Daftar Isi
Di tengah hiruk-pikuk Pasar Kremun, Sukra Wijaya, seorang penjual nasi sederhana, menghadapi hinaan dan cercaan pelanggan setiap hari. Namun, di balik gerobak tuanya yang reyot, tersimpan kisah perjuangan penuh emosi, ketabahan, dan keberanian untuk bangkit. Cerpen Penjual Nasi yang Direndahkan: Kisah Perjuangan dan Kebangkitan mengajak Anda menyelami perjalanan hidup Sukra yang penuh makna, dari luka akibat kata-kata pedas hingga tekadnya mengubah pandangan dunia terhadapnya. Artikel ini akan mengupas cerita inspiratif ini, penuh dengan pelajaran tentang ketahanan jiwa dan semangat pantang menyerah yang relevan bagi siapa saja yang pernah merasa diremehkan.
Penjual Nasi yang Direndahkan
Di Bawah Bayang-Bayang Hinaan
Langit pagi di gang sempit Pasar Kremun masih diselimuti kabut tipis, membawa aroma tanah basah dan asap kayu bakar. Di sudut pasar, di bawah tenda plastik biru yang sudah pudar, seorang pria bernama Sukra Wijaya berdiri di belakang gerobak nasinya yang sederhana. Gerobak itu, dengan cat hijau yang mengelupas dan roda yang sedikit oleng, adalah warisan dari ayahnya, almarhum Wijaya Kusuma, yang dulu dikenal sebagai penjual nasi paling ramah di pasar ini. Namun, Sukra bukan ayahnya. Ia adalah pria pendiam berusia 34 tahun, dengan wajah yang selalu menunduk dan tangan yang kasar karena bertahun-tahun mengulek sambal dan mengaduk nasi di wajan besar.
Pagi ini, seperti biasa, Sukra bangun sejak pukul tiga dini hari. Ia menanak nasi dalam panci besar di dapur sempit rumah kontrakannya, menggoreng ayam dengan bumbu kuning yang diracik sendiri, dan memotong kol untuk urap-urap dengan pisau tumpul yang sudah ia gunakan selama satu dekade. Setiap gerakan Sukra penuh perhitungan, seolah-olah ia sedang menjalani ritual suci. Ia mencurahkan hati dalam setiap butir nasi, setiap irisan cabai, dan setiap helai daun kemangi yang ia taburkan di atas piring pelanggan. Namun, ritual itu tak pernah cukup untuk melindunginya dari cercaan yang mengalir seperti air bah.
“Oi, Sukra! Nasinya keras lagi, ya? Apa kau masak pakai beras sisa kemarin?” teriak seorang pelanggan, seorang wanita paruh baya bernama Bu Tarmi, yang selalu memesan nasi ayam dengan sambal extra. Wanita itu mengenakan daster motif bunga dan sepatu sandal usang, tapi nada suaranya penuh otoritas, seolah ia sedang menghakimi seorang pesakitan. Sukra hanya menunduk, mengangguk kecil, dan berkata, “Maaf, Bu. Saya cek lagi nanti.”
Bu Tarmi mendengus, melemparkan beberapa lembar uang ke meja kayu yang sudah reyot. “Cepat, ya! Aku buru-buru. Jangan kayak kemarin, lambat kayak keong!” Sukra mengangguk lagi, tangannya dengan cekatan membungkus nasi dalam kertas minyak, meski dadanya terasa sesak. Ia sudah terbiasa dengan kata-kata pedas seperti itu, tapi setiap hinaan tetap meninggalkan luka kecil di hatinya, seperti goresan pisau yang tak pernah sembuh total.
Pasar Kremun adalah tempat yang keras. Di sini, para pedagang dan pembeli saling berlomba untuk bertahan hidup, dan kebaikan hati sering dianggap kelemahan. Sukra tahu itu. Ia tahu bahwa wajahnya yang selalu muram, tubuhnya yang kurus dengan baju kaus lusuh, dan gerobaknya yang tak lagi kinclong membuatnya jadi sasaran empuk. Pelanggan seperti Bu Tarmi, Pak Rojak—sopir angkot yang selalu mengeluh porsi nasinya kurang banyak, atau Mbak Yuni—penjual sayur yang suka menyindir sambalnya “tak ada rasa”, adalah bagian dari keseharian Sukra. Mereka tak pernah tahu bahwa Sukra bangun sebelum ayam berkokok, bahwa ia berjalan tiga kilometer setiap hari untuk membeli bahan segar di pasar grosir, atau bahwa ia hanya tidur empat jam sehari karena harus merawat ibunya yang sakit-sakitan.
Hari ini, pasar lebih ramai dari biasa. Ada kabar bahwa sekelompok pedagang dari kota tetangga datang untuk menjual ikan segar, dan itu menarik banyak pembeli. Sukra berharap ramainya pasar akan membawa rezeki lebih, tapi ia juga tahu bahwa pelanggan yang ramai sering kali berarti lebih banyak keluhan. Ia menyiapkan dirinya, mengikat celemek tua di pinggangnya, dan menyalakan kompor kecil untuk menghangatkan ayam goreng.
