Daftar Isi [hide]
Dari Kesepian ke Harapan
Langkah di Kota Asing
Hujan mengguyur jalanan kota, membentuk genangan kecil di aspal yang sudah penuh dengan retakan. Air yang mengalir di tepi trotoar membawa sisa-sisa kehidupan kota ini—puntung rokok, kertas bon yang sudah luntur, bahkan plastik bekas yang entah berasal dari mana.
Adibra berjalan pelan di antara bangunan tua yang dindingnya sudah mulai mengelupas. Udara dingin menyusup ke sela-sela bajunya yang tipis, membuat tubuhnya sedikit bergetar. Sepatunya sudah terlalu lama dipakai, solnya hampir copot, dan setiap kali melangkah, ada suara kecil mencicit dari air yang terperangkap di dalamnya.
Matanya menatap ke arah lampu-lampu yang masih menyala, mencari-cari tempat yang mungkin bisa memberinya sedikit kehangatan. Ia tidak sedang mencari tempat berteduh—hujan bukan lagi sesuatu yang perlu dihindari. Sudah bertahun-tahun ia terbiasa berjalan di bawah hujan, membiarkannya menyapu wajah, seolah air itu bisa membersihkan semua beban yang menumpuk di dadanya.
Di sudut jalan, ia melihat seorang pria tua yang sedang duduk di bawah atap toko yang sudah tutup. Pria itu menyalakan rokok, menghirupnya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya ke udara.
“Kau baru di sini?” suara parau pria tua itu memecah keheningan.
Adibra berhenti sejenak, menoleh ke arahnya.
“Apa maksudmu?”
Pria itu mengangkat bahu, mengetuk-ngetukkan ujung rokoknya di tepi kursi kayu yang mulai lapuk. “Wajahmu tidak familiar. Aku sering lihat orang-orang yang seperti kamu. Jalan tanpa arah, berharap ada sesuatu yang berubah, padahal besok pun akan tetap sama.”
Adibra tak menjawab. Ia hanya menghela napas pelan, lalu kembali berjalan. Orang asing itu tidak salah. Hidupnya memang seperti itu—berjalan tanpa tujuan, berharap ada yang berubah, tapi selalu kembali ke titik yang sama.
Beberapa meter dari sana, lampu sebuah kafe kecil masih menyala. Dari luar, kaca jendelanya dipenuhi embun, membuat pemandangan di dalamnya terlihat sedikit buram. Tapi Adibra masih bisa melihat beberapa orang yang sedang duduk di sana, tertawa kecil, menikmati kopi mereka seolah dunia ini tak pernah kejam.
Ia mendekat, menempelkan telapak tangannya ke kaca, merasakan sedikit kehangatan yang terpancar dari dalam.
Lalu, pintu kafe itu terbuka.
Seorang pria dengan celemek berdiri di ambang pintu, menatapnya tanpa ekspresi berlebihan. Tidak ada rasa iba di matanya, tidak ada tatapan menghakimi seperti yang biasa ia terima dari orang-orang.
“Kamu kedinginan,” kata pria itu pelan.
Adibra diam, tidak bergerak.
“Masuklah,” pria itu melanjutkan. “Kalau kamu cuma berdiri di situ, kamu bakal makin basah dan sakit. Aku gak mau ada orang sakit di depan tempatku.”
Adibra menelan ludah. Hatinya berteriak untuk tidak percaya. Seumur hidupnya, orang-orang selalu menganggapnya beban. Tak ada yang benar-benar membukakan pintu untuknya.
Tapi, entah kenapa, ia melangkah masuk.
Dan untuk pertama kalinya, udara di dalam ruangan terasa lebih hangat daripada yang pernah ia rasakan.
Hujan dan Kenangan
Udara di dalam kafe terasa berbeda—hangat, bercampur dengan aroma kopi yang menggoda, dan samar-samar tercium wangi kayu yang basah oleh hujan. Lampu-lampunya tidak terlalu terang, cukup untuk membuat suasana terasa nyaman. Beberapa orang masih duduk di sudut-sudut ruangan, berbincang pelan, seolah dunia luar yang dingin tak ada hubungannya dengan mereka.
Adibra berdiri kaku di dekat pintu. Pakaiannya basah, rambutnya meneteskan air yang mengalir turun melewati lehernya. Ia merasa canggung, tak tahu harus berbuat apa.
Pria dengan celemek itu menghela napas, lalu mengisyaratkan ke sebuah meja kosong di dekat dinding. “Duduklah.”
Adibra menurut, menarik kursi kayu yang sedikit berderit. Ia tidak tahu kenapa pria ini membiarkannya masuk. Tak ada alasan bagi siapa pun untuk peduli padanya.
Beberapa menit kemudian, pria itu datang dengan membawa secangkir kopi yang mengepul. Ia meletakkannya di depan Adibra, lalu duduk di seberang meja.
