Daftar Isi
Pernahkah kamu merasa bahwa perjalanan sederhana bisa membawa kamu ke dunia yang sama sekali berbeda? Dalam cerpen “Menjelajahi Dunia Liris: Perjalanan Sore yang Mengubah Takdir”, kita diajak untuk menyelami kisah seru dan penuh misteri yang dimulai dari sebuah perjalanan sore biasa.
Apa yang dimulai dengan langkah kaki di hutan, ternyata berubah menjadi sebuah petualangan yang tak hanya menguji keberanian, tetapi juga membuat kita mempertanyakan takdir dan pilihan hidup. Penasaran? Yuk, baca terus dan temukan bagaimana Kalvan, sang tokoh utama, berhadapan dengan dunia yang penuh dengan teka-teki, makhluk misterius, dan keputusan yang bisa mengubah segala sesuatu yang ia kenal!
Cahaya di Ujung Jalan Setapak
Desa Renggala tak pernah punya keramaian yang meledak-ledak. Suaranya tenang seperti bisikan air di selokan bambu, dengan gemuruh lembut dari dedaunan pinus yang bergesek saat angin sore lewat. Dan seperti sore-sore yang lain, matahari mulai condong, melukis langit dengan warna tembaga dan jingga tua yang menggantung rendah di cakrawala.
Di pinggiran desa, ada jalan setapak yang jarang dilalui. Jalur itu seperti tali usang yang dijalin dari tanah merah, akar-akar pohon, dan bekas roda gerobak tua yang ditinggalkan entah sejak kapan. Tak semua orang mau lewat sana, apalagi ketika matahari sudah mulai menepi. Warga desa percaya, jalan itu membawa ke arah yang tak bisa dipahami—sebuah tempat yang tidak untuk mereka yang hatinya hanya percaya pada apa yang bisa dilihat.
Kalvan, pemuda berambut ikal cokelat gelap yang selalu memakai sepatu dari kulit rusa warisan ayahnya, berjalan di sana seperti biasa. Sore ini, pundaknya tidak memanggul apa-apa, hanya jaket tipis yang diikatkan di pinggang, dan satu gulungan tali kecil yang terselip di saku celananya—bukan untuk apa-apa, hanya kebiasaannya sejak kecil.
Ia berjalan perlahan, langkahnya menyesuaikan irama senja. Setiap batang ilalang yang disentuhnya seperti tahu kehadiran Kalvan, membungkuk sejenak lalu kembali tegak. Langit di atasnya berganti warna lebih cepat dari biasanya, dan itu membuatnya berhenti. Hutan Liris sudah tampak dari kejauhan. Dahan-dahan cemara di sana menjulang dan merapat, seperti menanti seseorang yang sudah lama tidak pulang.
Di dekat pintu hutan, ada batu besar—retaknya memanjang dari ujung atas hingga pangkal bawah, seperti luka lama yang tak pernah sembuh. Biasanya batu itu diam saja. Tapi sore ini, celahnya berdenyut lembut, memancarkan cahaya kehijauan yang berkedip lambat, seolah sedang menarik napas.
Kalvan menyipitkan mata. Cahaya itu tidak panas, juga tidak menyilaukan. Hanya… hidup. Seperti punya nyawa sendiri. Ia menatapnya beberapa detik, mencoba menakar rasa takut yang seharusnya muncul. Tapi yang muncul justru rasa penasaran yang mengikat dada.
Tanpa berkata sepatah pun, Kalvan melangkah ke depan. Satu langkah, dua langkah, lalu tubuhnya menyusup masuk ke dalam cahaya yang terasa hangat dan… hening. Bukan sunyi, tapi hening—seperti dunia lupa bagaimana caranya bersuara.
Saat ia membuka mata, dunia di sekelilingnya sudah berubah.
Tanah yang tadinya cokelat dan kering, kini berpendar biru kehijauan seperti serbuk bintang yang jatuh ke bumi. Langitnya ungu, tapi tidak gelap. Di atas sana, bulan melingkar tiga, menggantung sejajar seolah tengah menatap ke bawah. Angin yang berembus membawa aroma manis, seperti perpaduan buah markisa dan tanah basah.
