punya cara untuk membuatnya merasa didengar, meski hanya lewat kata-kata di layar. Tapi malam ini, bahkan kehangatan pesan Rianthos tak cukup untuk mengusir rasa hampa yang mengendap di dadanya.

Ia bangkit dari kursi, berjalan menuju jendela, dan menatap lampu-lampu Surabaya yang berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi. Kota ini, dengan hiruk-pikuknya yang tak pernah usai dan aroma makanan jalanan yang khas, seolah menertawakan kegelisahannya. Di luar sana, orang-orang berlomba mengejar popularitas, sementara Lyn merasa seperti berjalan di tempat, terjebak dalam rutinitas yang menghapus esensi dirinya.

“Apa gue cuma jadi penutup lubang buat orang lain? Apa gue masih punya cinta buat nulis, atau cuma pura-pura demi duit?” tanyanya pada bayangannya di kaca jendela, suaranya penuh keraguan.

Kegelisahan itu bukan hal baru. Sejak neneknya meninggal, Lyn merasa kehilangan cahaya pandunya. Seraphine adalah seorang penyair lokal yang sederhana, selalu membawa Lyn kecil ke taman kota, membacakan puisi-puisi yang ditulisnya di atas kertas robek. “Menulis itu seperti menyalakan lilin, Lyn,” katanya suatu sore sambil tersenyum. “Gelap mungkin besar, tapi cahaya kecil bisa mengubah segalanya.”

Tapi dunia telah berubah. Kini, menulis bukan lagi tentang menyalakan lilin, melainkan tentang siapa yang paling cepat menarik perhatian di media sosial. Lyn merasa terkurung dalam algoritma yang menilai tulisannya berdasarkan jumlah klik dan komentar, bukan kedalaman maknanya. Ia rindu menulis seperti dulu—tanpa tekanan, tanpa ekspektasi, hanya ia dan buku catatan yang mendengarkan.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi dari Instagram: “@WordsOfLight: Lyn, kapan lo bikin workshop menulis? Aku suka banget artikel lo, pengen belajar dari lo!” Lyn menatap pesan itu, hatinya bergetar antara haru dan ketakutan. Ia ingin mengajar, ingin berbagi, tapi bagaimana ia bisa mengajarkan sesuatu yang kini terasa asing baginya?

Malam semakin larut, dan Lyn kembali ke mejanya. Kali ini, ia memberanikan diri mengambil buku catatan hijau tua itu. Jarinya gemetar saat membuka halaman pertama, membaca tulisan tangan neneknya. Air mata mengalir tanpa ia sadari, membasahi sudut kertas. Ia mengambil pulpen dari laci, lalu menulis satu kalimat sederhana: “Aku rindu menulis untuk menyalakan cahayaku sendiri.”

Kata-kata itu seperti percikan api yang membangkitkan semangatnya. Lyn terus menulis, membiarkan tangannya mengalir tanpa memikirkan tata bahasa atau struktur. Ia menulis tentang neneknya, tentang sore-sore di taman, tentang rasa kehilangan yang masih membelenggunya. Ia menulis tentang Surabaya yang bising, tentang layar yang mencuri waktunya, tentang ketakutan bahwa ia telah kehilangan bagian dari dirinya yang paling murni.

Saat fajar mulai menyelinap di ufuk timur, Lyn akhirnya berhenti. Halaman buku catatan itu kini penuh dengan tinta hitam, coretan-coretan yang tak sempurna tapi penuh jiwa. Napasnya terasa lebih lega, seolah beban di dadanya telah terbagi dengan kertas.

Tapi di sudut hatinya, ada pertanyaan yang masih menggantung: Apa artinya menulis di dunia yang lebih memilih bayang daripada cahaya? Dan tanpa ia sadari, perjalanan untuk menemukan jawaban itu baru saja dimulai.

Di luar rumah, hujan akhirnya turun, membasahi atap genteng dan jalanan Surabaya yang lelah. Tapi di dalam kamar Lyn, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada secercah cahaya yang ikut bertumbuh di antara tetes-tetes tinta.