“Minumlah,” katanya.
Adibra hanya menatap cangkir itu. Warna cokelat pekat dengan lapisan busa tipis di permukaannya. Aroma yang menguar mengingatkannya pada sesuatu yang hampir terlupakan.
Pelan, ia meraih cangkir itu, lalu menyesapnya sedikit. Hangat. Rasanya sedikit pahit, tapi ada jejak susu yang membuatnya lebih lembut. Ia menghela napas panjang, membiarkan rasa itu menyebar di lidahnya.
“Namamu siapa?” pria itu bertanya.
“Adibra.”
Pria itu mengangguk kecil. “Aku Darman.”
Hening sejenak. Di luar, hujan masih turun, mengetuk-ngetuk kaca jendela dengan ritme yang tak beraturan.
“Kamu dari mana?” tanya Darman lagi.
Adibra menatap kosong ke dalam cangkirnya. “Dari mana saja. Aku nggak punya tempat tetap.”
Darman tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap pemuda di depannya dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Sudah makan?”
Adibra terdiam, lalu menggeleng.
Darman bangkit, berjalan ke arah dapur tanpa berkata apa-apa. Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan sepiring roti yang masih hangat.
“Makanlah.”
Adibra ragu sejenak, tapi perutnya yang sejak tadi kosong akhirnya mengalahkan gengsinya. Ia mengambil sepotong roti, menggigitnya pelan. Lembut, sedikit manis, dan terasa lebih enak daripada apa pun yang pernah ia makan dalam beberapa bulan terakhir.
Darman menyandarkan punggungnya ke kursi, menyilangkan tangan di dadanya. “Kamu nggak perlu bayar. Anggap saja ganti karena kamu bikin lantai kafe ini basah.”
Adibra menelan makanannya, lalu menatap pria itu. “Kenapa kamu baik sama aku?”
Darman tersenyum tipis. “Kadang orang cuma butuh tempat buat duduk sebentar dan menghangatkan diri. Itu aja.”
Adibra tidak menjawab. Ia menunduk, menatap rotinya, lalu menggigitnya lagi.
Di luar, hujan masih belum reda. Tapi di dalam kafe kecil itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Adibra merasa seperti bukan orang asing.
Pintu yang Terbuka
Adibra masih duduk di kursi kayu itu, tangannya menggenggam cangkir kopi yang kini tinggal separuh. Hawa hangat dari minuman itu merambat ke jemarinya yang dingin. Darman tak lagi bertanya, membiarkan pemuda itu menikmati makanan dan kopi tanpa tergesa-gesa.
Suara sendok dan cangkir beradu pelan dari meja-meja lain, bercampur dengan alunan musik instrumental yang mengalir dari speaker kecil di sudut ruangan. Bagi Adibra, suasana ini terasa asing. Ia tak terbiasa dengan tempat di mana orang-orang tidak memandangnya dengan curiga atau mengusirnya seolah ia adalah gangguan.
Darman menyandarkan tangan di meja. “Jadi, kamu udah berapa lama hidup di jalanan?”
Adibra menatapnya sejenak, lalu menyesap kopinya sebelum menjawab. “Cukup lama sampai aku lupa gimana rasanya punya rumah.”
Darman mengangguk pelan, seolah jawaban itu sudah ia duga.
“Ada keluarga?”
“Kalau ada, aku nggak bakal ada di sini.” Adibra mendengus kecil, tapi tak ada tawa di wajahnya.
Darman tidak membalas. Ia hanya menatap pemuda itu dengan sorot mata yang sulit ditebak—bukan iba, bukan juga kasihan. Lebih seperti seseorang yang sedang mengingat sesuatu dari masa lalu.
Setelah beberapa saat, ia berdiri dan mengambil kain lap dari meja kasir. “Kamu mau kerja?”
Adibra mengangkat wajahnya. “Apa?”
“Kerja,” ulang Darman sambil mengelap meja di dekatnya. “Di sini. Aku butuh orang buat bantu-bantu. Nggak susah, cuma bersihin meja, cuci gelas, kadang-kadang angkat barang.”
Adibra menatap pria itu lekat-lekat, mencoba mencari tanda-tanda bahwa ini mungkin semacam lelucon atau jebakan. Tapi ekspresi Darman tetap datar.
“Kamu serius?”
Darman menaruh kain lapnya dan bersedekap. “Dengar, aku nggak nawarin ini karena aku kasihan. Aku cuma butuh tenaga tambahan, dan kamu butuh tempat buat nggak kelaparan.” Ia mengangkat bahu. “Jadi ya, kita bisa bantu satu sama lain.”
Adibra mengernyit, masih belum sepenuhnya percaya. Tawaran kerja bukan sesuatu yang datang begitu saja untuk orang sepertinya. Biasanya, orang-orang hanya memberinya tatapan jijik atau beberapa lembar uang receh untuk menyuruhnya pergi.