Kalvan berdiri mematung, menahan napas. Bahkan suara detak jantungnya sendiri terasa asing.
Dari balik semak yang daunnya berbentuk spiral, muncul sosok aneh. Tubuhnya ramping, tak lebih tinggi dari pinggang Kalvan. Kulitnya keperakan, berkilau seperti kaca embun saat fajar. Matanya bulat besar, memantulkan cahaya dari tiga bulan di atas mereka.
Makhluk itu mendekat perlahan. Tidak ada rasa mengancam dari langkahnya. Ia justru tampak seperti sedang menunggu Kalvan menyapa lebih dulu.
Suaranya tak keluar dari mulut. Tapi dalam kepala Kalvan, terdengar jelas.
“Akhirnya kamu datang.”
Kalvan tidak bergeming. Ia menelan ludah, memastikan ini bukan mimpi.
“Siapa kamu?”
“Aku Ennir. Penjaga batas antara dunia yang kamu kenal dan dunia yang kamu tapaki sekarang.”
Kalvan menunduk sebentar, lalu menatap lagi. “Aku… aku nggak sengaja masuk ke sini.”
“Tidak ada yang masuk ke sini tanpa dipilih.”
“Kamu bisa bicara di pikiranku?”
“Aku tidak bicara. Kamu hanya mendengar.”
Kalvan mengernyitkan dahi, lalu tertawa kecil. “Kamu terdengar… filosofis banget.”
Ennir mendekat, lalu duduk di atas batu pipih yang mengambang di udara, seolah itu hal biasa di tempat ini. Matanya yang bulat menatap Kalvan lekat-lekat.
“Kamu pasti punya banyak pertanyaan. Tapi tak semua pertanyaan harus dijawab sekarang.”
Kalvan mengangguk pelan. “Tapi ini bukan mimpi, kan?”
“Bukan. Dunia ini nyata. Sama nyatanya dengan jalan setapak yang kamu lewati tadi. Hanya saja, tidak semua mata bisa melihat pintunya. Hanya mereka yang belum kehilangan rasa percaya.”
Angin berembus, membawa kabut tipis yang menyelimuti sebagian kaki Kalvan. Ia menunduk, merasakan tanah yang terasa lebih hangat dari tanah biasa. Ada denyut, seperti nadi yang berdetak di bawah permukaan.
“Dunia ini… punya nama?”
“Namanya sudah lama hilang. Kami memanggilnya Liris. Sama seperti hutan yang kamu kenal. Karena sebagian dari dunia ini dulu hidup berdampingan dengan dunia kalian.”
Kalvan terdiam cukup lama. Rasanya seperti membaca buku dongeng dan tiba-tiba jadi tokoh utamanya.
“Kamu tinggal di sini sendiri?”
Ennir menunduk. “Tidak selalu sendiri. Tapi sekarang, ya. Dunia ini… perlahan sepi. Banyak yang pergi, banyak yang menghilang. Waktu di sini tak berjalan lurus seperti di tempatmu. Tapi kami merasakannya tetap.”
Kalvan melangkah lebih dekat. “Kamu kesepian?”
“Mungkin.”
“Aku juga.”
Ennir menoleh pelan. Matanya berpendar lembut.
“Mungkin karena itu kamu bisa melihat celah cahaya.”
Mereka tidak berbicara lagi setelah itu. Langit mulai berpendar biru tua, tiga bulan bergeser seperti jam raksasa yang tak pernah berhenti. Suara angin berubah menjadi nyanyian lembut, entah dari mana asalnya. Kalvan duduk di samping batu melayang, matanya tak lepas dari padang aneh yang membentang luas.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa tidak sendiri—meski dunia di sekelilingnya tak punya arah atau petunjuk. Tapi bersama Ennir, rasa takut yang biasa muncul saat malam datang, tidak lagi terasa.