Nada di Antara Diam

Pagi di Surabaya pada pukul 10:30 WIB, Senin, 16 Juni 2025, membawa udara lembap yang masih menyisakan jejak hujan semalam, menyelinap melalui celah-celah jendela kayu rumah tua Elyndra Vionette. Cahaya matahari pagi menyelinap lembut, menerangi buku catatan hijau tua yang masih terbuka di mejanya, penuh dengan tinta hitam yang mengering membentuk jejak emosi dari malam sebelumnya. Lyn duduk di tepi ranjang, membungkus tubuhnya dengan selimut tipis berwarna krem, memandang buku itu dari kejauhan, seolah ragu apakah keberanian semalam akan bertahan hingga siang ini.

Hari ini, ia dijadwalkan bertemu Rianthos Jelvard di sebuah kafe kecil di kawasan Tunjungan, tempat favorit mereka untuk berbagi cerita di tengah hiruk-pikuk kota. Lyn mengenakan jaket denim tua yang sedikit aus di siku, celana jeans gelap, dan sepatu kets putih yang mulai menguning. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, menutupi sebagian wajahnya yang masih menunjukkan jejak kelelahan. Cermin kecil di sudut ruangan memantulkan bayangan matanya yang sembab—bukti air mata semalam yang tak ia sembunyikan sepenuhnya.

Di kafe, aroma kopi arabika menyapa hidungnya begitu ia melangkah masuk. Rianthos sudah ada di sana, duduk di sudut dekat jendela dengan gitar akustiknya yang usang di samping meja, jari-jarinya sibuk memetik senar dengan nada pelan. Pria berusia 27 tahun itu memiliki rambut keriting hitam yang selalu sedikit berantakan, kulitnya sedikit terbakar matahari, dan sepasang mata cokelat yang penuh cerita dari jalanan. Begitu melihat Lyn, ia melambai dengan senyum hangat.

“Lyn, lo kelihatan kayak habis begadang cari inspirasi. Apa kabar?” tanya Rianthos sambil mendorong secangkir kopi hangat ke arahnya, aroma kopi itu langsung membangkitkan indranya.

Lyn tersenyum tipis, menarik kursi, dan duduk. “Bukan inspirasi, Rian. Semalem gue nulis lagi, di buku hijau nenek. Bukan buat artikel, tapi… buat gue sendiri.”

Rianthos mengangkat alis, terkejut tapi juga penasaran. “Serius? Di buku hijau itu? Terus, rasanya gimana?”

Lyn menatap cangkirnya, uap kopi membentuk spiral kecil di udara. “Seperti ketemu nenek lagi, Rian. Tapi juga… sakit. Kayak buka luka lama yang gue coba tutup.”

Rianthos mendengarkan dengan penuh perhatian, tangannya berhenti memetik gitar. “Lo tau nggak, Lyn, dulu lo selalu bilang nulis itu kayak nyanyi buat lo. Kapan lo mulai diam?”

Pertanyaan itu menusuk hati Lyn seperti alunan nada yang mendadak berhenti. Ia menunduk, mencoba mencari jawaban di antara kenangan yang bergulir. “Mungkin… sejak nenek pergi. Nulis tuh kayak ngobrol sama nenek, Rian. Setiap kata yang gue tulis buat diri gue sendiri, rasanya kayak denger suara nenek lagi. Dan itu terlalu berat buat diingat.”

Rianthos mengangguk pelan, matanya penuh empati. “Tapi lo tau, luka yang lo biarin tertutup lama-lama bisa jadi beban, Lyn. Mungkin nulis itu cara lo nyanyi lagi, bukan cuma buat lo, tapi buat orang lain juga.”

Lyn menghela napas, menyeruput kopinya yang masih hangat. “Tapi dunia sekarang beda, Rian. Siapa yang peduli sama tulisan yang butuh waktu? Orang maunya video pendek, status cepat, atau lagu yang cuma viral sehari. Gue ngerasa… cara nenek ngajarin gue nulis udah nggak punya tempat.”

Rianthos tertawa kecil, tapi ada nada serius di suaranya. “Lo salah, Lyn. Dunia mungkin cepet, tapi orang-orang masih nyari makna. Lo lihat sendiri, kan, berapa banyak yang komen di blog lo minta workshop? Mereka haus, Lyn. Haus sama sesuatu yang bener-bener nyentuh jiwa, bukan cuma hiburan instan.”

Lyn terdiam. Rianthos punya cara untuk membuat dunia terasa lebih sederhana, tapi ia tahu perjuangannya sendiri tak semudah itu. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata, “Gue pengen coba bikin workshop menulis, Rian. Tapi… gue takut. Takut gagal, takut orang nggak tertarik, takut gue nggak bisa ngasih apa-apa.”