Tak lama kemudian, seorang pria muda dengan kemeja rapi dan sepatu mengkilap mendekati gerobaknya. Sukra mengenalnya—Arga Pratama, seorang pegawai bank yang baru pindah ke kampung ini. Arga adalah tipe pelanggan yang jarang, tapi setiap kedatangannya selalu meninggalkan kesan pahit. “Sukra, nasi ayam satu, tapi jangan lama-lama. Aku ada rapat jam sembilan,” kata Arga sambil mengetuk-ngetuk jarinya di meja, matanya tak lepas dari ponsel mahalnya.
Sukra mengangguk, tangannya bergerak cepat menyendok nasi, menata ayam, dan menambahkan sambal yang ia buat dengan hati-hati. Tapi ketika Arga menerima bungkusannya, ia mengerutkan kening. “Ini apa? Ayamnya kok kecil? Kau kira aku bayar murah, hah?” Nada suaranya tajam, dan beberapa pembeli di sekitar gerobak menoleh. Sukra merasa wajahnya panas, tapi ia hanya berkata, “Maaf, Mas Arga. Saya ganti yang lebih besar.”
“Sudah, sudahlah! Buang-buang waktu saja!” Arga melemparkan bungkusan itu kembali ke meja, membuat beberapa tetes sambal merah menciprat ke celemek Sukra. “Lain kali, kalau tak bisa jualan yang layak, mending tutup saja gerobakmu ini!” Arga berbalik dan pergi, meninggalkan Sukra yang hanya bisa menatap bungkusan nasi itu dengan mata berkaca-kaca.
Sukra tak menangis. Ia tak pernah menangis di depan pelanggan. Tapi di dalam dadanya, ada badai yang bergolak. Ia teringat kata-kata ayahnya dulu: “Sukra, jualan itu bukan cuma soal uang. Ini soal hati. Kalau kau ikhlas, rezeki akan datang.” Tapi ikhlas itu terasa semakin berat setiap hari. Ia merasa seperti pohon tua yang terus dihantam badai, batangnya masih berdiri, tapi akar-akarnya mulai goyah.
Sore itu, setelah pasar mulai sepi, Sukra duduk di bangku kecil di belakang gerobaknya. Ia menghitung uang hasil jualannya—cukup untuk membeli obat ibunya dan sedikit beras untuk minggu depan, tapi tak ada sisa untuk memperbaiki gerobaknya yang semakin rapuh. Di sampingnya, ada sebuah buku catatan tua, peninggalan ayahnya, yang berisi resep-resep masakan dan catatan kecil tentang hidup. Sukra membukanya, membaca tulisan ayahnya yang mulai pudar: “Jangan biarkan dunia meremukkanmu, Nak. Kau lebih kuat dari yang kau tahu.”
Sukra menutup buku itu, menarik napas dalam-dalam, dan menatap langit yang kini berwarna jingga. Di kejauhan, ia mendengar suara anak-anak bermain, tawa mereka seperti pengingat bahwa hidup masih punya sisi lembut, meski ia jarang merasakannya. Tapi di sudut hatinya, ada sesuatu yang mulai bergerak—sebuah tekad kecil, seperti bara yang masih menyala di bawah abu. Ia tak tahu bagaimana, tapi ia ingin membuktikan bahwa ia bukan hanya penjual nasi yang selalu dihina. Ia ingin menjadi sesuatu yang lebih, untuk dirinya sendiri, untuk ibunya, dan untuk kenangan ayahnya.
Malam itu, saat Sukra mendorong gerobaknya pulang melalui jalan berbatu, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ia menoleh dan melihat seorang gadis kecil, mungkin berusia sepuluh tahun, dengan rambut dikuncir dua dan baju yang sedikit lusuh. Gadis itu bernama Lintang, anak dari penjual ikan di ujung pasar. “Om Sukra,” katanya dengan suara kecil, “nasi ayam tadi pagi enak banget. Aku suka sambalnya. Besok aku beli lagi, ya?”
Sukra tersenyum, untuk pertama kalinya hari itu. “Makasih, Lintang. Besok Om buatin yang lebih enak,” jawabnya. Gadis itu tersenyum lebar, lalu berlari kembali ke arah rumahnya. Di tengah malam yang dingin, kata-kata sederhana Lintang terasa seperti selimut hangat. Untuk sesaat, Sukra merasa bahwa semua hinaan dan cercaan itu tak begitu penting. Mungkin, hanya mungkin, ada harapan di ujung perjuangannya.