Sore itu bukan sekadar senja. Itu awal dari sesuatu yang jauh lebih besar, meski Kalvan belum tahu apa. Tapi ia tak ingin buru-buru kembali. Belum. Dunia ini seperti sedang memanggilnya untuk tinggal lebih lama.
Dan di balik padang rumput yang diam, sesuatu bergerak pelan—mengintai, menunggu.
Tapi itu bukan urusan bab pertama.
Dunia yang Tak Bernama
Kalvan duduk dalam keheningan yang nyaman, matanya melayang mengikuti cahaya yang berpendar lembut di sekitar mereka. Padang rumput di hadapannya berkilau seperti terbuat dari serbuk bintang, dan meski segala sesuatunya tampak aneh, ia merasa seperti berada di rumah. Angin malam yang sejuk meniup rambutnya, mengusir sisa panas sore hari yang masih tersisa.
Ennir duduk di sebelahnya, tubuhnya bersinar seperti cahaya pagi yang ditangkap oleh kabut. Entah bagaimana, Kalvan merasa bahwa makhluk ini—meskipun berbeda jauh dari apa yang ia kenal—adalah teman sejati yang memahami segala keresahan tanpa perlu banyak kata.
“Aku rasa aku nggak akan pernah bisa pulang kalau tinggal di sini terlalu lama, ya?” tanya Kalvan setelah beberapa lama terdiam.
Ennir hanya tersenyum, matanya bersinar lebih terang. “Kamu masih bisa pulang kapan saja, Kalvan. Tapi ingat, setiap kali kamu meninggalkan satu dunia, dunia itu akan tetap berputar tanpa kamu. Kamu hanya bisa memilih, mau tetap di sini atau kembali. Tidak ada jalan tengah.”
Kalvan menggigit bibirnya, mencerna kata-kata itu. Dunia ini bukanlah dunia yang bisa ia pilih begitu saja, bukan hanya dunia paralel biasa yang bisa dikunjungi kapan pun. Ada sesuatu yang lebih mendalam—sebuah keterhubungan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Jadi, kamu bilang ini adalah dunia yang tak bernama?” Kalvan menoleh pada Ennir, mencoba menggali lebih dalam.
Ennir mengangguk. “Dulu, dunia ini punya nama, Kalvan. Tapi nama itu sudah lama hilang. Liris, seperti yang kami sebutkan, adalah nama yang kami warisi dari nenek moyang kami, yang dulu hidup berdampingan dengan dunia kalian. Namun, seiring berjalannya waktu, batas antara dunia kami dan dunia kalian semakin kabur. Kami mulai melupakan nama-nama itu, dan hanya menyebutnya dengan kata-kata yang tak lagi memiliki arti.”
Kalvan mengernyit. “Liris… berarti ini semacam dunia antara, ya?”
Ennir mengangguk lagi. “Ya. Tapi lebih dari itu. Liris adalah tempat bagi mereka yang bisa mendengar nyanyian dunia, tempat bagi mereka yang masih bisa merasakan hidup dalam keheningan dan cahaya yang tak tampak oleh mereka yang hanya melihat dengan mata.”
Kalvan meresapi setiap kata itu, membayangkan dunia yang sangat berbeda ini. Tak ada mobil, tak ada bising suara manusia—hanya suara alam yang berbisik dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh hati. Dunia yang begitu sunyi, tetapi terasa penuh dengan kehidupan.
“Jadi, kenapa kamu… mengajakku ke sini?” Kalvan akhirnya bertanya. Rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Selama ini, ia hanya menganggap hutan Liris sebagai sebuah legenda. Tapi sekarang, di sini, dunia itu begitu nyata, dan Ennir—makhluk yang bahkan tidak bisa ia pahami—menjadi bagian dari perjalanan ini.