“Takut itu wajar,” jawab Rianthos, mencondongkan tubuhnya ke depan. “Tapi lo nggak akan tahu kalo nggak coba. Lo punya sesuatu, Lyn. Lo punya cerita, lo punya cara nyanyi yang bikin orang ngerasa… hidup. Gunain itu.”

Sore itu, setelah berpisah dengan Rianthos, Lyn pulang dengan pikiran yang sedikit lebih jernih, tapi juga penuh pertanyaan. Di rumahnya, ia kembali membuka buku catatan hijau tua itu. Kali ini, ia menulis tentang ide workshop—bukan hanya tentang teknik menulis, tapi tentang bagaimana menulis bisa menjadi pelita di kegelapan. Ia membayangkan sebuah ruang penuh dengan orang-orang yang seperti dirinya: bingung, tersesat, tapi rindu untuk menemukan cahaya mereka sendiri.

Malam harinya, Lyn membuka laptop dan mulai merancang pengumuman workshop. Ia mengetik dengan hati-hati, memilih kata-kata yang tak hanya menarik tapi juga jujur. Ia menulis tentang perjalanannya sendiri, tentang bagaimana menulis pernah menyelamatkannya dari kegelapan, dan bagaimana ia ingin berbagi itu dengan orang lain.

Judul: “Cahaya dalam Tinta: Menulis untuk Menemukan Diri”
Deskripsi: Pernah merasa jiwa ingin bersuara tapi terdiam oleh dunia yang terlalu bising? Atau kehilangan arah di tengah bayang digital? Ikut workshop ini, dan kita akan belajar bersama bagaimana menulis bisa menjadi pelita jiwa, tempat di mana kamu bisa jujur pada dirimu sendiri. Bersama Elyndra Vionette, kita akan menjelajahi kekuatan kata-kata, satu baris pada satu waktu.

Setelah memposting pengumuman itu di blognya, Lyn merasa jantungan. Tangannya gemetar, dan ia hampir menutup laptop karena takut melihat respons. Tapi dalam hitungan menit, notifikasi mulai berdatangan. Komentar demi komentar mengalir:

@LightInWords: Akhirnya! Aku daftar, Lyn! Kapan mulai?
@SilentEcho: Ini yang aku tunggu-tunggu! Tulisan lo selalu bikin aku pengen nulis lagi.
@HiddenMuse: Lyn, aku nggak jago nulis, tapi boleh ikut, kan? Aku cuma pengen belajar ngungkapin apa yang aku pendam.

Lyn menatap layar, air matanya menggenang tanpa ia sadari. Bukan karena sedih, tapi karena ada kehangatan di dadanya—sesuatu yang terasa seperti harapan. Tapi di balik kegembiraan itu, ada bayangan keraguan. Apa aku benar-benar bisa melakukan ini? Apa aku cukup untuk mengajar orang lain?

Malam itu, sebelum tidur, Lyn kembali membuka buku catatan hijau tuanya. Ia menulis sebuah puisi pendek, sesuatu yang tiba-tiba muncul di benaknya:

Di tengah bayang, tinta bersinar,
Tentang luka yang tak pernah usai,
Tapi di setiap goresan, ada cahaya,
Bahwa kata-kata bisa menyelamatkan jiwa.

Ia menutup buku itu, memeluknya erat di dadanya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidur dengan senyum tipis di bibirnya. Di luar rumah, hujan kembali turun, membasahi jalanan Surabaya yang sepi. Tapi di dalam hati Lyn, ada kedamaian kecil yang mulai bertumbuh, seperti lilin yang baru dinyalakan di tengah kegelapan.

Refleksi di Ujung Pena

Pagi di Surabaya pada pukul 10:21 WIB, Senin, 16 Juni 2025, membawa udara hangat yang bercampur aroma laut dari pelabuhan terdekat, menyelinap melalui jendela kayu rumah tua Elyndra Vionette. Cahaya matahari pagi menyelinap lembut melalui celah-celah tirai, menerangi buku catatan hijau tua yang terbuka di mejanya, penuh dengan tinta hitam yang menjadi saksi perjalanan emosinya. Lyn duduk di lantai, menggenggam secangkir teh peppermint hangat, dikelilingi oleh kertas-kertas kecil yang ia tulis semalaman: rencana untuk workshop “Cahaya dalam Tinta” yang akan dimulai hari ini. Di depannya, laptop menampilkan daftar peserta yang telah mencapai 30 orang, jauh melampaui ekspektasinya yang sederhana.

