Jejak di Kandang Singa: Kisah Petualangan Emosional di Kebun Binatang

Posted on

Masuki dunia penuh emosi dan kenangan dalam Jejak di Kandang Singa: Kisah Petualangan Emosional di Kebun Binatang, sebuah cerpen yang mengajak Anda mengikuti perjalanan Zivara, seorang gadis yang menemukan penyembuhan di antara raungan singa dan langkah jerapah. Dengan latar Kebun Binatang Eldergrove, cerita ini merangkai kesedihan, keberanian, dan persahabatan dalam petualangan yang tak terlupakan, sempurna untuk Anda yang mencari kisah inspiratif dengan sentuhan emosi mendalam.

Jejak di Kandang Singa

Langkah Pertama Menuju Dunia Liar

Cahaya pagi menyelinap lembut melalui celah-celah jendela kamar Zivara, seorang gadis berusia 15 tahun dengan mata cokelat tua yang selalu tampak menyimpan rahasia. Rambutnya yang ikal, berwarna karamel, tergerai liar di bahunya, seolah mencerminkan jiwa petualang yang tersembunyi di dalam dirinya. Hari itu, Sabtu pagi yang cerah di akhir musim semi, adalah hari yang telah lama ia nantikan: perjalanan ke Kebun Binatang Eldergrove, sebuah tempat yang ia anggap sebagai gerbang menuju dunia liar yang selama ini hanya ia temui di buku-buku dan dokumenter. Namun, di balik kegembiraannya, ada beban berat di hatinya—sesuatu yang membuat perjalanan ini lebih dari sekadar liburan biasa.

Zivara duduk di tepi ranjangnya, memandangi sebuah foto lusuh yang terselip di antara halaman jurnalnya. Foto itu menunjukkan dirinya, masih berusia tujuh tahun, tersenyum lebar di samping kakaknya, Thalion, yang berusia 12 tahun saat itu. Di belakang mereka, seekor gajah dengan belalai terangkat seolah menyapa kamera. Thalion, dengan rambut hitam legam dan senyum penuh semangat, adalah sosok yang selalu membawa warna dalam hidup Zivara. Tapi kini, Thalion tak lagi ada. Dua tahun lalu, sebuah kecelakaan tragis merenggut nyawanya, meninggalkan Zivara dengan luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Foto itu diambil di Kebun Binatang Eldergrove, tempat terakhir mereka berbagi tawa sebelum semuanya berubah.

“Ziv, ayo cepat! Bus nggak bakal nunggu kita!” teriak Azkian, sahabat Zivara, dari ruang tamu. Azkian, pemuda berusia 16 tahun dengan kulit sawo matang dan senyum yang selalu cerah, adalah satu-satunya yang bisa membuat Zivara tersenyum di hari-hari kelamnya. Ia punya cara unik untuk melihat dunia, selalu penuh optimisme meski hidupnya sendiri tak pernah mudah. Ayahnya seorang penjaga kebun binatang, dan itulah alasan mereka bisa mendapatkan tiket gratis untuk hari ini. Azkian tahu betul betapa berartinya kebun binatang bagi Zivara, meski ia tak pernah benar-benar tahu cerita di balik foto lusuh itu.

Zivara menghela napas, memasukkan foto ke dalam saku jaketnya, dan meraih ransel kecil berwarna hijau lumut. “Aku datang!” jawabnya, berusaha menyembunyikan getar di suaranya. Ia melangkah keluar kamar, meninggalkan bayang-bayang kenangan yang masih menghantui sudut-sudut rumahnya. Di ruang tamu, Azkian sudah siap dengan topi baseball-nya yang sedikit miring, memegang dua botol air mineral dan sekantong camilan. “Kita bakal jalan kaki ke halte, jadi jangan lupa sepatu yang nyaman,” katanya sambil melemparkan senyum lebar.

Perjalanan ke halte bus terasa seperti petualangan kecil. Jalanan di kota kecil mereka, Elmsworth, dipenuhi aroma bunga liar yang bermekar di tepi trotoar. Zivara memperhatikan setiap detail—burung pipit yang melompat di dahan rendah, angin sepoi-sepoi yang membawa aroma tanah basah, dan suara tawa anak-anak dari taman bermain di kejauhan. Ia ingin mengabadikan momen ini, seolah-olah dengan mengingat setiap detail, ia bisa menahan waktu agar tak berlalu terlalu cepat. Azkian, di sisi lain, sibuk bercerita tentang harimau baru yang tiba di kebun binatang minggu lalu. “Namanya Kaelar, harimau Sumatra. Ayah bilang dia agak pemalu, tapi matanya… wow, kayak bisa lihat langsung ke jiwa kamu,” katanya dengan antusias.