Ennir menatap langit yang mulai menggelap, lalu berbicara dengan nada pelan. “Dunia ini semakin rapuh, Kalvan. Kami, penjaga batas, tidak bisa melakukannya sendiri. Waktu di sini tidak lagi berjalan dengan baik. Ada ketidakseimbangan yang membuat Liris… kehilangan maknanya. Tanpa kamu, mungkin tak ada yang bisa memperbaiki ini.”
Kalvan menatap Ennir dengan bingung. “Tapi aku cuma manusia biasa. Apa yang bisa aku lakukan? Aku bahkan nggak tahu kenapa aku bisa sampai di sini.”
Makhluk itu tersenyum lembut, cahaya tubuhnya berkilau, seperti menyiratkan sebuah rahasia yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Kadang, yang dibutuhkan dunia bukanlah kekuatan, Kalvan. Tetapi seseorang yang bisa mendengar dan merasakan apa yang tidak dilihat oleh orang lain. Kamu adalah jembatan yang hilang antara dunia kami dan dunia kalian.”
Kalvan merasa ada beban yang tiba-tiba muncul di bahunya, meski tak ada apa-apa di sekelilingnya selain padang rumput dan cahaya yang menari-nari di udara. “Aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana. Apa yang harus kulakukan?”
Ennir berdiri dan melangkah lebih dekat, suaranya kini lebih tenang, namun penuh kekuatan yang tak bisa ia ungkapkan. “Kamu harus menemukan Biji Cahaya, Kalvan. Itu adalah satu-satunya cara untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia kita. Tanpa itu, Liris akan terus merosot, dan dunia kalian akan ikut terpengaruh.”
Kalvan mengangkat alisnya. “Biji Cahaya? Di mana aku bisa menemukannya?”
“Biji Cahaya tersembunyi di dalam Menara Waktu—sebuah tempat yang bisa mengubah arah waktu itu sendiri. Hanya mereka yang tahu cara merasakannya yang bisa masuk.”
Kalvan meremas tangannya. “Jadi… aku harus pergi ke Menara Waktu?”
Ennir mengangguk pelan. “Jika kamu ingin menyelamatkan dunia ini, ya. Tapi ingat, tidak ada perjalanan yang mudah. Menara Waktu terletak di dalam kabut, dan kabut itu memikat mereka yang datang dengan keinginan yang salah. Itu bukan hanya tentang menemukan artefak. Ini tentang menjaga keseimbangan di dalam dirimu sendiri.”
“Apakah ada yang bisa menolongku?” tanya Kalvan, wajahnya mulai serius.
Ennir menyeringai, matanya berkilau. “Aku akan ada di sana, Kalvan. Tapi hanya kamu yang bisa memilih untuk tetap di jalanmu. Tidak ada peta di sini, hanya petunjuk yang harus kamu rasakan.”
Malam semakin larut, dan meskipun ketegangan terasa semakin mendalam, Kalvan merasa bahwa ia sudah tidak lagi berada di tempat asing. Dunia ini, dengan segala keajaiban dan misterinya, telah mengambil bagian dari dirinya, dan mungkin, hanya mungkin, ia memiliki potensi untuk melindunginya.
“Aku nggak akan mundur,” kata Kalvan akhirnya, napasnya sedikit terengah. “Aku akan menemukannya, Biji Cahaya, apapun yang harus kulalui.”
Ennir memandangnya dengan tatapan penuh keyakinan. “Kamu punya hati yang tepat, Kalvan. Semoga itu cukup untuk membawa dunia ini kembali.”
Kalvan berdiri, merasakan semangat yang mengalir dalam dirinya. “Aku akan pergi besok pagi. Aku harus siap.”
Dengan itu, keduanya berjalan menuju batas cahaya yang mengelilingi mereka, dan dunia pun seolah ikut mengantar mereka. Tidak ada lagi keraguan dalam langkah Kalvan. Ia tahu perjalanan ini akan penuh bahaya, tapi ada sesuatu yang dalam dirinya mengisyaratkan bahwa ia adalah orang yang tepat untuk tugas ini.
Di balik pohon-pohon yang berbisik, dan langit yang berubah warna, kalimat terakhir Ennir terngiang dalam pikirannya.