Sejak pengumuman workshop di blognya, hidup Lyn terasa seperti gelombang laut yang tak bisa diprediksi. Setiap hari, ia menerima pesan dari calon peserta—beberapa berbagi mimpi menulis buku, yang lain mengaku ingin mencurahkan emosi yang terpendam setelah bertahun-tahun bungkam. Pesan-pesan itu membawa kehangatan di hatinya, tapi juga menambah tekanan di pundaknya. Ia ingin workshop ini menjadi lebih dari sekadar acara; ia ingin menjadikannya ruang aman di mana orang-orang bisa menemukan cahaya mereka sendiri melalui kata-kata.

Namun, di balik semangat itu, ada ketakutan yang terus mengintai seperti bayangan di sudut ruangan. Lyn masih dihantui pertanyaan: Apa aku layak mengajar mereka? Bagaimana kalau aku gagal memberikan apa yang mereka harapkan? Malam sebelumnya, ia terbangun dari mimpi buruk di mana peserta workshop meninggalkan acara karena merasa ia tak kompeten.

Pagi ini, Lyn mencoba mengusir ketakutan itu dengan menulis lagi di buku catatannya. Ia menuangkan daftar kekhawatirannya, satu per satu, seperti ritual untuk melepaskan beban: Takut gagal. Takut dianggap nggak cukup. Takut mereka tahu aku juga masih mencari cahaya. Setelah menulis, ia merasa sedikit lebih ringan, tapi keraguan itu masih menggantung seperti kabut tipis.

Ponselnya bergetar, menampilkan pesan dari Rianthos Jelvard.

Rianthos: Lyn, lo udah siap buat workshop? Gue bikin lagu pendamping buat promosi lo, nih. Mau gue kirim sekarang?
Lyn: Rian, lo emang penyelamat gue. Kirim dong! Btw, gue deg-degan banget. Kayak mau naik panggung pertama kali.
Rianthos: Wajar, Lyn. Tapi lo bisa, lo punya cerita yang orang pengen denger. Fokus ke itu, jangan ke ketakutan lo.

Lyn tersenyum kecil membaca pesan itu. Rianthos selalu punya cara untuk membangkitkan semangatnya, meski kadang ia merasa pria itu terlalu percaya pada kemampuannya. Lagu yang dikirim Rianthos berjudul “Cahaya Tinta,” sebuah melodi lembut dengan lirik yang menggambarkan perjalanan menemukan diri melalui tulisan. Lyn langsung membagikan lagu itu di blognya, dan dalam hitungan jam, pesan-pesan baru berdatangan, beberapa bahkan dari orang-orang yang ingin mendaftar meski kuota sudah penuh.

Hari-hari menjelang workshop berlalu dengan cepat. Lyn menghabiskan waktu untuk menyusun materi, membaca ulang buku-buku tentang menulis, dan berlatih berbicara di depan cermin. Ia ingin workshop ini terasa hangat, bukan seperti seminar kaku yang membosankan. Ia merancang sesi di mana peserta bisa berbagi cerita mereka, menulis bebas berdasarkan emosi, dan mendiskusikan bagaimana kata-kata bisa menjadi pelita jiwa.

Akhirnya, hari workshop tiba. Pukul 10:21 WIB, Lyn duduk di ruang tamu rumahnya yang telah diubah menjadi ruang workshop sederhana, mengenakan kemeja putih longgar dan headphone. Layar laptop menampilkan 30 wajah peserta yang bergabung melalui platform video call, masing-masing dengan ekspresi campur aduk antara penasaran dan gugup. Di sudut layar, ia menampilkan kutipan dari neneknya, Seraphine: “Tulis apa yang kau rasakan, Elyndra. Kata-kata adalah pelita di kegelapan.”

Sesi dimulai dengan perkenalan. Lyn meminta setiap peserta untuk menuliskan satu kalimat tentang alasan mereka ingin menulis, lalu membacakan dengan suara keras melalui mikrofon. Ada yang ingin menulis puisi untuk mengenang orang tersayang, ada yang ingin mencurahkan trauma, dan ada pula yang hanya ingin merasa “hidup” lagi. Saat giliran seorang peserta bernama Calista Arwina, wanita berusia 24 tahun dengan rambut panjang berwarna cokelat muda, ia membaca kalimatnya dengan suara gemetar: “Aku ingin menulis supaya aku nggak lupa siapa aku sebelum dunia mematikanku.”