Beban yang Tak Terucap
Pagi di Pasar Kremun kembali menyapa dengan hiruk-pikuk yang tak pernah reda. Suara pedagang sayur yang menawarkan dagangannya, derit roda gerobak, dan celoteh pembeli yang tawar-menawar bercampur menjadi simfoni pagi yang akrab bagi Sukra Wijaya. Namun, di balik keramaian itu, Sukra merasa seperti berjalan di tepi jurang. Setiap langkahnya terasa berat, bukan hanya karena gerobak tuanya yang semakin sulit didorong, tetapi juga karena beban di hatinya yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun.
Hari ini, Sukra tiba di pasar lebih awal dari biasanya, pukul setengah lima pagi, ketika langit masih gelap dan hanya beberapa lampu neon di los pasar yang menyala. Ia menyalakan kompor kecilnya, memanaskan minyak untuk menggoreng tempe yang ia bumbui dengan campuran bawang putih dan ketumbar. Aroma tempe goreng yang renyah mulai menyebar, bercampur dengan bau sambal ulek yang pedas dan segar. Sukra selalu bangga dengan sambalnya—ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk memilih cabai terbaik di pasar grosir, mencampurnya dengan tomat segar, terasi bakar, dan sedikit gula merah untuk menciptakan rasa yang seimbang. Tapi kebanggaan kecil itu sering tenggelam di bawah gelombang keluhan pelanggan.
Pagi ini, pelanggan pertamanya adalah Pak Rojak, sopir angkot yang selalu datang dengan wajah cemberut dan suara yang menggelegar. Pria bertubuh tambun dengan kumis tebal itu menepuk meja gerobak Sukra dengan tangan kasarnya. “Sukra, cepet dong! Nasi ayam satu, porsinya yang banyak. Jangan pelit kayak kemarin!” katanya, nadanya setengah menggurui, setengah menghina. Sukra hanya mengangguk, tangannya dengan cekatan menyendok nasi panas dari panci besar, menata potongan ayam goreng yang masih mengepul, dan menambahkan sejumput urap-urap yang ia buat dengan kol segar dan kelapa parut.
“Porsinya gini doang? Kau kira aku burung, hah?” Pak Rojak menggerutu sambil membuka bungkusan kertas minyak itu, matanya menyipit penuh curiga. “Lihat ini, ayamnya cuma sepotong kecil! Kalau begini terus, mending aku beli di warung sebelah!” Sukra menunduk, menahan napas agar emosinya tak meluap. “Maaf, Pak. Saya tambahin ayam lagi,” katanya pelan, meski hatinya berteriak ingin membela diri. Ia tahu ayamnya tidak kecil—ia selalu memilih potongan terbaik untuk pelanggan seperti Pak Rojak, yang meski cerewet, selalu membeli setiap hari.
Pak Rojak mendengus, tapi akhirnya menerima bungkusan baru dengan tambahan ayam. Ia melemparkan uang ke meja, beberapa lembar pecahan ribuan jatuh ke tanah berdebu. Sukra memungutnya tanpa berkata apa-apa, membersihkan debu dari uang itu dengan ujung celemeknya. Ketika Pak Rojak berlalu, Sukra merasa seperti ada batu besar yang menekan dadanya. Ia ingin marah, ingin berteriak bahwa ia sudah berusaha sebaik mungkin, tapi ia tahu itu tak akan mengubah apa pun. Pasar Kremun tak memberi ruang untuk keluh kesah.
Seiring pagi yang semakin terang, gerobak Sukra mulai ramai. Ada Bu Tarmi, yang seperti biasa mengeluh tentang sambal yang “kurang nendang”, dan Mbak Yuni, yang kali ini menyindir bahwa tempenya “terlalu tipis”. Tapi di tengah cercaan itu, ada juga Lintang, gadis kecil yang kemarin memuji sambalnya. Pagi ini, Lintang datang dengan senyum lebar, membawa uang seribu rupiah yang digenggam erat di tangannya. “Om Sukra, aku mau beli tempe goreng aja, boleh? Ini uangku,” katanya, suaranya penuh semangat.
Sukra tersenyum kecil, sesuatu yang jarang ia lakukan di pasar. “Boleh banget, Lintang. Nih, Om kasih dua potong, ya,” katanya sambil mengambil dua potong tempe goreng yang masih hangat dan membungkusnya dengan hati-hati. Lintang menggeleng cepat. “Satu aja, Om. Uangku cuma segini.” Tapi Sukra bersikeras, “Yang satu lagi hadiah dari Om. Makan yang banyak biar pintar.” Mata Lintang berbinar, dan ia berlari pergi sambil berteriak, “Makasih, Om Sukra!”
Interaksi singkat itu seperti secercah cahaya di tengah hari yang kelabu. Tapi cahaya itu tak bertahan lama. Tak lama setelah Lintang pergi, seorang pelanggan baru mendekati gerobak—seorang wanita muda dengan tas branded dan kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Sukra tak mengenalnya, tapi dari cara berjalannya yang penuh percaya diri, ia tahu wanita ini bukan pelanggan biasa. “Nasi apa ini? Yang bersih ya, saya gampang alergi,” katanya tanpa menatap Sukra, jari-jarinya sibuk mengetik di ponsel.