“Kadang, yang dibutuhkan dunia bukanlah kekuatan, Kalvan. Tapi seseorang yang bisa mendengar dan merasakan apa yang tidak dilihat oleh orang lain.”
Dan Kalvan tahu, dengan setiap langkah yang diambilnya, ia semakin dekat untuk mendengar dunia ini berbicara.
Teka-Teki Langit dan Bayangan Malam
Pagi itu, kabut tebal menyelimuti hutan Liris. Langit ungu yang semalam begitu cerah kini tampak lebih gelap, seakan menahan napas. Kalvan berdiri di ujung jalan setapak yang mengarah ke kedalaman hutan, merasakan sebuah tarikan yang tak bisa dijelaskan. Sesuatu yang memanggilnya untuk maju, meskipun setiap langkah terasa semakin berat.
“Menara Waktu…” Kalvan bergumam, menatap arah yang ditunjukkan Ennir. Ia tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Menara itu—tersembunyi di balik kabut tebal yang bergerak seakan punya kehidupan sendiri—bukanlah tempat yang bisa dimasuki sembarangan. Ennir sudah memberinya peringatan: kabut itu memikat, dan hanya mereka yang benar-benar bisa menjaga keseimbangan diri yang akan berhasil melewatinya.
Kalvan menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatan yang masih tersisa. Jaketnya yang terikat di pinggang kini terasa lebih berat, namun ia tidak merasa keberatan. Ini adalah langkah pertama dari perjalanan yang mungkin mengubah hidupnya selamanya.
Ketika ia melangkah lebih dalam ke hutan, udara semakin dingin. Suara angin yang semalam berbisik kini berubah menjadi seperti lagu yang bergema, melintasi pepohonan besar dan rimbun di sekelilingnya. Kalvan merasakan perbedaan yang jelas; setiap detik yang berlalu, dunia ini seolah mengubahnya. Rasanya seperti ia sedang berjalan di antara dua waktu yang berbeda, dua dunia yang berinteraksi tanpa dia sadari.
Di depannya, kabut mulai bergerak lebih rapat, membentuk tirai yang menghalangi pandangan. Kalvan merasakan ketegangan meningkat. Hutan ini—dunia ini—seperti sedang menguji niat dan tekadnya.
“Biji Cahaya…” Kalvan mengingatkan dirinya, seolah itu adalah mantra yang harus diulang agar bisa terus melangkah. Setiap kata itu terasa berat, seakan ada sesuatu yang harus dibayar untuk mendapatkan benda itu.
Lalu, tanpa diduga, sebuah suara terdengar di telinga Kalvan.
“Maukah kamu melanjutkan perjalanan ini?”
Suara itu datang begitu dekat, namun tidak ada makhluk yang terlihat. Kalvan memalingkan wajah ke kiri dan ke kanan, tetapi hanya kabut yang menyambutnya. Suara itu, lembut namun dalam, kembali terdengar.
“Jika kamu memilih untuk melanjutkan, kamu harus siap menghadapi semua yang ada di depanmu. Setiap langkah adalah keputusan yang tak bisa diubah.”
Kalvan berhenti sejenak, merasakan ketakutan yang perlahan merayap ke dalam dirinya. Suara itu seperti datang dari dalam hatinya sendiri, menantangnya untuk terus maju.
“Aku… aku sudah siap,” kata Kalvan, meskipun ia sendiri tidak yakin.
Tiba-tiba, kabut itu mulai terbelah, memberi jalan untuknya. Di balik tirai putih itu, Menara Waktu muncul, tingginya menjulang jauh ke atas, jauh melebihi pohon-pohon di sekitar. Menara itu terbuat dari batu abu-abu gelap, berkilau seolah disinari oleh cahaya yang datang entah dari mana. Di sekelilingnya, batu-batu besar terhampar acak, seakan menunggu untuk diberi makna.