Kalimat itu seperti menampar Lyn. Ia teringat dirinya sendiri, bertahun-tahun lalu, ketika menulis adalah caranya bertahan setelah kehilangan neneknya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu memulai sesi pertama: menulis bebas selama 15 menit dengan tema “Apa yang Paling Kamu Sembunyikan?”

Ruangan virtual menjadi sunyi, hanya terdengar suara ketikan dan sesekali isakan kecil dari mikrofon yang terbuka. Lyn juga ikut menulis, membiarkan tangannya mengalir tanpa berpikir. Ia menulis tentang neneknya, tentang sore-sore di taman, tentang tawa mereka saat membaca puisi bersama. Tapi di tengah tulisannya, ia menambahkan sesuatu yang baru: Aku menyembunyikan rasa bersalah karena berhenti menulis untuk diriku sendiri.

Setelah sesi selesai, Lyn meminta beberapa peserta untuk berbagi apa yang mereka tulis, jika mereka nyaman. Calista mengangkat tangan, matanya berkaca-kaca. Dengan suara pelan, ia membaca:

“Aku menyembunyikan kenangan tentang ayahku yang meninggalkanku lima tahun lalu. Dulu aku suka menulis surat untuknya, tapi setelah dia pergi, aku berhenti karena rasanya sia-sia. Aku takut orang tahu aku masih menangis untuknya, tapi aku rindu banget menulis lagi.”

Ruangan terdiam. Beberapa peserta mengangguk, seolah merasakan hal yang sama. Lyn merasa air matanya sendiri mulai menggenang, tapi ia menahannya. “Terima kasih, Calista,” katanya lembut. “Itu… itu sangat kuat. Dan itulah kenapa kita di sini. Menulis itu nggak cuma tentang bikin sesuatu yang sempurna, tapi tentang jadi jujur sama diri kita sendiri.”

Sesi demi sesi berlalu, dan Lyn mulai merasa lebih percaya diri. Ia memandu peserta untuk menulis puisi pendek, menciptakan karakter fiksi berdasarkan emosi mereka, dan berbagi cerita dalam kelompok kecil melalui chat. Di akhir workshop, ia meminta peserta untuk menulis setidaknya satu halaman setiap hari, apa pun itu, selama sebulan, dan mengirimkannya kepadanya untuk dibahas bersama.

“Jangan pikirin bagus atau jelek,” kata Lyn, suaranya kini lebih mantap. “Tulis aja apa yang ada di hati kalian. Kata-kata nggak bakal nge-judge.”

Saat workshop selesai, Calista mengirim pesan pribadi di chat. “Lyn, makasih banget. Aku ngerasa… kayak ketemu diriku lagi hari ini.” Ia menambahkan foto halaman tulisannya, penuh dengan coretan emosi yang mentah.

Malam itu, kembali ke rumahnya, Lyn membuka buku catatan hijau tuanya. Ia menulis tentang hari itu, tentang wajah-wajah penuh harap di layar, tentang Calista, tentang betapa menulis telah menghubungkannya dengan orang-orang yang tak ia kenal. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa menulis bukan hanya tentang dirinya, tapi juga tentang membangun cahaya untuk orang lain.

Tapi di sudut hatinya, ada bisikan kecil: Ini baru awal, Lyn. Apa yang terjadi kalau dunia menolak cahaya yang aku coba nyalakan? Di luar, hujan mulai turun lagi, dan Lyn tahu bahwa perjalanannya masih jauh dari selesai.

Pelita yang Tak Padam

Pagi di Surabaya pada pukul 10:22 WIB, Senin, 16 Juni 2025, membawa udara hangat yang bercampur aroma kopi dari warung seberang rumah Elyndra Vionette. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela kayu yang sedikit terbuka, menerangi buku catatan hijau tua yang terbuka di mejanya, penuh dengan tinta hitam yang menjadi saksi perjalanan jiwa selama sebulan terakhir. Lyn duduk di kursi rotan tua, menggenggam secangkir teh peppermint hangat, dikelilingi oleh tumpukan kertas berisi tulisan peserta workshop “Cahaya dalam Tinta” yang telah ia kumpulkan melalui email. Di depannya, laptop menampilkan pesan terbaru dari Calista Arwina, salah satu peserta yang kini rutin mengirimkan tulisannya setiap minggu.