Bus tiba tepat waktu, dan mereka naik, memilih tempat duduk di dekat jendela. Zivara menatap keluar, melihat lanskap kota perlahan berganti menjadi hamparan sawah dan bukit kecil. Pikirannya melayang kembali ke masa kecilnya. Thalion selalu menjadi pemandu di setiap kunjungan mereka ke kebun binatang. Ia akan menirukan suara binatang—raungan singa yang berlebihan, teriakan monyet yang konyol—dan membuat Zivara tertawa sampai perutnya sakit. Tapi kenangan favoritnya adalah saat Thalion membawanya ke kandang singa. “Lihat matanya, Ziv,” katanya saat itu, menunjuk seekor singa jantan yang sedang berbaring malas di bawah sinar matahari. “Mereka kelihatan galak, tapi di dalam, mereka cuma kucing besar yang suka tidur siang.” Zivara tersenyum kecil mengingat itu, tapi senyumnya cepat memudar saat ia menyadari betapa ia merindukan suara kakaknya.

Bus berhenti di gerbang utama Kebun Binatang Eldergrove, dan Zivara merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Gerbang itu, dengan lengkungan besi besar dan ukiran binatang di kedua sisinya, terlihat persis seperti yang ia ingat. Bau jerami kering dan kotoran hewan yang samar bercampur dengan aroma popcorn dari kios makanan di dekat pintu masuk. Suara anak-anak yang bersorak dan deru mesin kereta wisata kebun binatang mengisi udara. Azkian menarik lengannya, “Ayo, kita mulai dari zona Afrika! Gajah dulu, atau singa?” Zivara ragu sejenak. Ia ingin langsung ke kandang singa, tempat kenangan terkuatnya bersama Thalion, tapi ada bagian di hatinya yang takut—takut bahwa melihat singa itu lagi akan membuka luka yang ia coba kubur selama ini.

“Ayo ke gajah dulu,” katanya akhirnya, suaranya pelan. Azkian mengangguk, tak menyadari pergolakan batin sahabatnya. Mereka berjalan melewati kerumunan pengunjung, melewati kios suvenir yang penuh dengan boneka binatang dan topi bertema safari. Zivara memperhatikan seorang anak kecil yang menangis karena balonnya terlepas dan melayang ke langit. Ibunya berusaha menenangkannya, dan Zivara merasa sesak di dadanya. Ia teringat bagaimana Thalion pernah membelikannya balon berbentuk jerapah, yang juga terlepas karena ia tak cukup kuat memegang talinya. Thalion tak marah; ia justru menggendong Zivara dan berkata, “Lihat, sekarang jerapah itu bebas terbang ke awan. Mungkin dia akan cerita ke temen-temennya di langit tentang petualangan kita.”

Di zona Afrika, mereka akhirnya sampai di kandang gajah. Seekor gajah betina besar, dengan telinga lebar yang bergerak perlahan seperti kipas, sedang menyemprotkan air ke punggungnya dengan belalai. Zivara terpaku, matanya mengikuti setiap gerakan hewan itu. “Lihat, Ziv, dia mandi!” kata Azkian, tertawa. Tapi Zivara tak bisa menjawab. Ia teringat bagaimana Thalion pernah menjelaskan bahwa gajah punya ingatan yang luar biasa, bahwa mereka bisa mengenali teman atau keluarga mereka bahkan setelah bertahun-tahun berpisah. “Kalau aku pergi jauh, Ziv, kamu harus kayak gajah, ya? Jangan lupa aku,” kata Thalion saat itu, bercanda. Zivara tak tahu bahwa kata-kata itu akan menjadi pisau yang menusuk hatinya bertahun-tahun kemudian.

Saat matahari mulai naik lebih tinggi, sinarnya memantul di permukaan genangan air di dekat kandang gajah, menciptakan kilau yang hampir menyilaukan. Zivara merogoh saku jaketnya, memegang foto itu erat-erat. Ia tahu perjalanan ini baru saja dimulai, dan kandang singa masih menunggu di ujung jalur. Tapi di dalam hatinya, ia merasa seperti sedang berjalan di tepi jurang—antara ingin mengenang Thalion dan takut tenggelam dalam kesedihan. Azkian, yang memperhatikan sahabatnya mulai diam, menyentuh pundaknya lembut. “Kamu oke, Ziv?” tanyanya, suaranya penuh perhatian.