Kalvan melangkah ke depan, perlahan, mendekati menara itu. Setiap langkahnya terasa lebih berat, seakan tanah itu sendiri menariknya untuk berhenti. Namun, ia terus berjalan.
Di pintu masuk Menara, ada sebuah ukiran besar yang terlihat seolah hidup—gambar mata yang melirik ke kanan, namun tatapannya terasa menembus hingga ke dalam jiwa. Kalvan mengangkat tangan, merasakan getaran di udara saat jarinya menyentuh ukiran itu. Rasanya seperti ada kekuatan yang mengalir dari batu itu, mengalir melalui tubuhnya. Seketika, segala ketegangan yang ia rasakan menghilang.
Tiba-tiba, sebuah suara keras bergema dari dalam menara.
“Apa yang kamu cari, pemuda?”
Kalvan terkesiap, terkejut dengan suara yang begitu kuat. Ia melangkah mundur, tetapi kemudian, sebuah bayangan besar muncul di depan pintu masuk, menutupi seluruh kegelapan yang ada di dalam. Bayangan itu berubah menjadi sosok raksasa dengan mata yang berkilau terang, sama seperti ukiran di pintu.
“Saya mencari Biji Cahaya,” jawab Kalvan dengan mantap, meskipun hatinya berdegup kencang.
Makhluk itu mengangkat tangannya, dan seluruh kabut di sekeliling menara terangkat seketika, memperlihatkan lebih banyak bentuk bayangan. Ada ratusan mata yang tampak mengawasi, semuanya melihat ke arahnya, menilai. Kalvan merasa tubuhnya tegang, tetapi ia tidak mundur.
“Biji Cahaya?” suara itu terdengar penuh tanya, meskipun makhluk itu tidak menggerakkan bibirnya. “Kamu tahu apa artinya itu?”
“Ya,” jawab Kalvan, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Saya tahu itu adalah kunci untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia ini dan dunia saya.”
Makhluk itu diam sejenak, kemudian tertawa perlahan, suara tawa itu seakan menggema di seluruh menara, menggetarkan tanah di bawah kaki Kalvan.
“Apakah kamu tahu bahwa hanya mereka yang benar-benar tidak takut akan kegelapan yang bisa menemukan Biji Cahaya?” tanya makhluk itu, suaranya kini berubah menjadi lebih dalam dan misterius.
Kalvan mengangguk, meskipun dalam hatinya, ia merasa masih ada banyak hal yang tidak ia pahami. Ia hanya tahu satu hal—ia harus menemukan Biji Cahaya, apapun yang harus ia hadapi.
“Keberanian bukan hanya tentang tanpa rasa takut,” lanjut makhluk itu, “Keberanian adalah kemampuan untuk menghadapinya meskipun rasa takut itu ada.”
Kalvan merasa sebuah beban yang lebih berat kini menyelimuti dirinya. Mungkin ini lebih dari sekadar menemukan sebuah objek. Ini adalah ujian dirinya, ujian apakah ia siap untuk mengubah takdir yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Tiba-tiba, kabut di sekitar menara mulai bergerak kembali, berputar dengan cepat, membentuk lingkaran yang semakin rapat. Suara itu kembali terdengar.
“Masuklah, jika kamu siap menghadapi perjalanan yang lebih dalam lagi.”
Kalvan tidak ragu lagi. Ia melangkah maju, menembus kabut yang semakin padat, menuju pintu menara yang terbuka lebar di hadapannya. Dan begitu ia melangkah masuk, dunia luar seakan tertutup rapat. Ia telah memulai perjalanan yang tak bisa kembali.
Di dalam menara, kegelapan menyambutnya, tetapi ia tahu, ini adalah perjalanan yang harus ditempuh. Setiap langkahnya kini membawa harapan, dan harapan itu akan mengarahkan jalan yang tersembunyi.