Sejak workshop pertama sebulan lalu, hidup Lyn berubah seperti angin laut yang perlahan menggerakkan kapal kecilnya. Peserta workshop, yang awalnya 30 orang, kini bertambah menjadi komunitas kecil dengan lebih dari 45 anggota setelah ia membuka sesi tambahan. Calista, dengan rambut cokelat mudanya yang kini sedikit memanjang, menjadi salah satu yang paling antusias, sering berbagi cerita pendek tentang perjalanan emosinya. Tulisan-tulisan itu, meski sederhana, membawa kejujuran yang membuat Lyn tersentuh setiap kali membacanya.

Namun, di balik keberhasilan itu, Lyn masih menghadapi badai kritik dari dunia maya. Postingan blognya tentang workshop mendapat ribuan like, tapi juga komentar sinis. Ada yang menyebut workshopnya “terlalu emosional” atau “kurang praktis untuk era modern.” Ada pula yang membandingkannya dengan pelatih menulis lain yang menjanjikan kesuksesan instan dengan trik sederhana. Komentar-komentar itu seperti duri kecil yang menusuk, mengingatkannya pada ketakutan lama: bahwa menulis yang ia percayai mungkin tak lagi relevan di dunia yang serba cepat.

Pagi ini, Lyn merasa gelisah lagi. Ia membuka buku catatannya, tapi jarinya berhenti di atas kertas, tak tahu harus menulis apa. Pikirannya dipenuhi oleh suara-suara dari komentar online, suara yang mempertanyakan nilai dari apa yang ia bangun. Ia bangkit, berjalan ke balkon rumahnya, dan menatap kota Surabaya yang sibuk di bawah sinar matahari. “Nenek, apa aku beneran ngelakuin ini dengan benar?” gumamnya, seolah neneknya, Seraphine, masih ada di sisinya, siap menjawab dengan senyum lembutnya.

Ponselnya bergetar, menampilkan pesan dari Rianthos Jelvard.

Rianthos: Lyn, lo lagi apa? Gue denger komunitas lo makin besar. Bangga banget sama lo!
Lyn: Rian, gue lagi bingung. Workshop-nya sih oke, tapi… gue ngerasa kayak nggak cukup. Orang di online bilang menulis kayak yang gue ajarin udah ketinggalan zaman.
Rianthos: Lo dengerin orang yang cuma bisa nyinyir, tapi nggak pernah nulis dari hati? Lo udah bikin perubahan, Lyn. Lo bikin Calista dan yang lain nyanyi lagi. Itu bukan hal kecil.
Lyn: Tapi kenapa rasanya kayak gue masih nyasar di laut?
Rianthos: Karena lo manusia, Lyn. Lo nggak harus sempurna. Malam ini ketemu, gue bawa gitar, kita ngobrol.

Lyn tersenyum kecil membaca pesan itu. Rianthos selalu tahu cara membawanya kembali ke daratan, tapi malam ini, ia tahu ia harus menghadapi kegelisahannya sendiri. Ia kembali ke mejanya, mengambil pulpen, dan mulai menulis di buku catatannya. Kali ini, ia menulis surat untuk dirinya sendiri:

Aku tahu kamu takut, Elyndra. Takut gagal, takut nggak cukup, takut dunia nggak ngerti apa yang kamu coba kasih. Tapi ingat, menulis bukan cuma tentang hasil, bukan cuma tentang like atau komen. Menulis adalah tentang kamu, tentang orang-orang yang baca tulisanmu dan ngerasa nggak sendirian. Jadi, jangan berhenti. Jangan biarin dunia matikan cahayamu.

Menulis surat itu terasa seperti melepas jangkar yang telah lama mengikatnya. Lyn menutup buku catatan, lalu membuka laptop untuk membaca email lain dari peserta. Salah satu email datang dari seorang peserta bernama Kaelindra Zafira, wanita berusia 28 tahun yang jarang berbicara selama workshop. Dalam emailnya, ia menulis:

Lyn, aku nggak pernah bilang ini di workshop, tapi aku mau terima kasih. Aku dulu nulis cerita buat ngatasin rasa kehilangan adikku. Tapi aku berhenti karena ngerasa nggak ada yang peduli. Workshop kamu bikin aku nulis lagi, dan sekarang aku ngerasa kayak bisa ngobrol sama dia lewat kertas. Aku nggak tahu caranya ngucapin terima kasih yang bener, tapi aku harap kamu tahu ini berarti banget.