Zivara mengangguk, tapi matanya berkaca-kaca. “Aku cuma… kangen dia,” bisiknya, hampir tak terdengar. Azkian tak bertanya lebih jauh. Ia hanya merangkul Zivara sebentar, lalu menunjuk ke arah kandang berikutnya. “Ayo, kita lanjut. Masih banyak yang harus kita lihat.” Zivara mengangguk, mengambil napas dalam-dalam, dan melangkah maju, tahu bahwa setiap langkah membawanya lebih dekat ke kenangan yang ia rindukan sekaligus takut hadapi.

Bayang-Bayang di Antara Jerapah

Langit di atas Kebun Binatang Eldergrove mulai dihiasi awan tipis yang bergerak perlahan, seolah mengikuti ritme langkah Zivara dan Azkian yang kini melaju menuju zona savana. Udara siang itu terasa hangat, membawa aroma rumput kering dan sedikit bau tanah yang terangkat oleh angin. Zivara berjalan dengan tangan di saku jaketnya, jari-jarinya sesekali menyentuh foto lusuh di dalamnya, seperti jangkar yang menahannya agar tak hanyut dalam lautan kenangan. Azkian, di sisinya, sibuk membaca papan petunjuk di persimpangan jalur, matanya berbinar setiap kali melihat nama-nama hewan eksotis yang tertera: zebra, jerapah, cheetah. “Kita ke jerapah dulu, Ziv! Ayah bilang ada bayi jerapah baru, namanya Vionelle. Lucu banget, katanya!” katanya dengan semangat yang menular.

Zivara mengangguk, tapi pikirannya terpecah. Jerapah adalah hewan favorit Thalion setelah singa. Ia ingat betul bagaimana kakaknya pernah berdiri di depan kandang jerapah selama hampir setengah jam, terkagum-kagum dengan leher panjang mereka yang seolah menjulang hingga menyentuh langit. “Mereka kayak menara hidup, Ziv,” katanya dulu, suaranya penuh kagum. “Bayangin, mereka bisa lihat dunia dari ketinggian yang kita nggak akan pernah ngerti.” Zivara kecil saat itu hanya tertawa, tak benar-benar memahami, tapi kini, kata-kata itu terasa seperti teka-teki yang belum terpecahkan. Ia ingin merasakan apa yang Thalion rasakan, ingin melihat dunia dari ketinggian yang sama, tapi yang ia rasakan hanyalah kekosongan di tempat kakaknya dulu berdiri.

Jalur menuju kandang jerapah dipenuhi pengunjung. Ada keluarga dengan anak-anak yang berlarian, pasangan yang berfoto di depan patung jerapah dari kayu, dan seorang penjaga kebun binatang yang sedang menjelaskan fakta tentang jerapah kepada sekelompok pelajar. Zivara memperhatikan semua itu dengan saksama, seolah mencoba menyerap energi kehidupan di sekitarnya untuk mengusir bayang-bayang kesedihan yang terus mengintai. Azkian, yang selalu peka terhadap suasana hati sahabatnya, mencoba mengalihkan perhatiannya. “Ziv, coba tebak, berapa lama bayi jerapah belajar jalan setelah lahir?” tanyanya, sambil menjentikkan jari seperti pembawa acara kuis.

Zivara mengangkat bahu, berusaha tersenyum. “Satu jam?” tebaknya asal.

“Kurang lebih! Tiga puluh menit! Gila, kan? Manusia aja butuh setahun buat bisa jalan,” jawab Azkian, tertawa. “Bayi jerapah itu kayak, ‘Oke, dunia, aku siap!’” Dia menirukan gerakan jerapah yang baru lahir, melangkah dengan kaki panjang yang dibuat-buat, membuat beberapa anak di dekat mereka terkikik. Zivara tersenyum, tapi senyumnya tak sampai ke matanya. Ia ingin menikmati momen ini, ingin tertawa seperti dulu, tapi setiap langkah di kebun binatang ini seperti membuka luka lama yang belum kering.

Saat mereka sampai di kandang jerapah, Zivara langsung terpaku pada pemandangan di depannya. Tiga jerapah dewasa berdiri anggun, leher mereka menjulang tinggi di atas pagar kayu. Di sisi kandang, seekor bayi jerapah—Vionelle, mungkin—berdiri dengan kaki yang masih sedikit goyah, mencoba menjangkau daun-daun di dahan rendah yang sengaja diletakkan oleh penjaga. Bulu cokelatnya yang berpola unik berkilau di bawah sinar matahari, dan matanya yang besar dan bulat tampak penuh rasa ingin tahu. Zivara merasa jantungnya terasa hangat sekaligus perih. Bayi jerapah itu mengingatkannya pada dirinya sendiri saat kecil—penuh semangat, tak takut dengan dunia, selalu dilindungi oleh Thalion.