Sukra menjelaskan menu dengan sabar—nasi ayam goreng, nasi tempe, atau nasi urap—tapi wanita itu memotong ucapannya. “Sudah, sudah, yang ayam aja. Tapi bikin cepet, ya. Dan jangan pakai tangan, pakai sendok bersih!” Nada suaranya penuh otoritas, seolah Sukra adalah pelayan yang tak tahu apa-apa. Sukra mengangguk, mengambil sendok stainless yang selalu ia cuci hingga mengkilap, dan menyiapkan pesanan dengan hati-hati. Tapi ketika ia menyerahkan bungkusan, wanita itu mengerutkan kening.
“Ini apa? Kok kertasnya kusam begini? Apa nggak higienis, sih?” katanya, memegang bungkusan itu dengan ujung jari seolah takut terkontaminasi. “Lain kali, pakai yang lebih layak, ya. Warung sekecil ini setidaknya harus bersih!” Ia melemparkan uang dengan sembarangan dan berbalik pergi, meninggalkan Sukra yang hanya bisa menatap bungkusan itu dengan mata kosong.
Hinaan itu terasa lebih menyakitkan dari biasanya, mungkin karena datang dari seseorang yang bahkan tak repot menyembunyikan jijiknya. Sukra merasa seperti dirinya tak lebih dari kotoran di mata wanita itu. Ia duduk di bangku kecilnya, tangannya gemetar saat mencoba menghitung uang. Tapi pikirannya melayang ke masa lalu, ke hari-hari ketika ayahnya masih ada.
Dulu, Wijaya Kusuma selalu punya cara untuk membuat pelanggan tersenyum, bahkan ketika mereka datang dengan wajah masam. Ia akan bercanda, menceritakan kisah-kisah lucu tentang pasar, atau memberikan sepotong tempe gratis untuk anak-anak yang lewat. Sukra ingat betul bagaimana ayahnya pernah berkata, “Sukra, orang bisa menghina kita, tapi mereka tak bisa mencuri kebaikan dari hati kita.” Tapi kebaikan itu terasa semakin sulit dipertahankan ketika dunia seolah terus menamparnya.
Sore itu, setelah pasar mulai sepi, Sukra mendorong gerobaknya pulang ke rumah kontrakan kecil di pinggir kampung. Rumah itu sederhana, dengan dinding papan yang mulai lapuk dan atap seng yang bocor di musim hujan. Di dalam rumah, ibunya, Nyai Sari, berbaring di kasur kapuk yang sudah usang. Nyai Sari adalah wanita tangguh yang dulu membantu Wijaya menjalankan warung nasi, tapi kini tubuhnya melemah karena diabetes yang tak terkontrol. Obat-obatan yang ia butuhkan menghabiskan sebagian besar pendapatan Sukra, dan itu membuat Sukra tak pernah bisa menabung untuk memperbaiki gerobak atau membeli bahan-bahan baru.
“Sukra, sudah pulang?” sapa Nyai Sari dengan suara lemah saat Sukra masuk. Wajahnya yang penuh kerut masih menyimpan kehangatan, tapi matanya penuh kekhawatiran. “Kamu kurusan, Nak. Jangan lupa makan, ya.”
“Saya baik-baik saja, Bu,” jawab Sukra, meski suaranya serak. Ia tak ingin ibunya tahu betapa beratnya hari ini, atau betapa setiap hinaan di pasar terasa seperti cambuk. Ia menyiapkan sepiring nasi dengan sisa ayam untuk ibunya, lalu duduk di samping ranjang, memijat kaki ibunya yang sering kesemutan.
Malam itu, setelah Nyai Sari tertidur, Sukra duduk di beranda rumah, menatap langit yang penuh bintang. Di tangannya, ia memegang buku catatan tua peninggalan ayahnya. Ia membuka halaman yang berisi resep sambal favorit ayahnya, tapi di sela-sela resep itu, ada catatan kecil yang ditulis dengan tinta biru: “Sukra, kalau dunia terasa berat, ingatlah bahwa kau tak sendiri. Ada Tuhan, ada ibu, dan ada harapan.”
Sukra menutup buku itu, air matanya jatuh tanpa suara. Ia merasa sendirian, tapi kata-kata ayahnya seperti pelita kecil di tengah gelap. Di kejauhan, ia mendengar suara jangkrik, dan untuk sesaat, ia merasa seperti dunia tak sekejam yang ia kira. Besok, ia akan mencoba lagi. Mungkin tak akan berbeda, tapi ia tak akan menyerah. Untuk ibunya, untuk ayahnya, dan untuk dirinya sendiri.