“Kalau kamu nggak mau, nggak masalah,” lanjut Darman santai. “Tapi aku nggak bakal nawarin dua kali.”
Adibra menggigit bibirnya. Perutnya masih terasa hangat karena roti yang tadi ia makan, dan tubuhnya sedikit lebih nyaman setelah berada di dalam kafe selama beberapa waktu. Kalau ia menolak, ia harus kembali ke luar sana—ke jalanan, ke trotoar yang dingin, ke bangku taman yang kadang harus ia perebutkan dengan orang-orang lain yang juga tak punya tempat tinggal.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. “Aku mau.”
Darman tersenyum tipis, lalu melemparkan kain lap ke arah Adibra. Refleks, pemuda itu menangkapnya.
“Bagus. Mulai sekarang, kamu kerja di sini.”
Adibra menatap kain lap di tangannya, masih belum sepenuhnya percaya. Pikirannya dipenuhi pertanyaan—kenapa Darman menawarinya pekerjaan? Apakah pria itu benar-benar tulus, atau ada sesuatu di balik kebaikannya?
Tapi untuk saat ini, ia memilih untuk tidak berpikir terlalu jauh.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, seseorang membuka pintu untuknya—bukan untuk mengusir, tapi untuk memberinya kesempatan.
Kehangatan di Antara Hujan
Hari-hari berlalu, dan Adibra mulai terbiasa dengan rutinitas baru di kafe kecil itu. Pagi dimulai dengan menyapu lantai, membersihkan meja, lalu membantu Darman menyiapkan bahan-bahan sebelum pelanggan datang. Meski tubuhnya masih menyesuaikan diri dengan kerja keras, ia merasa lebih baik dibandingkan saat harus berjalan tanpa arah, bertahan hidup dengan cara yang tak pasti.
Pada awalnya, ia canggung. Pelanggan yang datang kadang meliriknya aneh, mungkin bertanya-tanya siapa pria muda dengan wajah lusuh yang tiba-tiba muncul di kafe itu. Tapi perlahan, ia mulai menerima keberadaannya di tempat itu—dan yang lebih mengejutkan, orang-orang juga mulai menerimanya.
Hari ini hujan turun lagi, sama seperti malam ketika Darman membiarkannya masuk. Adibra sedang mengeringkan gelas-gelas di belakang meja ketika pria paruh baya itu duduk di kursi di dekatnya, menyeduh kopi untuk dirinya sendiri.
“Kamu udah mulai ngerti ritmenya,” ujar Darman sambil meniup uap kopi di cangkirnya.
Adibra mengangkat bahu. “Aku masih sering lupa di mana letak barang-barang.”
Darman tertawa kecil. “Itu wajar. Yang penting kamu nggak bikin kafe ini terbakar.”
Adibra tersenyum tipis. Percakapan semacam ini dulu tak pernah ada dalam hidupnya. Ia terbiasa dengan keheningan, dengan jarak yang dipasang oleh orang-orang di sekitarnya. Tapi bersama Darman, ia merasa seolah berbicara dengan seseorang yang tidak menghakiminya atas siapa dirinya.
“Aku dulu juga hidup di jalanan,” kata Darman tiba-tiba.
Adibra menoleh cepat. “Apa?”
Pria itu menyesap kopinya sebelum melanjutkan, “Bertahun-tahun lalu. Aku nggak punya siapa-siapa. Tidur di emperan toko, cari makan dari sisa orang lain. Sama seperti kamu.”
Adibra terdiam. Ia tak pernah membayangkan pria yang sekarang duduk dengan tenang di depannya, mengelola kafe kecil yang nyaman, pernah mengalami hal yang sama dengannya.
“Sampai akhirnya ada seseorang yang menarik aku keluar dari semua itu,” lanjut Darman. “Dia kasih aku pekerjaan. Bukan karena kasihan, tapi karena dia percaya aku bisa lebih dari sekadar bertahan hidup.”
Darman meletakkan cangkirnya di atas meja. “Sekarang, aku cuma ngelakuin hal yang sama. Aku nggak minta kamu balas budi, aku nggak minta kamu tetap di sini selamanya. Tapi kalau kamu mau, kamu bisa mulai mikirin sesuatu yang lebih besar dari sekadar bertahan hidup.”
Adibra menatap pria itu lama. Kata-kata Darman merayap masuk ke dalam pikirannya, mengguncang sesuatu yang selama ini ia kubur dalam-dalam—harapan.
Selama ini, hidupnya selalu tentang bertahan. Mencari tempat tidur untuk semalam. Mengisi perut untuk sehari. Ia tak pernah berpikir bahwa mungkin ada jalan lain.
Hujan masih turun di luar. Tapi kali ini, Adibra tak merasa perlu mencari tempat berteduh lagi.
Karena untuk pertama kalinya, ia sudah menemukan tempatnya sendiri.
Tamat.