Azkian menunjuk ke arah Vionelle. “Lihat, Ziv, dia lagi belajar makan sendiri. Kayak kita waktu kecil, kan? Cuma bedanya, kita nggak perlu jangkau pohon setinggi itu!” Ia tertawa, tapi Zivara hanya mengangguk pelan. Ia teringat bagaimana Thalion pernah mengangkatnya ke pundaknya agar ia bisa melihat jerapah lebih dekat. “Kamu harus lihat matanya, Ziv. Mereka punya bulu mata paling cantik di dunia,” katanya saat itu. Zivara kini menatap mata Vionelle, dan benar, bulu matanya panjang dan lentik, seperti tirai yang melindungi rahasia dunia. Tapi alih-alih kagum, Zivara merasa air mata mulai menggenang. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, berharap Azkian tak menyadari.

Namun, Azkian bukan tipe yang mudah melewatkan detail. Ia melangkah mendekat, suaranya lembut. “Ziv, kamu nggak apa-apa, kan? Dari tadi kayak… jauh gitu.” Ia tak memaksa, tapi nada suaranya penuh perhatian, seperti selalu.

Zivara menggigit bibir, berusaha menahan emosi yang mulai meluap. “Aku cuma… kebun binatang ini bikin aku ingat Thalion,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara pengunjung di sekitar mereka. “Setiap sudut di sini kayak punya cerita tentang dia. Aku nggak tahu aku siap apa nggak buat ini.”

Azkian diam sejenak, memandang Zivara dengan mata yang penuh pengertian. Ia tahu sedikit tentang Thalion dari cerita-cerita Zivara, tapi tak pernah mendesak untuk tahu lebih banyak. “Mau cerita sesuatu tentang dia? Mungkin tentang kenapa jerapah ini bikin kamu tiba-tiba… kayak gini?” tanyanya hati-hati.

Zivara menarik napas dalam-dalam, memandang Vionelle yang kini berhasil menarik sehelai daun dan mengunyahnya dengan puas. “Thalion suka jerapah karena mereka beda. Mereka nggak cuma tinggi, tapi… entah kenapa, dia bilang mereka punya hati yang besar. Dia bilang jerapah selalu kelihatan tenang, tapi mereka sebenarnya kuat, bisa lari cepat kalau harus kabur dari bahaya. Dia bilang aku harus kayak jerapah—tenang, tapi kuat di dalam.” Suaranya pecah di kata terakhir, dan ia buru-buru menunduk, menyembunyikan wajahnya.

Azkian tak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sisi Zivara, membiarkan sahabatnya merasakan emosinya tanpa dihakimi. Setelah beberapa saat, ia menunjuk ke arah Vionelle lagi. “Lihat, Ziv. Vionelle jatuh tadi, tapi dia bangun lagi. Mungkin… mungkin Thalion pengen kamu kayak gitu juga. Jatuh boleh, tapi bangun lagi.” Kata-katanya sederhana, tapi bagi Zivara, rasanya seperti seseorang melemparkan tali ke dalam jurang tempat ia terperosok.

Mereka melanjutkan perjalanan, meninggalkan kandang jerapah menuju zona berikutnya. Zivara merasa sedikit lebih ringan, meski beban di dadanya masih ada. Ia memperhatikan Azkian yang kini berjalan di depannya, bersiul kecil sambil sesekali melirik ke belakang untuk memastikan Zivara mengikuti. Di tengah keramaian kebun binatang, di antara suara hewan dan tawa pengunjung, Zivara merasa sedikit lebih dekat dengan Thalion—bukan hanya melalui kenangan, tapi melalui keberaniannya untuk tetap melangkah, meski setiap langkah terasa berat.

Saat mereka mendekati papan petunjuk menuju kandang singa, jantung Zivara kembali berdetak kencang. Ia tahu bahwa di sana, di tempat yang paling Thalion sukai, ia akan menghadapi kenangan terbesar dan luka terdalamnya. Tapi untuk saat ini, ia memilih fokus pada langkahnya, pada Vionelle yang masih belajar berjalan, dan pada Azkian yang tak pernah meninggalkannya sendirian. Matahari di atas kepala mereka kini bersinar lebih terang, seolah mengingatkan bahwa di balik setiap bayang-bayang, selalu ada cahaya yang menunggu.