Keputusan di Lembah Cahaya
Kalvan berdiri di tengah ruangan yang luas di dalam Menara Waktu. Hawa dingin menyentuh kulitnya, namun keheningan yang menggantung di sekitarnya jauh lebih dingin daripada udara itu sendiri. Dinding-dinding menara yang terbuat dari batu gelap seakan menyerap setiap suara yang ada, meninggalkan Kalvan dengan suara detak jantungnya sendiri yang menggema. Kabut yang sejak tadi menyelimuti dunia luar kini hanya menyisakan bayangan samar, seperti dunia yang terdistorsi oleh waktu.
Di hadapannya, sebuah cahaya memancar dengan lembut, tampak seperti bola api yang mengambang di udara, berputar perlahan. Biji Cahaya. Begitu indah dan murni, namun ada sesuatu yang mengganjal. Kalvan tahu bahwa di balik keindahannya, ada tantangan yang jauh lebih besar.
Mata Kalvan terfokus pada cahaya itu, namun pikirannya kembali teringat pada kata-kata Ennir, tentang keberanian yang bukan hanya datang dari tanpa rasa takut, tapi dari kemampuan untuk menghadapi rasa takut itu sendiri. Saat ini, ia merasakan ketakutan yang paling dalam—bukan pada apa yang ada di depannya, tetapi pada pilihan yang harus ia ambil.
Apakah ia siap membawa pulang Biji Cahaya? Apakah ia siap menanggung beban yang mungkin akan datang bersamanya?
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar, mengalir dalam bisikan lembut namun penuh kekuatan.
“Kamu datang jauh, Kalvan. Tapi jalan yang kamu pilih adalah jalan yang tidak pernah kembali.”
Kalvan menoleh ke arah suara itu. Di pojok ruangan, sebuah bayangan besar mulai terbentuk, bergerak perlahan keluar dari kegelapan. Bayangan itu menyatu dengan cahaya, menciptakan gambaran siluet yang tidak asing baginya. Makhluk yang ditemuinya di pintu menara tadi.
“Aku tidak takut,” kata Kalvan, mencoba menguatkan diri meskipun ada keraguan yang menggelitiknya.
Makhluk itu mengangkat satu tangan, menciptakan lingkaran cahaya yang bergerak di sekeliling Kalvan, seolah menguji dirinya. “Takut atau tidak, keputusan yang kamu ambil akan mengubah jalanmu selamanya.”
Kalvan menatap Biji Cahaya itu sekali lagi. Sekilas, ia bisa melihat pantulan dirinya di dalam bola itu—seperti refleksi yang berubah, bergerak seiring dengan perubahan dirinya. Sesuatu dalam dirinya menyuruhnya untuk mengambilnya, tetapi hati kecilnya merasa ada yang lebih dari sekadar pengambilan benda itu.
“Jika aku mengambilnya,” Kalvan berkata dengan suara yang lebih pelan, “apa yang terjadi dengan dunia kami? Dengan Liris?”
Makhluk itu tersenyum, meskipun senyumannya tak menunjukkan kegembiraan. “Biji Cahaya tidak hanya mengembalikan keseimbangan, Kalvan. Itu akan mengikat takdirmu dengan dunia ini. Jika kamu mengambilnya, dunia ini akan menjadi bagian dari hidupmu, begitu pula sebaliknya.”
Kalvan merenung, merasakan berat kata-kata itu. Apakah ia siap untuk mengubah takdirnya? Dunia ini, meskipun penuh keajaiban dan misteri, adalah tempat yang asing baginya. Apakah ia rela meninggalkan segala yang ia kenal di dunia asalnya untuk menjaga keseimbangan di sini?
“Jadi, aku harus memilih?” tanya Kalvan, suaranya sedikit gemetar.
Makhluk itu mengangguk. “Setiap perjalanan memerlukan pengorbanan. Kamu akan menghubungkan dua dunia, tetapi ada harga yang harus dibayar. Jika kamu ingin kembali ke dunia asalmu, maka Biji Cahaya harus tetap berada di sini. Tetapi jika kamu memilih untuk membawa cahaya itu pulang, Liris akan tetap berada dalam kesendirian, terkunci dalam waktu yang tidak pernah selesai.”