Titik Balik di Tengah Badai
Pagi di Pasar Kremun kembali hadir dengan aroma yang sama: campuran bau ikan segar, sayuran basah, dan asap dari kompor-kompor kecil yang dinyalakan para pedagang. Sukra Wijaya, seperti biasa, sudah berdiri di belakang gerobak nasinya sejak fajar menyingsing. Tapi pagi ini, ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Kata-kata ayahnya yang ia baca semalam di buku catatan tua itu masih bergema di kepalanya: “Kau tak sendiri.” Kalimat itu seperti jangkar yang menahannya agar tak hanyut dalam lautan hinaan dan keputusasaan. Meski begitu, ia tahu hari ini tak akan mudah—Pasar Kremun tak pernah berubah, dan pelanggannya pun tetap sama, dengan keluhan dan cercaan yang sudah seperti ritme harian.
Sukra menyalakan kompor kecilnya, memanaskan wajan besar yang sudah penuh noda hitam akibat penggunaan bertahun-tahun. Ia mulai menggoreng ayam dengan bumbu kuning yang ia racik semalam, aroma kunyit dan jahe menyebar ke udara. Di sampingnya, panci besar berisi nasi masih mengepul, dan sebuah mangkuk kecil penuh dengan sambal yang baru ia ulek pagi ini—campuran cabai rawit, tomat segar, dan terasi bakar yang ia pilih dengan teliti di pasar grosir. Sukra selalu mencurahkan hati dalam setiap masakannya, meski ia tahu bahwa kebanyakan pelanggan tak akan menghargainya. Tapi hari ini, ia bertekad untuk tetap teguh, untuk tidak membiarkan hinaan mengguncangnya seperti biasa.
Pelanggan pertama yang datang adalah Bu Tarmi, wanita paruh baya dengan daster motif bunga yang sudah menjadi langganan tetap. Seperti biasa, ia datang dengan wajah masam dan suara yang keras. “Sukra, sambalnya jangan pelit, ya! Kemarin kok cuma sedikit, kayak tak niat jualan!” katanya sambil menunjuk-nunjuk ke arah gerobak. Sukra menarik napas dalam-dalam, mengingatkan dirinya untuk tetap tenang. “Iya, Bu. Saya kasih sambal extra,” jawabnya dengan suara yang pelan tapi tegas, tangannya dengan cekatan menyendok nasi, menata ayam goreng, dan menambahkan sambal dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya.
Bu Tarmi memeriksa bungkusan itu dengan mata menyipit, seolah mencari-cari kesalahan. “Hmph, ini baru agak mending. Tapi ayamnya kok kecil lagi? Apa kau sengaja pilih yang kecil biar untung banyak?” Sukra merasa dadanya kembali sesak, tapi kali ini ia tak menunduk seperti biasa. Ia menatap Bu Tarmi dengan mata yang tenang, meski jantungnya berdegup kencang. “Maaf kalau kurang besar, Bu. Saya pilih ayam yang segar setiap hari. Kalau Bu Tarmi mau, saya ganti yang lebih besar, gratis,” katanya, suaranya tetap sopan tapi ada sedikit ketegasan yang tak biasa.
Bu Tarmi tampak terkejut, mungkin karena untuk pertama kalinya Sukra menjawab dengan lebih dari sekadar permintaan maaf. Ia mendengus, tapi akhirnya mengangguk. “Sudah, nggak usah. Cepat bungkus, aku buru-buru.” Sukra membungkus pesanan itu dengan hati-hati, dan ketika Bu Tarmi pergi, ia merasa sedikit kemenangan kecil di hatinya. Bukan karena ia berhasil “melawan”, tapi karena ia mulai belajar untuk tak membiarkan hinaan itu menggerogoti harga dirinya.
Namun, kemenangan kecil itu tak bertahan lama. Tak lama setelah Bu Tarmi pergi, Arga Pratama, pegawai bank dengan kemeja rapi dan sikap angkuh, muncul di depan gerobak. Ponsel mahalnya masih di tangan, dan matanya bahkan tak menoleh ke arah Sukra saat memesan. “Nasi ayam, cepat. Jangan kayak kemarin, lambat dan porsinya sedikit,” katanya dengan nada yang dingin, seperti sedang memerintah bawahan. Sukra mengangguk, tangannya bergerak cepat menyusun pesanan, tapi di dalam hatinya, ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali yang rapuh. Ia tahu Arga adalah tipe pelanggan yang tak pernah puas, dan hari ini sepertinya tak akan berbeda.
Ketika Sukra menyerahkan bungkusan, Arga langsung membukanya dan mengerutkan kening. “Ini apa? Urapnya kok cuma segini? Dan sambalnya kenapa warnanya aneh? Kau pakai cabai busuk, ya?” tuduhnya, suaranya cukup keras hingga beberapa pedagang di sekitar menoleh. Sukra merasa wajahnya panas, tapi ia menahan diri. “Maaf, Mas Arga. Sambalnya saya buat pagi ini, cabainya segar. Kalau kurang cocok, saya ganti,” katanya, berusaha tetap tenang.