Bisikan di Depan Kandang Cheetah

Langit di atas Kebun Binatang Eldergrove kini mulai memerah, tanda matahari perlahan merangkak menuju puncaknya. Zivara dan Azkian berjalan menyusuri jalur berbatu yang mengarah ke zona predator, tempat kandang cheetah, hyena, dan—yang paling membuat jantung Zivara berdegup kencang—singa berada. Udara terasa lebih berat sekarang, bukan hanya karena kelembapan siang yang meningkat, tetapi juga karena beban kenangan yang semakin menekan dada Zivara. Setiap langkah membawanya lebih dekat ke kandang singa, tempat Thalion pernah berdiri bersamanya, tempat di mana ia merasa kakaknya masih hidup dalam setiap detik kenangan itu. Tapi untuk saat ini, Azkian memutuskan mereka berhenti di kandang cheetah, mungkin karena ia merasakan ketegangan di wajah sahabatnya.

Kandang cheetah terletak di sudut yang agak terpencil, dikelilingi oleh pagar kaca tebal yang memungkinkan pengunjung melihat hewan-hewan itu dari dekat tanpa membahayakan. Dua ekor cheetah terlihat di dalam, satu berbaring di atas batu besar dengan mata setengah terpejam, sementara yang lain berjalan mondar-mandir dengan langkah ringan namun penuh tenaga, seperti penari yang sedang mempersiapkan pertunjukan. Pola bintik-bintik hitam di tubuh mereka berkilau di bawah sinar matahari, dan Zivara tak bisa menahan diri untuk tidak terpukau. Mereka begitu anggun, begitu kuat, namun ada sesuatu di gerakan cheetah yang mondar-mandir itu yang membuatnya gelisah—seperti ia mencari sesuatu yang tak bisa ditemukan.

“Lihat tuh, Ziv, yang jalan bolak-balik itu namanya Syris,” kata Azkian, bersandar di pagar kaca sambil membaca plakat informasi di dekatnya. “Ayah bilang dia suka gitu kalau lagi gelisah. Mungkin kangen rumahnya di savana.” Azkian menyeringai, tapi Zivara tak bisa membalas senyumnya. Kata “kangen rumah” menusuk hatinya seperti jarum. Ia tahu rasanya merindukan sesuatu yang tak lagi bisa disentuh—rumah, dalam kasusnya, bukan tempat, melainkan sosok Thalion yang selalu membuatnya merasa aman.

Zivara mendekati pagar kaca, menatap Syris yang kini berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. Mata cheetah itu, kuning keemasan dengan pupil hitam yang tajam, seolah menembus jiwanya. Zivara merasa seperti sedang bercermin—ia, seperti Syris, juga mondar-mandir dalam hidupnya, mencari sesuatu yang hilang, tapi tak tahu bagaimana menemukannya. “Apa yang bikin dia gelisah, menurutmu?” tanyanya pada Azkian, suaranya pelan, hampir seperti berbisik.

Azkian mengangkat bahu, memandang Syris dengan ekspresi pensaran. “Mungkin dia cuma butuh lari. Cheetah kan paling cepat di dunia, tapi di sini dia cuma bisa jalan-jalan di kandang. Bayangin punya semua kecepatan itu, tapi nggak bisa pakai sepenuhnya.” Ia berhenti, lalu menoleh ke Zivara. “Kamu pernah ngerasa gitu, Ziv? Punya sesuatu di dalam diri kamu, tapi… entah kenapa, nggak bisa keluar?”

Pertanyaan itu terasa seperti tamparan lembut. Zivara menunduk, jari-jarinya kembali meraba foto di saku jaketnya. “Setiap hari,” jawabnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia ingin menceritakan semuanya pada Azkian—tentang bagaimana ia merasa seperti cheetah yang terkurung, penuh semangat dan mimpi tapi terbelenggu oleh kesedihan yang tak kunjung reda. Tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya, seperti burung yang tak bisa terbang.

Azkian tak mendesak. Ia hanya mengangguk, lalu menunjuk ke arah cheetah yang sedang berbaring di batu. “Yang itu namanya Lirien. Katanya dia lebih kalem, suka ngelamun. Ayah bilang cheetah punya sifat beda-beda, kayak manusia. Ada yang selalu lari, ada yang cuma suka duduk dan mikir.” Ia tertawa kecil. “Aku sih tim Syris. Kamu tim yang mana, Ziv?”

Zivara memandang Lirien, yang kini mengangkat kepalanya sejenak, menatap ke arah langit seolah mencari sesuatu di antara awan. “Lirien,” jawabnya pelan. “Aku suka yang ngelamun. Kayak… dia tahu sesuatu yang kita nggak tahu.” Ia tak tahu kenapa ia memilih Lirien, tapi ada sesuatu di ketenangan cheetah itu yang membuatnya merasa terhubung. Mungkin karena ia juga sering terjebak dalam lamunan, dalam kenangan tentang Thalion, mencoba mencari makna di balik kepergiannya.