Kalvan merasakan dada rasanya penuh dengan ketegangan. Pilihan yang ada di hadapannya bukanlah pilihan yang mudah. Biji Cahaya adalah kunci untuk menyelamatkan dunia ini, namun itu akan berarti kehilangan segalanya yang ia kenal di dunia asalnya.
“Aku ingin dunia ini tetap ada,” kata Kalvan akhirnya, dengan penuh tekad, meskipun suaranya masih dipenuhi keraguan. “Aku akan memilih untuk membawa Biji Cahaya pulang.”
Makhluk itu mengangguk, dan tiba-tiba, cahaya itu menyinari sekitarnya, lebih terang dari sebelumnya. Kalvan merasa hangatnya menyentuh kulitnya, meresap ke dalam dirinya, seolah energi dunia ini mengalir ke tubuhnya. Dalam sekejap, Biji Cahaya itu melayang ke tangannya, dan begitu ia meraihnya, seluruh menara mulai bergetar.
“Apa yang terjadi?” Kalvan bertanya, kaget dengan perubahan yang terjadi.
Makhluk itu tersenyum lembut. “Sekarang, kamu telah memilih. Dunia ini akan menutup pintunya untukmu. Kamu akan kembali ke dunia asalmu dengan Biji Cahaya di tangan, tetapi Liris akan kehilangan penghuninya.”
Kalvan merasakan sebuah sensasi yang begitu kuat, seolah tubuhnya dipenuhi dengan cahaya yang memancar ke luar, membawa kekuatan yang begitu besar. Namun, ada rasa kehilangan yang mendalam, seolah ia harus meninggalkan bagian dirinya di sini.
Dalam sekejap, ruangan itu mulai menghilang. Menara Waktu yang sebelumnya begitu besar dan kokoh kini terurai menjadi kabut yang hilang. Kalvan merasakan dirinya tertarik, melayang, seperti melintasi ruang dan waktu dalam satu detik. Dunia ini mengalir dalam tubuhnya, membawa cahaya yang semakin pudar, namun tetap bersinar di dalam dirinya.
Kalvan terjatuh ke tanah, dan ketika ia membuka mata, ia menemukan dirinya kembali di hutan yang sama—hutan yang kini terasa lebih sepi, lebih sunyi. Tidak ada kabut, tidak ada bayangan, hanya udara yang segar.
Di tangan Kalvan, Biji Cahaya bersinar terang, tetap ada. Dan meskipun ia kembali ke dunia asalnya, ada sesuatu yang berbeda. Liris, dunia yang telah ia tinggalkan, akan tetap hidup di dalam dirinya, dalam setiap langkahnya.
“Ini bukan akhir,” bisik Kalvan pada dirinya sendiri, menatap matahari terbenam yang mulai memudar.
Dunia ini, dan dunia yang lain, kini ada dalam dirinya. Semua yang telah ia alami akan menjadi bagian dari perjalanan panjang yang belum selesai. Keputusan yang telah ia ambil adalah awal dari sebuah kisah yang belum berakhir.
Dan dengan itu, Kalvan tahu—tak ada jalan yang benar-benar berakhir, hanya berputar, mengarah pada takdir yang tak terungkapkan.
Tamat
Begitulah kisah Kalvan dalam “Menjelajahi Dunia Liris: Perjalanan Sore yang Mengubah Takdir”. Perjalanan yang dimulai dengan langkah sederhana, akhirnya membawa kita pada pemahaman mendalam tentang keberanian, pilihan, dan takdir yang saling terkait.
Di dunia yang penuh dengan keajaiban dan misteri, seringkali kita dihadapkan pada pilihan sulit yang bisa mengubah hidup kita selamanya. Semoga cerita ini bisa memberikan inspirasi dan mendorong kamu untuk lebih berani dalam menghadapi perjalanan hidupmu sendiri. Jadi, siapkah kamu untuk mengambil langkah pertama menuju dunia yang belum terungkap?