“Ganti? Buang-buang waktu! Warungmu ini nggak layak buka kalau begini caranya!” Arga melemparkan bungkusan itu ke meja dengan kasar, membuat beberapa butir nasi berhamburan. “Sudah, aku nggak jadi beli. Cari warung lain saja!” Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Sukra yang hanya bisa menatap tumpukan nasi yang berserakan. Hinaan Arga terasa seperti tamparan, tapi yang lebih menyakitkan adalah tatapan pedagang lain di sekitar—ada yang menggelengkan kepala, ada yang berbisik, dan ada yang seolah tak peduli. Sukra merasa seperti dipajang di tengah pasar untuk dihakimi.
Ia membungkuk, memunguti butir-butir nasi yang jatuh dengan tangan yang gemetar. Di saat seperti ini, ia ingin menangis, ingin berteriak, atau bahkan ingin menutup gerobaknya untuk selamanya. Tapi kemudian ia teringat Lintang, gadis kecil yang selalu memuji masakannya dengan tulus. Ia teringat ibunya, Nyai Sari, yang kini bergantung padanya. Dan ia teringat ayahnya, Wijaya Kusuma, yang tak pernah menyerah meski hidup tak selalu baik padanya. Sukra menarik napas dalam-dalam, mengusap wajahnya dengan ujung celemek, dan kembali berdiri.
Sore itu, pasar mulai sepi, dan Sukra mendapat kesempatan untuk beristirahat sejenak. Ia duduk di bangku kecil di belakang gerobak, memandang buku catatan tua ayahnya yang selalu ia bawa. Ia membuka halaman yang berisi resep ayam goreng, tapi matanya tertuju pada catatan kecil di sela-sela halaman: “Sukra, kalau kau jatuh, bangkitlah dengan senyuman. Dunia tak akan menghargaimu kalau kau tak menghargai dirimu sendiri.” Kalimat itu terasa seperti pukulan lembut yang menyadarkannya. Ia menyadari bahwa selama ini, ia membiarkan hinaan pelanggan menentukan siapa dirinya. Tapi mungkin, hanya mungkin, ia bisa mengubah itu.
Tiba-tiba, sebuah suara kecil menyapa. “Om Sukra!” Itu Lintang, dengan kuncir rambutnya yang sedikit acak-acakan dan senyum lebar di wajahnya. “Aku bawa temenku, boleh nggak beli tempe goreng?” Di samping Lintang berdiri seorang bocah laki-laki kurus dengan baju lusuh, yang tampak malu-malu. “Ini Jaka, temenku. Dia bilang pengen coba tempe Om Sukra soalnya aku bilang enak banget!”
Sukra tersenyum, merasa sedikit kehangatan di hatinya. “Boleh banget, Lintang. Nih, Om kasih dua potong buat kalian berdua,” katanya, membungkus tempe goreng dengan hati-hati. Jaka, bocah itu, tampak ragu-ragu, tapi akhirnya berbisik, “Makasih, Om. Kata Lintang, Om Sukra orang baik.” Kata-kata sederhana itu terasa seperti obat untuk luka di hati Sukra. Ia menyadari bahwa meski banyak yang menghinanya, ada juga yang menghargainya, meski hanya anak-anak kecil seperti Lintang dan Jaka.
Malam itu, saat Sukra mendorong gerobaknya pulang, ia merasa sedikit lebih ringan. Ia berhenti sejenak di pinggir jalan, menatap langit yang mulai gelap. Di rumah, Nyai Sari menyambutnya dengan senyum lemah. “Hari ini ramai, Nak?” tanyanya. Sukra mengangguk, tak ingin menceritakan hinaan yang ia terima. Ia menyiapkan makan malam untuk ibunya—nasi hangat dengan sisa urap dan tempe goreng. Saat mereka makan bersama, Nyai Sari berkata, “Sukra, aku tahu hidup ini berat. Tapi aku bangga sama kamu. Kamu kuat, seperti ayahmu.”
Kata-kata ibunya membuat mata Sukra berkaca-kaca. Ia tak tahu apakah ia benar-benar kuat, tapi ia tahu ia tak bisa menyerah. Malam itu, sebelum tidur, ia membuka buku catatan ayahnya lagi. Ia menemukan catatan lain: “Setiap hinaan adalah batu. Kau bisa membiarkannya menimpamu, atau kau bisa menggunakannya untuk membangun jalanmu.” Sukra menutup buku itu, hatinya dipenuhi tekad baru. Besok, ia akan mencoba sesuatu yang berbeda. Ia tak tahu apa, tapi ia ingin membuktikan—pada dirinya sendiri, pada ibunya, dan pada dunia—bahwa ia lebih dari sekadar penjual nasi yang dihina.