Saat mereka berdiri di depan kandang, seorang penjaga kebun binatang, seorang pria tua dengan topi jerami dan lencana bertuliskan “Eldan,” mendekati mereka. Ia membawa seember daging mentah, dan wajahnya penuh kerutan yang seolah menceritakan puluhan tahun pengalaman. “Kalian suka cheetah, ya?” tanyanya ramah, suaranya serak namun hangat. “Syris dan Lirien ini pasangan yang unik. Syris selalu gelisah, tapi Lirien… dia kayak penutup buat kegelisahan Syris. Mereka saling melengkapi.”

Zivara menoleh ke Eldan, matanya penuh rasa ingin tahu. “Mereka nggak kesepian di sini? Maksudku… cuma berdua, tanpa keluarga lain?” Pertanyaannya keluar begitu saja, dan ia segera menyesal karena suaranya terdengar lebih emosional dari yang ia inginkan.

Eldan tersenyum, tapi ada sedikit kesedihan di matanya. “Cheetah itu hewan soliter di alam liar, tapi Syris dan Lirien punya ikatan khusus. Kami menemukan mereka bersama, terluka, di sebuah cagar alam. Mereka nggak punya keluarga lain, tapi mereka punya satu sama lain. Kadang, itu sudah cukup.” Ia berhenti, memandang Zivara seolah bisa membaca apa yang ada di hatinya. “Kehilangan itu berat, tapi kadang kita menemukan keluarga baru di tempat yang nggak kita duga.”

Kata-kata Eldan menggema di kepala Zivara. Ia melirik Azkian, yang kini sedang memotret Lirien dengan ponselnya, wajahnya penuh konsentrasi. Azkian bukan keluarga, tapi selama dua tahun terakhir, ia adalah satu-satunya yang membuat Zivara merasa tak sendirian. Ia teringat bagaimana Azkian selalu ada di sisinya, dari hari-hari ketika ia tak ingin bangun dari tempat tidur hingga momen-momen kecil seperti ini, di mana ia berusaha membuatnya tersenyum. Mungkin, seperti Syris dan Lirien, ia dan Azkian juga saling melengkapi.

Namun, pikirannya kembali ke Thalion. Ia merogoh saku jaketnya, mengeluarkan foto itu untuk pertama kalinya hari itu. Gambar Thalion yang tersenyum di sampingnya, dengan gajah di latar belakang, terasa seperti portal ke masa lalu. “Thalion pernah bilang cheetah itu kayak pahlawan super,” katanya tiba-tiba, suaranya gemetar. Azkian menoleh, terkejut melihat foto itu di tangan Zivara. “Dia bilang mereka cepat, tapi mereka cuma lari kalau benar-benar perlu. Dia bilang… aku harus simpan energi buat hal-hal yang penting.” Air mata mulai mengalir di pipinya, dan ia tak berusaha menyembunyikannya kali ini.

Azkian melangkah mendekat, meletakkan tangannya di bahu Zivara. “Ziv, Thalion pasti bangga sama kamu. Kamu di sini, kan? Kamu tetap jalan, meskipun berat. Itu artinya kamu nyimpen energi buat hal yang penting—like, hidup.” Ia tersenyum kecil, tapi matanya penuh kehangatan. “Dan aku yakin, dia pasti seneng ngeliat kamu di sini, di tempat yang dia suka.”

Zivara mengangguk, menahan isakan. Ia memandang Syris, yang kini duduk di dekat Lirien, seolah akhirnya menemukan sedikit ketenangan. Momen itu terasa seperti jeda, seperti napas yang ia butuhkan sebelum menghadapi langkah berikutnya. Kandang singa sudah dekat, hanya beberapa menit berjalan dari sini. Ia tahu bahwa di sana, ia akan berhadapan dengan kenangan terbesar tentang Thalion—dan mungkin juga luka terdalamnya. Tapi untuk saat ini, ia merasa sedikit lebih kuat, berkat Azkian, berkat Syris dan Lirien, dan berkat Eldan yang tanpa sengaja mengingatkannya bahwa keluarga bisa ditemukan di tempat yang tak terduga.

Matahari kini bersinar tepat di atas kepala mereka, menciptakan bayang-bayang pendek di tanah. Zivara menyeka air matanya, memasukkan foto kembali ke saku, dan mengangguk pada Azkian. “Ayo, kita lanjut,” katanya, suaranya lebih teguh dari sebelumnya. Azkian tersenyum lebar, lalu memimpin jalan menuju kandang berikutnya, meninggalkan kandang cheetah dengan bisikan pelajaran yang tak akan Zivara lupakan.