Air mata Lyn mengalir tanpa ia sadari. Ia membaca email itu berulang-ulang, setiap kata terasa seperti pelukan dari seseorang yang tak ia kenal. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa bahwa menulisnya, workshopnya, telah menyentuh hidup orang lain.

Malam itu, Lyn bertemu Rianthos di taman kota dekat rumahnya, di bawah langit yang mulai gelap dengan bintang-bintang yang berkelap-kelip. Rianthos membawa gitar akustiknya, memetik nada lembut dari lagu “Cahaya Tinta” yang ia ciptakan. Mereka duduk di bangku kayu tua, ditemani suara angin dan derit daun.

“Jadi, apa kabar hati lo sekarang, Lyn?” tanya Rianthos, menyetel senar gitarnya.

Lyn menghela napas, tapi ada senyum tipis di bibirnya. “Masih naik-turun, Rian. Tapi tadi gue baca email dari salah satu peserta. Dia bilang nulis bikin dia ngerasa bisa ngobrol sama adiknya yang udah nggak ada. Itu… itu bikin gue ngerasa apa yang gue lakuin punya arti.”

Rianthos tersenyum lebar. “See? Gue bilang kan, lo punya sesuatu, Lyn. Lo nggak cuma bikin tulisan, lo bikin cahaya.”

Lyn menatap cangkir tehnya, uap teh membentuk spiral lembut di udara. “Tapi gue juga belajar, Rian. Menulis itu nggak cuma buat orang lain, tapi buat gue sendiri. Setiap kali gue nulis di buku hijau, gue ngerasa kayak ketemu nenek lagi, ketemu diriku yang dulu. Dan itu… itu cukup buat gue lanjut.”

Rianthos mengangguk, matanya penuh kehangatan. “Lo udah nemuin lagu lo sendiri, Lyn. Sekarang tinggal nyanyi terus, meski dunia kadang nggak denger.”

Beberapa bulan kemudian, Lyn menerbitkan antologi puisi dan cerita pendek berjudul Cahaya dalam Tinta, berisi karya-karya dari peserta workshopnya, termasuk puisinya sendiri yang berjudul “Pelita di Ujung Malam.” Buku itu tak langsung menjadi bestseller, tapi setiap eksemplar yang terjual terasa seperti kemenangan kecil. Di halaman pembuka, ia menulis dedikasi: “Untuk Nenek, yang mengajarku bahwa kata-kata adalah pelita, dan untuk setiap jiwa yang berani menulis.”

Malam itu, di balkon rumahnya, Lyn duduk dengan buku catatan di pangkuannya, memandang langit Surabaya yang kini cerah dengan bintang-bintang yang bersinar terang. Ia menulis satu kalimat terakhir: Pelita ini tak akan padam, selama ada jiwa yang mau menyalakannya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa menulis bukan hanya tentang menemukan cahaya, tapi juga tentang membaginya—dengan dunia, dengan orang lain, dan dengan dirinya sendiri.

Di kejauhan, suara kota perlahan mereda, dan Lyn tahu bahwa tinta di buku catatannya akan terus menyala, menerangi bayang yang pernah ia hadapi, dan menjadi pelita bagi yang lain.

Menulis Cahaya di Tengah Bayang bukan sekadar cerita, melainkan ajakan bagi milenial untuk memanfaatkan menulis sebagai alat menyembuhkan jiwa dan membangun koneksi di tengah dunia yang penuh tekanan. Dengan setiap goresan pena, Anda bisa menyalakan pelita yang abadi dan menjadi inspirasi bagi orang lain. Mulailah menulis hari ini, dan biarkan cahaya Anda bersinar melalui tinta!

Terima kasih telah menikmati kisah menyentuh ini! Ambil pena atau buka laptop Anda sekarang, dan mulailah menulis cerita Anda sendiri. Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar atau ikuti kami untuk lebih banyak inspirasi menulis. Sampai jumpa di artikel berikutnya!

Leave a Reply