Kebangkitan di Bawah Langit Kremun
Pagi di Pasar Kremun terasa berbeda bagi Sukra Wijaya. Meski kabut tipis masih menyelimuti gang-gang sempit dan suara pedagang sayur mulai menggema, ada semangat baru yang menyala di dalam dirinya. Malam sebelumnya, setelah membaca catatan ayahnya tentang “membangun jalan dari batu hinaan”, Sukra membuat keputusan besar. Ia tak lagi ingin menjadi bayang-bayang yang menunduk di bawah cercaan pelanggan. Ia ingin membuktikan bahwa gerobak nasinya, meski sederhana, bisa menjadi sesuatu yang istimewa—bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk ibunya, Nyai Sari, dan untuk kenangan ayahnya, Wijaya Kusuma.
Sukra bangun lebih awal dari biasanya, pukul dua dini hari. Di dapur kecil rumah kontrakannya, ia menyiapkan sesuatu yang baru. Selain menu biasa—nasi ayam goreng, tempe, dan urap—ia memutuskan untuk menghidupkan kembali resep spesial ayahnya: nasi bakar dengan isian ayam suwir bumbu rujak. Resep itu tertera di buku catatan tua, lengkap dengan coretan kecil tentang bagaimana ayahnya dulu membuat pelanggan tersenyum hanya dengan aroma nasi bakar yang keluar dari daun pisang yang dipanggang. Sukra menghabiskan waktu berjam-jam untuk meracik bumbu rujak: campuran cabai, gula merah, asam jawa, dan kemiri yang ditumbuk halus hingga harum. Ia membungkus nasi dan ayam suwir dalam daun pisang yang sudah ia cuci bersih, lalu mengikatnya dengan tali bambu. Setiap gerakannya penuh perhatian, seolah ia sedang mencurahkan seluruh mimpinya ke dalam setiap bungkus nasi itu.
Ketika ia tiba di Pasar Kremun, langit masih gelap, tapi Sukra merasa ada cahaya kecil di hatinya. Ia menata gerobaknya dengan lebih rapi dari biasa, membersihkan meja kayu yang reyot hingga mengkilap, dan menempatkan tumpukan nasi bakar di sudut gerobak, di samping panci nasi dan wajan ayam goreng. Ia bahkan membuat papan kecil dari kardus bekas, menulis dengan spidol hitam: “Nasi Bakar Spesial, Rp 8.000”. Tulisannya sederhana, tapi bagi Sukra, papan itu adalah simbol keberaniannya untuk melangkah keluar dari bayang-bayang hinaan.
Pelanggan pertama pagi ini adalah Lintang, gadis kecil dengan kuncir dua yang selalu membawa senyum. Ia berlari mendekati gerobak dengan Jaka, temannya yang pemalu, di belakangnya. “Om Sukra, itu apa?” tanya Lintang, matanya berbinar melihat tumpukan daun pisang yang rapi. “Nasi bakar, ya? Kayak yang Bapak ceritain dulu?”
Sukra tersenyum, terkejut bahwa Lintang tahu tentang nasi bakar ayahnya. “Iya, Lintang. Ini resepnya Bapak Om. Mau coba? Om kasih satu buat kalian berdua,” katanya, menyerahkan sebuah bungkus nasi bakar yang masih hangat. Lintang dan Jaka menerimanya dengan gembira, lalu duduk di trotoar untuk membuka bungkusan itu. Aroma bumbu rujak yang pedas manis menyebar, dan wajah Lintang langsung berseri-seri setelah gigitan pertama. “Enak banget, Om! Ini kayak nasi bakar yang Bapak ceritain! Besok aku bawa temen-temenku, ya!” katanya, mulutnya masih penuh nasi.
Kata-kata Lintang seperti angin sejuk di tengah panasnya pasar. Tapi Sukra tahu, tantangan sebenarnya belum datang. Tak lama kemudian, Bu Tarmi muncul dengan daster motif bunga yang sama dan wajah masam yang tak pernah berubah. “Sukra, apa ini? Nasi bakar? Apa kau kira orang mau beli nasi dibungkus daun begini? Kuno!” katanya sambil mendengus, tangannya menyilang di dada.
Sukra menarik napas dalam-dalam, mengingatkan dirinya untuk tetap tenang. “Coba dulu, Bu. Ini resep spesial, rasanya beda,” jawabnya, suaranya lembut tapi penuh keyakinan. Ia menyerahkan sebungkus nasi bakar secara gratis, sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Bu Tarmi memandangnya dengan curiga, tapi akhirnya menerima bungkusan itu dan membukanya. Ia menggigit nasi itu, dan untuk sesaat, wajahnya yang selalu cemberut tampak melunak. “Hmph, lumayan. Tapi lain kali bikin porsinya lebih besar!” katanya sebelum pergi, tapi nada suaranya tak sepedas biasa.