Raungan yang Menyembuhkan

Langkah Zivara terasa semakin berat saat ia dan Azkian mendekati kandang singa, tujuan akhir dari perjalanan mereka di Kebun Binatang Eldergrove. Matahari sudah mulai condong ke barat, melemparkan bayang-bayang panjang di jalur berbatu yang dipenuhi kerikil kecil. Udara sore membawa aroma tanah basah bercampur dengan bau khas hewan predator—bau yang tajam namun anehnya membangkitkan nostalgia dalam diri Zivara. Di kejauhan, ia bisa mendengar raungan rendah, seperti gemuruh lembut yang menggema dari kandang singa. Suara itu membuat jantungnya berdetak kencang, seolah memanggilnya untuk menghadapi sesuatu yang selama ini ia hindari. Azkian, yang berjalan di sisinya, tampak lebih pendiam sekarang, seolah merasakan bahwa momen ini adalah sesuatu yang sakral bagi sahabatnya.

Kandang singa terletak di pusat zona predator, dikelilingi oleh pagar besi tinggi dan parit lebar yang memisahkan pengunjung dari penghuninya. Zivara berhenti sejenak di depan papan petunjuk yang bertuliskan “Kaelar, Harimau Sumatra” dan “Zythera, Singa Afrika”. Nama Zythera membuatnya tersentak. Ia teringat Thalion, yang selalu menyebut singa sebagai “raja sejati” dengan penuh kagum. “Lihat matanya, Ziv,” katanya dulu, menunjuk seekor singa jantan yang berbaring malas di bawah pohon akasia buatan. “Mereka nggak cuma galak, mereka punya jiwa. Mereka tahu mereka kuat, tapi mereka nggak selalu pamer.” Kata-kata itu terngiang kembali, begitu jelas hingga Zivara hampir bisa mendengar suara Thalion di sampingnya.

Azkian menyentuh lengannya lembut. “Ziv, kamu siap?” tanyanya, suaranya penuh perhatian. Ia tahu kandang singa adalah tempat yang paling berarti bagi Zivara, meski ia tak tahu seluruh ceritanya. Zivara mengangguk, meski tangannya gemetar saat ia merogoh saku jaketnya, memegang foto lusuh itu seperti talisman. “Ayo,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Mereka melangkah mendekati pagar, dan pemandangan di depan mereka membuat Zivara menahan napas.

Zythera, seekor singa betina dengan bulu keemasan yang berkilau di bawah sinar matahari sore, sedang berbaring di atas batu besar di tengah kandang. Matanya yang kuning menyala menatap lurus ke arah pengunjung, penuh ketenangan namun mengandung kekuatan yang tak terbantahkan. Di sampingnya, seekor anak singa kecil, mungkin baru berusia beberapa bulan, sedang menggigit-gigit ekor ibunya dengan penuh semangat. Tingkahnya yang lucu membuat beberapa pengunjung di sekitar Zivara terkikik, tapi bagi Zivara, pemandangan itu seperti lukisan dari masa lalu. Ia teringat bagaimana Thalion pernah menunjuk anak singa di kandang ini, tertawa saat salah satunya tersandung saat mencoba mengejar kupu-kupu. “Mereka kayak kita, Ziv,” katanya saat itu. “Kadang jatuh, tapi selalu bangun lagi.”

Zivara merasa air mata mulai menggenang, tapi ia tak ingin menangis lagi. Ia ingin kuat, seperti yang Thalion ajarkan. Ia melangkah lebih dekat ke pagar, begitu dekat hingga hidungnya hampir menyentuh besi dingin. Zythera mengangkat kepalanya, menatap langsung ke arahnya. Untuk sesaat, Zivara merasa seperti singa itu bisa melihat semua luka di hatinya, semua kerinduan yang ia simpan selama dua tahun ini. “Thalion bilang singa punya jiwa,” katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada Azkian. “Dia bilang kalau aku pernah takut, aku harus ingat singa. Mereka takut juga, tapi mereka tetap melangkah.”

Azkian berdiri di sisinya, diam, membiarkan Zivara tenggelam dalam momen itu. Tiba-tiba, anak singa kecil itu berlari mendekati pagar, menabrak kaki ibunya sebelum akhirnya duduk dan menatap Zivara dengan mata besar yang penuh rasa ingin tahu. Zivara tersenyum kecil, air matanya akhirnya jatuh, tapi kali ini bukan karena kesedihan. Ada sesuatu yang hangat di dadanya, seperti bara kecil yang mulai menyala setelah sekian lama padam. “Kamu mirip Thalion,” bisiknya pada anak singa itu, meski ia tahu hewan itu tak bisa mengerti. “Penuh semangat, nggak takut apa-apa.”

Tiba-tiba, raungan keras menggema dari kandang. Zythera berdiri, mengeluarkan suara yang menggetarkan udara, membuat beberapa pengunjung mundur ketakutan. Tapi Zivara tak bergerak. Raungan itu, baginya, bukan ancaman—ia terasa seperti panggilan, seperti pesan dari Thalion yang entah bagaimana sampai kepadanya melalui Zythera. Ia menutup mata, membiarkan suara itu mengalir melalui dirinya, membawa serta kenangan-kenangan tentang kakaknya: tawa mereka saat Thalion menirukan raungan singa, pelukannya yang hangat saat Zivara takut badai, dan janjinya bahwa ia akan selalu ada, meski dalam bentuk yang berbeda.

“Ziv,” kata Azkian pelan, memecah keheningan. “Aku nggak tahu pasti apa yang kamu rasain, tapi… aku rasa Thalion ada di sini, bareng kita. Mungkin dia lagi ngeliatin kita dari atas, sambil bilang, ‘Ziv, jangan lupa jadi singa!’” Ia tersenyum, dan kali ini, Zivara membalas senyumnya dengan tulus.

Ia mengeluarkan foto dari saku jaketnya, memandang wajah Thalion yang tersenyum di sampingnya. “Aku nggak akan lupa, Thal,” bisiknya. Ia lalu menoleh ke Azkian, matanya berkaca-kaca tapi penuh tekad. “Makasih, Az. Kalau nggak ada kamu, aku nggak akan berani ke sini. Aku nggak akan… bisa ngelupain rasa takutku.”

Azkian mengangkat bahu, berusaha terlihat santai meski matanya juga berkilau. “Eh, apa sih? Aku cuma pengen lihat singa sama sahabat terbaikku. Lagian, aku kan tim Syris—harus lari cepet buat ngimbangin kamu yang tim Lirien.” Mereka tertawa bersama, suara tawa mereka bercampur dengan suara pengunjung lain dan raungan pelan dari Zythera yang kini kembali berbaring di batu.

Saat mereka berjalan meninggalkan kandang singa, Zivara merasa seperti telah melepaskan sesuatu—bukan kenangan tentang Thalion, tapi beban berat yang selama ini membuatnya takut untuk mengenang. Ia masih merindukannya, dan mungkin akan selalu merindu, tapi kini ia tahu bahwa Thalion tak pernah benar-benar pergi. Ia ada di setiap raungan singa, di setiap langkah jerapah, di setiap tatapan cheetah, dan di setiap senyum Azkian. Kebun binatang ini, yang dulu menjadi tempat kebahagiaan dan kini menjadi cermin kesedihan, akhirnya menjadi tempat penyembuhan baginya.

Matahari kini hampir tenggelam, mewarnai langit dengan semburat oranye dan ungu. Zivara dan Azkian berjalan menuju pintu keluar, tangan mereka penuh dengan suvenir kecil—gelang bertema singa untuk Zivara dan topi dengan motif cheetah untuk Azkian. Di gerbang utama, Zivara berhenti sejenak, menoleh ke belakang, ke arah kandang singa yang kini hanya terlihat sebagai siluet di kejauhan. “Sampai jumpa, Thal,” bisiknya, dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun, ia merasa damai.

“Ziv, bus terakhir sebentar lagi!” seru Azkian, sudah beberapa langkah di depan. Zivara tersenyum, berlari kecil menyusul sahabatnya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjalanan ini bukan akhir, melainkan awal baru—awal di mana ia belajar menjadi singa, seperti yang Thalion selalu inginkan.

Jejak di Kandang Singa: Kisah Petualangan Emosional di Kebun Binatang bukan hanya sekadar cerita, tetapi sebuah cerminan tentang bagaimana kenangan, kehilangan, dan keberanian dapat membawa kita menemukan kedamaian di tempat yang tak terduga. Cerpen ini mengajarkan bahwa, seperti Zivara, kita semua bisa menemukan kekuatan untuk melangkah maju, bahkan di tengah luka yang mendalam. Jangan lewatkan kisah ini untuk merasakan sendiri perjalanan emosional yang akan menggugah hati Anda.

Terima kasih telah menyusuri perjalanan Zivara bersama kami di Jejak di Kandang Singa. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menemukan keberanian dalam setiap langkah hidup. Sampai jumpa di cerita berikutnya, dan jangan lupa bagikan pengalaman Anda di kolom komentar!

Leave a Reply