Sukra merasa jantungnya berdegup kencang. Puji syukur kecil dari Bu Tarmi, meski disertai keluhan, terasa seperti kemenangan besar. Tapi ujian berikutnya datang lebih cepat dari yang ia kira. Arga Pratama, pegawai bank yang selalu angkuh, mendekati gerobak dengan langkah cepat, ponselnya seperti biasa tak lepas dari tangan. “Sukra, nasi ayam, cepat. Jangan lama-lama,” katanya tanpa menoleh.
Sukra mengangguk, tapi kali ini ia berani berkata lebih. “Mas Arga, coba nasi bakar spesial saya, gratis untuk hari ini. Rasanya beda, saya jamin enak,” katanya, menyerahkan sebungkus nasi bakar bersama pesanan nasi ayam. Arga mengerutkan kening, jelas tak suka diinterupsi. “Nasi bakar? Untuk apa? Aku nggak suka makanan kampungan,” katanya dengan nada meremehkan. Tapi ia tetap mengambil bungkusan itu, mungkin karena gratis, dan berlalu tanpa sepatah kata terima kasih.
Sukra menatap punggung Arga yang menjauh, merasa campur aduk antara kecewa dan harapan. Ia tahu tak semua orang akan langsung menerima perubahan yang ia coba buat, tapi ia tak akan menyerah. Sepanjang pagi itu, beberapa pelanggan lain mencoba nasi bakar—ada yang memuji, ada yang diam-diam menikmati, dan ada pula yang mengeluh tentang harganya. Tapi setiap pujian, sekecil apa pun, terasa seperti bahan bakar bagi semangat Sukra.
Sore itu, ketika pasar mulai sepi, sesuatu yang tak terduga terjadi. Lintang kembali dengan sekelompok anak-anak dari kampung, masing-masing membawa uang receh yang digenggam erat. “Om Sukra, temen-temenku mau coba nasi bakar! Kata aku, ini enak banget!” katanya dengan antusias. Sukra tersenyum lebar, tangannya sibuk membagikan nasi bakar kepada anak-anak itu, beberapa di antaranya ia berikan secara gratis karena ia tahu mereka tak punya cukup uang. Tawa dan celoteh anak-anak itu mengisi udara, dan untuk pertama kalinya, gerobak Sukra menjadi pusat perhatian yang positif di Pasar Kremun.
Malam itu, saat Sukra mendorong gerobaknya pulang, ia merasa seperti orang baru. Penghasilannya hari ini lebih banyak dari biasa, cukup untuk membeli obat ibunya dan sedikit cat untuk memperbaiki gerobaknya. Di rumah, Nyai Sari menyambutnya dengan senyum lemah tapi penuh kebanggaan. “Aku dengar dari tetangga, nasi bakarmu laris, Nak. Ayahmu pasti bangga,” katanya, matanya berkaca-kaca.
Sukra duduk di samping ibunya, memegang tangannya yang kurus. “Bu, ini baru awal. Saya mau bikin gerobak ini jadi sesuatu yang orang hormati, bukan cuma tempat mereka menghina,” katanya, suaranya penuh tekad. Nyai Sari mengangguk, menepuk tangan anaknya dengan lembut. “Kau sudah melakukannya, Sukra. Kau sudah mulai.”
Sebelum tidur, Sukra membuka buku catatan ayahnya untuk terakhir kalinya. Ia menemukan catatan terakhir yang belum pernah ia baca: “Sukra, dunia ini keras, tapi hatimu lebih kuat. Jadilah cahaya, meski hanya di sudut kecil pasar.” Sukra menutup buku itu, air matanya jatuh, tapi kali ini bukan karena sedih. Itu adalah air mata kelegaan, kebanggaan, dan harapan. Di bawah langit Kremun yang penuh bintang, Sukra tahu bahwa ia telah menemukan jalannya—bukan hanya sebagai penjual nasi, tapi sebagai seseorang yang mampu bangkit dari hinaan dan membangun sesuatu yang berarti. Gerobak tuanya, dengan cat hijau yang mengelupas, kini bukan lagi simbol kegagalan, melainkan awal dari kebangkitannya.
Kisah Sukra Wijaya dalam Penjual Nasi yang Direndahkan: Kisah Perjuangan dan Kebangkitan adalah cerminan bahwa di balik setiap hinaan, ada peluang untuk bangkit dan membuktikan nilai diri. Dengan kerja keras, keikhlasan, dan sedikit keberanian, Sukra mengubah gerobak nasinya menjadi simbol harapan dan kebanggaan, menginspirasi kita semua untuk tetap teguh di tengah badai kehidupan. Jangan lewatkan cerpen penuh emosi ini yang akan menggetarkan hati Anda dan mengajarkan bahwa setiap orang memiliki kekuatan untuk menulis akhir cerita mereka sendiri.
Terima kasih telah menyimak kisah inspiratif Sukra Wijaya yang penuh makna ini. Semoga cerita ini menggugah semangat Anda untuk terus berjuang dan percaya pada diri sendiri, apa pun tantangannya. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa bagikan cerita ini untuk menginspirasi orang lain!


